“Kita mau kemana, Kak?” tanya Senja penasaran.
“Ruang kerja Eyang Chandra,” jawab Bima sambil menuntun langkah Senja.
Bima Ventura adalah ketua pengawal Dipta R. Maheswara. Bima memiliki lima rekan yang bekerja atas perintahnya dan Eyang Chandra.
“Eyang Chandra sudah pulang?”
Bima mengernyitkan keningnya mendengar pertanyaan dari Senja. “Belum. Kamu tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan dari Indonesia ke Italia?”
Senja menggelengkan kepalanya.
“17 Jam,” jawab Bima. “Apakah masuk akal kalau Eyang Chandra sudah pulang sekarang?”
Senja kembali menggelengkan kepalanya. Ia merasa sangat bodoh karena pertanyaan tadi. Padahal ia hanya ingin basa-basi.
“Jadi kenapa kita keruangan kerja Eyang Chandra?”
“Nanti kamu akan tahu.”
Selanjutnya tidak ada percakapan sama sekali. Mereka berdua berjalan dalam diam. Senja tahu Bima Ventura tidak banyak bicara. Jika Senja tahu dimana ruang kerja Eyang Chandra berada, ia akan memilih berjalan sendiri. Masalahnya Senja belum tahu dimana letak ruang kerja Eyang Chandra berada. Rumah ini terlalu besar dan megah untuk dijelajahi dan dihapal semua lokasi ruangannya. Pantas saja banyak orang yang bekerja dirumah Eyang Chandra.
“Kita sudah sampai,” ucap Bima mengarahkan ke pintu ruang kerja Eyang Chandra yang bermotif naga berwarna hitam.
Bima membuka pintu besar itu dan masuk kedalamnya.
“Masuklah,” suruh Bima pada Senja. “Eyang Chandra mau berbicara padamu lewat panggilan video,” jelasnya.
Senja berjalan masuk kedalam dan mengamati ruang kerja yang megah itu. Di tengah ruangan terdapat dua sofa panjang berbahan kulit berwarna cokelat yang saling berhadapan dengan meja kaca ditengahnya dan juga satu sofa tunggal disisinya. Diujung ruangan terdapat meja dan kursi kerja Eyang Chandra. Dekorasi ruangan Eyang Chandra sangat elegan dan menawan.
“Duduk disana,” ucap Bima sambil menunjuk sofa panjang.
Senja menurut dan duduk disofa tersebut. Ia melihat Bima menghidupkan laptop yang berada di meja kerja Eyang Chandra.
“Kenapa panggilan videonya nggak dari handphone aja, Kak?” tanya Senja penasaran kenapa harus diruang kerja Eyang Chandra.
“Kamu butuh privasi dan ini perintah dari Eyang Chandra,” jawab Bima.
Senja mengangguk mengerti.
Bima memencet sebuah remot dan seketika layar putih turun dari balik tirai dinding sebelah kanan tepat diseberang sofa yang Senja duduki.
Layar putih itu menampilkan panggilan video ke wilayah Negara Italia. Setelah lima menit panggilan video itu terjawab. Pada layar putih itu terlihat Pak Handi dan Eyang Chandra sedang duduk di sofa juga, wajah keduaya terlihat sangat kelelahan dan mengkhawatirkan sesuatu.
“Syukurlah kita dapat berbicara sekarang,” ujar Eyang Chandra.
“Kami baru saja sampai di sini dan langsung mendapatkan kabar buruk disana,” kata Pak Handi.
“Kabar buruk?” tanya Senja.
“Dipta telah membuat kekacauan karena menyalahgunakan wewenang dengan mencarter pesawat terbang untuk temannya yang sedang berada di Bali,” jelas Pak Handi langsung pada inti masalah yang terjadi.
“Bagaimana bisa? Memangnya pesawat itu punya Nenek Moyangnya?” ucap Senja dengan nada tinggi, sedikit kesal mendengar kelakuan Dipta yang menyalahgunakan wewenang.
