“Hai, namaku Bidari Senja,” kata Senja memperkenalkan diri dengan santai. Ia mengulurkan tangannya dihadapan Gauri.
Saat ini Senja sedang berhadapan dengan gadis cantik berusia 15 tahun, disabilitas fisik, dan memiliki trauma berat sejak usia lima tahun.
Selama ini Eyang Chandra tidak pernah memberitahu Senja mengenai kondisi fisik Gauri Lestari. Mengapa Eyang merahasiakan hal ini? pikir Senja.
Gauri tidak mengindahkan uluran tangan Senja, tetapi ia menjawab, “Aku Gauri, kamu guru les yang baru?”
Senja menyahut, “Iya, aku guru les baru kamu, salam kenal ya.”
“Apa kamu terkejut, saat tahu aku duduk di kursi roda?”
Senja tidak langsung menjawab, ia melihat kedua bola mata Gauri. Matanya menyiratkan luka yang sangat dalam dan sulit ditembus.
“Iya, aku terkejut,” jawab Senja dengan sejujurnya. “Tapi sedikit, aku lebih terpesona dengan kecantikanmu.”
Gauri mendengus kecil, lalu berujar, “Pandai sekali kamu memuji dengan wajah polosmu itu.”
Senja tidak tahu itu pujian atau sindirian. Ia mencoba mengalihkan pembicaraan. “Kita mulai belajar, yuk!” ajak Senja, lalu mengambil langkah untuk memegang pegangan kursi roda.
“Jangan sentuh!” pekik Gauri. “Jangan pernah menyentuh apapun tanpa seizinku,” perintahnya.
Kedua tangan Senja terangkat keatas. “Maaf, maafkan aku.” Senja menurunkan tangannya. “Aku nggak tahu, maafin aku ya, Non.” Senja tidak tahu Gauri sangat sensitif terhadap sentuhan.
“Kali ini aku maafin,” ucap Gauri. Ia selalu memafkan orang baru. “Lain kali nggak ada kata maaf, selalu ada hukuman untuk kesalahan yang kamu lakukan.”
Senja mengangguk mengerti. Perasaan Senja semakin kacau dalam menghadapi kakak beradik Maheswara. Keputusannya dahulu patut ditinjau ulang.
Gauri dan Senja mendengar suara keributan dari bawah balkon, mereka berdua melihat asal suara tersebut. Pada sayap kanan rumah, letak garasi berada.
Sebuah mobil sport Lamborghini Veneno berwarna silver metalik keluar dari garasi dan si pengendara mengegas mobil itu hingga menimbulkan suara nyaring. Lima orang pria dengan setelan jas dan celana hitam, berlari menghadang mobil itu agar tidak keluar dari rumah. Mereka berlima berdiri dan saling merentangkan tangan membentuk sebuah pagar.
Dipta tidak berhasil menghalau para pengawal. Ia keluar dari mobil dan langsung memukul, meninju, menendang, kelima pengawal sekaligus tanpa perlawanan apapun.
Senja memekik tertahan. Peristiwa didepan matanya saat ini membuat lututnya lemas. Sekelebat kenangan lama muncul dan membuatnya terduduk. Jantungnya berdegup kencang, tangannya sedikit bergemetar.
Gauri melihat Senja terduduk dilantai. Ia selalu merasa iba pada orang baru. Kemungkinan besar, guru les barunya akan pergi saat ini juga dengan berlari kencang. Sudah beberapa kali guru lesnya melakukan hal itu. Ketakutan saat bertemu dengan kakaknya.
“Kamu takut?” tanya Gauri.
Senja menatap kedua mata Gauri dengan lekat. Mencoba memahami pertanyaan yang dilontarkan Gauri. Apakah dua kata itu hinaan atau kecemasan?
Senja membalasnya dengan mengangguk mengiyakan.
Gauri memberikan saran, “Pergi dari rumah ini.”
Mengapa kedua kakak beradik Maheswara ini menyuruh Senja untuk pergi dari rumah ini? Ada apa sebenarnya dengan rumah ini?
