Senja turun kelantai dasar, tepatnya ruangan khusus para pekerja yang sedang istirahat. Ia melihat Mbok Minah yang menjabat sebagai ketua asisten rumah tangga sedang berbincang dengan seorang satpam yang bernama Pak Mahmud.
Mbok Minah mengetahui kehadiran Senja dan menghentikan pembicaraannya dengan pak Mahmud.
Senja duduk disebelah Mbok Minah dan berucap lirih, “Mbok, saya salah masuk kamar.”
Mbok Minah menahan napas sebentar lalu melirik Pak Mahmud. Mereka berdua tampak sangat terkejut.
“Ya ampun, Non.”
Itu suara Mbok Minah, ia memegang sebelah lengan Senja. “Tadi ‘kan Mbok bilang dilihat baik-baik pintu kamarnya.”
Pak Mahmud menambahi, “Pintu Kamar Tuan Dipta sama Nona Gauri itu sama persis warna sama desainnya, Non.”
Jari Mbok Minah bergerak diudara membentuk sebuah gambar. “Bintangnya ada tujuh untuk pintu kamar Nona Gauri, sedangkan pintu kamar Tuan Dipta bintangnya ada lima.”
Senja menggangguk paham. “Iya, Mbok. Saya tahu ini salah saya. Ini kelalaian saya.”
“Yaudah nggak papa, Non. Sekali lagi lebih berhati-hati lagi, ya.” Mbok Minah mencoba menghibur Senja.
Pak Mahmud bertanya penasaran, “Tuan Diptanya ada dikamar?”
Senja mengangguk mengiyakan, “Ada, Pak. Dia marah sama saya karena masuk kedalam kamarnya.”
Mbok Minah dan Pak Mahmud saling lirik kemudian memandang iba pada Senja.
“Kamu…nggak papa ‘kan?” Pak Mahmud bertanya dengan ragu. “Nggak…di…apa—Aduh!“
Mbok Minah menghentikan pertanyaan Pak Mahmud dengan menginjak kakinya. Ia menggeleng pelan saat Pak Mahmud menatapnya dengan kesal.
“Nggak apa-apa kok, Pak.” Senja tersenyum tipis. “Saya baik-baik aja.”
Pak Mahmud tertawa kecil untuk mencairkan suasana, Mbok Minah juga ikut tertawa hambar.
“Saya keatas lagi ya, Mbok,” ujar Senja sambil berdiri dan melangkah pergi.
Mbok Minah menganggukkan kepalanya, “Jangan salah lagi, Non.”
“Dilihat baik-baik jumlah bintangnya.” Pak Mahmud menimpali.
“Kasihan sekali nasibnya…” kata Mbok Minah sambil melihat punggung Senja menjauh.
*~*~*~*~*
“Sialan. Kakek tua itu berulah lagi, Ka,” ucap Dipta pada sambungan telepon.
“Apa lagi ulah Tua Bangka itu?” tanya seseorang yang dihubungi Dipta.
Dipta mengapit handphonenya diantara bahu dan telinga, lalu memakai jam tangan Richard Mille edisi terbatas didunia. “Semakin luar biasa tingkah Kakek tua itu.”
Seseorang diujung telepon mendecakkan lidah, “Langsung ke intinya aja, Boss!”
Dipta terkekeh pelan, “Dia suruh orang baru lagi, cewek pula.”
“Oh, Man! Padahal seminggu yang lalu udah kamu atasi pengawas bodoh itu. Sekarang Tua Bangka itu udah dapat pengganti? Dan… apa? Cewek?”
Dipta berdiri melihat pantulan dirinya dicermin panjang. Kaos putih polos dipadukan dengan jaket kulit hitam. Ia puas dengan tampilannya. “Iya, cewek.”
“Ck! Aku jamin, besok dia udah kabur.”
Dipta menggelengkan kepalanya walaupun orang yang ditelepon tidak bisa melihatnya. “Hari ini juga pasti dia udah pulang kerumah sambil menangis.” Padahal Dipta meragukan ucapannya barusan.
“Haha…Kamu apakan dia?”
“Sedikit ancaman,” jawab Dipta.
“Nggak usah keras kali, Ta. Kasihan juga, anak cewek.”
“Nggak usah sok baik. Nanti tanduk dikepalamu hilang,” ujar Dipta.
