"Jangan berpikiran buruk pada Sintia, Bu! Bagaimana pun, Sintia adalah menantu Ibu sekarang. Dia hadir di hati Aiman bahkan sebelum Zia datang." Aiman seakan lupa diri, rasa hormatnya sirna setelah kedua orang tuanya terang-terangan membenci Sintia. "Pikiran buruk yang mana, Aiman? Ini sama sekali bukan pikiran buruk, ini nyata! Jika kau menganggap ini hanyalah tuduhan Ibu, maka kau salah! Ini nyata." Pak Ramli menyela, lelaki itu semakin kesal dengan sikap putranya. Sintia terisak, entah ia benar-benar menangis, atau, ah entahlah. Perempuan itu terlalu pintar bersandiwara. Aiman tak peduli, ia terlalu fokus untuk meyakinkan Ayah dan ibunya. "Sudahlah, Bu, Yah, apapun hal buruk yang kalian katakan tentang Sintia, aku akan tetap memperjuangkannya. Anggap saja itu masa lalu yang tak harus dikenang jika menyakitkan." Aiman kukuh pada pendiriannya. Tepatnya berusaha kukuh. Ia tak ingin gagal merengkuh keduanya, cukuplah kini Zia yang pergi, ia tak ingin Sintia ikut pergi meninggalkanny
Farid melirik sekilas adiknya itu dengan dahi berkerut. Tepatnya, ia tengah berpura-pura terkejut."Siapa bilang?! Abang tadi cuma ngeliatin kamu pas pamitan sama dia, kok." Farid berkilah. Bukan munafik, ia hanya ingin melihat reaksi sang adik. Fira menatap lekat wajah Farid, membuat pria tampan itu salah tingkah. "Sudahlah, jujur aja, Bang. Fira lihat Abang sering memperhatikan Zia akhir-akhir ini, bahkan tadi aku masuk saja Abang sampai kaget. Inget, Bang, Zia bukan mahram. Inget batasan, jika memang memiliki rasa, mending lamar langsung setelah masa iddah-nya selesai." Fira tersenyum, menggoda sang Kakak. Ia sangat mendukung jika abangnya itu memang memiliki rasa pada Zia. Menurut Fira, Zia bahkan sangat pantas untuk abangnya yang seorang dosen tampan merangkap pengusaha itu. Farid bergeming. Ada perasaan berbunga menelusup setelah mendengar kalimat dukungan dari sang adik. Perlahan mobil Farid berhenti di sisi kiri jalan, ia tak ingin pembicaraan yang kali ini ia anggap serius,
Jika dulu Aiman selalu diperlakukan bak raja, apa saja keperluannya selalu dilayani dengan sepenuh hati oleh istrinya, sekarang berbanding terbalik, Aiman harus melakukannya sendiri, bahkan saat pembantu mereka sakit, Aiman lah yang mengambil alih pekerjaan rumah. Aiman meremas dadanya yang terasa sesak, menyesali kebodohan terbesar yang telah ia lakukan. Kebodohan yang kini membawanya pada luka—luka hati sebagai suami yang tak dihargai. "Maafkan aku, Zi. Maukah kau kembali menerimaku lagi," gumam Aiman dalam hati. Cintanya pada mantan istrinya itu tidak benar-benar sirna, masih tersisa dan bahkan detik ini semakin menggebu. "Aku rindu kamu, Zi. Apakah kau memiliki rasa yang sama untukku?" Lagi-lagi Aiman hanya mampu berkata dalam hati. Cinta dan rindu pada seseorang di masa lalunya membuat Aiman seolah tanpa rasa malu. Ia masih berharap besar jika Zia akan kembali menerimanya kembali. "Aku tahu, Zi, kau sangat mencintaiku dulu. Hingga kini, aku masih berharap hal yang sama, berh
