Zia yang sejak tadi sibuk berbalas pesan dengan Ibu mertuanya langsung menoleh. Ya, Ibu Ana bertanya banyak pada Zia, jika mereka datang Zia pengen dibawakan apa? Aiman dan Sintia baru saja pulang. Dengan santai, Sintia bergelayut manja di bahu Aiman. Zia langsung tertunduk. Hatinya kembali terluka saat melihat penampakan seperti ini. "Zi, kamu baik-baik saja?" Fira merengkuh bahu Zia yang duduk di sampingnya. Ia mulai paham sedikit tentang rumah tangga Zia sekarang. "Kalau kau butuh teman curhat, aku siap, Zi. Jangan menyiksa batinmu dengan memendamnya," lirih Fira, ia ikut merasakan apa yang sekarang sahabatnya itu rasakan. Zia mengangkat wajahnya, lalu tersenyum. "Aku baik-baik saja, Ra. Semoga aku mampu melewati cobaan ini."Lelaki yang kini tengah duduk di kursi depan, meremas gagang stir sangat kuat. Ikut membayangkan seandainya adik kesayangannya lah yang berada di posisi Zia. Zia turun setelah mengucap terima kasih pada dua kakak adik itu. Kini tinggallah keduanya melep
Aiman terdiam, seolah baru saja tersadar dari mimpi buruknya. Tangannya mencengkram rambut di kepalanya. Kali ini ia benar-benar merasa frustasi. Zia tersenyum hambar, matanya berkaca-kaca, terasa ada yang hilang dari sudut hatinya. Ya, status seorang istri baru saja hilang darinya. Ia kini resmi menyandang status janda menurut pandangan agama. Tanpa komando, bulir bening yang sejak tadi bergelayut manja di pelupuk matanya terjatuh di pipi. Pipi mulus nan lembut itu kini basah. Sedih bercampur haru melebur jadi satu. Sedih karena rumah tangga sakinah yang ia harapkan dua menit yang lalu sudah musnah. Haru karena tak ada lagi yang mengekang jiwanya. Ia kini bebas, bebas dari ikatan yang memenjarakan hatinya. Sintia yang sejak tadi menguping pembicaraan keduanya bersorak dalam hati. Bibirnya tak henti menyungging senyum puas."Zi, maafkan Abang, Abang sungguh menyayangimu, Zi," lirih Aiman, matanya kini berkaca-kaca setelah menyadari kebodohannya. Tangannya menangkup jemari Zia. Ce
Zia berjalan sambil menyeret koper dan tas jinjing tersampir di bahunya dengan wajah masih sembap, sesaat ia berhenti di halaman depan. Menatap sendu bangunan rumah berhalaman luas yang setahun terakhir ia habiskan waktu bersamanya. Air matanya kembali menitik. Sebuah mobil memasuki halaman rumah, Zia menajamkan pandangannya. Ibu Ana buru-buru turun dari mobil dan berjalan cepat mendekati Zia setelah sejak tadi memperhatikan sikap Zia dari kejauhan. "Kamu mau ke mana, Zi?" Wajah Ibu Ana menyirat tanya besar. Zia tersentak. Cepat tangannya mengusap wajah yang sedari tadi sembap, meski nyatanya tak ada yang berubah. Ya, wajah cantik itu masih saja terlihat seperti habis menangis. "Zi," tegur Ibu Ana lagi. Kini Ayah mertuanya ikut menatap Zia. Zia tersenyum lembut, berusaha menjauhi pikiran negatif sepasang mertuanya itu. Lagi, ia berusaha kuat. "Zia mau ke pesantren, Bu, untuk beberapa hari," ucap Zia mantap. "Terus kenapa perginya sendiri? Kenapa nggak diantar Aiman?" Ibu Ana me
