"Layanilah perempuan itu dengan baik, aku tak akan melarangnya, karena memang seharusnya begitu."Aiman kembali memejamkan mata, sambil menarik napas dalam. Ia tak ingin memilih, ia hanya ingin hidup tenang dengan merangkul keduanya secara bersamaan. "Jangan berkata begitu, Zi. Abang tau Abang salah, tapi jangan menghukum Abang dengan kata-kata seperti ucapanmu barusan. Abang sungguh sangat mencintaimu!""Bukankah terkadang cinta memang tak harus memiliki?" lirih Zia pelan. "Berusahalah menerima, Zi! Abang akan berusaha untuk adil." Aiman menatap kosong meja rias di hadapannya. "Aku hanya tak ingin lebih sakit lagi!"Seketika Aiman beralih menatapnya tajam, "Kau cukup paham tentang ini, Zi, bersabarlah! Abang mohon. Jika bisa memilih, Abang lebih memilih tak pernah dipertemukan lagi dengan Sintia, tapi Abang bisa apa?""Jangan pernah mengira, seseorang dengan didikan pesantren akan berubah menjadi malaikat! Aku masih manusia biasa, yang bisa merasakan sakit hati dan kecewa," ucap Zi
Aiman mengusap wajah kasar. Ia tahu kalimat yang baru saja meluncur dari bibirnya, mampu kembali melukai Zia, tapi ia tak bisa membohongi hatinya untuk jujur pada istri pertamanya itu. Berharap Zia bisa mengerti dirinya. "Iya, Zi. Abang mencintai kamu, juga Sintia."Sudut bibir Zia terangkat. Kalimat Aiman tak ubah bak belati tajam yang menancap tepat di ulu hatinya. Zia berusaha menguatkan diri. Ia tahu, jika kedepannya, kata-kata yang lebih menyakitkan akan menjadi hal biasa baginya. "Ke luar lah, Bang! Aku sedang ingin sendiri," usir Zia lirih. "Zi," Pelan tangan Aiman menggenggam jemari Zia. Ada rasa tak tega telah menyakiti perempuan baik itu. Namun ia pun tak mau Sintia kecewa. "Pergilah! Malam ini jatah kau dan Sintia, aku tak ingin sedikit pun menjadi penghalang."Hening. Cukup lama hanya desahan napas penuh luka dari bibir Zia yang terdengar, setelahnya Aiman bangkit dan ke luar setelah mencium pucuk kepala Sang istri. Zia mengusap sudut mata yang basah. Tangannya meng
"Harusnya kau yang iri denganku. Bukankah aku yang pertama kali dan satu-satunya yang merasakan luahan cinta dari Bang Aiman setahun ini." Zia mengedipkan sebelah matanya. Entah sejak kapan Zia menjadi pintar membela hatinya seperti sekarang. Sintia terlihat geram. Emosinya memuncak mendengar kalimat Zia barusan. "Tunggu saja kau, Zia! Aku akan menyingkirkanmu dari hati Bang Aiman."Zia tersenyum lembut, menampakkan dagu runcing penyempurna wajahnya. "Masih ada lagi yang perlu ditanyakan?" Zia menaikkan alis. Sintia menghentakkan kakinya ke lantai seiring emosi di dadanya yang memuncak. Perempuan dengan piyama tidur itu meninggalkan Zia yang masih mematung di pintu kamar. Sintia kembali ke kamar, meraih ponsel di atas nakas, lalu mulai memesan makanan jadi. Tiga hari sudah Sintia tinggal bersama mereka, sejak saat itu pula Zia tak pernah lagi memasuki kamar yang sekarang ditempati Sintia, meski hanya sekedar beres-beres. "Kok, pakaian kotornya nggak di cuci, Sayang?" tanya Aima