Zia akhirnya menceritakan apa penyebab dirinya bisa sampai di sini sendiri. "Jadi sebenernya rumahku cuma buat pelarian, gitu," sindir Fira, membuat keduanya tertawa kecil. "Aku nggak mau sampai Bang Aiman tau aku tinggal di mana, Ra. Aku bener-bener nggak ingin lagi berurusan dengan dia," lirih Zia. Luka itu kembali terasa hanya dengan mengingat namanya saja. "Sabar, Zi. Yakinlah, perempuan baik maka jodohnya pun laki-laki baik, insya Allah." Fira tersenyum lembut, tangannya mengusap bahu Zia pelan. "Nggak seru, ah cerita di sini, yuk, mending ke kamar!" Tanpa menunggu persetujuan, Fira berjalan menuju kamarnya di lantai dua. Zia mengekor di belakang. Rumah besar itu terlihat begitu berkelas. Farid mematung, ketika perempuan yang baru saja memenuhi kepalanya berlalu di hadapannya tanpa menoleh. Bibirnya kelu, membuatnya tak mampu berkata apa-apa, meski sebatas menyapa. Mata bulat kehitaman miliknya menatap Zia hingga menghilang di balik pintu kamar sang adik. Rasa tak sabar men
Tangan Aiman meremas kuat setir mobil, giginya bergemelutuk kala melihat Sintia dengan santainya menggandeng tangan laki-laki dengan postur tubuh ideal itu. Dada laki-laki itu terasa terbakar oleh pemandangan di hadapannya. Ia tak ingin melabrak Sintia di tempat umum seperti ini, khawatir masalah akan semakin meruncing. Cepat tangan Aiman membidik kamera video pada ponselnya ke arah sepasang sejoli itu, berharap bisa menjadi bukti kuat untuk menumpahkan emosinya pada perempuan yang masih sah berstatus istrinya itu. Aiman membuka layar ponsel, lalu menelpon Sintia. Beberapa kali tak ada jawaban, hingga akhirnya baru lah tersambung. "Kamu di mana?" tanya Aiman tanpa basa-basi, emosinya terlalu besar untuk sekedar basa-basi pada perempuan yang berada di seberang sana. "Aku di kantor, Bang," jawab Sintia santai. Perempuan itu seperti begitu lincah dalam berbohong. Sudah jelas-jelas Aiman melihatnya tengah mengangkat telpon dan Aiman sangat yakin jika itu Sintia. "Kau yakin?" tanya Aim
Plak! Kesabaran Aiman semakin menipis. "Ternyata benar yang Ibu katakan, kau tak lebih dari perempuan murahan! Aku menyesal kembali dipertemukan denganmu! Kau bahkan tidak seujung kuku jika dibandingkan dengan Zia." Rahang Aiman mengeras. Di matanya kini, Sintia tak ubahnya wanita jalang yang datang hanya untuk menghancurkan rumah tangganya saja."Kalau memang iya, kamu mau apa?" tantang Sintia dengan setengah berteriak, tangan kirinya memegang pipi kirinya yang terasa perih karena tamparan Aiman. "Lalu apa yang membuatmu dulu sampai memohon meminta menjadi istriku padahal kau tahu jika aku sudah menikah, hah?!" Aiman terlihat semakin geram. Sintia menepis tangan Aiman yang mencengkeram pergelangan tangannya. "Dulu aku memang mencintaimu. Aku bahkan tak rela perempuan mana pun memilikimu, tapi setelah aku tau kau pergi saat aku berjuang melawan maut dan menikah dengan perempuan lain, cinta itu musnah, yang tersisa hanyalah rasa benci dan keinginan untuk balas dendam. Dan sekarang
Zia meresapi setiap kata yang Fira ucapkan, hingga akhirnya ia menyimpulkan akan berkunjung ke pesantren hari ini juga. "Aku akan ke sana hari ini, Ra. Makasih sudah banyak membantuku." Zia tersenyum setengah terpaksa. "Kau butuh teman?" tanya Fira seolah menawarkan. "Tak usah, Ra, Oma-mu lebih penting sekarang. Lain kali kalau kau tak sedang sibuk, aku pasti akan meminta bantuanmu." Kini senyum Zia lebih lepas. "Oke, Zi, next time jangan sungkan kalau perlu apa-apa," ucap Fira seraya meraih tas jinjingnya dan memasukkan ponsel ke dalamnya. "Ya, udah, Zi, aku pamit, ya, Bang Farid sudah di depan. Mau mengantarku ke depan gerbang?" goda Fira. "Lagi males ke luar, hati-hati, ya," ucap Zia melepas kepergian Fira dengan senyum. Fira berjalan melewati lorong kamar yang berbaris rapi di kanan dan kirinya, hingga tak lama terlihat mobil Farid yang tengah terparkir tak jauh dari pos satpam. "Zia sehat?" tanya Farid pasa sang adik setelah Fira menutup pintu mobil, ia seolah tanpa lelah
