Aaska meninggalkan gadis yang bernama Bulan itu di tempatnya, bahkan untuk menoleh kembali ke arah belakang saja Alaska sudah tidak mau. Sementara gadis itu, hanya menatap bingung ke arah tubuh Alaska yang perlahan mengecil dan menghilang.
'Masih ada ya, cowok dingin dan serem gitu di dunia nyata? Tapi ya udahlah, bukan urusan gue juga.' pikir gadis itu seraya memegang tangannya yang masih terasa sakit.
____
"Alaska! Gue di sini! Lo ngapain bengong aja di sana? Duduk di sini!" teriak Azka yang ternyata sudah ikut nimbrung di tempat yang sudah banyak bangku dan juga ramai akan mahasiswa dan mahasiswi lainnya.
Alaska sontak menatap ke arah lambaian Azka tersebut dan segera menghampirinya. Namun, sayang Alaska tak kebagian lagi bangku untuk duduk, dan terpaksa ia harus berdiri menikmati rangkaian acara pentas seni kali ini.
Yah, walaupun Alaska bukanlah bagian dari mahasiswa seni, tapi setidaknya harus saling menghargai.
"Lo ajaki
Azka yang kali ini sibuk menelisir seluruh penjuru kampus yang tengah ramai oleh mahasiswa yang kian berdatangan semakin bingung hendak mencari Alaska ke mana.Sementara, sebentar lagi Alaska akan tampil, dan mereka belum membicarakan hal ini.“Woy! Ngapain lo?” panggil seseorang yang mencengkram erat bahu Azka yang sontak menatap tangan yang ada di bahunya itu.“Siapa lo?” tanya Azka pada mereka yang tampak sangar dan tatapan yang remeh ketika memandang Azka.“Ikut kita!” titahnya dan menyeret tangan Azka dengan kencang sehingga pria itu kekurangan keseimbangan dan ikut terseret.“Mau ke mana sih? Lagian kalian siapa seret gue?” bantah Azka ketika ia berhasil menghentikan langkahnya agar tak berlarut di bawa oleh mereka yang kelihatannya preman.“Kita bakalan kasih tau lo, dimana Alaska,” tukas pria itu pada Azka.Namun Azka setengah percaya dengan perkataan mere
“Gimana perform gue Ka?”Pertanyaan yang di lontarkan Alaska sontak membuat Azka berpaling dari layar ponsel yang di mainkan ke arah pria yang tengah tersenyum kecut padanya itu.Deg“Bagus kok,” lirih Azka.“Lah cuma bagus doang?”“Ternyata nama lo Alaska ya? Gue baru tau, by the way tadi gue liat lo perform dari awal sampai selesai. Lo ada sesuatu ya yang di rasain, karena lagu yang lo nyanyiin menjiwai dan bener-bener nyentuh perasaan banget,” sela seorang gadis diantara pembicaraan mereka.“Eh Bulan, kapan datangnya?” gugup Azka saat mengetahui Bulan ternyata sudah berada di dekat mereka.“Makasih,” singkat Alaska lagi.“Gue juga baru aja mau berpendapat yang sama ama Bulan. Ternyata, seseorang yang tengah terluka, bisa menjiwai sebuah lagu yang di bawakannya,” pungkas Azka lagi pada Alaska yang tampak mengernyitkan dahinya tak mengerti.