"Kenapa, Zi?" "Nggak, nggak papa, Ra." Bibir tipis itu melengkung membentuk bulan sabit. "Kamu sendiri?" Zia balik bertanya, berusaha mencair suasana. Suasana hatinya yang tiba-tiba tak nyaman. "Insya Allah, sesegera mungkin, Zi. Do'akan saja semoga lancar semuanya. Nanti kalau udah deket harinya, bakal kukabarin dan kamu harus dateng." Fira tampak sumringah. Zia menatap dengan binar bahagia kalimat Fira. Terbayang kembali bagaimana dulu bahagianya dirinya saat Aiman datang melamarnya. Namun kini semua memudar, bahkan semakin memudar. *Pukul 15.30 Zia sudah sampai di rumah dengan motor matic yang dibelikan Aiman sebagai kado ulang tahun Zia 5 bulan lalu. Setelah memarkirkan motornya, Zia bergegas masuk rumah dan langsung ke kamar. Entahlah, semenjak Sintia tinggal di sini, kamar menjadi tempat ternyaman bagi Zia. Ia bukan lemah, hanya saja berusaha berdamai dengan hatinya. Bagaimana pun, poligami adalah sunnah dan bercerai pun bukan sesuatu yang dilarang. Hanya saja, ia berus
Zia tetap menyantap makanannya hingga tandas. Keringat di dahinya meleleh karena makanan pedas yang ia makan. Selesai makan ia bangkit, mencuci piring kotor miliknya dan kembali duduk di kursi makan yang sama. Sintia terlihat lebih tenang meski bibirnya masih terlihat memble. "Besok tolong cuci pakaian kotormu. Aku nggak mau sampai ada kecoa di kamar mandi karena bau menyengat dari baju kotormu. Aku juga nggak mau sampai ada tamu masuk rumah ini dan melihat baju kotor berserakan di kamar mandi." Zia berucap dengan mata menatap lurus pada Sintia. "Iya, Kak, tadi rencananya ada tukang loundy yang jemput, tapi ggak jadi karena nggak keburu lagi. Rencananya besok." Sintia berucap sambil menahan kesal. Bagaimana tidak, rasa panas di bibir dan mulutnya saja belum hilang, ditambah lagi kata-kata Zia yang barusan membuatnya terpojok dan merasa malu pada suaminya. "Iya, Zi, besok aku yang bakal antar ke loundry." Aiman menengahi. Namun sebenarnya ia tengah memantik api cemburu dan amarah
Ia sadar, semua yang Zia katakan adalah benar. Bahkan, sejak Sintia di sini, Aiman hanya melihat Sintia hanya melakukan shalat magrib, itu pun harus diajak terlebih dahulu. Saat adzan isya, perempuan itu selalu beralasan ia lelah dan ketika subuh tiba, Sintia dengan manjanya untuk meminta tidur lagi. Aiman tak pernah bisa untuk tegas, bahkan semenjak bersama Sintia, Aiman sering telat melaksanakan shalat subuh karena Zia tak pernah lagi membangunkannya seperti dulu. *"Bangun, Bang! Sudah masuk waktu subuh." Zia menggoncang pelan bahu Aiman yang masih terlelap. Setelah Aiman mulai sadar, Zia melanjutkan murottal qurannya. Aiman bangkit, berjalan menuju kamar mandi, kemudian segera shalat dua rakaat setelah wudhu. Selanjutnya, ia melangkah ke luar, berjalan menuju kamar Sintia. Perempuan itu masih terlelap dalam mimpinya. Berada di antara dua istrinya membuat Aiman terkadang merasa serba salah. Ia tak ingin berpihak pada salah satu di antara keduanya. Namun, sikapnya selalu menunj
Zia yang sejak tadi sibuk berbalas pesan dengan Ibu mertuanya langsung menoleh. Ya, Ibu Ana bertanya banyak pada Zia, jika mereka datang Zia pengen dibawakan apa? Aiman dan Sintia baru saja pulang. Dengan santai, Sintia bergelayut manja di bahu Aiman. Zia langsung tertunduk. Hatinya kembali terluka saat melihat penampakan seperti ini. "Zi, kamu baik-baik saja?" Fira merengkuh bahu Zia yang duduk di sampingnya. Ia mulai paham sedikit tentang rumah tangga Zia sekarang. "Kalau kau butuh teman curhat, aku siap, Zi. Jangan menyiksa batinmu dengan memendamnya," lirih Fira, ia ikut merasakan apa yang sekarang sahabatnya itu rasakan. Zia mengangkat wajahnya, lalu tersenyum. "Aku baik-baik saja, Ra. Semoga aku mampu melewati cobaan ini."Lelaki yang kini tengah duduk di kursi depan, meremas gagang stir sangat kuat. Ikut membayangkan seandainya adik kesayangannya lah yang berada di posisi Zia. Zia turun setelah mengucap terima kasih pada dua kakak adik itu. Kini tinggallah keduanya melep
