Share

BAB 6

Penulis: Mentariz
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Mbok Asih sangat telaten membebat tangan Senja dengan perban setelah menaruh obat antiseptik dan obat merah. 

“Nona yakin nggak perlu dijahit lukanya?” tanya Mbok Minah dengan nada yang penuh kecemasan.

“Iya, Mbak,” Trisma menambahi. “Ke dokter aja, yuk! Nanti lukanya infeksi gimana?”

“Jangan keras kepala, Non.” Pak Kasim berkata tegas. “Mud, keluarkan mobilnya,” suruh Pak Kasim pada Pak Mahmud.

“Aku ‘kan nggak bisa bawa mobil, Sim. Bisanya bawa mobil-mobilan,” jawab Pak Mahmud.

“Siapa suruh bawa? Aku bilang keluarkan, Mud,” sahut Pak Kasim.

Trisma memukul pelan lengan Pak Kasim sedangkan Mbok Minah mencubit pinggang Pak Mahmud.

“Bisa-bisanya dalam keadaan kayak gini kalian bercanda,” ucap Mbok Minah.

“Iya, nih!” Trisma membenarkan ucapan Mbok Minah. “Nggak lucu, Pak Kamud.”

Kamud adalah singkatan dari Pak Kasim dan Pak Mahmud. Kedua satpam itu sudah lama bekerja dengan Eyang Chandra, mereka berdua sebaya dan suka sekali bercanda, yang satunya lelet dan pelupa, yang satunya lagi paling serius dan ceria sudah seperti Spongebob dan Patrick dunia nyata.

“Sakit, Kak Minah,” Pak Mahmud mengusap-usap pinggangnya yang sedikit nyeri. “Salahin si Kasim, ‘tuh.”

Pak Kasim berpura-pura tidak melihat dan mendengarkan.

Senja tertawa keras melihat percakapan Pak Kasim dan Pak Mahmud. “Lucu, Ris,” kata Senja pada Trisma disela tawanya. “Pak Kasim sama Pak Mahmud itu lucu.”

Mbok Minah, Mbok Asih, Pak Kasim, Pak Mahmud dan Trisma melongo heran melihat Senja tertawa disaat sedang terluka.

“Nona bisa ketawa?” tanya Mbok Minah heran.

“Lukanya nggak sakit, Non?” tanya Pak Mahmud.

Mbok Asih memegang kening Senja untuk memeriksa suhu tubuhnya. ‘Nggak demam’ batinnya.

“Saya baik-baik aja,” tutur Senja kepada orang-orang yang mengkhawatirkannya. “Lukanya nggak terlalu dalam, jadi nggak perlu dijahit.”

 “Terima kasih sudah mencemaskan saya,” sambung Senja lagi. “Padahal saya hanya orang asing disini.”

Trisma memeluk tubuh Senja. “Semenjak Mbak Senja menginjakkan kaki dirumah ini, Mbak udah menjadi bagian dari keluarga kita.”

Senja melihat orang-orang yang akan menjadi keluarganya kelak. Orang-orang yang akan menguatkannya kala datang luka dan duka.

Mbok Asih, Mbok Minah, Pak Mahmud dan Pak Kasim tersenyum lembut kearah Senja dan menggangukkan kepalanya dengan serentak.

*~*~*~*~*

Dipta mengerang kecil saat kepalanya merasakan pusing. Kerongkongannya terasa kering sekali lalu ia beranjak menuju kulkas kecil yang berada disamping TV Led besar untuk mengambil air mineral dingin. Berapa banyak minuman beralkohol yang dikonsumsinya tadi malam? Sampai membuatnya tak sadarkan diri.

Ia melihat jam dinding sudah pukul setengah delapan pagi. Saat ia hendak keluar kamar, ponselnya berbunyi nyaring. Ia mencari-cari dimana letak ponselnya berada dan ternyata didalam laci meja kecil disamping tempat tidur. Nama yang tertera dilayar adalah Gerka Joule.

Sebelum Dipta sempat mengucapkan kata ‘halo’ Gerka langsung berbicara.