Yesa tampak kesal kali ini, seakan semuanya menyudutkan dirinya. Tatapan kesal dan juga sinis terlihat dari wajahnya, bahkan saat suasana hening pun, Yesa masih berada di tempat. Bahkan tak habis pikir dengan apa yang ada di kepala Yesa.“Okey, kalian nyalahin gue kan disini?” Timpal Yesa lagi.“Kita gak salahin lo kok, tapi setidaknya intropeksi diri atas apa yang udah terjadi! Nyali lo terlalu kuat,” jawab Azka.“Lama-lama kalian ngeselin ya! Gue itu juga pengen di bahagiakan pake materi, bukan cuma cinta doang! Emang bisa apa, jalan pake cinta? Dan modal nikah pake cinta doang? Enggak kan! Yang ada pacaran mulu tuh sama cinta!” Tutur Yesa yang masih membela dirinya, padahal semua tau apa yang udah dia lakuin ke Alaska, bahkan tak satu pun dari mereka yang angkat bicara kecuali Zoy.“Bukan gitu prinsipnya, semua memang perlu uang. Tapi setidaknya, kita bisa liat kondisi pasangan dulu. Kalo kayak sekarang? Kita m
Kali ini, Alaska tengah gundah menelusuri jalanan raya yang kala itu ramai dengan kendaraan karena yang namanya ibu kota, pasti gak akan pernah sepi apalagi sama kendaraan yang berlalu lalang. Gundah kembali menghampiri, setelah masalah dengan Yesa, ternyata orang suruhan pak Suryo datang menemuinya dengan tidak sopan ke kota.Apa ini yang namanya dewasa?Bukan hanya masalah cinta, tapi juga keluarga. Apa tak bisa sehari saja masalah itu hilang, hanya sekedar melukis sebuah kebahagiaan. Apa dewasa itu selalu tentang luka dan masalah saja? Kapan dewasa itu bisa menjadi bahagia? Mengapa ada kalimat yang menyatakan bahwa ‘Akan ada pelangi setelah hujan,' lantas mengapa tak ada pelangi dalam hidupnya Langit, padahal badai tak kunjung berhenti untuk datang silih berganti.Banyak hal yang kini berkecamuk dalam benaknya, antara tetap kuliah atau berhenti. Antara kerja atau masih jadi beban keluarga. Semua itu hampir saja membuat kepalanya pecah.“Lah
-Hidup itu tentang perjuangan. Bukan tentang bahagia yang di dapatkan semudah membalikkan telapak tangan,-“Ayok ikut gue ke ATM!” Ajak Azka pada Alaska yang wajahnya udah mulai gak lesu lagi. Karena Azka memberikannya jalan keluar untuk hal ini.“Sekarang?”“Enggak, tahun depan! Ya sekarang lah Alaska, biar masalah lo, kelar satu-satu!” Kesal Azka lagi.“Iya udah, ayok. Tapi gimana gue mau kasih ke mereka? Sedangkan ATM dan rekening aja gak punya,” lirih Alaska lagi.“Yaelah lo Alaska! Kan kita bisa lewat orang yang badannya gede tadi, atau lo telpon nyokap lo di kampung, buat kasih tau ke lintah darat itu, kirimin nomor rekeningnya ke gue!”“Makasihh Azka, lo emang sahabat gue yang terbaik. Gue gak tau, kenapa otak gue bisa jadi sebego ini,” Timpal Alaska seraya memeluk Azka yang duduk tepat di depannya.“Ih lo ap
Drrrttt ...Drrrttt ...Drrrttt ...“Ka, woy bangun! Hape lo getar noh dari tadi!” Teriak Azka. Sontak membuat Alaska langsung bangun dari tidurnya dan menatap ke layar ponsel yang di berikan Azka padanya.“Siapa? Gue ngantuk!”“Nyokap lo kayaknya, coba liat lagi deh!” Titah Azka pada Alaska yang matanya masih separo merem.“Hooaamm ya udah mana sini handphone gue!”“Itu handphone lo disana Alaska! Yaelah, pikun dini deh lo!” Celetuk Azka pada Alaska yang nyawanya masih belum terkumpul karena masih ngantuk.“Eh---““Ya, hallo ma? Ada apa ma?” jawab Alaska ketika menjawab panggilan, dan keluar kamar untuk bicara dengan orang tuanya.Sepertinya ada privasi sendiri, yang Azka gak boleh tau.“Hah? A-Alaska? Kok Alaska sih? Gak- Gak mau ma! Alaska pokoknya gak mau!” bantah Alaska lagi di teleponnya
