Share

BAB 4

Penulis: Mentariz
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Suara teriakan, cacian, dan kemarahan menggema di seluruh arena The BR. Suara wanita lebih terdengar mendominasi karena ketakutan.

“Sial! Apa-apaan ini!?” ucap si Kadal. “Kenapa bisa mati lampu?” tanyanya penasaran.

Dipta mengambil handphonenya dan menyalakan flashlight kearah wajah si Kadal.

“The game is over,” sahut Dipta dengan menyeringai seram.

*~*~*~*~*

“Gimana tadi mengajar lesnya, Mbak?” tanya Trisma sambil melipat pakaiannya dan menyimpannya kedalam lemari.

“Lumayan," jawab Senja yang sedang mengeringkan rambutnya yang panjang dan bergelombang dengan hairdryer.

Trisma tidak puas dengan jawaban itu. “Lumayan apa? Capek? Seru? Asik?”

Senja tertawa kecil, lalu berkata, “lumayan suram.”

“Iya sih,” Trisma membenarkan. “Kakak sama adik sama aja,” keluhnya.

“Kamu dari umur berapa kerja disini, Ris?” tanya Senja mengubah topik pembicaraan.

“Tamat SMA, Mbak. Umur 18 tahun.”

“Berarti udah dua tahun, ya. Kalau Mbak boleh tahu, kenapa kamu nggak kuliah?”

“Iya, Mbak. Kalau dipikir-pikir, lama juga aku bertahan disini,” Trisma menghentikan kegiatannya melipat pakaian. “Aku nggak suka belajar, Mbak. Sukanya kerja.”

“Mbak salut sama kamu,” puji Senja dengan tulus. “Tahu apa yang diinginkan dan impikan.”

“Aku juga salut sama, Mbak. Posisi Mbak dirumah ini setara dengan Tuan Dipta dan Nona Gauri.”

Senja menggelengkan kepala, “Posisi Mbak itu sama seperti posisi kamu, Mbok Minah, Mbok Asih, Pak Mahmud, Pak Kasim, dan lainnya. Kita semua bekerja untuk Eyang Chandra.

“Tapi Eyang sendiri yang bilang, kalau Mbak Senja harus diperlakukan sama seperti Tuan Dipta dan Nona Gauri. Mbak juga dikasih kamar sendiri, tapi kenapa Mbak pilih tidur dikamar ini?”

“Mbak nggak nyaman kalau diperlakukan khusus begitu, lagipula Mbak lebih senang ada teman ngobrol, apa kamu keberatan kalau Mbak disini?”

Trisma menggeleng cepat, “Nggak, Mbak. Aku juga senang ada teman ngobrol. Senang banget malahan,” lalu Trisma tersenyum lebar.

Senja mengikat rambutnya yang sudah kering. Melihat itu Trisma berujar, “Rambut Mbak Senja bagus banget. Panjang, bergelombang, lebat, dan berkilau, kayak di iklan sampo, Mbak. Sayang banget kalau diikat rambut sebagus itu.”

Senja tersenyum malu, ia memang sudah sering mendengar pujian seperti itu. “Terima kasih pujiannya, tapi Mbak lebih suka rambut diikat daripada digerai.”

“Mbak, aku pikir kita seumuran waktu pertama kali ketemu, loh.”

“Sudah cukup pujiannya,” Senja tertawa geli mendengar Trisma melontarkan pujian terus-menerus, “Nanti Mbak melayang, Ris. Lagi pula perbedaan umur kita nggak jauh-jauh amat.”

“Empat tahun itu cukup jauh, Mbak. Beneran, muka Mbak itu nggak boros kayak aku.”

“Muka boros itu bagaimana sih?”

“Mukanya kelihatan tua dari umurnya, Mbak.”

Senja tampak berpikir sebentar, lalu berujar, “Jangan salah, biasanya orang yang punya muka seperti itu, sewaktu tua dia terlihat muda.”

“Iyakah? Amin deh kalau gitu,” ucap Trisma mengamini kemudian terkekeh sendiri. “Hayo…berarti Mbak Senja mengakui kalau mukaku boros, ya?”

Senja menjadi serba salah dan bingung mau menjawab apa. “Aduh, Mbak salah ngomong, ya? Maafin ya, Mbak nggak bermaksud ngomong begitu.”