“Pagi, Brother!” sapa Gerka. “Kondisimu gimana? Aman?”

“Nggak usah basa-basi,” jawab Dipta. “Ada apa?”

“Nggak biasanya kamu teler, Ta. Aku sama Yohan khawatir. Jangan-jangan kamu…”

Dipta menghela napas dan memijit pangkal hidungnya yang mancung. “Kututup dalam hitungan ketiga. Satu…” ancam Dipta.

“Sabar, Bro! Masih pagi. Santai aja kali—Aku.”

“Dua…”

“Ta, aku mau per—”

“Tiga.”

Dipta menutup handphonenya dan melemparkannya keatas tempat tidur, lalu ia beranjak keluar kamar menuju ruang makan keluarga dengan kondisinya yang masih memakai pakaian semalam sore dengan rambut acak-acakan. Ia tidak penasaran bagaimana dirinya sampai dirumah dan handphonenya tergeletak di laci meja kecil. Ia sudah bisa menebak bahwa Kak Bima, sang ketua pengawal menemukan lokasinya tadi malam dan membawanya pulang.

Saat sudah sampai didepan ruang makan keluarga, Dipta mendengar samar-samar suara orang-orang yang sedang berada didapur. Ruang makan keluarga dengan ruang dapur pantri itu berhadapan. Ia melirik pintu dapur yang terbuka sedikit, lalu mendengarkan suara diam-diam dengan intens.

“Iya, benar! Beliau…pergi….tiga…tadi…”

“…hari minggu…kenapa…”

“Beliau juga titip…Sen...”

“Padahal…hari pertama kerja….”

“Gimana lukanya?”

Dipta kurang mengerti arah pembicaraan orang-orang didapur. Suara yang ditangkap telinganya hanya 20 persen saja. Dinding dapur yang kedap suara atau telinganya yang harus diperiksakan ke klinik THT.

Dipta menyudahi acara mengupingnya. Mungkin dirinya masih mabuk, pikirnya. Tidak biasanya ia menguping pembicaraan orang lain. Lalu ia pergi berjalan menuju ruang makan yang mejanya sudah tersuguhi berbagai makanan.

“Mbok Minah!” panggil Dipta saat sudah duduk dikursi.

Mbok Minah yang berada didapur mendengar suara Dipta dan langsung tergopoh menuju ruang makan keluarga.

“Iya, Tuan,” jawab Mbok Minah dengan sigap.

“Yelo kemana?” tanya Dipta sambil memotong pancake maple syrupnya.

Yelo adalah panggilan sayang Dipta untuk Gauri. Diambil dari kata ‘Yellow’ yang artinya adalah kuning. Gauri Lestari sangat menyukai warna kuning.

“Nona Gauri minta sarapan diantar kekamarnya, Tuan,” jawab Mbok Minah.

“Kenapa?”

“Ng…Anu…” Mbok Minah berpikir sebentar mencari alasan yang bagus. “Sedikit pusing katanya.”

“Yelo sakit?”

Dengan cepat Mbok Minah membantah, “Nggak Tuan, Nona Gauri baik-baik aja.”

Mendengar jawaban itu, Dipta membanting garpu dan pisaunya keatas meja yang membuat Mbok Minah memekik kaget.

“Yelo kenapa, Mbok?” tanya Dipta dengan rahang mengeras menatap Mbok Minah. Ia yakin ada yang disembunyikan mengenai Gauri.

Mbok Minah takut menjawab, dahinya sudah mengeluarkan butir keringat.

“Jawab!” bentak Dipta yang sedang marah.

“Maaf, Tuan. Nona Gauri nggak nafsu makan.”

“Apa alasannya?” geram Dipta. Kepalanya kembali pusing.

“Eyang…Chandra.”

‘Sudah kuduga,’ batin Dipta.

“Apa yang sudah dia lakukan?”

“Ng…Anu…Mbok nggak tahu ceritanya, Tuan.”

“Dimana Kakek Tua itu?”

“Kata Mahmud, sudah pergi ke Italia dari jam tiga pagi tadi, Tuan.”