“Bukan punya Nenek Moyangnya tapi punya Eyangnya,” kata Eyang Chandra dengan menunjuk dirinya.
Terdengar suara tawa kecil dari seseorang yang membuat Senja menoleh kearah sumber suara. Ternyata Bima Ventura masih berada disana, di meja kerja Eyang Chandra.
Senja tidak tahu bahwa Perusahaan Maheswara memiliki perusahaan pesawat terbang. Ia hanya tahu perusahaan Eyang Chandra adalah PT Mahardika Group yaitu perusahaan minyak gas dan bumi yang terbesar dan sangat terkenal di Indonesia.
“Maaf Eyang, Senja nggak tahu.”
Eyang Chandra tertawa. “Tidak apa-apa, Senja. Sekalipun pesawat itu punya Nenek Moyangnya atau Eyangnya tidak seharusnya dia melakukan hal itu, bukan?”
Senja mengangguk membenarkan perkataan Eyang Chandra.
“Ini tidak bisa dibiarkan, Nak Senja,” ujar Pak Handi. “Kita harus bertindak secepatnya.”
“Bertindak bagaimana, Pak?” tanya Senja tidak mengerti.
“Mulai besok kamu harus memaksa Dipta untuk bekerja di salah satu perusahaan Maheswara Group,” kata Eyang Chandra.
“Hah? Bagaimana caranya, Eyang? Senja nggak tahu harus melakukan apa,” ucap Senja lalu berpikir sejenak kemudian melanjutkan. “Lagi pula, ada yang mau Senja bicarakan sama Eyang.”
‘Harus dikatakan sekarang, atau tidak sama sekali,’ pikir Senja. ‘Sebelum semuanya terlambat.’
“Katakanlah,” ujar Eyang Chandra.
Senja menarik napasnya sejenak dan mengumpulkan keberaniannya kemudian berkata, “Senja pikir sebaiknya Senja harus keluar dari rumah ini. Kayaknya Senja nggak akan bisa memenuhi keinginan Eyang. Bisakah Eyang membatalkan kontrak kerja kita? Karena di kontrak tertulis Senja nggak bisa membatalkan kontrak itu. Berarti Eyang bisa ‘kan?”
Eyang Chandra mengelus dagunya dan berpikir sesaat sebelum menjawab. “Eyang bisa.”
Senja tersenyum senang.
“Tapi Eyang tidak mau melakukannya.”
Senyum Senja pun pudar.
*~*~*~*~*
“Bidari Senja?” ulang Gerka. “Cewek suruhan Eyangmu?”
Dipta menganggukkan kepalanya.
“Siapa Bidari Senja?” tanya Yohan tidak tahu menahu soal itu.
“Orang suruhan baru si Tua Bangka, Han. Kamu nggak tahu? ” jawab Gerka.
Yohan menggeleng. “Kamu nggak ada cerita, Ta,” ucapnya sambil melihat Dipta.
“Sekarang aku udah cerita,” jawab Dipta.
“Aku paham sekarang kenapa Gerka harus ada di sini,” ujar Yohan dengan serius. “Sahabat baikmu cuma Gerka ‘kan? Orang pertama yang selalu kamu hubungi itu Gerka ‘kan? Aku ini apa? Orang cadangan?”
Gerka dan Dipta saling bersipandang dengan wajah mengernyit bingung.
“Kamu sakit, Han? Kerjaan terlalu banyak menumpuk? Kenapa tiba-tiba bicara begitu?” tanya Dipta.
Gerka menambahi. “Bicara apa kamu, Bro! Bukannya aku yang berbeda dari kalian berdua, ya?”
“Kenapa aku selalu jadi orang kedua bagi Dipta?” Yohan masih mempertanyakan tingkatan kasta pertemanan.
“Fix! Ini anak beneran sakit kayaknya, Ta. Sakit karena kebanyakan kerja.”
“Siapa yang bilang kamu orang kedua?” balas Dipta pada Yohan. “Orang kedua itu Gerka.”
Yohan tersenyum senang. “Berarti aku orang pertama?”