Zia tak kalah pilu. Perempuan itu kini menerobos memeluk tubuh Ibu Ana. Memeluk erat tubuh perempuan yang ia anggap ibu kandung itu. Merasakan kehangatan yang belasan tahun lalu telah pergi darinya. Zia membenamkan wajahnya di bahu Ibu Anak. Hatinya berkeping. Ini mungkin akan menjadi pelukan terakhir di antara mereka berdua, setelah keduanya tahu jika Zia bukan lagi menantu di keluarga ini. Hatinya menjerit. Dirinya tidak hanya kehilangan Aiman, melainkan satu keluarga sekaligus. Kini ia akan kembali sebatang kara. "Maafkan Zia yang tak bisa bertahan dalam situasi ini, Bu. Zia lemah ketika tahu ada yang telah menggantikan posisi Zia, Zia benar-benar lemah. Maafkan Zia." Zia sesenggukan. Ibu Ana mengusap lembut punggung Zia, berusaha menenangkan, meski nyatanya air matanya pun tak sanggup berhenti. Keduanya larut dalam luka yang sama. Beberapa menit kemudian Ibu Ana merenggangkan pelukannya di tubuh Zia. "Zi, sekarang tolong jawab pertanyaan Ibu!" Tatapan Ibu Ana berkaca-kaca. I
"Apa kau pernah berpikir, bagaimana jika kau yang berada di posisi Zia? Hah?!" Pak Ramli menatap nanar pada Sintia yang kini berusaha menghindari tatapannya. Sintia bergeming. Hatinya begitu sakit ketika mendapati kedua mertuanya begitu menyayangi dan membela Zia. Bukankah harusnya dirinya yang berada diposisi zia sekarang? "I—ini, ini salah Aiman, Yah. Aiman juga masih sangat mencintai Sintia," bela Aiman. Ia tak tega melihat sang Ayah memojokkan istrinya itu. Ibu Ana menatap nyalang pada Sintia, emosinya meninggi kala melihat perempuan dengan piyama tidur yang tengah menunduk di kursi makan itu. "Apa hanya karena ingin merebut Aiman dari Zia kamu sampai lari dari pertunanganmu dan Dika, Sintia?" Aiman tersentak, matanya membulat menatap Sintia yang menunduk semakin dalam. Pun dengan Zia. Perempuan itu menggeleng pelan. "Maksud, Ibu?" Aiman tak bisa menyembunyikan rasa ingin tahunya lebih lama lagi, sudut hatinya mengatakan, jika ini tidak sedang baik-baik saja. Ibu Ana berja
Sepanjang perjalanan air mata Zia terus berurai. Memikirkan kembali hidup sebatang kara membuatnya lagi-lagi merindukan sosok dua orang yang telah menghadirkannya kedunia ini. Merindukan pelukan keduanya saat tengan rapuh seperti saat ini. Rindu, ia sangat rindu. Zia ingin ke pesantren. Namun, ia pun tak ingin membuat dua orang yang ia anggap orang tua sendiri di sana ikut terluka. Empat puluh menit perjalanan, Zia sampai pada alamat yang dituju—kost khusus perempuan yang ia minta Fira untuk mencarikan untuknya semalam. Ya, Fira yang melakukannya. Perempuan itu sudah menebak kemungkinan terburuk tentang rumah tangga sahabatnya itu. Zia melangkah menuju kamar nomor 20. Membuka pintu kamar yang memang tak terkuci karena Fira sejak tadi tengah menunggunya di sana. "Assalamu'alaikum."Melihat Zia datang, Fira segera menyudahi bacaan qur'annya. Matanya menelisik wajah Zia yang sembap dengan bibir tersenyum lembut. "Wa'alaikum salaam. Istirahat dulu, Zi," jawab Fira seraya melipat muk
"Jangan berpikiran buruk pada Sintia, Bu! Bagaimana pun, Sintia adalah menantu Ibu sekarang. Dia hadir di hati Aiman bahkan sebelum Zia datang." Aiman seakan lupa diri, rasa hormatnya sirna setelah kedua orang tuanya terang-terangan membenci Sintia. "Pikiran buruk yang mana, Aiman? Ini sama sekali bukan pikiran buruk, ini nyata! Jika kau menganggap ini hanyalah tuduhan Ibu, maka kau salah! Ini nyata." Pak Ramli menyela, lelaki itu semakin kesal dengan sikap putranya. Sintia terisak, entah ia benar-benar menangis, atau, ah entahlah. Perempuan itu terlalu pintar bersandiwara. Aiman tak peduli, ia terlalu fokus untuk meyakinkan Ayah dan ibunya. "Sudahlah, Bu, Yah, apapun hal buruk yang kalian katakan tentang Sintia, aku akan tetap memperjuangkannya. Anggap saja itu masa lalu yang tak harus dikenang jika menyakitkan." Aiman kukuh pada pendiriannya. Tepatnya berusaha kukuh. Ia tak ingin gagal merengkuh keduanya, cukuplah kini Zia yang pergi, ia tak ingin Sintia ikut pergi meninggalkanny