“Siap, Boss! Oh iya, barusan aku dapat kabar. Hari ini diganti jadi balap mobil, Bro.”
Dipta menghentikan aktivitas mengoleskan pomade Fiber Grease pada rambutnya. “Shit! Siapa yang ubah?”
“Si Kadal, dapat bekingan anak menteri. Panitia kayaknya udah pindah haluan, Boss.”
Dipta menyeringai seram. “Perlu dikasih pelajaran mereka.”
“Makanya jangan lembek, Ta. Taringmu udah terlalu lama bersembunyi.”
“Udah dijalan, Ka?” tanya Dipta sambil memakai sepatu boots Red Wing Heritage.
“Aku didalam mobil dari tadi, Bro. Lagi nyetir. Makanya kalau telpon, tanya dulu lagi apa, supaya—”
Dipta memotong ucapan temannya. “Oke, nanti kita bahas lagi masalah itu.” Lalu ia mematikan sambungan telepon.
Tanpa diketahui oleh Dipta, ada yang mendengarkan obrolan dengan temannya di handphone tadi, dari awal hingga akhir.
*~*~*~*~*
Senja menghitung jumlah bintang dipintu dengan cat perpaduan warna cokelat dengan marun. Ia baru sadar pintu kamar Tuan Dipta dan Nona Gauri memang sama persis seperti yang dikatakan Pak Mahmud. Ia memukul pelan keningnya, merasa ceroboh, dan karena kecerobohannya itu, kesan pertama Tuan Dipta terhadapnya sangat buruk. Setidaknya itu yang ia yakini.
Saat tangan Senja hendak terayun mengetuk pintu, seseorang dari dalam kamar membuka pintu. Senja tahu orang itu. Trisma, asisten Nona Gauri.
“Mbak Senja, kenapa lama sekali?” tanya Trisma heran.
Senja tersenyum kecut. “Salah masuk kamar, Ris.”
Trisma melongo lalu cepat-cepat tersadar. “Jangan bilang kalau—”
Senja mengangguk cepat sebelum Trisma menyelesaikan kalimatnya. Senja langsung tahu apa yang dimaksud oleh Trisma.
“Terus dikamar itu ada—”
“Iya, ada. Ada, Ris!”
Trisma menutup mulutnya dengan sebelah tangan, menahan dirinya untuk berteriak.
“Astaga, Mbak.” Trisma memeriksa seluruh tubuh Senja, dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Mbak nggak papa ‘kan? Ada yang luka?”
Senja teringat ekspresi dan kekhawatiran Mbok Minah dan Pak Mahmud sama dengan yang ditunjukkan Trisma saat ini.
Pertanyaan yang ada dibenak Senja sejak melihat ekspresi itu, “Apa separah itu, Ris?”
“Maksudnya, Mbak?” tanya Trisma tidak mengerti.
“Apa…Tuan Dipta sangat menakutkan?” tanya Senja dengan hati-hati.
“Sangat…sangat… sangat…mengerikan, Mbak,” jawabnya dengan bergidik ngeri.
“Kamu nggak melebih-lebihkan cerita ‘kan?” Senja masih menampik pikiran kalau Dipta R. Maheswara adalah orang yang jahat, karena Eyang Chandra mengatakan sebaliknya. Tetapi seluruh pekerja dirumah ini, mengatakan hal yang bertentangan dengan Eyang Chandra.
Trisma menggelengkan kepalanya. “Nggak, Mbak. Aku bicara apa adanya.”
Sebenarnya Trisma ingin memberitahu Senja mengenai segala perbuatan Tuan Dipta didalam rumah maupun diluar rumah, akan tetapi ia tidak bisa. Bukan tidak mau, tapi tidak bisa. Seluruh pekerja dirumah Eyang Chandra, sebelum dipekerjakan akan menandatangani kontrak yang berhubungan dengan Keluarga Maheswara. Mereka semua yang bekerja harus menutup mata, mulut dan telinga saat dirumah maupun diluar rumah. Kalau sampai ada yang membocorkan informasi, kejadian, dan apapun itu yang sifatnya internal dan eksternal akan dikenakan sanksi yang sangat besar dan berat. Maka dari itu, upah kerja yang mereka dapatkan sangat besar dan sesuai dengan konsekuensi.