Gerka mendengus kesal. “Kalian berdua lagi bahas apa sebenarnya?”
Dipta menggelengkan kepalanya. “Bukan, kamu orang ketiga.”
“Orang pertama siapa?” tanya Yohan.
Dipta tersenyum lalu menjawab, “Gauri Lestari.”
Gerka menepuk jidatnya. “Oke, saudara-saudara balik lagi ke topik awal kita mengenai Bidari Senja sebelum aku menjadi gila.”
*~*~*~*~*
“Kenapa Eyang nggak mau?” tanya Senja heran.“Eyang balik pertanyaannya ke kamu, kenapa kamu tidak mau membantu Eyang?” tanya Eyang Chandra. “Kenapa kamu menyerah sebelum berjuang? Bukankah kamu sudah berjanji untuk membantu Eyang?”Senja terdiam dan bergumam dalam hati, ‘Menyerah sebelum berjuang? Apakah aku sudah kalah sebelum melangkah?’“Nak Senja,” panggil Pak Handi. “Kenapa kamu tiba-tiba ingin membatalkan kontrak kerja?” tanyanya.“Kemarin sore, hari pertama Senja kerja, dan juga hari ini, Senja berpikir bukannya Senja membantu Eyang, Tuan Dipta dan Nona Gauri, tapi Senja malah membuat semuanya semakin kacau,” jawab Senja. “Dan satu lagi, mengenai Tuan Dipta, Senja takut dia semakin membangkang dan melakukan hal-hal yang sangat mengerikan.”Senja teringat saat Dipta memukuli dan menendang kelima pengawalnya. Lalu ia melirik Bima kembali untuk meli
Setelah mengetahui misinya yang mustahil untuk berhasil, Senja mengambil langkah tak tahu arah. Ia berjalan tanpa memikirkan tujuan. Apakah ia sudah membuat kesalahan dengan ikut campur dalam permasalahan yang tak ada penyelesaian? Bagaimana caranya ia bertahan? Saat dirinya tersadar dalam lamunan, ternyata kakinya membawanya kearah kolam renang. Ia jadi teringat peristiwa tadi pagi, saat Dipta mencekik lehernya. Ia juga teringat masa lalunya yang juga selalu mendapat penyiksaan serupa. Ia tidak mau mengalami itu untuk kedua kalinya. Bukankah ia juga berhak untuk bahagia? Senja duduk disalah satu kursi santai dan memandang air kolam renang yang berwarna biru langit dengan pantulan cahaya bulan yang indah. Kolam renang outdoor ini begitu luas dan dalam. Lebar kolamnya 10 meter sedangkan panjangnya 20 meter dengan kedalaman airnya lebih kurang tiga meter. Deringan ponsel membuyarkan lamunan Senja. Ia merogoh saku celananya untuk mengambil handphonenya. Nama Yun
Senin pagi yang muram, pikir Senja saat menengadahkan kepala untuk melihat langit dipagi hari. Seperti suasana hatinya saat ini. Suram, buram dan kelam. Dua hari yang lalu adalah hari yang panjang baginya dan hari berikutnya tidak tahu akan bagaimana juga tidak tahu harus melakukan apa. Sama sekali tidak ada rencana. Sepertinya kepintaran yang dimilikinya tidak ada artinya. “Non, kepalanya nggak pegal?” tanya seseorang pada Senja yang sejak tadi memerhatikannya dari jauh. Senja tersentak kaget. Ia juga tidak tahu siapa orang yang sedang menyapanya ini. “Maaf, Pak. Bapak ini—” “Oh, Bapak tukang kebun dirumah ini, Non.” Senja tersenyum sopan, “Saya Senja, Pak. Orang baru suruhan Eyang Chandra,” ucap Senja memperkenalkan diri. “Oh, si orang baru, toh. Bapak juga udah dibilangin pas hari jum’at kemarin. Tapi kita belum ada jumpa ya, Non, karena Bapak ndak tinggal dirumah ini. Bapak itu kerja dari hari senin sampai hari jum’at aja,” jelasny