Senja menggelengkan kepalanya dengan tegas. “Aku memang sedikit takut, tapi aku nggak akan pergi dari rumah ini.”
“Kamu yakin? Kamu akan menyesali keputusanmu itu.”
“Aku memang sudah menyesalinya, tapi aku akan memperbaiki penyesalan itu.”
“Memperbaiki penyesalan?” ulang Gauri. “Bukannya yang ada itu memperbaiki kesalahan?”
“Memperbaiki penyesalan itu sudah satu paket dengan kesalahan, Non,” jelas Senja. “Penyesalan itu ada karena kesalahan ‘kan?”
“Selain pandai memuji, kamu juga pandai berteori dan menggurui?”
Senja mengatupkan bibirnya. Mengapa Gauri sangat pandai berbicara? Bukankah ia hanya anak usia 15 tahun?
Senja ingin memuji Gauri kembali, tetapi ia urungkan karena sepertinya Gauri belum membuka hati untuk dirinya.
“Nona boleh beranggapan apapun, aku terima dan akui,” ucap Senja dengan cengiran. “Teman-temanku disekolah dulu juga sering mengatakan aku suka menggurui.”
Senja melanjutkan, “Kalau nona keberatan, aku akan lebih berhati-hati lagi supaya ucapanku tidak terkesan menggurui.”
Gauri menekan tombol di kursi rodanya dan mengarahkannya kedalam kamar. Senja baru sadar bahwa kursi roda itu adalah kursi roda elektrik.
“Kamu disitu aja? Nggak jadi mengajar? Mau makan gaji buta?”
Senja tersenyum lebar mendengar rentetan pertanyaan itu dan melangkah masuk kedalam kamar.
*~*~*~*~*
“Lama banget kamu, Ta,” omel Gerka saat Dipta berdiri dihadapannya.
“Tadi ada pertarungan kecil dulu,” jawab Dipta.
Gerka berdecak kecil, “Pertarungan atau pembantaian?”
Dipta tidak menanggapi pertanyaan Gerka. Ia melihat sekeliling arena balap.
The Bliss Racing adalah arena balap khusus yang dibuat oleh seorang anak konglomerat perusahaan rokok By Ji Ga (BJG) untuk anak konglomerat lainnya. Setiap malam hari selalu diadakan balapan mobil, motor, atau sepeda. Ketua panita dan penanggungjawab adalah anak konglomerat Bank Swastamar Indonesia (BSI).
Dipta melihat The Bliss Racing sudah dipadati oleh orang-orang yang ingin menonton pertandingan.
“Hari ini kamu bawa Lavo? Bukannya terakhir kali Lavo kalah dari Koje?”
Lavo adalah nama dari mobil Lamborghini Veneno milik Dipta. Sedangkan Koje adalah nama dari mobil Koenigsegg Jesko milik Pramestu anak konglomerat perusahaan petrokimia.
Dipta mengangguk mengiyakan, memang benar Lavonya pernah kalah dengan Koje milik Pramestu.
“Santai aja,” jawabnya penuh keyakinan. “Kamu bawa apa hari ini, Ka?”
Gerka meninju pelan bahu Dipta. “Memangnya aku punya pilihan lain? Kamu lupa mobilku dan motorku hanya ada satu?”
Dipta tertawa mengejek, ia memang tidak lupa. Gerka memang tidak sekaya dirinya dan Yohan Bramasta.
“Yohan kemana?” tanya Dipta menyadari temannya satu lagi tidak tampak.
“Dia udah datang duluan, katanya nggak ikut balapan. Lagi cari si Kadal sama Bobi.”
Bobi adalah anak konglomerat Bank Swastamar Indonesia (BSI) yang menjabat sebagai ketua panitia The BR (The Bliss Racing).
Dipta melihat waktu pada jam tangan Richard Millenya. “Jam berapa dimulai pertandingannya?”
“Lima belas menit lagi, Bro.”
“Yo! Dipta…Nggak salah kamu bawa Lavo?”
Sebuah suara yang sangat familier muncul dari balik punggung Dipta. Intonasi meremehkan sangat kentara pada pertanyaan itu.