Farid melirik sekilas adiknya itu dengan dahi berkerut. Tepatnya, ia tengah berpura-pura terkejut."Siapa bilang?! Abang tadi cuma ngeliatin kamu pas pamitan sama dia, kok." Farid berkilah. Bukan munafik, ia hanya ingin melihat reaksi sang adik. Fira menatap lekat wajah Farid, membuat pria tampan itu salah tingkah. "Sudahlah, jujur aja, Bang. Fira lihat Abang sering memperhatikan Zia akhir-akhir ini, bahkan tadi aku masuk saja Abang sampai kaget. Inget, Bang, Zia bukan mahram. Inget batasan, jika memang memiliki rasa, mending lamar langsung setelah masa iddah-nya selesai." Fira tersenyum, menggoda sang Kakak. Ia sangat mendukung jika abangnya itu memang memiliki rasa pada Zia. Menurut Fira, Zia bahkan sangat pantas untuk abangnya yang seorang dosen tampan merangkap pengusaha itu. Farid bergeming. Ada perasaan berbunga menelusup setelah mendengar kalimat dukungan dari sang adik. Perlahan mobil Farid berhenti di sisi kiri jalan, ia tak ingin pembicaraan yang kali ini ia anggap serius,
"Terima kasih atas waktu dua tahunmu membersamaiku, Bang. Semoga kau selalu menjadi laki-laki terbaik bagiku dan Hana, putri kita." Zia menyandarkan kepalanya ke dada bidang lelaki yang sudah dua tahun melengkapi hidupnya. Sebuah jalan takdir yang sama sekali tidak pernah ia duga sebelumnya, jika Farid akan menjadi suami, imam juga jalan dirinya untuk menggapai surga Rabb-nya."Alhamdulillah, Sayang. Abang juga sangat bersyukur sekali bisa dipertemukan dengan perempuan cantik, baik hati, sholeha, sepertimu." Senyum menawan Farid dia persembahkan untuk perempuan asing teristimewa dalam hidupnya. Keduanya saling menautkan jari menikmati semilir angin sore di taman samping rumah sambil melihat kelucuan Hana yang tengah bermain tidak jauh dari tempat mereka duduk.Kehangatan keluarga kecil mereka semakin lengkap setelah kehadiran Hana sebagai pengantar doa-doa panjang dalam setiap sujud mereka sebagai orang tua. Meminta serta memohon keberkahan untuk rumah tangga agar senantiasa berada d
Tiara menatap lekat wajah laki-laki di hadapannya. Dapat ia rasakan hatinya menghangat seiring cinta yang kian tumbuh dan berkembang terhadap laki-laki itu. "Kau yakin? Apa kau sama sekali tak memiliki rasa sakit hati atas penolakanku selama ini?" tanya Tiara dengan rasa penasaran. "Aku yakin. Tak naif, kecewa itu kerap terasa, hanya saja aku menganggapnya sebagai pecut untuk berjuang meraih cintamu lebih keras lagi. Jujur, di luaran sana ada yang mengejarku untuk meraih cintaku, sayangnya hati ini sudah terpaut sejak lama padamu, Ti." Laki-laki itu terlihat sangat serius. Tiara menatap Miko dengan senyum termanisnya. Hati berdesir kian rapat yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. "Apa kau akan selalu bersikap seperti ini seandianya aku menerima lamaranmu?" Tiara berusaha menuntaskan keingintahuannya. "Apa kau pikir aku akan mengorbankan waktu dan kesabaranku selama ini dalam memperjuangkan cintamu hingga aku akan mengabaikanmu saat kau sudah menjadi milikmu?" Miko balik bertanya