“Akh!” seru Trisma sambil menutup mulutnya dengan tangan. Sangat terkejut dengan pemandangan di depannya. Ia melihat sepeda motor Honda Scoopy milik Senja tergeletak dan diikat pada mobil Aston Martin One-77 yang sudah dimodifikasi milik Dipta. Senja menekan segala emosinya, ia melihat Dipta sedang duduk bersila dikursi dengan menikmati sebatang rokok di bibir. “Akhirnya datang juga,” ucap Dipta sambil mematikan puntung rokoknya. “Apa yang sedang Tuan lakukan?” tanya Senja dengan sabar. “Memberimu penawaran,” jawab Dipta lalu mengambil sebuah tongkat bisbol yang sejak tadi berada disamping kursi yang didudukinya. “Kalau kalian mau jadi penonton, tolong sedikit menjauh,” kata Dipta pada orang-orang yang berada disekitarnya. Orang-orang itu terdiri dari, Senja, Trisma, Mbok Minah, Pak Mahmud, dan Pak Kasim. “Kalian bisa terluka,” sambungnya dengan seringai khasnya yang mengerikan. Trisma dan Mbok Minah langsung meng
“Kenapa karena saya?” tanya Senja heran. “Bukankah Tuan Dipta melakukan itu atas kemauan sendiri?” “Kamu juga melakukan itu atas kemauanmu sendiri,” ujar Dipta sambil melihat tangan kanan Senja yang masih diperban. Senja mengangkat tangan kanannya yang diperban. “Ini bukan karena adik, Tuan,” ucapnya lalu melanjutkan, “ini karena saya sendiri, atas kemauan saya sendiri, sama seperti yang Tuan lakukan sekarang, tangan Tuan terluka karena diri Tuan Dipta sendiri, bukan karena saya.” “Memang atas kemauanku, tapi alasannya adalah karena dirimu ada sekitarku, dirumahku, dan juga—” “Biarkan saya mengobati tangan Tuan Dipta terlebih dahulu,” potong Senja. “Darahnya keluar semakin banyak.” Senja terlihat mencemaskan Dipta. “Trisma, tolong ambilkan kotak P3K!” Trisma langsung sigap mendengar perintah Senja. “Siap, Mbak.” Saat Trisma berbalik ingin kedalam rumah untuk mengambil kotak P3K, langkahnya terhenti karena Gauri. Mbok Asih berad
—UNIVERSITAS BINA SILA— Sebulan yang lalu… “Senja!” teriak Jeki memanggil Senja yang sedang berjalan keluar dari perpustakaan pusat Universitas Bina Sila. “Ja! Woi, Senja!” panggilnya lagi yang membuat beberapa mahasiswa dan mahasiswi melotot dan memasang muka kesal pada Jeki karena mengganggu konsentrasi mereka. “Sori, sori,” ucap Jeki tak enak hati. “Temanku itu memang agak budek,” katanya lagi dengan cengengesan. Lalu ia melangkah cepat untuk menggapai Senja berada. Saat sudah berada diluar perpustakaan, Jeki berlari kencang dan kembali memanggil Senja. “Senjaaa…” Senja tetap tidak menoleh pada Jeki. Ia terlihat sangat serius berjalan dengan menenteng buku-buku Ekonomi Industri. “Woi, Ja!” Jeki berhasil menggapai bahu Senja. Senja tersentak kaget karena tangan seseorang yang memegang bahunya dari belakang tubuhnya. Ia berbalik dan melihat Jeki yang bercucuran keringat. “Jeki,