“Shit!” umpat Dipta lalu beranjak dengan cepat menuju kamar Gauri dilantai dua.

Sesampainya didepan pintu kamar Gauri, saat Dipta hendak mengetuk pintu kamar sang adik, sebuah suara muncul dari balik punggung Dipta.

“Tuan Dipta,” panggil Senja.

Dipta berbalik dan mendapati Bidari Senja berdiri disana.

“Kamu!? Sedang apa kamu disini?”

“Saya juga mau masuk kedalam kamar Nona Gauri,” jawab Senja dengan polosnya.

Tanpa aba-aba, secara tiba-tiba, Dipta menarik paksa Senja, menjauh dari kamar adiknya tercinta.

*~*~*~*~*

Bab terkait

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 7

    Dipta menggenggam kuat tangan kanan Senja yang terluka. Ia tidak menyadari bahwa tangan mungil itu dibebat dengan perban. Senja merasakan tangannya berdenyut nyeri. Tubuhnya yang mungil begitu ringan dibawa paksa oleh Dipta menuruni tangga.Tangan kirinya mencoba meraih lengan Dipta yang menggenggam tangan kanannya. “Tuan!” panggil Senja. “Lepaskan saya, Tuan.”Dipta mendengar panggilan itu, tetapi tidak ia hiraukan. Ia terus berjalan cepat membawa paksa Senja melintasi ruang utama keluarga, keluar melewati pintu belakang, berbelok kearah kolam renang. Tidak ada satupun para pekerja rumah yang melihat mereka. Bahkan dua orang yang bertugas memonitor CCTV rumah, sedang tidur dengan pulas diruang kerjanya.Sesampainya di depan kolam berenang, Dipta membanting keras tubuh Senja hampir mengenai dinding marmer. Senja tersentak kaget dan merintih kesakitan karena tangannya berdenyut nyeri.Dipta bersedekap sambil memandang wajah sendu Bi

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 8

    Gauri menceritakan semua hal yang terjadi tadi malam, apa yang telah Eyang Chandra rencanakan, alasan Senja berada dimeja makan, tujuan Gauri ingin melukai tangan serta apa yang telah Senja lakukan. Dipta mendengar semua cerita itu dalam diam. Tidak menyanggah ataupun bertanya apa-apa. Ia hanya diam mendengarkan dan mengamati adiknya bercerita.Setelah bercerita, Gauri melihat kakaknya mengepalkan tangan dan menahan segala emosi yang berkecamuk dikepala. Ia sangat mengetahui kakaknya, orang yang selalu dapat diandalkan dalam segala hal. Orang yang sangat menyayanginya, melakukan apapun untuknya, memprioritaskan adiknya tanpa diminta. Dipta mungkin bukan laki-laki yang baik, tetapi ia adalah kakak yang terbaik bagi Gauri.“Kak, Yelo hanya ingin sekolah dirumah,” ujar Gauri.Dipta menganggukkan kepalanya. “Pasti,” jawab Dipta dengan yakin, “Kamu hanya akan sekolah dirumah.”‘Akan kubuat mereka berdua menanggung akib

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 9

    Senja berjalan menuju kamar Gauri untuk mengatakan sesuatu yang tidak sempat terucapkan saat pagi tadi karena Dipta menariknya menjauh dari kamar Gauri. Saat ini sudah pukul delapan malam, semoga waktu yang tepat, pikir Senja. Ia tidak ingin menunda membahas permasalahan yang terjadi. Ia ikut berandil didalamnya. Senja mengetuk pintu kamar dan pintu kamar terbuka menampakkan wajah Trisma. “Mbak Senja? Mbak mau—” Senja menganggukkan kepalanya. Sepertinya Senja dan Trisma memiliki ikatan telepati karena tanpa Trisma menyelesaikan kalimatnya, Senja sudah tahu apa maksudnya. “Sudah kamu sampaikan pada Gauri?” tanya Senja. Trisma langsung menganggukkan kepalanya, tersenyum lebar dan mengangkat jari jempol kanannya kearah Senja. “Non, Mbak Senjanya udah datang,” Trisma memberitahu kedatangan Senja pada Gauri. “Semoga berhasil, Mbak,” ucap Trisma sambil berlalu keluar kamar. Senja berjalan masuk kedalam kamar Gauri dan menemuk