Trisma tertawa lepas, kemudian melambaikan tangannya. “Nggak usah minta maaf, Mbak. Aku bercanda.”

Senja tersenyum kecut, “Mbak takut udah buat roommatenya Mbak tersinggung, padahal baru hari pertama kerja. Kalau ada ucapan dan sikap Mbak yang membuat kamu nggak nyaman, tolong diutarakan, ya.”

Trisma bersyukur memiliki roommate seperti Mbak Senja. “Iya, Mbak.”

Seseorang mengetuk pintu kamar Senja dan Trisma. Senja beranjak untuk membukakan pintu. Mbok Asih, yang menjabat sebagai kepala dapur berdiri dihadapannya. “Makan malam udah siap, Non,” katanya pada Senja.

“Iya, Mbok. Makan dimana?”

Senja belum tahu para pekerja rumah ini makan seperti apa. Apakah sendiri-sendiri, atau beramai-ramai, apakah diruang istirahat, karena ruang itu sungguh luas dan memliliki meja panjang besar. Ataukah dikamar masing-masing?

“Nona akan makan malam bersama Nona Gauri dan Eyang Chandra,” jawab Mbok Asih.

“Hah?”

*~*~*~*~*

Gerka Joule, sahabat baik dari seorang Dipta R. Maheswara mengakui kalau sahabatnya itu sudah berada di level teratas orang-orang berpengaruh. Padahal nyatanya sahabatnya ini hanya seorang pengangguran yang hobi pukul orang.

“Gimana caramu melakukan itu, Ta?” tanya Gerka heran.

Saat ini, Dipta, Gerka dan Yohan sedang berada di Flying High Club yang merupakan salah satu Club malam termahal di Indonesia. Mereka bertiga memesan ruangkan khusus VIP yang super duper Luxury, tanpa ada wanita penghibur didalamnya.

“Satu kali pancing, tiga ikan tertangkap,” ujar Yohan.

Dipta meneguk gelas wiskinya .“Saat ditangkap, ikannya berlutut dikakiku.”

“Memangnya ikan punya lutut?” tanya Yohan asal.

“Garing, Han!” ejek Dipta sambil menuangkan wiski kedalam gelas kecil lalu meneguknya kembali.

Gerka mengambil sebatang rokok By Ji Ga (BJG) pada saku celananya dan memantikkan macis pada ujung rokoknya. “Gila! Sekelas anak menteri, bertekuk lutut dihadapanmu. Dan… ini bukan anak menteri kacangan, Bro.”

“Minta rokokmu, Ka,” ucap Dipta.

Gerka memberikan kotak rokok BJG kearah Dipta.

“Merek yang lain!” Dipta melemparkan kotak rokoknya kembali kearah Gerka. “Aku nggak suka merek itu.”

“Sori, Bro! BJG selalu dihati.”

“Iya, BJG! Ba…ji…ngan.” Dipta mengolok-ngolok merek rokok favorit Gerka.

“Teeet! Salah. Yang benar adalah Baik, Jantan dan Ganteng,” balas Gerka.

“Boleh juga, tapi sebenarnya itu Buruk, Jelek, Gak Guna.”

“Stop!” Yohan menghentikan pertengkaran kekanak-kanakan yang sedang terjadi diantara kedua temannya ini. “Aku BJG!”

Gerka dan Dipta melirik Yohan, lalu kembali bertatapan muka berdua, kemudian kembali menatap Yohan yang sedang berpikir.

“Apa? Kamu Bajingan?” tanya Dipta heran.

Yohan menggelengkan kepalanya. “Bukan. Aku Bisa Jadi Gila.”

“Nggak lucu!” seru Gerka sambil melemparkan kacang almond kewajah Yohan.

Dipta menyodorkan minuman keras kearah Yohan. “Untuk merayakan sejarah kali ini, kamu harus minum, Han.”

Yohan mengangkat gelas jus mangganya. “Ini aku udah minum, Ta.”

“Minum yang ini,” tunjuk Dipta pada botol wiski. “Atau yang ini,” lalu menunjuk botol vodka.

Yohan tertawa. “Sori, aku hanya mau yang ini.” Menunjuk jus mangganya.