Senja juga tahu, konsekuensi bekerja dengan Eyang Chandra. Karena ia juga menandatangani kontrak itu. Masalahnya karena kontrak itu ia tidak tahu bagaimana sebenarnya keluarga Maheswara. Ia hanya percaya dengan ucapan Eyang Chandra dan Pak Handi. Ia juga tidak tahu kalau ada salah satu poin didalam kontrak miliknya yang berbeda dengan para pekerja yang lain.
“Mbak, percaya ‘kan?”
Pertanyaan Trisma membuyarkan lamunan Senja.
Senja hanya tersenyum tipis dan mengangguk.
“Yaudah Mbak, itu Nona Gauri udah nungguin dari tadi. Aku kebawah dulu ya,” pamit Trisma sambil menutup pintu kamar.
Senja menarik napas panjang dan menyemangati dirinya lagi. ‘semangat Senja, semua akan baik-baik saja,’ ucapnya dalam hati.
Ia melihat lantai kamar yang terbuat dari marmer bercorak batu-bata, dinding kamarnya memakai wallpaper kuning bermotif bintang, bulan, awan, pelangi, matahari, semua hal yang berada jauh dilangit.
Senja berjalan melewati seka dinding yang memisahkan tempat tidur, sosok Gauri tidak ada disana, lalu ia berjalan mendekati meja belajar, tapi sosok itu juga tidak ada. Apa didalam kamar mandi? batin Senja.
Saat ia hendak mengetuk pintu kamar mandi, ia melirik tirai jendela kaca besar yang menuju ke arah balkon. Kakinya menuju tirai itu, lalu ia menyingkap tirainya dan menemukan Gauri disana.
Gauri Lestari Maheswara menyadari kehadiran seseorang dibelakangnya, ia menoleh dengan muka datar dan menemukan Senja berdiri mematung.
Senja mencoba tersenyum saat Gauri melihatnya. Walaupun ia yakin senyumannya kaku, dan wajah kagetnya sangat kentara. Ia tidak tahu kalau gadis secantik Gauri Lestari, duduk di kursi roda.
*~*~*~*~*
“Hai, namaku Bidari Senja,” kata Senja memperkenalkan diri dengan santai. Ia mengulurkan tangannya dihadapan Gauri. Saat ini Senja sedang berhadapan dengan gadis cantik berusia 15 tahun, disabilitas fisik, dan memiliki trauma berat sejak usia lima tahun. Selama ini Eyang Chandra tidak pernah memberitahu Senja mengenai kondisi fisik Gauri Lestari. Mengapa Eyang merahasiakan hal ini? pikir Senja. Gauri tidak mengindahkan uluran tangan Senja, tetapi ia menjawab, “Aku Gauri, kamu guru les yang baru?” Senja menyahut, “Iya, aku guru les baru kamu, salam kenal ya.” “Apa kamu terkejut, saat tahu aku duduk di kursi roda?” Senja tidak langsung menjawab, ia melihat kedua bola mata Gauri. Matanya menyiratkan luka yang sangat dalam dan sulit ditembus. “Iya, aku terkejut,” jawab Senja dengan sejujurnya. “Tapi sedikit, aku lebih terpesona dengan kecantikanmu.” Gauri mendengus kecil, lalu berujar, “Pandai sekali kamu memuji dengan waja
Suara teriakan, cacian, dan kemarahan menggema di seluruh arena The BR. Suara wanita lebih terdengar mendominasi karena ketakutan. “Sial! Apa-apaan ini!?” ucap si Kadal. “Kenapa bisa mati lampu?” tanyanya penasaran. Dipta mengambil handphonenya dan menyalakan flashlight kearah wajah si Kadal. “The game is over,” sahut Dipta dengan menyeringai seram. *~*~*~*~* “Gimana tadi mengajar lesnya, Mbak?” tanya Trisma sambil melipat pakaiannya dan menyimpannya kedalam lemari. “Lumayan," jawab Senja yang sedang mengeringkan rambutnya yang panjang dan bergelombang dengan hairdryer. Trisma tidak puas dengan jawaban itu. “Lumayan apa? Capek? Seru? Asik?” Senja tertawa kecil, lalu berkata, “lumayan suram.” “Iya sih,” Trisma membenarkan. “Kakak sama adik sama aja,” keluhnya. “Kamu dari umur berapa kerja disini, Ris?” tanya Senja mengubah topik pembicaraan. “Tamat SMA, Mbak. Umur 18 tahun.” “Berarti udah