Zia mengangguk. "Aku udah maafin Sintia, Ti. Lagipula dari dulu Kakak nggak pernah dendam sama Sintia. Sakit hati atas perlakuan Sintia dulu Kakak rasa itu manusiawi, yang pasti sekarang Kakak sudah mengikhlaskan semuanya." Zia tersenyum lembut. "Kakak memang luar biasa. Terima kasih, Kak.""Maafin kesalahan Sintia! Anggap aja kalo Sintia khilaf waktu ngelakuin semuanya," lanjut Zia."Iya, Kak. Aku hanya berharap semoga Sintia tenang di kehidupan abadinya dan ke depannya nggak akan ada lagi Sintia baru di dalam hidup kita." Tiara berucap lirih. Zia mengangguk pelan. "Aamiin.."***"Sekarang tak ada lagi Sintia, Ti. Aku harap kau bisa menerima lamaranku. Maafkan atas sikapku beberapa waktu lalu." Aiman berucap dengan nada memohon. Aiman meminta Tiara untuk menemuinya di tempat biasa, rumah makan yang beberapa kali mereka jadikan tempat bertemu sambil menghabiskan waktu istirahat siang sebelum kembali ke kantor. Tiara tidak langsung menjawab, ia berpikir sejenak agar tidak salah men
Zia mengalihkan perhatiannya kembali pada sang dokter. Lalu menganggukkan kepala. "Benar, Dok. Jadi jika memang harus dilepas, saya dan keluarga akan berusaha menerima dengan lapang dada." Susah payah Zia mengucapkan kata-kata itu melalui bibirnya yang bergetar. Tapi dia harus, dia tidak bisa ikut rapuh di saat Tiara tak sanggup lagi untuk sekedar berdiri. "Tiara!"Zia menggandeng lengan Tiara untuk ke luar setelah pamit pada dokter yang di hadapan mereka. Farid pun memutuskan untuk mengambil alih semua tugas Tiara. Dia mengikuti dokter tersebut agar segera menandatangani surat persetujuan pelepasan alat penunjang hidup Sintia sekaligus melunasi segala biayanya. Jasad Sintia akan dimandikan oleh pihak rumah sakit dan dikafani sekalian di sini. Supaya mereka hanya tinggal menyemayamkan jasad Sintia menuju ke tempat peristirahatan terakhir. Di sisi lain, Zia mencoba menuntun Tiara ke kursi ruang tunggu. Dia mendudukkan Tiara sembari memberikan sebotol air mineral yang tadi sempat ia b
Tiara bercerita panjang lebar pada Zia. Ia sendiri merasa sedikit tak nyaman menceritakan semuanya pada Zia, terlebih sesuatu yang ada hubungannya dengan Aiman. Tapi ia sendiri seolah tidak memiliki tempat berbagi. Sang nenek tinggal terpisah darinya dengan jarak satu setengah jam perjalanan. Sedangkan sang ayah, laki-laki itu semakin tak memiliki waktu untuknya, bahkan hanya sekedar menelpon pun seolah tak memiliki waktu. "Kakak hanya bisa menyerahkan semua keputusan padamu, Ti. Kau sudah dewasa. Semoga apa pun keputusanmu itu akan berbuah manis di kemudian hati, Ti.""Terima kasih, Kak, sudah sudi mendengar ceritaku. Aku pun berharap begitu. Aku berharap ada kebahagiaan untukku tanpa harus menyakiti hati siapa pun."Telepon terputus. Zia terdiam sejenak. Isi percakapannya dengan Tiara barusan seolah berputar di kepalanya. Ia sendiri tak tahu harus berbuat apa yang pasti ia hanya berharap yang terbaik bagi Tiara. Embusan napas panjang ke luar dari mulutnya. Sekilas wajah patah hati
Tiara lagi-lagi tersenyum sinis. Kalimat Aiman mampu menoreh luka di relung sana. Bagi Tiara, pantang berbohong apalagi dalam hal sepenting ini."Jika saja kau bisa melihat isi hatiku, maka kalimat yang kau ucapkan barusan tak akan pernah ke luar." Kali ini tatapan mata Tiara lekat di wajah Aiman.Laki-laki itu terdiam sejenak. Mencari alasan agar kali ini usahanya untuk membina keluarga baru tidak kembali gagal. "Maafkan aku, Ti. Aku khilaf!" Aiman berusaha menurunkan egonya. "Kumohon mengertilah. Aku bahkan tak akan bisa tenang jika hubungan kita terus berlanjut. Dua hati yang aku korbankan atau … bisa saja lebih." Tiara berucap sendu. "Apa tak ada jalan lain, Ti?" Kumohon! Aku hanya ingin membina keluarga bahagia dan melihat senyum kedua orang tuaku kembali merekah." Aiman menghiba berharap hati Tiara akan luluh. Tiara bergeming. Bayangan Ibu Ana melintas membuatnya sedikit tak nyaman. Namun, ia tak ingin keadaan lebih buruk lagi. "Percayalah, kita akan menemukan jodoh kita ma