“Nggak asik kamu, Han,” kata Gerka. “Perlu dipertanyakan kejantananmu. Minum nggak mau, rokok nggak suka.”

“Setidaknya aku ikut merayakan kedalam club ini. Kalian paling tahu aku sangat anti masuk kedalam sini.”

“Ya..ya…Pak Bramasta!” ungkap Gerka. “Si..E..O.”

“Mulai lagi, jangan panggil aku dengan sebutan itu.”

“Kenapa? Kamu ‘kan memang menjabat sebagai Si…E…O.”

“Ayolah, temanmu yang menjabat sebagai itu bukan hanya aku aja.” Yohan melirik Dipta yang sudah mulai teler.

Gerka melihat Dipta. “Kalau dia bukan Si..E..O, tapi Si Bego!”

Yohan dan Gerka tertawa lepas. Sangat jarang mereka bisa menghina seorang Dipta R. Maheswara didepan wajahnya langsung.

Di sela tawa mereka berdua, seorang laki-laki memakai setelan jas dan celana hitam masuk, diiringi dua orang yang memakai stelan yang sama. Kedua orang itu memapah Dipta yang sudah tidak sadarkan diri hingga keluar ruangan.

Gerka dan Yohan selalu heran, mengapa para pengawal Dipta selalu bisa menemukan keberadaannya.

“Saya akan membawa Tuan Dipta pulang,” ucap seorang ketua pengawal yang mereka ketahui bernama Bima.

“Bawa aja, Bim,” suruh Yohan.

“Sampai rumah diikat kalau perlu, biar nggak bisa keluar tuanmu itu,” canda Gerka.

*~*~*~*~*

Bab terkait

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 5

    Senja merasakan tubuhnya kaku dihadapan Eyang Chandra dan Gauri. Apalagi saat ini mereka bertiga sedang makan malam diruangan khusus keluarga, dan Senja duduk bersama seakan ia juga bagian dari keluarga Maheswara. Senja tidak suka berada di posisi ini. Seperti diistimewakan padahal hanya orang suruhan. Selama makan, hanya suara sendok dan garpu berdenting yang terdengar. Mereka bertiga makan dalam diam. Tak satupun memulai pembicaraan. Banyaknya menu makanan yang terhidang di meja tidak satupun menggugah selera makan Gauri. Ia hanya memasukkan beberapa suapan kedalam mulutnya. “Aku udah selesai,” ucap Gauri memecah keheningan. “Kak Tri, aku mau balik ke kamar,” panggil Gauri pada Trisma, asistennya Gauri. Trisma yang mendengar suara Gauri, beranjak dari dapur menuju ruang makan utama. Eyang Chandra juga menyudahi makan malamnya dan menyeka bibirnya dengan serbet. Lalu berkata pada Gauri, “Sebentar sayang, ada yang mau Eyang bicarakan dengan ka

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 6

    Mbok Asih sangat telaten membebat tangan Senja dengan perban setelah menaruh obat antiseptik dan obat merah.“Nona yakin nggak perlu dijahit lukanya?” tanya Mbok Minah dengan nada yang penuh kecemasan.“Iya, Mbak,” Trisma menambahi. “Ke dokter aja, yuk! Nanti lukanya infeksi gimana?”“Jangan keras kepala, Non.” Pak Kasim berkata tegas. “Mud, keluarkan mobilnya,” suruh Pak Kasim pada Pak Mahmud.“Aku ‘kan nggak bisa bawa mobil, Sim. Bisanya bawa mobil-mobilan,” jawab Pak Mahmud.“Siapa suruh bawa? Aku bilang keluarkan, Mud,” sahut Pak Kasim.Trisma memukul pelan lengan Pak Kasim sedangkan Mbok Minah mencubit pinggang Pak Mahmud.“Bisa-bisanya dalam keadaan kayak gini kalian bercanda,” ucap Mbok Minah.“Iya, nih!” Trisma membenarkan ucapan Mbok Minah. “Nggak lucu, Pak Kamud.”Kamud adalah sing