“Kenapa diam aja, aku bilang pergi dari rumah ini!” seru Gauri dengan melemparkan boneka besar ke tubuh Senja yang membuat Senja tersadar dalam lamunannya. “Aku nggak bisa pergi, Non. Kontrak kerjaku dengan Eyang Chandra sepuluh bulan, dan kontrak itu nggak bisa dibatalkan,” jelas Senja sambil mengembalikan boneka besar ke tempat tidur Gauri. Senja berlutut didepan Gauri yang menggunakan kursi rodanya. “Kenapa kalian berdua membenci Eyang Chandra? Apa yang sudah dilakukan Eyang, Non? Karena bagiku Eyang adalah orang yang sangat baik.” Gauri tertawa mengejek. “Baik? Tahu apa kamu? Apakah karena dia memberikanmu uang, disebut sebagai orang baik? Kamu terlalu naif jadi orang.” “Kalau begitu bilang sama aku, alasan kalian berdua membenci Eyang Chandra,” pinta Senja. “Supaya apa?” tanya Gauri dengan menaikkan kedua alisnya. “Kalau kamu penasaran, tanyakan langsung sama orang yang kamu sebut orang baik itu.” “Eyang Chandra nggak tahu apa-apa
“Kak Bima kemana aja sih seharian ini?” omel Trisma pada Bima yang baru saja melangkahkan kaki ke dalam ruangan istirahat pegawai.“Ada urusan sebentar diluar,” jawab Bima sambil celingukan mencari Senja.“Sebentar?” Trisma berkacak pinggang. “Dari jam lima pagi sampai jam lima sore itu waktu yang sebentar?”“Ada yang harus saya kerjakan atas suruhan Eyang Chandra, dan ternyata ada kendala yang memakan waktu sedikit lebih lama,” jelas Bima.“Tapi nggak biasanya Kak Bima pergi pagi-pagi sekali dan pulang sore hari!” ujar Trisma. “Kak Bima bohong ya?”“Sejak kapan Bima bohong, Ris?” tanya Mbok Minah yang mendapat anggukan dari Pak Mahmud.“Bima itu nggak pernah bohong,” kata Pak Mahmud. “Yang sering bohong itu si Kasim.”“Kok aku dibawa-bawa?” tanya Pak Kasim pada Pak Mahmud.“Siapa yang bawa k
“Kamu masih sakit, Ta!” sergah Yohan.“Besok udah nggak, Han!” balas Dipta. “Kamu tahu penyebab sakitku karena siapa?”“Jangan menyalahkan orang lain, kamu terlihat sangat menyedihkan,” tandas Yohan.Rahang Dipta mengeras mendengar kalimat yang keluar dari mulut Yohan.Gerka langsung mengendalikan situasi. “Yohan nggak bermak—”“Bukan begini caranya membalas, Ta,” sela Yohan.“Han, diam dulu!” tegas Gerka. “Ta, sebaik—”“Sebaiknya kalian berdua pulang!” usir Dipta.“Jangan bawa Senja ke arena balap!” seru Yohan memperingati.“Aku akan membawanya!” tandas Dipta.Yohan menghela napas putus asa. “Baiklah, terserahmu saja!” lalu beranjak pergi keluar dari kamar Dipta tanpa berpamitan.Gerka bingung ingin memihak siapa. “Ta, aku rasa—”
Tanpa mengetuk pintu kamar Dipta, Gerka langsung masuk di ikuti oleh Yohan di belakangnya.“Hei, adik cantik!” sapa Gerka pada Gauri saat menyuapkan nasi ke dalam mulut Dipta.Gauri menoleh dan mendapati Gerka juga Yohan berdiri dengan gaya yang sangat berbeda.“Kak Yohan!” ucap Gauri disertai senyuman.Gerka langsung menampilkan muka masam. “Kakak nggak disapa?”“Apa kabar, Gauri,” ujar Yohan.“Baik, Kak!” sahut Gauri. “Kakak kabarnya gimana?”Gerka mengabaikan Yohan dan Gauri lalu menuju kasur Dipta. “Kamu sakit, Ta?”Gerka dapat melihat wajah pucat Dipta dan matanya yang sayu. Dipta mengangkat sebelah tangannya yang di infus. “Pertanyaan yang sangat berguna. Kamu punya mata kan?” sarkastis Dipta.Gerka berdecak lalu bergumam, “Basa-basi busuk, Bro!”“Gimana keadaanmu, Ta?” tanya Yohan yang sud