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 10

    “Kita mau kemana, Kak?” tanya Senja penasaran.“Ruang kerja Eyang Chandra,” jawab Bima sambil menuntun langkah Senja.Bima Ventura adalah ketua pengawal Dipta R. Maheswara. Bima memiliki lima rekan yang bekerja atas perintahnya dan Eyang Chandra.“Eyang Chandra sudah pulang?”Bima mengernyitkan keningnya mendengar pertanyaan dari Senja. “Belum. Kamu tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan dari Indonesia ke Italia?”Senja menggelengkan kepalanya.“17 Jam,” jawab Bima. “Apakah masuk akal kalau Eyang Chandra sudah pulang sekarang?”Senja kembali menggelengkan kepalanya. Ia merasa sangat bodoh karena pertanyaan tadi. Padahal ia hanya ingin basa-basi.“Jadi kenapa kita keruangan kerja Eyang Chandra?”“Nanti kamu akan tahu.”Selanjutnya tidak ada percakapan sama sekali. Mereka berdua berjalan dalam diam. Senja tahu Bima

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 11

    “Kenapa Eyang nggak mau?” tanya Senja heran.“Eyang balik pertanyaannya ke kamu, kenapa kamu tidak mau membantu Eyang?” tanya Eyang Chandra. “Kenapa kamu menyerah sebelum berjuang? Bukankah kamu sudah berjanji untuk membantu Eyang?”Senja terdiam dan bergumam dalam hati, ‘Menyerah sebelum berjuang? Apakah aku sudah kalah sebelum melangkah?’“Nak Senja,” panggil Pak Handi. “Kenapa kamu tiba-tiba ingin membatalkan kontrak kerja?” tanyanya.“Kemarin sore, hari pertama Senja kerja, dan juga hari ini, Senja berpikir bukannya Senja membantu Eyang, Tuan Dipta dan Nona Gauri, tapi Senja malah membuat semuanya semakin kacau,” jawab Senja. “Dan satu lagi, mengenai Tuan Dipta, Senja takut dia semakin membangkang dan melakukan hal-hal yang sangat mengerikan.”Senja teringat saat Dipta memukuli dan menendang kelima pengawalnya. Lalu ia melirik Bima kembali untuk meli

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 12

    Setelah mengetahui misinya yang mustahil untuk berhasil, Senja mengambil langkah tak tahu arah. Ia berjalan tanpa memikirkan tujuan. Apakah ia sudah membuat kesalahan dengan ikut campur dalam permasalahan yang tak ada penyelesaian? Bagaimana caranya ia bertahan? Saat dirinya tersadar dalam lamunan, ternyata kakinya membawanya kearah kolam renang. Ia jadi teringat peristiwa tadi pagi, saat Dipta mencekik lehernya. Ia juga teringat masa lalunya yang juga selalu mendapat penyiksaan serupa. Ia tidak mau mengalami itu untuk kedua kalinya. Bukankah ia juga berhak untuk bahagia? Senja duduk disalah satu kursi santai dan memandang air kolam renang yang berwarna biru langit dengan pantulan cahaya bulan yang indah. Kolam renang outdoor ini begitu luas dan dalam. Lebar kolamnya 10 meter sedangkan panjangnya 20 meter dengan kedalaman airnya lebih kurang tiga meter. Deringan ponsel membuyarkan lamunan Senja. Ia merogoh saku celananya untuk mengambil handphonenya. Nama Yun