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 7

    Dipta menggenggam kuat tangan kanan Senja yang terluka. Ia tidak menyadari bahwa tangan mungil itu dibebat dengan perban. Senja merasakan tangannya berdenyut nyeri. Tubuhnya yang mungil begitu ringan dibawa paksa oleh Dipta menuruni tangga.Tangan kirinya mencoba meraih lengan Dipta yang menggenggam tangan kanannya. “Tuan!” panggil Senja. “Lepaskan saya, Tuan.”Dipta mendengar panggilan itu, tetapi tidak ia hiraukan. Ia terus berjalan cepat membawa paksa Senja melintasi ruang utama keluarga, keluar melewati pintu belakang, berbelok kearah kolam renang. Tidak ada satupun para pekerja rumah yang melihat mereka. Bahkan dua orang yang bertugas memonitor CCTV rumah, sedang tidur dengan pulas diruang kerjanya.Sesampainya di depan kolam berenang, Dipta membanting keras tubuh Senja hampir mengenai dinding marmer. Senja tersentak kaget dan merintih kesakitan karena tangannya berdenyut nyeri.Dipta bersedekap sambil memandang wajah sendu Bi

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 8

    Gauri menceritakan semua hal yang terjadi tadi malam, apa yang telah Eyang Chandra rencanakan, alasan Senja berada dimeja makan, tujuan Gauri ingin melukai tangan serta apa yang telah Senja lakukan. Dipta mendengar semua cerita itu dalam diam. Tidak menyanggah ataupun bertanya apa-apa. Ia hanya diam mendengarkan dan mengamati adiknya bercerita.Setelah bercerita, Gauri melihat kakaknya mengepalkan tangan dan menahan segala emosi yang berkecamuk dikepala. Ia sangat mengetahui kakaknya, orang yang selalu dapat diandalkan dalam segala hal. Orang yang sangat menyayanginya, melakukan apapun untuknya, memprioritaskan adiknya tanpa diminta. Dipta mungkin bukan laki-laki yang baik, tetapi ia adalah kakak yang terbaik bagi Gauri.“Kak, Yelo hanya ingin sekolah dirumah,” ujar Gauri.Dipta menganggukkan kepalanya. “Pasti,” jawab Dipta dengan yakin, “Kamu hanya akan sekolah dirumah.”‘Akan kubuat mereka berdua menanggung akib

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 9

    Senja berjalan menuju kamar Gauri untuk mengatakan sesuatu yang tidak sempat terucapkan saat pagi tadi karena Dipta menariknya menjauh dari kamar Gauri. Saat ini sudah pukul delapan malam, semoga waktu yang tepat, pikir Senja. Ia tidak ingin menunda membahas permasalahan yang terjadi. Ia ikut berandil didalamnya. Senja mengetuk pintu kamar dan pintu kamar terbuka menampakkan wajah Trisma. “Mbak Senja? Mbak mau—” Senja menganggukkan kepalanya. Sepertinya Senja dan Trisma memiliki ikatan telepati karena tanpa Trisma menyelesaikan kalimatnya, Senja sudah tahu apa maksudnya. “Sudah kamu sampaikan pada Gauri?” tanya Senja. Trisma langsung menganggukkan kepalanya, tersenyum lebar dan mengangkat jari jempol kanannya kearah Senja. “Non, Mbak Senjanya udah datang,” Trisma memberitahu kedatangan Senja pada Gauri. “Semoga berhasil, Mbak,” ucap Trisma sambil berlalu keluar kamar. Senja berjalan masuk kedalam kamar Gauri dan menemuk

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 10

    “Kita mau kemana, Kak?” tanya Senja penasaran.“Ruang kerja Eyang Chandra,” jawab Bima sambil menuntun langkah Senja.Bima Ventura adalah ketua pengawal Dipta R. Maheswara. Bima memiliki lima rekan yang bekerja atas perintahnya dan Eyang Chandra.“Eyang Chandra sudah pulang?”Bima mengernyitkan keningnya mendengar pertanyaan dari Senja. “Belum. Kamu tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan dari Indonesia ke Italia?”Senja menggelengkan kepalanya.“17 Jam,” jawab Bima. “Apakah masuk akal kalau Eyang Chandra sudah pulang sekarang?”Senja kembali menggelengkan kepalanya. Ia merasa sangat bodoh karena pertanyaan tadi. Padahal ia hanya ingin basa-basi.“Jadi kenapa kita keruangan kerja Eyang Chandra?”“Nanti kamu akan tahu.”Selanjutnya tidak ada percakapan sama sekali. Mereka berdua berjalan dalam diam. Senja tahu Bima