Senja merasakan tubuhnya kaku dihadapan Eyang Chandra dan Gauri. Apalagi saat ini mereka bertiga sedang makan malam diruangan khusus keluarga, dan Senja duduk bersama seakan ia juga bagian dari keluarga Maheswara. Senja tidak suka berada di posisi ini. Seperti diistimewakan padahal hanya orang suruhan. Selama makan, hanya suara sendok dan garpu berdenting yang terdengar. Mereka bertiga makan dalam diam. Tak satupun memulai pembicaraan. Banyaknya menu makanan yang terhidang di meja tidak satupun menggugah selera makan Gauri. Ia hanya memasukkan beberapa suapan kedalam mulutnya. “Aku udah selesai,” ucap Gauri memecah keheningan. “Kak Tri, aku mau balik ke kamar,” panggil Gauri pada Trisma, asistennya Gauri. Trisma yang mendengar suara Gauri, beranjak dari dapur menuju ruang makan utama. Eyang Chandra juga menyudahi makan malamnya dan menyeka bibirnya dengan serbet. Lalu berkata pada Gauri, “Sebentar sayang, ada yang mau Eyang bicarakan dengan ka
Mbok Asih sangat telaten membebat tangan Senja dengan perban setelah menaruh obat antiseptik dan obat merah.“Nona yakin nggak perlu dijahit lukanya?” tanya Mbok Minah dengan nada yang penuh kecemasan.“Iya, Mbak,” Trisma menambahi. “Ke dokter aja, yuk! Nanti lukanya infeksi gimana?”“Jangan keras kepala, Non.” Pak Kasim berkata tegas. “Mud, keluarkan mobilnya,” suruh Pak Kasim pada Pak Mahmud.“Aku ‘kan nggak bisa bawa mobil, Sim. Bisanya bawa mobil-mobilan,” jawab Pak Mahmud.“Siapa suruh bawa? Aku bilang keluarkan, Mud,” sahut Pak Kasim.Trisma memukul pelan lengan Pak Kasim sedangkan Mbok Minah mencubit pinggang Pak Mahmud.“Bisa-bisanya dalam keadaan kayak gini kalian bercanda,” ucap Mbok Minah.“Iya, nih!” Trisma membenarkan ucapan Mbok Minah. “Nggak lucu, Pak Kamud.”Kamud adalah sing
Dipta menggenggam kuat tangan kanan Senja yang terluka. Ia tidak menyadari bahwa tangan mungil itu dibebat dengan perban. Senja merasakan tangannya berdenyut nyeri. Tubuhnya yang mungil begitu ringan dibawa paksa oleh Dipta menuruni tangga.Tangan kirinya mencoba meraih lengan Dipta yang menggenggam tangan kanannya. “Tuan!” panggil Senja. “Lepaskan saya, Tuan.”Dipta mendengar panggilan itu, tetapi tidak ia hiraukan. Ia terus berjalan cepat membawa paksa Senja melintasi ruang utama keluarga, keluar melewati pintu belakang, berbelok kearah kolam renang. Tidak ada satupun para pekerja rumah yang melihat mereka. Bahkan dua orang yang bertugas memonitor CCTV rumah, sedang tidur dengan pulas diruang kerjanya.Sesampainya di depan kolam berenang, Dipta membanting keras tubuh Senja hampir mengenai dinding marmer. Senja tersentak kaget dan merintih kesakitan karena tangannya berdenyut nyeri.Dipta bersedekap sambil memandang wajah sendu Bi