“Alaska tetap gak mau buat di jodohin pa, ma!” Bantah Alaska di hadapan pak Asep yang hanya bungkam dan sesekali menatap istrinya, seakan ia bersalah atas perjanjian yang mereka lakukan dua puluh tahun silam, sejak awal anak mereka masih dalam kandungan.“Apa alasan kamu gak mau Alaska? Gak sopan banget kamu ya, lancang banget di depan pak Asep ngomong gitu!” Bantah papa Alaska dengan nada yang meninggi, sedangkan di ruang tamu para manusia yang ada disana, sangat gugup dan sontak menjadi canggung.“Pah, Alaska minta maaf ya kalo kali ini Alaska harus nolak permintaan papa sama mama buat di jodohin, Alaska sadar kok kalo itu udah bikin Alaska jadi anak durhaka. Tapi Alaska minta pengertian mama sama papa, juga pak Asep. Kali ini, Alaska pengen nikmati masa muda dulu, dan cari pekerjaan yang bener-bener bikin Alaska mapan, dan siap menanggung semuanya. Sedangkan sekarang? Alaska masih berstatus kan mahasiswa,” tutur Alaska berharap ay
Alaska berada di kamarnya dulu sewaktu masih berada di kampung. Bahkan satu pun tak ada yang berubah, hingga ia hampir saja tak ingin beranjak dari kamar itu untuk melepas kerinduan.Sementara ia harus balik ke kota untuk kembali melanjutkan hidupnya di rantau menjalani pendidikan yang hampir selesai ia tempuh. Semua rasanya terasa kembali dalam ingatan Alaska, dimana dulu ini adalah kamar pertama ia sewaktu selesai khitan. Dan ini adalah kamar dimana ia menumpahkan segala kerisauan dalam hatinya, sesekali memetik senar gitar yang hampir terlupakan olehnya. Alaska yang dulu hanya berdiam diri di kamar tanpa ada yang mau berteman dengannya, bahkan ia tidak terlalu terbuka untuk berbagai hal yang sontak membuat sekitarnya ingin menjadikan Alaska sebagai menantunya. Alaska hanya tertegun ketika mengingat semua itu, ia harus kuat tak ada lagi Alaska yang harus rapuh ketika mengingat masa lalu yang begitu menghancurkan dirinya. Flashback adalah salah satu cara terbodoh yang
“Alaska, kok lo malah main tinggal gue aja sih sama tu orang di depan?” Dengus Azka yang berlari mengejar Alaska yang bergegas masuk ke dalam rumah."Gue gak mau bergulat dengan masa lalu yang udah bikin gue tertatih! Gue gak mau harus mengulang sejarah sama orang yang berulang kali bikin gue kecewa. Dia hadir, cuma gak mau anak yang ada dalam perutnya itu lahir tanpa ayah. Gue tau, kalo gue jahat gak mau dampingin dia, karena jujur dari hati yang paling dalam gue masih sayang sama dia Ka!” tutur Alaska seraya menyeka air mata yang ikut tumpah ketika mulutnya melontarkan kalimat yang membuatnya pilu itu.“Sayang sama orang salah! Itu karma buat dia, karena udah nyakitin perasaan orang yang tulus sama dia, dan gak mau ngerusak dia sama sekali,” timpal Azka dan menepuk pundak Alaska.“Entahlah Ka, mendingan lo suruh Yesa pulang aja. Gue gak mau nanti salah paham,” titah Alaska pada Azka yang menatapnya datar, lalu beranjak
Setiap manusia punya sisi kelemahannya masing-masing. Dan salah satu sisi kelemahan gue adalah hidup tanpa lo!••Fajar kembali menyingsing. Sesekali melihatkan diri akan satu hal yang membuat seluruh manusia di bumi melanjutkan aktivitasnya. Alaska sempat beberapa kali berdecak kagum dalam hati, ketika menatap semesta begitu bersahabat, terlebih pagi ini tampak rindang dan sejuk, juga tenang. Gak seperti biasanya.Alaska mencoba menghirup udara segar yang kali ini membuat pikirannya sedikit tenang, dari segala beban masalah yang menghampirinya. Angin sepoi-sepoi pun ikut bahagia, dengan hadirnya Alaska pagi ini yang tampak seperti Langit biru di angkasa.“Alaska!” kaget Azka yang baru saja datang dari belakang.“Lo Ka, ada apa?” tanya Alaska pada Azka lagi.“Gak ada sih, lagi pengen nyantai aja hari ini. Rasanya tenang banget ya, kalo kayak sekarang,” pungkas Azka.“Iya enak