Pesantren yang dulu terlihat begitu sederhana, kini telah banyak berubah. Halaman pesantren yang dulu saat Zia masih berstatus santri, masih dengan taman dengan bunga dan tanaman hias, kini terlihat lebih modern. Halaman luas pesantren kini dilengkapi dengan tempat-tempat olah raga, halaman masjid terdapat lukisan tiga dimensi—hasil kreasi santri. Ustadzah Hamidah yang tengah merawat tanaman hiasnya, melihat kedatangan Zia dengan sepeda motornya dengan perasaan berkeping. Hatinya ikut meringis, membayangkan gadis sebatang kara yang ia anggap anak kandung itu. "Kok, sendiri, Zi?" tanya Ustadzah Hamidah saat menyambut uluran tangan dari anak asuhnya itu. "Iya, Mi." Zia tersenyum lembut pada Ustadzah Hamidah. Ia berusaha menyembunyikan lukanya dari perempuan berhati tulus di hadapannya itu. "Ya udah, yuk, masuk."Zia mengikuti langkah beliau untuk masuk. Keduanya duduk berdampingan di ruang tamu rumah pimpinan pesantren itu. Jam segini, suasana pesantren lengang, sebagian besar peng
"Terima kasih atas waktu dua tahunmu membersamaiku, Bang. Semoga kau selalu menjadi laki-laki terbaik bagiku dan Hana, putri kita." Zia menyandarkan kepalanya ke dada bidang lelaki yang sudah dua tahun melengkapi hidupnya. Sebuah jalan takdir yang sama sekali tidak pernah ia duga sebelumnya, jika Farid akan menjadi suami, imam juga jalan dirinya untuk menggapai surga Rabb-nya."Alhamdulillah, Sayang. Abang juga sangat bersyukur sekali bisa dipertemukan dengan perempuan cantik, baik hati, sholeha, sepertimu." Senyum menawan Farid dia persembahkan untuk perempuan asing teristimewa dalam hidupnya. Keduanya saling menautkan jari menikmati semilir angin sore di taman samping rumah sambil melihat kelucuan Hana yang tengah bermain tidak jauh dari tempat mereka duduk.Kehangatan keluarga kecil mereka semakin lengkap setelah kehadiran Hana sebagai pengantar doa-doa panjang dalam setiap sujud mereka sebagai orang tua. Meminta serta memohon keberkahan untuk rumah tangga agar senantiasa berada d
Tiara menatap lekat wajah laki-laki di hadapannya. Dapat ia rasakan hatinya menghangat seiring cinta yang kian tumbuh dan berkembang terhadap laki-laki itu. "Kau yakin? Apa kau sama sekali tak memiliki rasa sakit hati atas penolakanku selama ini?" tanya Tiara dengan rasa penasaran. "Aku yakin. Tak naif, kecewa itu kerap terasa, hanya saja aku menganggapnya sebagai pecut untuk berjuang meraih cintamu lebih keras lagi. Jujur, di luaran sana ada yang mengejarku untuk meraih cintaku, sayangnya hati ini sudah terpaut sejak lama padamu, Ti." Laki-laki itu terlihat sangat serius. Tiara menatap Miko dengan senyum termanisnya. Hati berdesir kian rapat yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. "Apa kau akan selalu bersikap seperti ini seandianya aku menerima lamaranmu?" Tiara berusaha menuntaskan keingintahuannya. "Apa kau pikir aku akan mengorbankan waktu dan kesabaranku selama ini dalam memperjuangkan cintamu hingga aku akan mengabaikanmu saat kau sudah menjadi milikmu?" Miko balik bertanya