Gauri menceritakan semua hal yang terjadi tadi malam, apa yang telah Eyang Chandra rencanakan, alasan Senja berada dimeja makan, tujuan Gauri ingin melukai tangan serta apa yang telah Senja lakukan. Dipta mendengar semua cerita itu dalam diam. Tidak menyanggah ataupun bertanya apa-apa. Ia hanya diam mendengarkan dan mengamati adiknya bercerita.Setelah bercerita, Gauri melihat kakaknya mengepalkan tangan dan menahan segala emosi yang berkecamuk dikepala. Ia sangat mengetahui kakaknya, orang yang selalu dapat diandalkan dalam segala hal. Orang yang sangat menyayanginya, melakukan apapun untuknya, memprioritaskan adiknya tanpa diminta. Dipta mungkin bukan laki-laki yang baik, tetapi ia adalah kakak yang terbaik bagi Gauri.“Kak, Yelo hanya ingin sekolah dirumah,” ujar Gauri.Dipta menganggukkan kepalanya. “Pasti,” jawab Dipta dengan yakin, “Kamu hanya akan sekolah dirumah.”‘Akan kubuat mereka berdua menanggung akib
Senja berjalan menuju kamar Gauri untuk mengatakan sesuatu yang tidak sempat terucapkan saat pagi tadi karena Dipta menariknya menjauh dari kamar Gauri. Saat ini sudah pukul delapan malam, semoga waktu yang tepat, pikir Senja. Ia tidak ingin menunda membahas permasalahan yang terjadi. Ia ikut berandil didalamnya. Senja mengetuk pintu kamar dan pintu kamar terbuka menampakkan wajah Trisma. “Mbak Senja? Mbak mau—” Senja menganggukkan kepalanya. Sepertinya Senja dan Trisma memiliki ikatan telepati karena tanpa Trisma menyelesaikan kalimatnya, Senja sudah tahu apa maksudnya. “Sudah kamu sampaikan pada Gauri?” tanya Senja. Trisma langsung menganggukkan kepalanya, tersenyum lebar dan mengangkat jari jempol kanannya kearah Senja. “Non, Mbak Senjanya udah datang,” Trisma memberitahu kedatangan Senja pada Gauri. “Semoga berhasil, Mbak,” ucap Trisma sambil berlalu keluar kamar. Senja berjalan masuk kedalam kamar Gauri dan menemuk
“Kita mau kemana, Kak?” tanya Senja penasaran.“Ruang kerja Eyang Chandra,” jawab Bima sambil menuntun langkah Senja.Bima Ventura adalah ketua pengawal Dipta R. Maheswara. Bima memiliki lima rekan yang bekerja atas perintahnya dan Eyang Chandra.“Eyang Chandra sudah pulang?”Bima mengernyitkan keningnya mendengar pertanyaan dari Senja. “Belum. Kamu tidak tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan dari Indonesia ke Italia?”Senja menggelengkan kepalanya.“17 Jam,” jawab Bima. “Apakah masuk akal kalau Eyang Chandra sudah pulang sekarang?”Senja kembali menggelengkan kepalanya. Ia merasa sangat bodoh karena pertanyaan tadi. Padahal ia hanya ingin basa-basi.“Jadi kenapa kita keruangan kerja Eyang Chandra?”“Nanti kamu akan tahu.”Selanjutnya tidak ada percakapan sama sekali. Mereka berdua berjalan dalam diam. Senja tahu Bima
“Kamu masih sakit, Ta!” sergah Yohan.“Besok udah nggak, Han!” balas Dipta. “Kamu tahu penyebab sakitku karena siapa?”“Jangan menyalahkan orang lain, kamu terlihat sangat menyedihkan,” tandas Yohan.Rahang Dipta mengeras mendengar kalimat yang keluar dari mulut Yohan.Gerka langsung mengendalikan situasi. “Yohan nggak bermak—”“Bukan begini caranya membalas, Ta,” sela Yohan.“Han, diam dulu!” tegas Gerka. “Ta, sebaik—”“Sebaiknya kalian berdua pulang!” usir Dipta.“Jangan bawa Senja ke arena balap!” seru Yohan memperingati.“Aku akan membawanya!” tandas Dipta.Yohan menghela napas putus asa. “Baiklah, terserahmu saja!” lalu beranjak pergi keluar dari kamar Dipta tanpa berpamitan.Gerka bingung ingin memihak siapa. “Ta, aku rasa—”