"Laki-laki itu masih menyimpan rasa padamu, Sayang!" ucap Farid saat keduanya baru saja masuk ke mobil. Zia menatap lekat wajah sang suami dengan dahi berkerut. Farid sengaja mengalihkan pandangan lurus ke depan. "Maksudnya?" tanya Zia seolah tak mengerti. "Mantan suamimu!" Kali ini Farid melirik sekilas wajah cemberut Zia. "Abang tak suka Zia bertemu dengannya?" "Tidak!""Meski tanpa sengaja?""Ya."Hening. Zia tak lagi meneruskan pertanyaannya. Ia memilih menatap lekat wajah Farid dengan wajah manyun. Farid yang merasa diperhatikan kini tak bisa menyembunyikan tawanya. "Manyun aja keliatan cantik, apalagi senyum." Farid mengecup puncak hidung Zia. Zia tak menjawab. Gemas rasanya karena merasa dipermainkan. "Nggak usah dipikirin! Abang cuma becanda." Farid tersenyum lembut. "Sebenarnya Abang serius kalau dia masih menyimpan rasa padamu. Sayangnya sekarang Abang-lah laki-laki beruntung itu, bukan dia." Farid kembali terkekeh. "Tak usah bahas dia lagi. Zia nggak nyaman," aku Zi
Aiman bangkit dan mengangsurkan tangannya saat Farid dan Zia sudah berdiri di dekatnya. Farid dan Aiman bersalaman layaknya dua orang yang baru saja kenal. Karena ini memang kali pertamanya Farid dan Aiman bertatap muka. Saat Zia menikah pun Aiman tak datang karena merasa tak mampu melihat Zia berbahagia dengan laki-laki lain. Setelahnya Farid duduk dengan jarak satu kursi dari Aiman. Zia duduk di samping Farid. "Baru sampai?" tanya Farid berusaha mencairkan suasana. Ia tahu jika Aiman masih sangat menginginkan Zia hingga Zia memuyuskan menerima lamarannya. "Sekitar pukul 2 tadi," jawab Aiman. Ia merasakan suasana yang begitu canggung. "Tiara di dalam?" tanya Farid lagi. "Iya, beberapa menit lalu baru masuk." Aiman menjawab singkat pertanyaan Farid. Ia tak tahu harus berbasa-basi seperti apa agar suasana canggung antara mereka bisa menghangat. *Di dalam ruangan ICU Tiara duduk di sisi kiri Sintia. Ditatapnya wajah dengan luka jahitan di kepala dan pipi di hadapannya. Ada iba d
"Kau di sini …." Aiman duduk tepat di samping Tiara. "Maaf, saking paniknya aku lupa mengabarimu." Tiara berucap setelah menoleh sekilas pada Aiman. Setelahnya tatapan matanya kembali mengarah pada pintu ruang ICU yang tertutup rapat. "Aku menghubungimu berulang-ulang tapi tapi tak ada balasan. Akhirnya kuputuskan untuk mencarimu di tempat di mana Sintia dirawat.""Terima kasih sudah sepeduli itu padaku." Kalimat Tiara terdengar datar. Kini Aiman seolah tak lagi memiliki daya tarik di matanya. Ia mulai sadar jika terlalu banyak hati bahkan fisik yang tersakiti saat dirinya ia memutuskan untuk menerima lamaran Aiman.Jika ia tetap meneruskan rencana awal ia yakin hati Miko akan bertambah hancur, pun dengan Sintia. Tiara tak ingin menambah api dendam di hati perempuan itu seandainya Sintia sembuh dari komanya. "Besok malam kita bertemu di tempat biasa habis isya! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu," lirih Tiara sendu. Ia sangat paham dengan memutuskan hubungan dengan Aiman berarti