Dipta membalikkan tubuhnya melihat orang itu. Orang yang ia sebut sebagai Kadal. Orang kedua yang dibenci oleh Dipta, karena yang pertama ditempati oleh Chandra Gunawan Maheswara yakni Eyangnya sendiri.
Dipta menyeringai, lalu mengedikkan bahunya. Menjawab acuh tak acuh, “Mungkin.”
“Sudah dengar kabar terbaru, sobat?”
Gerka tertawa mengejek. ‘Sobat, matamu!’ gumamnya dalam hati. Gerka tahu maksud pertanyaan si Kadal. Pasti mengenai dia yang mendapat bekingan anak menteri pertahanan.
“Kabar itu? Punya pagar baru?” tanya Dipta malas-malasan.
Si Kadal tertawa lepas membuat ketiga teman Kadal ikut tertawa. “Kali ini pagarnya kokoh, Sob. Sekokoh persobatan kita.”
Dipta mengangguk pelan, “Sudah cukup basa-basinya.” Lalu ia melihat jam tangannya kembali. “This is time!” serunya sambil menjentikkan jari.
Dan yang terjadi selanjutnya adalah arena The BR menjadi gelap gulita.
*~*~*~*~*
Suara teriakan, cacian, dan kemarahan menggema di seluruh arena The BR. Suara wanita lebih terdengar mendominasi karena ketakutan. “Sial! Apa-apaan ini!?” ucap si Kadal. “Kenapa bisa mati lampu?” tanyanya penasaran. Dipta mengambil handphonenya dan menyalakan flashlight kearah wajah si Kadal. “The game is over,” sahut Dipta dengan menyeringai seram. *~*~*~*~* “Gimana tadi mengajar lesnya, Mbak?” tanya Trisma sambil melipat pakaiannya dan menyimpannya kedalam lemari. “Lumayan," jawab Senja yang sedang mengeringkan rambutnya yang panjang dan bergelombang dengan hairdryer. Trisma tidak puas dengan jawaban itu. “Lumayan apa? Capek? Seru? Asik?” Senja tertawa kecil, lalu berkata, “lumayan suram.” “Iya sih,” Trisma membenarkan. “Kakak sama adik sama aja,” keluhnya. “Kamu dari umur berapa kerja disini, Ris?” tanya Senja mengubah topik pembicaraan. “Tamat SMA, Mbak. Umur 18 tahun.” “Berarti udah
Senja merasakan tubuhnya kaku dihadapan Eyang Chandra dan Gauri. Apalagi saat ini mereka bertiga sedang makan malam diruangan khusus keluarga, dan Senja duduk bersama seakan ia juga bagian dari keluarga Maheswara. Senja tidak suka berada di posisi ini. Seperti diistimewakan padahal hanya orang suruhan. Selama makan, hanya suara sendok dan garpu berdenting yang terdengar. Mereka bertiga makan dalam diam. Tak satupun memulai pembicaraan. Banyaknya menu makanan yang terhidang di meja tidak satupun menggugah selera makan Gauri. Ia hanya memasukkan beberapa suapan kedalam mulutnya. “Aku udah selesai,” ucap Gauri memecah keheningan. “Kak Tri, aku mau balik ke kamar,” panggil Gauri pada Trisma, asistennya Gauri. Trisma yang mendengar suara Gauri, beranjak dari dapur menuju ruang makan utama. Eyang Chandra juga menyudahi makan malamnya dan menyeka bibirnya dengan serbet. Lalu berkata pada Gauri, “Sebentar sayang, ada yang mau Eyang bicarakan dengan ka