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 13

    Senin pagi yang muram, pikir Senja saat menengadahkan kepala untuk melihat langit dipagi hari. Seperti suasana hatinya saat ini. Suram, buram dan kelam. Dua hari yang lalu adalah hari yang panjang baginya dan hari berikutnya tidak tahu akan bagaimana juga tidak tahu harus melakukan apa. Sama sekali tidak ada rencana. Sepertinya kepintaran yang dimilikinya tidak ada artinya. “Non, kepalanya nggak pegal?” tanya seseorang pada Senja yang sejak tadi memerhatikannya dari jauh. Senja tersentak kaget. Ia juga tidak tahu siapa orang yang sedang menyapanya ini. “Maaf, Pak. Bapak ini—” “Oh, Bapak tukang kebun dirumah ini, Non.” Senja tersenyum sopan, “Saya Senja, Pak. Orang baru suruhan Eyang Chandra,” ucap Senja memperkenalkan diri. “Oh, si orang baru, toh. Bapak juga udah dibilangin pas hari jum’at kemarin. Tapi kita belum ada jumpa ya, Non, karena Bapak ndak tinggal dirumah ini. Bapak itu kerja dari hari senin sampai hari jum’at aja,” jelasny

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 14

    “Akh!” seru Trisma sambil menutup mulutnya dengan tangan. Sangat terkejut dengan pemandangan di depannya. Ia melihat sepeda motor Honda Scoopy milik Senja tergeletak dan diikat pada mobil Aston Martin One-77 yang sudah dimodifikasi milik Dipta. Senja menekan segala emosinya, ia melihat Dipta sedang duduk bersila dikursi dengan menikmati sebatang rokok di bibir. “Akhirnya datang juga,” ucap Dipta sambil mematikan puntung rokoknya. “Apa yang sedang Tuan lakukan?” tanya Senja dengan sabar. “Memberimu penawaran,” jawab Dipta lalu mengambil sebuah tongkat bisbol yang sejak tadi berada disamping kursi yang didudukinya. “Kalau kalian mau jadi penonton, tolong sedikit menjauh,” kata Dipta pada orang-orang yang berada disekitarnya. Orang-orang itu terdiri dari, Senja, Trisma, Mbok Minah, Pak Mahmud, dan Pak Kasim. “Kalian bisa terluka,” sambungnya dengan seringai khasnya yang mengerikan. Trisma dan Mbok Minah langsung meng

Bab terbaru

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 26

    “Kamu masih sakit, Ta!” sergah Yohan.“Besok udah nggak, Han!” balas Dipta. “Kamu tahu penyebab sakitku karena siapa?”“Jangan menyalahkan orang lain, kamu terlihat sangat menyedihkan,” tandas Yohan.Rahang Dipta mengeras mendengar kalimat yang keluar dari mulut Yohan.Gerka langsung mengendalikan situasi. “Yohan nggak bermak—”“Bukan begini caranya membalas, Ta,” sela Yohan.“Han, diam dulu!” tegas Gerka. “Ta, sebaik—”“Sebaiknya kalian berdua pulang!” usir Dipta.“Jangan bawa Senja ke arena balap!” seru Yohan memperingati.“Aku akan membawanya!” tandas Dipta.Yohan menghela napas putus asa. “Baiklah, terserahmu saja!” lalu beranjak pergi keluar dari kamar Dipta tanpa berpamitan.Gerka bingung ingin memihak siapa. “Ta, aku rasa—”

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 25

    Tanpa mengetuk pintu kamar Dipta, Gerka langsung masuk di ikuti oleh Yohan di belakangnya.“Hei, adik cantik!” sapa Gerka pada Gauri saat menyuapkan nasi ke dalam mulut Dipta.Gauri menoleh dan mendapati Gerka juga Yohan berdiri dengan gaya yang sangat berbeda.“Kak Yohan!” ucap Gauri disertai senyuman.Gerka langsung menampilkan muka masam. “Kakak nggak disapa?”“Apa kabar, Gauri,” ujar Yohan.“Baik, Kak!” sahut Gauri. “Kakak kabarnya gimana?”Gerka mengabaikan Yohan dan Gauri lalu menuju kasur Dipta. “Kamu sakit, Ta?”Gerka dapat melihat wajah pucat Dipta dan matanya yang sayu. Dipta mengangkat sebelah tangannya yang di infus. “Pertanyaan yang sangat berguna. Kamu punya mata kan?” sarkastis Dipta.Gerka berdecak lalu bergumam, “Basa-basi busuk, Bro!”“Gimana keadaanmu, Ta?” tanya Yohan yang sud