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 11

    “Kenapa Eyang nggak mau?” tanya Senja heran.“Eyang balik pertanyaannya ke kamu, kenapa kamu tidak mau membantu Eyang?” tanya Eyang Chandra. “Kenapa kamu menyerah sebelum berjuang? Bukankah kamu sudah berjanji untuk membantu Eyang?”Senja terdiam dan bergumam dalam hati, ‘Menyerah sebelum berjuang? Apakah aku sudah kalah sebelum melangkah?’“Nak Senja,” panggil Pak Handi. “Kenapa kamu tiba-tiba ingin membatalkan kontrak kerja?” tanyanya.“Kemarin sore, hari pertama Senja kerja, dan juga hari ini, Senja berpikir bukannya Senja membantu Eyang, Tuan Dipta dan Nona Gauri, tapi Senja malah membuat semuanya semakin kacau,” jawab Senja. “Dan satu lagi, mengenai Tuan Dipta, Senja takut dia semakin membangkang dan melakukan hal-hal yang sangat mengerikan.”Senja teringat saat Dipta memukuli dan menendang kelima pengawalnya. Lalu ia melirik Bima kembali untuk meli

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 12

    Setelah mengetahui misinya yang mustahil untuk berhasil, Senja mengambil langkah tak tahu arah. Ia berjalan tanpa memikirkan tujuan. Apakah ia sudah membuat kesalahan dengan ikut campur dalam permasalahan yang tak ada penyelesaian? Bagaimana caranya ia bertahan? Saat dirinya tersadar dalam lamunan, ternyata kakinya membawanya kearah kolam renang. Ia jadi teringat peristiwa tadi pagi, saat Dipta mencekik lehernya. Ia juga teringat masa lalunya yang juga selalu mendapat penyiksaan serupa. Ia tidak mau mengalami itu untuk kedua kalinya. Bukankah ia juga berhak untuk bahagia? Senja duduk disalah satu kursi santai dan memandang air kolam renang yang berwarna biru langit dengan pantulan cahaya bulan yang indah. Kolam renang outdoor ini begitu luas dan dalam. Lebar kolamnya 10 meter sedangkan panjangnya 20 meter dengan kedalaman airnya lebih kurang tiga meter. Deringan ponsel membuyarkan lamunan Senja. Ia merogoh saku celananya untuk mengambil handphonenya. Nama Yun

Bab terbaru

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 26

    “Kamu masih sakit, Ta!” sergah Yohan.“Besok udah nggak, Han!” balas Dipta. “Kamu tahu penyebab sakitku karena siapa?”“Jangan menyalahkan orang lain, kamu terlihat sangat menyedihkan,” tandas Yohan.Rahang Dipta mengeras mendengar kalimat yang keluar dari mulut Yohan.Gerka langsung mengendalikan situasi. “Yohan nggak bermak—”“Bukan begini caranya membalas, Ta,” sela Yohan.“Han, diam dulu!” tegas Gerka. “Ta, sebaik—”“Sebaiknya kalian berdua pulang!” usir Dipta.“Jangan bawa Senja ke arena balap!” seru Yohan memperingati.“Aku akan membawanya!” tandas Dipta.Yohan menghela napas putus asa. “Baiklah, terserahmu saja!” lalu beranjak pergi keluar dari kamar Dipta tanpa berpamitan.Gerka bingung ingin memihak siapa. “Ta, aku rasa—”

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 25

    Tanpa mengetuk pintu kamar Dipta, Gerka langsung masuk di ikuti oleh Yohan di belakangnya.“Hei, adik cantik!” sapa Gerka pada Gauri saat menyuapkan nasi ke dalam mulut Dipta.Gauri menoleh dan mendapati Gerka juga Yohan berdiri dengan gaya yang sangat berbeda.“Kak Yohan!” ucap Gauri disertai senyuman.Gerka langsung menampilkan muka masam. “Kakak nggak disapa?”“Apa kabar, Gauri,” ujar Yohan.“Baik, Kak!” sahut Gauri. “Kakak kabarnya gimana?”Gerka mengabaikan Yohan dan Gauri lalu menuju kasur Dipta. “Kamu sakit, Ta?”Gerka dapat melihat wajah pucat Dipta dan matanya yang sayu. Dipta mengangkat sebelah tangannya yang di infus. “Pertanyaan yang sangat berguna. Kamu punya mata kan?” sarkastis Dipta.Gerka berdecak lalu bergumam, “Basa-basi busuk, Bro!”“Gimana keadaanmu, Ta?” tanya Yohan yang sud