Zia mengangguk. "Aku udah maafin Sintia, Ti. Lagipula dari dulu Kakak nggak pernah dendam sama Sintia. Sakit hati atas perlakuan Sintia dulu Kakak rasa itu manusiawi, yang pasti sekarang Kakak sudah mengikhlaskan semuanya." Zia tersenyum lembut. "Kakak memang luar biasa. Terima kasih, Kak.""Maafin kesalahan Sintia! Anggap aja kalo Sintia khilaf waktu ngelakuin semuanya," lanjut Zia."Iya, Kak. Aku hanya berharap semoga Sintia tenang di kehidupan abadinya dan ke depannya nggak akan ada lagi Sintia baru di dalam hidup kita." Tiara berucap lirih. Zia mengangguk pelan. "Aamiin.."***"Sekarang tak ada lagi Sintia, Ti. Aku harap kau bisa menerima lamaranku. Maafkan atas sikapku beberapa waktu lalu." Aiman berucap dengan nada memohon. Aiman meminta Tiara untuk menemuinya di tempat biasa, rumah makan yang beberapa kali mereka jadikan tempat bertemu sambil menghabiskan waktu istirahat siang sebelum kembali ke kantor. Tiara tidak langsung menjawab, ia berpikir sejenak agar tidak salah men
Zia mengalihkan perhatiannya kembali pada sang dokter. Lalu menganggukkan kepala. "Benar, Dok. Jadi jika memang harus dilepas, saya dan keluarga akan berusaha menerima dengan lapang dada." Susah payah Zia mengucapkan kata-kata itu melalui bibirnya yang bergetar. Tapi dia harus, dia tidak bisa ikut rapuh di saat Tiara tak sanggup lagi untuk sekedar berdiri. "Tiara!"Zia menggandeng lengan Tiara untuk ke luar setelah pamit pada dokter yang di hadapan mereka. Farid pun memutuskan untuk mengambil alih semua tugas Tiara. Dia mengikuti dokter tersebut agar segera menandatangani surat persetujuan pelepasan alat penunjang hidup Sintia sekaligus melunasi segala biayanya. Jasad Sintia akan dimandikan oleh pihak rumah sakit dan dikafani sekalian di sini. Supaya mereka hanya tinggal menyemayamkan jasad Sintia menuju ke tempat peristirahatan terakhir. Di sisi lain, Zia mencoba menuntun Tiara ke kursi ruang tunggu. Dia mendudukkan Tiara sembari memberikan sebotol air mineral yang tadi sempat ia b
Tiara bercerita panjang lebar pada Zia. Ia sendiri merasa sedikit tak nyaman menceritakan semuanya pada Zia, terlebih sesuatu yang ada hubungannya dengan Aiman. Tapi ia sendiri seolah tidak memiliki tempat berbagi. Sang nenek tinggal terpisah darinya dengan jarak satu setengah jam perjalanan. Sedangkan sang ayah, laki-laki itu semakin tak memiliki waktu untuknya, bahkan hanya sekedar menelpon pun seolah tak memiliki waktu. "Kakak hanya bisa menyerahkan semua keputusan padamu, Ti. Kau sudah dewasa. Semoga apa pun keputusanmu itu akan berbuah manis di kemudian hati, Ti.""Terima kasih, Kak, sudah sudi mendengar ceritaku. Aku pun berharap begitu. Aku berharap ada kebahagiaan untukku tanpa harus menyakiti hati siapa pun."Telepon terputus. Zia terdiam sejenak. Isi percakapannya dengan Tiara barusan seolah berputar di kepalanya. Ia sendiri tak tahu harus berbuat apa yang pasti ia hanya berharap yang terbaik bagi Tiara. Embusan napas panjang ke luar dari mulutnya. Sekilas wajah patah hati
Tiara lagi-lagi tersenyum sinis. Kalimat Aiman mampu menoreh luka di relung sana. Bagi Tiara, pantang berbohong apalagi dalam hal sepenting ini."Jika saja kau bisa melihat isi hatiku, maka kalimat yang kau ucapkan barusan tak akan pernah ke luar." Kali ini tatapan mata Tiara lekat di wajah Aiman.Laki-laki itu terdiam sejenak. Mencari alasan agar kali ini usahanya untuk membina keluarga baru tidak kembali gagal. "Maafkan aku, Ti. Aku khilaf!" Aiman berusaha menurunkan egonya. "Kumohon mengertilah. Aku bahkan tak akan bisa tenang jika hubungan kita terus berlanjut. Dua hati yang aku korbankan atau … bisa saja lebih." Tiara berucap sendu. "Apa tak ada jalan lain, Ti?" Kumohon! Aku hanya ingin membina keluarga bahagia dan melihat senyum kedua orang tuaku kembali merekah." Aiman menghiba berharap hati Tiara akan luluh. Tiara bergeming. Bayangan Ibu Ana melintas membuatnya sedikit tak nyaman. Namun, ia tak ingin keadaan lebih buruk lagi. "Percayalah, kita akan menemukan jodoh kita ma