Mbok Asih sangat telaten membebat tangan Senja dengan perban setelah menaruh obat antiseptik dan obat merah.“Nona yakin nggak perlu dijahit lukanya?” tanya Mbok Minah dengan nada yang penuh kecemasan.“Iya, Mbak,” Trisma menambahi. “Ke dokter aja, yuk! Nanti lukanya infeksi gimana?”“Jangan keras kepala, Non.” Pak Kasim berkata tegas. “Mud, keluarkan mobilnya,” suruh Pak Kasim pada Pak Mahmud.“Aku ‘kan nggak bisa bawa mobil, Sim. Bisanya bawa mobil-mobilan,” jawab Pak Mahmud.“Siapa suruh bawa? Aku bilang keluarkan, Mud,” sahut Pak Kasim.Trisma memukul pelan lengan Pak Kasim sedangkan Mbok Minah mencubit pinggang Pak Mahmud.“Bisa-bisanya dalam keadaan kayak gini kalian bercanda,” ucap Mbok Minah.“Iya, nih!” Trisma membenarkan ucapan Mbok Minah. “Nggak lucu, Pak Kamud.”Kamud adalah sing
Dipta menggenggam kuat tangan kanan Senja yang terluka. Ia tidak menyadari bahwa tangan mungil itu dibebat dengan perban. Senja merasakan tangannya berdenyut nyeri. Tubuhnya yang mungil begitu ringan dibawa paksa oleh Dipta menuruni tangga.Tangan kirinya mencoba meraih lengan Dipta yang menggenggam tangan kanannya. “Tuan!” panggil Senja. “Lepaskan saya, Tuan.”Dipta mendengar panggilan itu, tetapi tidak ia hiraukan. Ia terus berjalan cepat membawa paksa Senja melintasi ruang utama keluarga, keluar melewati pintu belakang, berbelok kearah kolam renang. Tidak ada satupun para pekerja rumah yang melihat mereka. Bahkan dua orang yang bertugas memonitor CCTV rumah, sedang tidur dengan pulas diruang kerjanya.Sesampainya di depan kolam berenang, Dipta membanting keras tubuh Senja hampir mengenai dinding marmer. Senja tersentak kaget dan merintih kesakitan karena tangannya berdenyut nyeri.Dipta bersedekap sambil memandang wajah sendu Bi
Gauri menceritakan semua hal yang terjadi tadi malam, apa yang telah Eyang Chandra rencanakan, alasan Senja berada dimeja makan, tujuan Gauri ingin melukai tangan serta apa yang telah Senja lakukan. Dipta mendengar semua cerita itu dalam diam. Tidak menyanggah ataupun bertanya apa-apa. Ia hanya diam mendengarkan dan mengamati adiknya bercerita.Setelah bercerita, Gauri melihat kakaknya mengepalkan tangan dan menahan segala emosi yang berkecamuk dikepala. Ia sangat mengetahui kakaknya, orang yang selalu dapat diandalkan dalam segala hal. Orang yang sangat menyayanginya, melakukan apapun untuknya, memprioritaskan adiknya tanpa diminta. Dipta mungkin bukan laki-laki yang baik, tetapi ia adalah kakak yang terbaik bagi Gauri.“Kak, Yelo hanya ingin sekolah dirumah,” ujar Gauri.Dipta menganggukkan kepalanya. “Pasti,” jawab Dipta dengan yakin, “Kamu hanya akan sekolah dirumah.”‘Akan kubuat mereka berdua menanggung akib
Senja berjalan menuju kamar Gauri untuk mengatakan sesuatu yang tidak sempat terucapkan saat pagi tadi karena Dipta menariknya menjauh dari kamar Gauri. Saat ini sudah pukul delapan malam, semoga waktu yang tepat, pikir Senja. Ia tidak ingin menunda membahas permasalahan yang terjadi. Ia ikut berandil didalamnya. Senja mengetuk pintu kamar dan pintu kamar terbuka menampakkan wajah Trisma. “Mbak Senja? Mbak mau—” Senja menganggukkan kepalanya. Sepertinya Senja dan Trisma memiliki ikatan telepati karena tanpa Trisma menyelesaikan kalimatnya, Senja sudah tahu apa maksudnya. “Sudah kamu sampaikan pada Gauri?” tanya Senja. Trisma langsung menganggukkan kepalanya, tersenyum lebar dan mengangkat jari jempol kanannya kearah Senja. “Non, Mbak Senjanya udah datang,” Trisma memberitahu kedatangan Senja pada Gauri. “Semoga berhasil, Mbak,” ucap Trisma sambil berlalu keluar kamar. Senja berjalan masuk kedalam kamar Gauri dan menemuk