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 24

    Yohan menyebutkan pesanannya pada Reno si pramusaji. “Sirloin Wagyu Beefnya satu, sama minumannya mojito juga.”Reno mencatat semua menu dan mengulangi pesanan pada Yohan dan Isma setelah mengatakan mohon menunggu pada kedua insan tersebut, Reno beranjak pergi.Yohan membuka MacBook Pro 24 Karatnya untuk melihat peninjauan ulang pembangunan Hotel Shunshine di Pulau Nusa Lembongan, Bali. Ia harus segera cepat merealisasikan pembangunan tersebut sebelum perusahaan asing merebutnya.“Kenapa buka laptop?” tanya Isma heran.“Ada kerjaan yang nggak bisa di tunda.” Lalu Yohan melirik Isma. “Kamu keberatan?”“Kalau saya bilang keberatan, kamu akan menutup laptopnya?”Yohan menganggukkan kepalanya dan menjawab, “Iya.”“Memang benar ya, rumor yang beredar bahwa kamu itu gila kerja,” ucap Isma.Yohan mengedikkan bahunya kemudian menutup laptopnya. Ia tahu

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 23

    Gauri baru saja menyelesaikan pelajarannya ketika melihat dr. Zendra dan dua perawat turun dari lantai dua. Gauri yang masih berada jauh dari anak tangga menyuruh Trisma mendorong kursi rodanya dengan cepat agar sampai di hadapan dr. Zendra. “Dokter!” panggil Gauri. Dokter Zendra menghentikan langkahnya saat mendengar panggilan itu. Ia menoleh dan mendapati Gauri sedang mengarah padanya. “Gauri, apa kabar?” sapa dr. Zendra saat Gauri sudah berada di hadapannya. “Pak Dokter sedang apa disini?” tanya Gauri heran. Dokter Zendra mengulas senyum tipis. “Bapak baru saja memeriksa kakakmu, kamu nggak tahu dia sedang sakit?” Gauri menggelengkan kepalanya. “Kak Dipta sakit apa?” “Demam tinggi, kadar alkohol dalam tubuhnya sangat tinggi, kondisi fisiknya sangat lemah, makanya kamu bilang sama kakakmu kurangin minum alkoholnya dan kalau bisa jangan minum-minum lagi, ya!” “Siap, Pak Dokter!” seru Gauri dengan sikap ala hormat bende

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 22

    “Kamu lagi?” tanya Dipta. “Sehari saja wajahmu itu tidak muncul di hadapanku, bisa?” Mata Senja mengerjap heran. “Bukankah wajah Tuan Dipta yang muncul di hadapan saya?” balas Senja. Dipta terkekeh pelan. “Keberanianmu memang patut di acungi jempol.” Senja tersenyum tipis. “Nona Gauri juga mengatakan hal yang sama.” Dipta menaikkan alisnya. “Tapi apa kamu tahu, keberanianmu juga bisa menjadi bumerang untukmu?” “Kenapa menjadi bumerang?” tanya Senja. Dipta berjalan pelan mendekati Senja. “Kamu harus tahu tempat menggunakan keberanianmu itu.” “Keberanian itu tidak perlu tempat, tapi perlu usaha. Bukankah manusia memang memerlukan usaha untuk menciptakan keberanian dalam dirinya?” “Menarik!” sahut Dipta yang sudah berada tiga langkah di depan Senja. “Usaha apa yang di perlukan?” “Bangun rasa percaya diri, lawan rasa takut dan mencoba tegar.” Dipta bertepuk tangan tiga kali mendengar jawaban Senja. “Tiga usa