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 24

    Yohan menyebutkan pesanannya pada Reno si pramusaji. “Sirloin Wagyu Beefnya satu, sama minumannya mojito juga.”Reno mencatat semua menu dan mengulangi pesanan pada Yohan dan Isma setelah mengatakan mohon menunggu pada kedua insan tersebut, Reno beranjak pergi.Yohan membuka MacBook Pro 24 Karatnya untuk melihat peninjauan ulang pembangunan Hotel Shunshine di Pulau Nusa Lembongan, Bali. Ia harus segera cepat merealisasikan pembangunan tersebut sebelum perusahaan asing merebutnya.“Kenapa buka laptop?” tanya Isma heran.“Ada kerjaan yang nggak bisa di tunda.” Lalu Yohan melirik Isma. “Kamu keberatan?”“Kalau saya bilang keberatan, kamu akan menutup laptopnya?”Yohan menganggukkan kepalanya dan menjawab, “Iya.”“Memang benar ya, rumor yang beredar bahwa kamu itu gila kerja,” ucap Isma.Yohan mengedikkan bahunya kemudian menutup laptopnya. Ia tahu

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 23

    Gauri baru saja menyelesaikan pelajarannya ketika melihat dr. Zendra dan dua perawat turun dari lantai dua. Gauri yang masih berada jauh dari anak tangga menyuruh Trisma mendorong kursi rodanya dengan cepat agar sampai di hadapan dr. Zendra. “Dokter!” panggil Gauri. Dokter Zendra menghentikan langkahnya saat mendengar panggilan itu. Ia menoleh dan mendapati Gauri sedang mengarah padanya. “Gauri, apa kabar?” sapa dr. Zendra saat Gauri sudah berada di hadapannya. “Pak Dokter sedang apa disini?” tanya Gauri heran. Dokter Zendra mengulas senyum tipis. “Bapak baru saja memeriksa kakakmu, kamu nggak tahu dia sedang sakit?” Gauri menggelengkan kepalanya. “Kak Dipta sakit apa?” “Demam tinggi, kadar alkohol dalam tubuhnya sangat tinggi, kondisi fisiknya sangat lemah, makanya kamu bilang sama kakakmu kurangin minum alkoholnya dan kalau bisa jangan minum-minum lagi, ya!” “Siap, Pak Dokter!” seru Gauri dengan sikap ala hormat bende

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 22

    “Kamu lagi?” tanya Dipta. “Sehari saja wajahmu itu tidak muncul di hadapanku, bisa?” Mata Senja mengerjap heran. “Bukankah wajah Tuan Dipta yang muncul di hadapan saya?” balas Senja. Dipta terkekeh pelan. “Keberanianmu memang patut di acungi jempol.” Senja tersenyum tipis. “Nona Gauri juga mengatakan hal yang sama.” Dipta menaikkan alisnya. “Tapi apa kamu tahu, keberanianmu juga bisa menjadi bumerang untukmu?” “Kenapa menjadi bumerang?” tanya Senja. Dipta berjalan pelan mendekati Senja. “Kamu harus tahu tempat menggunakan keberanianmu itu.” “Keberanian itu tidak perlu tempat, tapi perlu usaha. Bukankah manusia memang memerlukan usaha untuk menciptakan keberanian dalam dirinya?” “Menarik!” sahut Dipta yang sudah berada tiga langkah di depan Senja. “Usaha apa yang di perlukan?” “Bangun rasa percaya diri, lawan rasa takut dan mencoba tegar.” Dipta bertepuk tangan tiga kali mendengar jawaban Senja. “Tiga usa