Tanpa mengetuk pintu kamar Dipta, Gerka langsung masuk di ikuti oleh Yohan di belakangnya.“Hei, adik cantik!” sapa Gerka pada Gauri saat menyuapkan nasi ke dalam mulut Dipta.Gauri menoleh dan mendapati Gerka juga Yohan berdiri dengan gaya yang sangat berbeda.“Kak Yohan!” ucap Gauri disertai senyuman.Gerka langsung menampilkan muka masam. “Kakak nggak disapa?”“Apa kabar, Gauri,” ujar Yohan.“Baik, Kak!” sahut Gauri. “Kakak kabarnya gimana?”Gerka mengabaikan Yohan dan Gauri lalu menuju kasur Dipta. “Kamu sakit, Ta?”Gerka dapat melihat wajah pucat Dipta dan matanya yang sayu. Dipta mengangkat sebelah tangannya yang di infus. “Pertanyaan yang sangat berguna. Kamu punya mata kan?” sarkastis Dipta.Gerka berdecak lalu bergumam, “Basa-basi busuk, Bro!”“Gimana keadaanmu, Ta?” tanya Yohan yang sud
Yohan menyebutkan pesanannya pada Reno si pramusaji. “Sirloin Wagyu Beefnya satu, sama minumannya mojito juga.”Reno mencatat semua menu dan mengulangi pesanan pada Yohan dan Isma setelah mengatakan mohon menunggu pada kedua insan tersebut, Reno beranjak pergi.Yohan membuka MacBook Pro 24 Karatnya untuk melihat peninjauan ulang pembangunan Hotel Shunshine di Pulau Nusa Lembongan, Bali. Ia harus segera cepat merealisasikan pembangunan tersebut sebelum perusahaan asing merebutnya.“Kenapa buka laptop?” tanya Isma heran.“Ada kerjaan yang nggak bisa di tunda.” Lalu Yohan melirik Isma. “Kamu keberatan?”“Kalau saya bilang keberatan, kamu akan menutup laptopnya?”Yohan menganggukkan kepalanya dan menjawab, “Iya.”“Memang benar ya, rumor yang beredar bahwa kamu itu gila kerja,” ucap Isma.Yohan mengedikkan bahunya kemudian menutup laptopnya. Ia tahu
Gauri baru saja menyelesaikan pelajarannya ketika melihat dr. Zendra dan dua perawat turun dari lantai dua. Gauri yang masih berada jauh dari anak tangga menyuruh Trisma mendorong kursi rodanya dengan cepat agar sampai di hadapan dr. Zendra. “Dokter!” panggil Gauri. Dokter Zendra menghentikan langkahnya saat mendengar panggilan itu. Ia menoleh dan mendapati Gauri sedang mengarah padanya. “Gauri, apa kabar?” sapa dr. Zendra saat Gauri sudah berada di hadapannya. “Pak Dokter sedang apa disini?” tanya Gauri heran. Dokter Zendra mengulas senyum tipis. “Bapak baru saja memeriksa kakakmu, kamu nggak tahu dia sedang sakit?” Gauri menggelengkan kepalanya. “Kak Dipta sakit apa?” “Demam tinggi, kadar alkohol dalam tubuhnya sangat tinggi, kondisi fisiknya sangat lemah, makanya kamu bilang sama kakakmu kurangin minum alkoholnya dan kalau bisa jangan minum-minum lagi, ya!” “Siap, Pak Dokter!” seru Gauri dengan sikap ala hormat bende
“Kamu lagi?” tanya Dipta. “Sehari saja wajahmu itu tidak muncul di hadapanku, bisa?” Mata Senja mengerjap heran. “Bukankah wajah Tuan Dipta yang muncul di hadapan saya?” balas Senja. Dipta terkekeh pelan. “Keberanianmu memang patut di acungi jempol.” Senja tersenyum tipis. “Nona Gauri juga mengatakan hal yang sama.” Dipta menaikkan alisnya. “Tapi apa kamu tahu, keberanianmu juga bisa menjadi bumerang untukmu?” “Kenapa menjadi bumerang?” tanya Senja. Dipta berjalan pelan mendekati Senja. “Kamu harus tahu tempat menggunakan keberanianmu itu.” “Keberanian itu tidak perlu tempat, tapi perlu usaha. Bukankah manusia memang memerlukan usaha untuk menciptakan keberanian dalam dirinya?” “Menarik!” sahut Dipta yang sudah berada tiga langkah di depan Senja. “Usaha apa yang di perlukan?” “Bangun rasa percaya diri, lawan rasa takut dan mencoba tegar.” Dipta bertepuk tangan tiga kali mendengar jawaban Senja. “Tiga usa