‘Siapa bilang lebih baik sakit gigi dari pada sakit hati? Nyatanya lebih baik sakit gigi dari pada sakit hati!’ ujar Alaska pada dirinya sendiri yang tatkala sedang membawa motor menuju kostnya.Rasanya ia bermimpi, bahwa apa yang terjadi pada dirinya saat itu hanyalah sebuah delusi yang membawanya dalam sebuah kesengsaraan, tapi ternyata salah! Itu adalah sebuah kenyataan yang harus di terima disaat semua tak satu pun berpihak pada kita.Oh ternyata begini, rasanya menjadi dewasa. Setelah bertahun, hanya mendengar kita dari orang lain yang selalu mengeluh lelah menjalani hidupnya. Meskipun tak pernah mengusik, tapi kenapa Alaska selalu di hadirkan orang yang tak pernah memberi ketenangan pada jiwanya yang tergolong lelah itu. tak terasa hampir bentar lagi Alaska sampai di rumah kostnya. Baru sebentar ia tinggal, rasa rindunya sudah menyeruak menyesakkan dada. Sama seperti halnya ketika ditinggal oleh orang yang terkasih, baru saja sebentar tapi rindunya ud
Biarkan semua berjalan sesuai alurnya. Mengikuti proses sebagaimana mestinya, tak perlu berhayal tinggi dalam menjalan kan kehidupan yang nyatanya keras dan begitu kejam. Cinta bahkan tak peduli berapa besar rasa yang harus ia korbankan, bahkan luka juga tak mau tau berapa perih yang harus ia sembuhkan untuk tetap bertahan.“Bang Alaska, enak gak kuliah di Jakarta?” tanya Shania yang sedari tadi sibuk memperhatikan Alaska yang tengah berberes.“Kenapa kok nanya gitu? Emang Shania juga mau kuliah di Jakarta?” tanya Alaska lagi.“Hm, pengen tau aja bang. Karena masih takut karena belum pernah jaoh dari mama sama papa, rasanya Shania masih belum siap buat itu,” jelas adiknya yang membuat Alaska melihat kan lengkung bulan sabit di bibirnya.“Gak ada yang perlu di takutin kok Shania, semuanya juga akan jadi terbiasa. Apalagi disana, bisa lebih mandiri dari pada harus selalu tinggal sama orang tua. Tapi kalo Shania, jan
Alaska berada di kamarnya dulu sewaktu masih berada di kampung. Bahkan satu pun tak ada yang berubah, hingga ia hampir saja tak ingin beranjak dari kamar itu untuk melepas kerinduan.Sementara ia harus balik ke kota untuk kembali melanjutkan hidupnya di rantau menjalani pendidikan yang hampir selesai ia tempuh. Semua rasanya terasa kembali dalam ingatan Alaska, dimana dulu ini adalah kamar pertama ia sewaktu selesai khitan. Dan ini adalah kamar dimana ia menumpahkan segala kerisauan dalam hatinya, sesekali memetik senar gitar yang hampir terlupakan olehnya. Alaska yang dulu hanya berdiam diri di kamar tanpa ada yang mau berteman dengannya, bahkan ia tidak terlalu terbuka untuk berbagai hal yang sontak membuat sekitarnya ingin menjadikan Alaska sebagai menantunya. Alaska hanya tertegun ketika mengingat semua itu, ia harus kuat tak ada lagi Alaska yang harus rapuh ketika mengingat masa lalu yang begitu menghancurkan dirinya. Flashback adalah salah satu cara terbodoh yang