Aiman terdiam, seolah baru saja tersadar dari mimpi buruknya. Tangannya mencengkram rambut di kepalanya. Kali ini ia benar-benar merasa frustasi. Zia tersenyum hambar, matanya berkaca-kaca, terasa ada yang hilang dari sudut hatinya. Ya, status seorang istri baru saja hilang darinya. Ia kini resmi menyandang status janda menurut pandangan agama. Tanpa komando, bulir bening yang sejak tadi bergelayut manja di pelupuk matanya terjatuh di pipi. Pipi mulus nan lembut itu kini basah. Sedih bercampur haru melebur jadi satu. Sedih karena rumah tangga sakinah yang ia harapkan dua menit yang lalu sudah musnah. Haru karena tak ada lagi yang mengekang jiwanya. Ia kini bebas, bebas dari ikatan yang memenjarakan hatinya. Sintia yang sejak tadi menguping pembicaraan keduanya bersorak dalam hati. Bibirnya tak henti menyungging senyum puas."Zi, maafkan Abang, Abang sungguh menyayangimu, Zi," lirih Aiman, matanya kini berkaca-kaca setelah menyadari kebodohannya. Tangannya menangkup jemari Zia. Ce
"Terima kasih atas waktu dua tahunmu membersamaiku, Bang. Semoga kau selalu menjadi laki-laki terbaik bagiku dan Hana, putri kita." Zia menyandarkan kepalanya ke dada bidang lelaki yang sudah dua tahun melengkapi hidupnya. Sebuah jalan takdir yang sama sekali tidak pernah ia duga sebelumnya, jika Farid akan menjadi suami, imam juga jalan dirinya untuk menggapai surga Rabb-nya."Alhamdulillah, Sayang. Abang juga sangat bersyukur sekali bisa dipertemukan dengan perempuan cantik, baik hati, sholeha, sepertimu." Senyum menawan Farid dia persembahkan untuk perempuan asing teristimewa dalam hidupnya. Keduanya saling menautkan jari menikmati semilir angin sore di taman samping rumah sambil melihat kelucuan Hana yang tengah bermain tidak jauh dari tempat mereka duduk.Kehangatan keluarga kecil mereka semakin lengkap setelah kehadiran Hana sebagai pengantar doa-doa panjang dalam setiap sujud mereka sebagai orang tua. Meminta serta memohon keberkahan untuk rumah tangga agar senantiasa berada d
Tiara menatap lekat wajah laki-laki di hadapannya. Dapat ia rasakan hatinya menghangat seiring cinta yang kian tumbuh dan berkembang terhadap laki-laki itu. "Kau yakin? Apa kau sama sekali tak memiliki rasa sakit hati atas penolakanku selama ini?" tanya Tiara dengan rasa penasaran. "Aku yakin. Tak naif, kecewa itu kerap terasa, hanya saja aku menganggapnya sebagai pecut untuk berjuang meraih cintamu lebih keras lagi. Jujur, di luaran sana ada yang mengejarku untuk meraih cintaku, sayangnya hati ini sudah terpaut sejak lama padamu, Ti." Laki-laki itu terlihat sangat serius. Tiara menatap Miko dengan senyum termanisnya. Hati berdesir kian rapat yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. "Apa kau akan selalu bersikap seperti ini seandianya aku menerima lamaranmu?" Tiara berusaha menuntaskan keingintahuannya. "Apa kau pikir aku akan mengorbankan waktu dan kesabaranku selama ini dalam memperjuangkan cintamu hingga aku akan mengabaikanmu saat kau sudah menjadi milikmu?" Miko balik bertanya