“Kita mau kemana, Kak?” tanya Senja penasaran.“Ruang kerja Eyang Chandra,” jawab Bima sambil menuntun langkah Senja.Bima Ventura adalah ketua pengawal Dipta R. Maheswara. Bima memiliki lima rekan yang bekerja atas perintahnya dan Eyang Chandra.“Eyang Chandra sudah pulang?”Bima mengernyitkan keningnya mendengar pertanyaan dari Senja. “Belum. Kamu tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan dari Indonesia ke Italia?”Senja menggelengkan kepalanya.“17 Jam,” jawab Bima. “Apakah masuk akal kalau Eyang Chandra sudah pulang sekarang?”Senja kembali menggelengkan kepalanya. Ia merasa sangat bodoh karena pertanyaan tadi. Padahal ia hanya ingin basa-basi.“Jadi kenapa kita keruangan kerja Eyang Chandra?”“Nanti kamu akan tahu.”Selanjutnya tidak ada percakapan sama sekali. Mereka berdua berjalan dalam diam. Senja tahu Bima
“Kenapa Eyang nggak mau?” tanya Senja heran.“Eyang balik pertanyaannya ke kamu, kenapa kamu tidak mau membantu Eyang?” tanya Eyang Chandra. “Kenapa kamu menyerah sebelum berjuang? Bukankah kamu sudah berjanji untuk membantu Eyang?”Senja terdiam dan bergumam dalam hati, ‘Menyerah sebelum berjuang? Apakah aku sudah kalah sebelum melangkah?’“Nak Senja,” panggil Pak Handi. “Kenapa kamu tiba-tiba ingin membatalkan kontrak kerja?” tanyanya.“Kemarin sore, hari pertama Senja kerja, dan juga hari ini, Senja berpikir bukannya Senja membantu Eyang, Tuan Dipta dan Nona Gauri, tapi Senja malah membuat semuanya semakin kacau,” jawab Senja. “Dan satu lagi, mengenai Tuan Dipta, Senja takut dia semakin membangkang dan melakukan hal-hal yang sangat mengerikan.”Senja teringat saat Dipta memukuli dan menendang kelima pengawalnya. Lalu ia melirik Bima kembali untuk meli
“Kamu masih sakit, Ta!” sergah Yohan.“Besok udah nggak, Han!” balas Dipta. “Kamu tahu penyebab sakitku karena siapa?”“Jangan menyalahkan orang lain, kamu terlihat sangat menyedihkan,” tandas Yohan.Rahang Dipta mengeras mendengar kalimat yang keluar dari mulut Yohan.Gerka langsung mengendalikan situasi. “Yohan nggak bermak—”“Bukan begini caranya membalas, Ta,” sela Yohan.“Han, diam dulu!” tegas Gerka. “Ta, sebaik—”“Sebaiknya kalian berdua pulang!” usir Dipta.“Jangan bawa Senja ke arena balap!” seru Yohan memperingati.“Aku akan membawanya!” tandas Dipta.Yohan menghela napas putus asa. “Baiklah, terserahmu saja!” lalu beranjak pergi keluar dari kamar Dipta tanpa berpamitan.Gerka bingung ingin memihak siapa. “Ta, aku rasa—”
Tanpa mengetuk pintu kamar Dipta, Gerka langsung masuk di ikuti oleh Yohan di belakangnya.“Hei, adik cantik!” sapa Gerka pada Gauri saat menyuapkan nasi ke dalam mulut Dipta.Gauri menoleh dan mendapati Gerka juga Yohan berdiri dengan gaya yang sangat berbeda.“Kak Yohan!” ucap Gauri disertai senyuman.Gerka langsung menampilkan muka masam. “Kakak nggak disapa?”“Apa kabar, Gauri,” ujar Yohan.“Baik, Kak!” sahut Gauri. “Kakak kabarnya gimana?”Gerka mengabaikan Yohan dan Gauri lalu menuju kasur Dipta. “Kamu sakit, Ta?”Gerka dapat melihat wajah pucat Dipta dan matanya yang sayu. Dipta mengangkat sebelah tangannya yang di infus. “Pertanyaan yang sangat berguna. Kamu punya mata kan?” sarkastis Dipta.Gerka berdecak lalu bergumam, “Basa-basi busuk, Bro!”“Gimana keadaanmu, Ta?” tanya Yohan yang sud