“Kamu yang menyuruhnya?” tanya Dipta dengan raut tidak senang.“Iya, kenapa? Kamu nggak senang?” balas Bima dengan tatapan tajam.“Brengsek!” maki Dipta. “Kenapa kamu menyuruhnya?”“Kenapa kamu merusak motornya?” tanya Bima dengan intonasi yang tinggi.Dipta menggeram marah dan mencoba bangkit dari kasurnya. Tubuhnya sempoyongan karena pusing yang mendera begitu hebat. Dunia seakan berputar di depan matanya.Melihat itu, Bima meraih sebelah lengan Dipta agar tubuhnya tidak terjatuh. Mendapat keseimbangannya kembali, Dipta segera mencengkram kerah kemeja Bima.“Apa hubunganmu dengan perempuan itu?”“Tidak ada.”“Jangan bohong! Kamu pasti tahu apa yang direncanakan Kakek Tua itu!” hardik Dipta.Bima terdiam dan tidak menjawab. Wajahnya menoleh ke samping, menghindari tatapan Dipta yang mengintimidasi.Dipta mengulas senyu
Senja terbangun pada pukul dua dini hari karena suara deringan ponselnya. Kak Bima adalah nama yang tertera pada layar ponsel Senja.‘Ada apa Kak Bima telepon jam segini?’ pikirnya.“Ha..lo, Kak?” sapa Senja dengan menguap lebar.“Senja, tolong keatas sekarang!” suruh Bima.Masih setengah sadar, Senja mengerutkan keningnya. “Ke atas mana, Kak?” tanyanya bingung.“Kamar Tuan Dipta!”Mendengar nama Dipta, membuat kedua mata Senja terbuka lebar dan rasa kantuknya hilang seketika.Senja duduk di kasurnya dan menoleh melihat kasur sebelah yang ditempati oleh Trisma.‘Syukurlah Trisma tidak bangun,’ batinnya.“Kenapa dengan Tuan Dipta?”“Cepatlah kesini dan bawa air hangat, handuk bersih juga kotak P3K.”“Tuan Dipta sakit?”Bima menggumam mengiyakan.Perlahan Senja beranjak pelan keluar kamar
“Gila, Bro! Kamu habis syuting film?” tanya Gerka saat melihat Dipta yang basah kuyup dan tangan kanan yang dibalut perban. “Udah kayak film india aja, Boss!”Dipta memasang tampang sangar pada Gerka yang membuat Gerka tersenyum kecut.“Ceritakanlah kronologis kenapa seorang Dipta Maheswara hujan-hujanan dan tangan terluka,” ucap Gerka. “Kenapa kondisimu mengenaskan begini, Ta?”“Yohan dimana? Nggak ikut balapan lagi?” tanya Dipta mengalihkan pembicaraan.Dipta tidak ingin membicarakan kejadian tadi pagi pada kedua temannya.“Tuh!” tunjuk Gerka dengan mengarahkan bola mata dari balik punggung Dipta.Dipta berbalik dan melihat Yohan mengendarai motor Aston Martinnya dengan menggunakan helm full face. Beberapa wanita disekitarnya terang-terangan berteriak pada Yohan, si CEO muda, kaya, gila kerja, tampan dan sopan.Yohan Bramasta, anak konglomerat dari keluarga Bram
“Kak Bima kemana aja sih seharian ini?” omel Trisma pada Bima yang baru saja melangkahkan kaki ke dalam ruangan istirahat pegawai.“Ada urusan sebentar diluar,” jawab Bima sambil celingukan mencari Senja.“Sebentar?” Trisma berkacak pinggang. “Dari jam lima pagi sampai jam lima sore itu waktu yang sebentar?”“Ada yang harus saya kerjakan atas suruhan Eyang Chandra, dan ternyata ada kendala yang memakan waktu sedikit lebih lama,” jelas Bima.“Tapi nggak biasanya Kak Bima pergi pagi-pagi sekali dan pulang sore hari!” ujar Trisma. “Kak Bima bohong ya?”“Sejak kapan Bima bohong, Ris?” tanya Mbok Minah yang mendapat anggukan dari Pak Mahmud.“Bima itu nggak pernah bohong,” kata Pak Mahmud. “Yang sering bohong itu si Kasim.”“Kok aku dibawa-bawa?” tanya Pak Kasim pada Pak Mahmud.“Siapa yang bawa k