Yohan menyebutkan pesanannya pada Reno si pramusaji. “Sirloin Wagyu Beefnya satu, sama minumannya mojito juga.”Reno mencatat semua menu dan mengulangi pesanan pada Yohan dan Isma setelah mengatakan mohon menunggu pada kedua insan tersebut, Reno beranjak pergi.Yohan membuka MacBook Pro 24 Karatnya untuk melihat peninjauan ulang pembangunan Hotel Shunshine di Pulau Nusa Lembongan, Bali. Ia harus segera cepat merealisasikan pembangunan tersebut sebelum perusahaan asing merebutnya.“Kenapa buka laptop?” tanya Isma heran.“Ada kerjaan yang nggak bisa di tunda.” Lalu Yohan melirik Isma. “Kamu keberatan?”“Kalau saya bilang keberatan, kamu akan menutup laptopnya?”Yohan menganggukkan kepalanya dan menjawab, “Iya.”“Memang benar ya, rumor yang beredar bahwa kamu itu gila kerja,” ucap Isma.Yohan mengedikkan bahunya kemudian menutup laptopnya. Ia tahu
Gauri baru saja menyelesaikan pelajarannya ketika melihat dr. Zendra dan dua perawat turun dari lantai dua. Gauri yang masih berada jauh dari anak tangga menyuruh Trisma mendorong kursi rodanya dengan cepat agar sampai di hadapan dr. Zendra. “Dokter!” panggil Gauri. Dokter Zendra menghentikan langkahnya saat mendengar panggilan itu. Ia menoleh dan mendapati Gauri sedang mengarah padanya. “Gauri, apa kabar?” sapa dr. Zendra saat Gauri sudah berada di hadapannya. “Pak Dokter sedang apa disini?” tanya Gauri heran. Dokter Zendra mengulas senyum tipis. “Bapak baru saja memeriksa kakakmu, kamu nggak tahu dia sedang sakit?” Gauri menggelengkan kepalanya. “Kak Dipta sakit apa?” “Demam tinggi, kadar alkohol dalam tubuhnya sangat tinggi, kondisi fisiknya sangat lemah, makanya kamu bilang sama kakakmu kurangin minum alkoholnya dan kalau bisa jangan minum-minum lagi, ya!” “Siap, Pak Dokter!” seru Gauri dengan sikap ala hormat bende
“Kamu lagi?” tanya Dipta. “Sehari saja wajahmu itu tidak muncul di hadapanku, bisa?” Mata Senja mengerjap heran. “Bukankah wajah Tuan Dipta yang muncul di hadapan saya?” balas Senja. Dipta terkekeh pelan. “Keberanianmu memang patut di acungi jempol.” Senja tersenyum tipis. “Nona Gauri juga mengatakan hal yang sama.” Dipta menaikkan alisnya. “Tapi apa kamu tahu, keberanianmu juga bisa menjadi bumerang untukmu?” “Kenapa menjadi bumerang?” tanya Senja. Dipta berjalan pelan mendekati Senja. “Kamu harus tahu tempat menggunakan keberanianmu itu.” “Keberanian itu tidak perlu tempat, tapi perlu usaha. Bukankah manusia memang memerlukan usaha untuk menciptakan keberanian dalam dirinya?” “Menarik!” sahut Dipta yang sudah berada tiga langkah di depan Senja. “Usaha apa yang di perlukan?” “Bangun rasa percaya diri, lawan rasa takut dan mencoba tegar.” Dipta bertepuk tangan tiga kali mendengar jawaban Senja. “Tiga usa