Yohan menyebutkan pesanannya pada Reno si pramusaji. “Sirloin Wagyu Beefnya satu, sama minumannya mojito juga.”Reno mencatat semua menu dan mengulangi pesanan pada Yohan dan Isma setelah mengatakan mohon menunggu pada kedua insan tersebut, Reno beranjak pergi.Yohan membuka MacBook Pro 24 Karatnya untuk melihat peninjauan ulang pembangunan Hotel Shunshine di Pulau Nusa Lembongan, Bali. Ia harus segera cepat merealisasikan pembangunan tersebut sebelum perusahaan asing merebutnya.“Kenapa buka laptop?” tanya Isma heran.“Ada kerjaan yang nggak bisa di tunda.” Lalu Yohan melirik Isma. “Kamu keberatan?”“Kalau saya bilang keberatan, kamu akan menutup laptopnya?”Yohan menganggukkan kepalanya dan menjawab, “Iya.”“Memang benar ya, rumor yang beredar bahwa kamu itu gila kerja,” ucap Isma.Yohan mengedikkan bahunya kemudian menutup laptopnya. Ia tahu
Gauri baru saja menyelesaikan pelajarannya ketika melihat dr. Zendra dan dua perawat turun dari lantai dua. Gauri yang masih berada jauh dari anak tangga menyuruh Trisma mendorong kursi rodanya dengan cepat agar sampai di hadapan dr. Zendra. “Dokter!” panggil Gauri. Dokter Zendra menghentikan langkahnya saat mendengar panggilan itu. Ia menoleh dan mendapati Gauri sedang mengarah padanya. “Gauri, apa kabar?” sapa dr. Zendra saat Gauri sudah berada di hadapannya. “Pak Dokter sedang apa disini?” tanya Gauri heran. Dokter Zendra mengulas senyum tipis. “Bapak baru saja memeriksa kakakmu, kamu nggak tahu dia sedang sakit?” Gauri menggelengkan kepalanya. “Kak Dipta sakit apa?” “Demam tinggi, kadar alkohol dalam tubuhnya sangat tinggi, kondisi fisiknya sangat lemah, makanya kamu bilang sama kakakmu kurangin minum alkoholnya dan kalau bisa jangan minum-minum lagi, ya!” “Siap, Pak Dokter!” seru Gauri dengan sikap ala hormat bende
“Kamu lagi?” tanya Dipta. “Sehari saja wajahmu itu tidak muncul di hadapanku, bisa?” Mata Senja mengerjap heran. “Bukankah wajah Tuan Dipta yang muncul di hadapan saya?” balas Senja. Dipta terkekeh pelan. “Keberanianmu memang patut di acungi jempol.” Senja tersenyum tipis. “Nona Gauri juga mengatakan hal yang sama.” Dipta menaikkan alisnya. “Tapi apa kamu tahu, keberanianmu juga bisa menjadi bumerang untukmu?” “Kenapa menjadi bumerang?” tanya Senja. Dipta berjalan pelan mendekati Senja. “Kamu harus tahu tempat menggunakan keberanianmu itu.” “Keberanian itu tidak perlu tempat, tapi perlu usaha. Bukankah manusia memang memerlukan usaha untuk menciptakan keberanian dalam dirinya?” “Menarik!” sahut Dipta yang sudah berada tiga langkah di depan Senja. “Usaha apa yang di perlukan?” “Bangun rasa percaya diri, lawan rasa takut dan mencoba tegar.” Dipta bertepuk tangan tiga kali mendengar jawaban Senja. “Tiga usa