"Laki-laki itu masih menyimpan rasa padamu, Sayang!" ucap Farid saat keduanya baru saja masuk ke mobil. Zia menatap lekat wajah sang suami dengan dahi berkerut. Farid sengaja mengalihkan pandangan lurus ke depan. "Maksudnya?" tanya Zia seolah tak mengerti. "Mantan suamimu!" Kali ini Farid melirik sekilas wajah cemberut Zia. "Abang tak suka Zia bertemu dengannya?" "Tidak!""Meski tanpa sengaja?""Ya."Hening. Zia tak lagi meneruskan pertanyaannya. Ia memilih menatap lekat wajah Farid dengan wajah manyun. Farid yang merasa diperhatikan kini tak bisa menyembunyikan tawanya. "Manyun aja keliatan cantik, apalagi senyum." Farid mengecup puncak hidung Zia. Zia tak menjawab. Gemas rasanya karena merasa dipermainkan. "Nggak usah dipikirin! Abang cuma becanda." Farid tersenyum lembut. "Sebenarnya Abang serius kalau dia masih menyimpan rasa padamu. Sayangnya sekarang Abang-lah laki-laki beruntung itu, bukan dia." Farid kembali terkekeh. "Tak usah bahas dia lagi. Zia nggak nyaman," aku Zi
Aiman bangkit dan mengangsurkan tangannya saat Farid dan Zia sudah berdiri di dekatnya. Farid dan Aiman bersalaman layaknya dua orang yang baru saja kenal. Karena ini memang kali pertamanya Farid dan Aiman bertatap muka. Saat Zia menikah pun Aiman tak datang karena merasa tak mampu melihat Zia berbahagia dengan laki-laki lain. Setelahnya Farid duduk dengan jarak satu kursi dari Aiman. Zia duduk di samping Farid. "Baru sampai?" tanya Farid berusaha mencairkan suasana. Ia tahu jika Aiman masih sangat menginginkan Zia hingga Zia memuyuskan menerima lamarannya. "Sekitar pukul 2 tadi," jawab Aiman. Ia merasakan suasana yang begitu canggung. "Tiara di dalam?" tanya Farid lagi. "Iya, beberapa menit lalu baru masuk." Aiman menjawab singkat pertanyaan Farid. Ia tak tahu harus berbasa-basi seperti apa agar suasana canggung antara mereka bisa menghangat. *Di dalam ruangan ICU Tiara duduk di sisi kiri Sintia. Ditatapnya wajah dengan luka jahitan di kepala dan pipi di hadapannya. Ada iba d
"Kau di sini …." Aiman duduk tepat di samping Tiara. "Maaf, saking paniknya aku lupa mengabarimu." Tiara berucap setelah menoleh sekilas pada Aiman. Setelahnya tatapan matanya kembali mengarah pada pintu ruang ICU yang tertutup rapat. "Aku menghubungimu berulang-ulang tapi tapi tak ada balasan. Akhirnya kuputuskan untuk mencarimu di tempat di mana Sintia dirawat.""Terima kasih sudah sepeduli itu padaku." Kalimat Tiara terdengar datar. Kini Aiman seolah tak lagi memiliki daya tarik di matanya. Ia mulai sadar jika terlalu banyak hati bahkan fisik yang tersakiti saat dirinya ia memutuskan untuk menerima lamaran Aiman.Jika ia tetap meneruskan rencana awal ia yakin hati Miko akan bertambah hancur, pun dengan Sintia. Tiara tak ingin menambah api dendam di hati perempuan itu seandainya Sintia sembuh dari komanya. "Besok malam kita bertemu di tempat biasa habis isya! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu," lirih Tiara sendu. Ia sangat paham dengan memutuskan hubungan dengan Aiman berarti