Zia mengangguk. "Aku udah maafin Sintia, Ti. Lagipula dari dulu Kakak nggak pernah dendam sama Sintia. Sakit hati atas perlakuan Sintia dulu Kakak rasa itu manusiawi, yang pasti sekarang Kakak sudah mengikhlaskan semuanya." Zia tersenyum lembut. "Kakak memang luar biasa. Terima kasih, Kak.""Maafin kesalahan Sintia! Anggap aja kalo Sintia khilaf waktu ngelakuin semuanya," lanjut Zia."Iya, Kak. Aku hanya berharap semoga Sintia tenang di kehidupan abadinya dan ke depannya nggak akan ada lagi Sintia baru di dalam hidup kita." Tiara berucap lirih. Zia mengangguk pelan. "Aamiin.."***"Sekarang tak ada lagi Sintia, Ti. Aku harap kau bisa menerima lamaranku. Maafkan atas sikapku beberapa waktu lalu." Aiman berucap dengan nada memohon. Aiman meminta Tiara untuk menemuinya di tempat biasa, rumah makan yang beberapa kali mereka jadikan tempat bertemu sambil menghabiskan waktu istirahat siang sebelum kembali ke kantor. Tiara tidak langsung menjawab, ia berpikir sejenak agar tidak salah men
Zia mengalihkan perhatiannya kembali pada sang dokter. Lalu menganggukkan kepala. "Benar, Dok. Jadi jika memang harus dilepas, saya dan keluarga akan berusaha menerima dengan lapang dada." Susah payah Zia mengucapkan kata-kata itu melalui bibirnya yang bergetar. Tapi dia harus, dia tidak bisa ikut rapuh di saat Tiara tak sanggup lagi untuk sekedar berdiri. "Tiara!"Zia menggandeng lengan Tiara untuk ke luar setelah pamit pada dokter yang di hadapan mereka. Farid pun memutuskan untuk mengambil alih semua tugas Tiara. Dia mengikuti dokter tersebut agar segera menandatangani surat persetujuan pelepasan alat penunjang hidup Sintia sekaligus melunasi segala biayanya. Jasad Sintia akan dimandikan oleh pihak rumah sakit dan dikafani sekalian di sini. Supaya mereka hanya tinggal menyemayamkan jasad Sintia menuju ke tempat peristirahatan terakhir. Di sisi lain, Zia mencoba menuntun Tiara ke kursi ruang tunggu. Dia mendudukkan Tiara sembari memberikan sebotol air mineral yang tadi sempat ia b
Tiara bercerita panjang lebar pada Zia. Ia sendiri merasa sedikit tak nyaman menceritakan semuanya pada Zia, terlebih sesuatu yang ada hubungannya dengan Aiman. Tapi ia sendiri seolah tidak memiliki tempat berbagi. Sang nenek tinggal terpisah darinya dengan jarak satu setengah jam perjalanan. Sedangkan sang ayah, laki-laki itu semakin tak memiliki waktu untuknya, bahkan hanya sekedar menelpon pun seolah tak memiliki waktu. "Kakak hanya bisa menyerahkan semua keputusan padamu, Ti. Kau sudah dewasa. Semoga apa pun keputusanmu itu akan berbuah manis di kemudian hati, Ti.""Terima kasih, Kak, sudah sudi mendengar ceritaku. Aku pun berharap begitu. Aku berharap ada kebahagiaan untukku tanpa harus menyakiti hati siapa pun."Telepon terputus. Zia terdiam sejenak. Isi percakapannya dengan Tiara barusan seolah berputar di kepalanya. Ia sendiri tak tahu harus berbuat apa yang pasti ia hanya berharap yang terbaik bagi Tiara. Embusan napas panjang ke luar dari mulutnya. Sekilas wajah patah hati
Tiara lagi-lagi tersenyum sinis. Kalimat Aiman mampu menoreh luka di relung sana. Bagi Tiara, pantang berbohong apalagi dalam hal sepenting ini."Jika saja kau bisa melihat isi hatiku, maka kalimat yang kau ucapkan barusan tak akan pernah ke luar." Kali ini tatapan mata Tiara lekat di wajah Aiman.Laki-laki itu terdiam sejenak. Mencari alasan agar kali ini usahanya untuk membina keluarga baru tidak kembali gagal. "Maafkan aku, Ti. Aku khilaf!" Aiman berusaha menurunkan egonya. "Kumohon mengertilah. Aku bahkan tak akan bisa tenang jika hubungan kita terus berlanjut. Dua hati yang aku korbankan atau … bisa saja lebih." Tiara berucap sendu. "Apa tak ada jalan lain, Ti?" Kumohon! Aku hanya ingin membina keluarga bahagia dan melihat senyum kedua orang tuaku kembali merekah." Aiman menghiba berharap hati Tiara akan luluh. Tiara bergeming. Bayangan Ibu Ana melintas membuatnya sedikit tak nyaman. Namun, ia tak ingin keadaan lebih buruk lagi. "Percayalah, kita akan menemukan jodoh kita ma