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 21

    “Kamu yang menyuruhnya?” tanya Dipta dengan raut tidak senang.“Iya, kenapa? Kamu nggak senang?” balas Bima dengan tatapan tajam.“Brengsek!” maki Dipta. “Kenapa kamu menyuruhnya?”“Kenapa kamu merusak motornya?” tanya Bima dengan intonasi yang tinggi.Dipta menggeram marah dan mencoba bangkit dari kasurnya. Tubuhnya sempoyongan karena pusing yang mendera begitu hebat. Dunia seakan berputar di depan matanya.Melihat itu, Bima meraih sebelah lengan Dipta agar tubuhnya tidak terjatuh. Mendapat keseimbangannya kembali, Dipta segera mencengkram kerah kemeja Bima.“Apa hubunganmu dengan perempuan itu?”“Tidak ada.”“Jangan bohong! Kamu pasti tahu apa yang direncanakan Kakek Tua itu!” hardik Dipta.Bima terdiam dan tidak menjawab. Wajahnya menoleh ke samping, menghindari tatapan Dipta yang mengintimidasi.Dipta mengulas senyu

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 20

    Senja terbangun pada pukul dua dini hari karena suara deringan ponselnya. Kak Bima adalah nama yang tertera pada layar ponsel Senja.‘Ada apa Kak Bima telepon jam segini?’ pikirnya.“Ha..lo, Kak?” sapa Senja dengan menguap lebar.“Senja, tolong keatas sekarang!” suruh Bima.Masih setengah sadar, Senja mengerutkan keningnya. “Ke atas mana, Kak?” tanyanya bingung.“Kamar Tuan Dipta!”Mendengar nama Dipta, membuat kedua mata Senja terbuka lebar dan rasa kantuknya hilang seketika.Senja duduk di kasurnya dan menoleh melihat kasur sebelah yang ditempati oleh Trisma.‘Syukurlah Trisma tidak bangun,’ batinnya.“Kenapa dengan Tuan Dipta?”“Cepatlah kesini dan bawa air hangat, handuk bersih juga kotak P3K.”“Tuan Dipta sakit?”Bima menggumam mengiyakan.Perlahan Senja beranjak pelan keluar kamar

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 19

    “Gila, Bro! Kamu habis syuting film?” tanya Gerka saat melihat Dipta yang basah kuyup dan tangan kanan yang dibalut perban. “Udah kayak film india aja, Boss!”Dipta memasang tampang sangar pada Gerka yang membuat Gerka tersenyum kecut.“Ceritakanlah kronologis kenapa seorang Dipta Maheswara hujan-hujanan dan tangan terluka,” ucap Gerka. “Kenapa kondisimu mengenaskan begini, Ta?”“Yohan dimana? Nggak ikut balapan lagi?” tanya Dipta mengalihkan pembicaraan.Dipta tidak ingin membicarakan kejadian tadi pagi pada kedua temannya.“Tuh!” tunjuk Gerka dengan mengarahkan bola mata dari balik punggung Dipta.Dipta berbalik dan melihat Yohan mengendarai motor Aston Martinnya dengan menggunakan helm full face. Beberapa wanita disekitarnya terang-terangan berteriak pada Yohan, si CEO muda, kaya, gila kerja, tampan dan sopan.Yohan Bramasta, anak konglomerat dari keluarga Bram

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 18

    “Kak Bima kemana aja sih seharian ini?” omel Trisma pada Bima yang baru saja melangkahkan kaki ke dalam ruangan istirahat pegawai.“Ada urusan sebentar diluar,” jawab Bima sambil celingukan mencari Senja.“Sebentar?” Trisma berkacak pinggang. “Dari jam lima pagi sampai jam lima sore itu waktu yang sebentar?”“Ada yang harus saya kerjakan atas suruhan Eyang Chandra, dan ternyata ada kendala yang memakan waktu sedikit lebih lama,” jelas Bima.“Tapi nggak biasanya Kak Bima pergi pagi-pagi sekali dan pulang sore hari!” ujar Trisma. “Kak Bima bohong ya?”“Sejak kapan Bima bohong, Ris?” tanya Mbok Minah yang mendapat anggukan dari Pak Mahmud.“Bima itu nggak pernah bohong,” kata Pak Mahmud. “Yang sering bohong itu si Kasim.”“Kok aku dibawa-bawa?” tanya Pak Kasim pada Pak Mahmud.“Siapa yang bawa k

DMCA.com Protection Status