“Kamu yang menyuruhnya?” tanya Dipta dengan raut tidak senang.“Iya, kenapa? Kamu nggak senang?” balas Bima dengan tatapan tajam.“Brengsek!” maki Dipta. “Kenapa kamu menyuruhnya?”“Kenapa kamu merusak motornya?” tanya Bima dengan intonasi yang tinggi.Dipta menggeram marah dan mencoba bangkit dari kasurnya. Tubuhnya sempoyongan karena pusing yang mendera begitu hebat. Dunia seakan berputar di depan matanya.Melihat itu, Bima meraih sebelah lengan Dipta agar tubuhnya tidak terjatuh. Mendapat keseimbangannya kembali, Dipta segera mencengkram kerah kemeja Bima.“Apa hubunganmu dengan perempuan itu?”“Tidak ada.”“Jangan bohong! Kamu pasti tahu apa yang direncanakan Kakek Tua itu!” hardik Dipta.Bima terdiam dan tidak menjawab. Wajahnya menoleh ke samping, menghindari tatapan Dipta yang mengintimidasi.Dipta mengulas senyu
Senja terbangun pada pukul dua dini hari karena suara deringan ponselnya. Kak Bima adalah nama yang tertera pada layar ponsel Senja.‘Ada apa Kak Bima telepon jam segini?’ pikirnya.“Ha..lo, Kak?” sapa Senja dengan menguap lebar.“Senja, tolong keatas sekarang!” suruh Bima.Masih setengah sadar, Senja mengerutkan keningnya. “Ke atas mana, Kak?” tanyanya bingung.“Kamar Tuan Dipta!”Mendengar nama Dipta, membuat kedua mata Senja terbuka lebar dan rasa kantuknya hilang seketika.Senja duduk di kasurnya dan menoleh melihat kasur sebelah yang ditempati oleh Trisma.‘Syukurlah Trisma tidak bangun,’ batinnya.“Kenapa dengan Tuan Dipta?”“Cepatlah kesini dan bawa air hangat, handuk bersih juga kotak P3K.”“Tuan Dipta sakit?”Bima menggumam mengiyakan.Perlahan Senja beranjak pelan keluar kamar
“Gila, Bro! Kamu habis syuting film?” tanya Gerka saat melihat Dipta yang basah kuyup dan tangan kanan yang dibalut perban. “Udah kayak film india aja, Boss!”Dipta memasang tampang sangar pada Gerka yang membuat Gerka tersenyum kecut.“Ceritakanlah kronologis kenapa seorang Dipta Maheswara hujan-hujanan dan tangan terluka,” ucap Gerka. “Kenapa kondisimu mengenaskan begini, Ta?”“Yohan dimana? Nggak ikut balapan lagi?” tanya Dipta mengalihkan pembicaraan.Dipta tidak ingin membicarakan kejadian tadi pagi pada kedua temannya.“Tuh!” tunjuk Gerka dengan mengarahkan bola mata dari balik punggung Dipta.Dipta berbalik dan melihat Yohan mengendarai motor Aston Martinnya dengan menggunakan helm full face. Beberapa wanita disekitarnya terang-terangan berteriak pada Yohan, si CEO muda, kaya, gila kerja, tampan dan sopan.Yohan Bramasta, anak konglomerat dari keluarga Bram
“Kak Bima kemana aja sih seharian ini?” omel Trisma pada Bima yang baru saja melangkahkan kaki ke dalam ruangan istirahat pegawai.“Ada urusan sebentar diluar,” jawab Bima sambil celingukan mencari Senja.“Sebentar?” Trisma berkacak pinggang. “Dari jam lima pagi sampai jam lima sore itu waktu yang sebentar?”“Ada yang harus saya kerjakan atas suruhan Eyang Chandra, dan ternyata ada kendala yang memakan waktu sedikit lebih lama,” jelas Bima.“Tapi nggak biasanya Kak Bima pergi pagi-pagi sekali dan pulang sore hari!” ujar Trisma. “Kak Bima bohong ya?”“Sejak kapan Bima bohong, Ris?” tanya Mbok Minah yang mendapat anggukan dari Pak Mahmud.“Bima itu nggak pernah bohong,” kata Pak Mahmud. “Yang sering bohong itu si Kasim.”“Kok aku dibawa-bawa?” tanya Pak Kasim pada Pak Mahmud.“Siapa yang bawa k