"Laki-laki itu masih menyimpan rasa padamu, Sayang!" ucap Farid saat keduanya baru saja masuk ke mobil. Zia menatap lekat wajah sang suami dengan dahi berkerut. Farid sengaja mengalihkan pandangan lurus ke depan. "Maksudnya?" tanya Zia seolah tak mengerti. "Mantan suamimu!" Kali ini Farid melirik sekilas wajah cemberut Zia. "Abang tak suka Zia bertemu dengannya?" "Tidak!""Meski tanpa sengaja?""Ya."Hening. Zia tak lagi meneruskan pertanyaannya. Ia memilih menatap lekat wajah Farid dengan wajah manyun. Farid yang merasa diperhatikan kini tak bisa menyembunyikan tawanya. "Manyun aja keliatan cantik, apalagi senyum." Farid mengecup puncak hidung Zia. Zia tak menjawab. Gemas rasanya karena merasa dipermainkan. "Nggak usah dipikirin! Abang cuma becanda." Farid tersenyum lembut. "Sebenarnya Abang serius kalau dia masih menyimpan rasa padamu. Sayangnya sekarang Abang-lah laki-laki beruntung itu, bukan dia." Farid kembali terkekeh. "Tak usah bahas dia lagi. Zia nggak nyaman," aku Zi
Aiman bangkit dan mengangsurkan tangannya saat Farid dan Zia sudah berdiri di dekatnya. Farid dan Aiman bersalaman layaknya dua orang yang baru saja kenal. Karena ini memang kali pertamanya Farid dan Aiman bertatap muka. Saat Zia menikah pun Aiman tak datang karena merasa tak mampu melihat Zia berbahagia dengan laki-laki lain. Setelahnya Farid duduk dengan jarak satu kursi dari Aiman. Zia duduk di samping Farid. "Baru sampai?" tanya Farid berusaha mencairkan suasana. Ia tahu jika Aiman masih sangat menginginkan Zia hingga Zia memuyuskan menerima lamarannya. "Sekitar pukul 2 tadi," jawab Aiman. Ia merasakan suasana yang begitu canggung. "Tiara di dalam?" tanya Farid lagi. "Iya, beberapa menit lalu baru masuk." Aiman menjawab singkat pertanyaan Farid. Ia tak tahu harus berbasa-basi seperti apa agar suasana canggung antara mereka bisa menghangat. *Di dalam ruangan ICU Tiara duduk di sisi kiri Sintia. Ditatapnya wajah dengan luka jahitan di kepala dan pipi di hadapannya. Ada iba d
"Kau di sini …." Aiman duduk tepat di samping Tiara. "Maaf, saking paniknya aku lupa mengabarimu." Tiara berucap setelah menoleh sekilas pada Aiman. Setelahnya tatapan matanya kembali mengarah pada pintu ruang ICU yang tertutup rapat. "Aku menghubungimu berulang-ulang tapi tapi tak ada balasan. Akhirnya kuputuskan untuk mencarimu di tempat di mana Sintia dirawat.""Terima kasih sudah sepeduli itu padaku." Kalimat Tiara terdengar datar. Kini Aiman seolah tak lagi memiliki daya tarik di matanya. Ia mulai sadar jika terlalu banyak hati bahkan fisik yang tersakiti saat dirinya ia memutuskan untuk menerima lamaran Aiman.Jika ia tetap meneruskan rencana awal ia yakin hati Miko akan bertambah hancur, pun dengan Sintia. Tiara tak ingin menambah api dendam di hati perempuan itu seandainya Sintia sembuh dari komanya. "Besok malam kita bertemu di tempat biasa habis isya! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu," lirih Tiara sendu. Ia sangat paham dengan memutuskan hubungan dengan Aiman berarti