“Alaska tetap gak mau buat di jodohin pa, ma!” Bantah Alaska di hadapan pak Asep yang hanya bungkam dan sesekali menatap istrinya, seakan ia bersalah atas perjanjian yang mereka lakukan dua puluh tahun silam, sejak awal anak mereka masih dalam kandungan.“Apa alasan kamu gak mau Alaska? Gak sopan banget kamu ya, lancang banget di depan pak Asep ngomong gitu!” Bantah papa Alaska dengan nada yang meninggi, sedangkan di ruang tamu para manusia yang ada disana, sangat gugup dan sontak menjadi canggung.“Pah, Alaska minta maaf ya kalo kali ini Alaska harus nolak permintaan papa sama mama buat di jodohin, Alaska sadar kok kalo itu udah bikin Alaska jadi anak durhaka. Tapi Alaska minta pengertian mama sama papa, juga pak Asep. Kali ini, Alaska pengen nikmati masa muda dulu, dan cari pekerjaan yang bener-bener bikin Alaska mapan, dan siap menanggung semuanya. Sedangkan sekarang? Alaska masih berstatus kan mahasiswa,” tutur Alaska berharap ay
Drrrttt ...Drrrttt ...Drrrttt ...“Ka, woy bangun! Hape lo getar noh dari tadi!” Teriak Azka. Sontak membuat Alaska langsung bangun dari tidurnya dan menatap ke layar ponsel yang di berikan Azka padanya.“Siapa? Gue ngantuk!”“Nyokap lo kayaknya, coba liat lagi deh!” Titah Azka pada Alaska yang matanya masih separo merem.“Hooaamm ya udah mana sini handphone gue!”“Itu handphone lo disana Alaska! Yaelah, pikun dini deh lo!” Celetuk Azka pada Alaska yang nyawanya masih belum terkumpul karena masih ngantuk.“Eh---““Ya, hallo ma? Ada apa ma?” jawab Alaska ketika menjawab panggilan, dan keluar kamar untuk bicara dengan orang tuanya.Sepertinya ada privasi sendiri, yang Azka gak boleh tau.“Hah? A-Alaska? Kok Alaska sih? Gak- Gak mau ma! Alaska pokoknya gak mau!” bantah Alaska lagi di teleponnya
-Hidup itu tentang perjuangan. Bukan tentang bahagia yang di dapatkan semudah membalikkan telapak tangan,-“Ayok ikut gue ke ATM!” Ajak Azka pada Alaska yang wajahnya udah mulai gak lesu lagi. Karena Azka memberikannya jalan keluar untuk hal ini.“Sekarang?”“Enggak, tahun depan! Ya sekarang lah Alaska, biar masalah lo, kelar satu-satu!” Kesal Azka lagi.“Iya udah, ayok. Tapi gimana gue mau kasih ke mereka? Sedangkan ATM dan rekening aja gak punya,” lirih Alaska lagi.“Yaelah lo Alaska! Kan kita bisa lewat orang yang badannya gede tadi, atau lo telpon nyokap lo di kampung, buat kasih tau ke lintah darat itu, kirimin nomor rekeningnya ke gue!”“Makasihh Azka, lo emang sahabat gue yang terbaik. Gue gak tau, kenapa otak gue bisa jadi sebego ini,” Timpal Alaska seraya memeluk Azka yang duduk tepat di depannya.“Ih lo ap
Kali ini, Alaska tengah gundah menelusuri jalanan raya yang kala itu ramai dengan kendaraan karena yang namanya ibu kota, pasti gak akan pernah sepi apalagi sama kendaraan yang berlalu lalang. Gundah kembali menghampiri, setelah masalah dengan Yesa, ternyata orang suruhan pak Suryo datang menemuinya dengan tidak sopan ke kota.Apa ini yang namanya dewasa?Bukan hanya masalah cinta, tapi juga keluarga. Apa tak bisa sehari saja masalah itu hilang, hanya sekedar melukis sebuah kebahagiaan. Apa dewasa itu selalu tentang luka dan masalah saja? Kapan dewasa itu bisa menjadi bahagia? Mengapa ada kalimat yang menyatakan bahwa ‘Akan ada pelangi setelah hujan,' lantas mengapa tak ada pelangi dalam hidupnya Langit, padahal badai tak kunjung berhenti untuk datang silih berganti.Banyak hal yang kini berkecamuk dalam benaknya, antara tetap kuliah atau berhenti. Antara kerja atau masih jadi beban keluarga. Semua itu hampir saja membuat kepalanya pecah.“Lah