“Kamu yang menyuruhnya?” tanya Dipta dengan raut tidak senang.“Iya, kenapa? Kamu nggak senang?” balas Bima dengan tatapan tajam.“Brengsek!” maki Dipta. “Kenapa kamu menyuruhnya?”“Kenapa kamu merusak motornya?” tanya Bima dengan intonasi yang tinggi.Dipta menggeram marah dan mencoba bangkit dari kasurnya. Tubuhnya sempoyongan karena pusing yang mendera begitu hebat. Dunia seakan berputar di depan matanya.Melihat itu, Bima meraih sebelah lengan Dipta agar tubuhnya tidak terjatuh. Mendapat keseimbangannya kembali, Dipta segera mencengkram kerah kemeja Bima.“Apa hubunganmu dengan perempuan itu?”“Tidak ada.”“Jangan bohong! Kamu pasti tahu apa yang direncanakan Kakek Tua itu!” hardik Dipta.Bima terdiam dan tidak menjawab. Wajahnya menoleh ke samping, menghindari tatapan Dipta yang mengintimidasi.Dipta mengulas senyu
Senja terbangun pada pukul dua dini hari karena suara deringan ponselnya. Kak Bima adalah nama yang tertera pada layar ponsel Senja.‘Ada apa Kak Bima telepon jam segini?’ pikirnya.“Ha..lo, Kak?” sapa Senja dengan menguap lebar.“Senja, tolong keatas sekarang!” suruh Bima.Masih setengah sadar, Senja mengerutkan keningnya. “Ke atas mana, Kak?” tanyanya bingung.“Kamar Tuan Dipta!”Mendengar nama Dipta, membuat kedua mata Senja terbuka lebar dan rasa kantuknya hilang seketika.Senja duduk di kasurnya dan menoleh melihat kasur sebelah yang ditempati oleh Trisma.‘Syukurlah Trisma tidak bangun,’ batinnya.“Kenapa dengan Tuan Dipta?”“Cepatlah kesini dan bawa air hangat, handuk bersih juga kotak P3K.”“Tuan Dipta sakit?”Bima menggumam mengiyakan.Perlahan Senja beranjak pelan keluar kamar
“Gila, Bro! Kamu habis syuting film?” tanya Gerka saat melihat Dipta yang basah kuyup dan tangan kanan yang dibalut perban. “Udah kayak film india aja, Boss!”Dipta memasang tampang sangar pada Gerka yang membuat Gerka tersenyum kecut.“Ceritakanlah kronologis kenapa seorang Dipta Maheswara hujan-hujanan dan tangan terluka,” ucap Gerka. “Kenapa kondisimu mengenaskan begini, Ta?”“Yohan dimana? Nggak ikut balapan lagi?” tanya Dipta mengalihkan pembicaraan.Dipta tidak ingin membicarakan kejadian tadi pagi pada kedua temannya.“Tuh!” tunjuk Gerka dengan mengarahkan bola mata dari balik punggung Dipta.Dipta berbalik dan melihat Yohan mengendarai motor Aston Martinnya dengan menggunakan helm full face. Beberapa wanita disekitarnya terang-terangan berteriak pada Yohan, si CEO muda, kaya, gila kerja, tampan dan sopan.Yohan Bramasta, anak konglomerat dari keluarga Bram
“Kak Bima kemana aja sih seharian ini?” omel Trisma pada Bima yang baru saja melangkahkan kaki ke dalam ruangan istirahat pegawai.“Ada urusan sebentar diluar,” jawab Bima sambil celingukan mencari Senja.“Sebentar?” Trisma berkacak pinggang. “Dari jam lima pagi sampai jam lima sore itu waktu yang sebentar?”“Ada yang harus saya kerjakan atas suruhan Eyang Chandra, dan ternyata ada kendala yang memakan waktu sedikit lebih lama,” jelas Bima.“Tapi nggak biasanya Kak Bima pergi pagi-pagi sekali dan pulang sore hari!” ujar Trisma. “Kak Bima bohong ya?”“Sejak kapan Bima bohong, Ris?” tanya Mbok Minah yang mendapat anggukan dari Pak Mahmud.“Bima itu nggak pernah bohong,” kata Pak Mahmud. “Yang sering bohong itu si Kasim.”“Kok aku dibawa-bawa?” tanya Pak Kasim pada Pak Mahmud.“Siapa yang bawa k