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 21

    “Kamu yang menyuruhnya?” tanya Dipta dengan raut tidak senang.“Iya, kenapa? Kamu nggak senang?” balas Bima dengan tatapan tajam.“Brengsek!” maki Dipta. “Kenapa kamu menyuruhnya?”“Kenapa kamu merusak motornya?” tanya Bima dengan intonasi yang tinggi.Dipta menggeram marah dan mencoba bangkit dari kasurnya. Tubuhnya sempoyongan karena pusing yang mendera begitu hebat. Dunia seakan berputar di depan matanya.Melihat itu, Bima meraih sebelah lengan Dipta agar tubuhnya tidak terjatuh. Mendapat keseimbangannya kembali, Dipta segera mencengkram kerah kemeja Bima.“Apa hubunganmu dengan perempuan itu?”“Tidak ada.”“Jangan bohong! Kamu pasti tahu apa yang direncanakan Kakek Tua itu!” hardik Dipta.Bima terdiam dan tidak menjawab. Wajahnya menoleh ke samping, menghindari tatapan Dipta yang mengintimidasi.Dipta mengulas senyu

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 20

    Senja terbangun pada pukul dua dini hari karena suara deringan ponselnya. Kak Bima adalah nama yang tertera pada layar ponsel Senja.‘Ada apa Kak Bima telepon jam segini?’ pikirnya.“Ha..lo, Kak?” sapa Senja dengan menguap lebar.“Senja, tolong keatas sekarang!” suruh Bima.Masih setengah sadar, Senja mengerutkan keningnya. “Ke atas mana, Kak?” tanyanya bingung.“Kamar Tuan Dipta!”Mendengar nama Dipta, membuat kedua mata Senja terbuka lebar dan rasa kantuknya hilang seketika.Senja duduk di kasurnya dan menoleh melihat kasur sebelah yang ditempati oleh Trisma.‘Syukurlah Trisma tidak bangun,’ batinnya.“Kenapa dengan Tuan Dipta?”“Cepatlah kesini dan bawa air hangat, handuk bersih juga kotak P3K.”“Tuan Dipta sakit?”Bima menggumam mengiyakan.Perlahan Senja beranjak pelan keluar kamar

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 19

    “Gila, Bro! Kamu habis syuting film?” tanya Gerka saat melihat Dipta yang basah kuyup dan tangan kanan yang dibalut perban. “Udah kayak film india aja, Boss!”Dipta memasang tampang sangar pada Gerka yang membuat Gerka tersenyum kecut.“Ceritakanlah kronologis kenapa seorang Dipta Maheswara hujan-hujanan dan tangan terluka,” ucap Gerka. “Kenapa kondisimu mengenaskan begini, Ta?”“Yohan dimana? Nggak ikut balapan lagi?” tanya Dipta mengalihkan pembicaraan.Dipta tidak ingin membicarakan kejadian tadi pagi pada kedua temannya.“Tuh!” tunjuk Gerka dengan mengarahkan bola mata dari balik punggung Dipta.Dipta berbalik dan melihat Yohan mengendarai motor Aston Martinnya dengan menggunakan helm full face. Beberapa wanita disekitarnya terang-terangan berteriak pada Yohan, si CEO muda, kaya, gila kerja, tampan dan sopan.Yohan Bramasta, anak konglomerat dari keluarga Bram

  • AMERTA (Liku Luka, Duka, dan Cinta)   BAB 18

    “Kak Bima kemana aja sih seharian ini?” omel Trisma pada Bima yang baru saja melangkahkan kaki ke dalam ruangan istirahat pegawai.“Ada urusan sebentar diluar,” jawab Bima sambil celingukan mencari Senja.“Sebentar?” Trisma berkacak pinggang. “Dari jam lima pagi sampai jam lima sore itu waktu yang sebentar?”“Ada yang harus saya kerjakan atas suruhan Eyang Chandra, dan ternyata ada kendala yang memakan waktu sedikit lebih lama,” jelas Bima.“Tapi nggak biasanya Kak Bima pergi pagi-pagi sekali dan pulang sore hari!” ujar Trisma. “Kak Bima bohong ya?”“Sejak kapan Bima bohong, Ris?” tanya Mbok Minah yang mendapat anggukan dari Pak Mahmud.“Bima itu nggak pernah bohong,” kata Pak Mahmud. “Yang sering bohong itu si Kasim.”“Kok aku dibawa-bawa?” tanya Pak Kasim pada Pak Mahmud.“Siapa yang bawa k

DMCA.com Protection Status