Suara benturan keras yang terdengar begitu kuat membuat orang-orang di sekitar seketika menghentikan aktifitas masing-masing. Semua mendekat, mengerumuni tempat kejadian. Sintia terkapar di jalan dalam keadaan tak sadarkan diri, luka di kaki kanan terlihat sangat parah, serta luka di bagian kepala yang kini berlumuran darah. Sedangkan pengemudi motor mengalami luka lecet di beberapa bagian tubuhnya. Wisnu lari tergopoh-gopoh, Lusi menyusul di belakangnya. Berusaha keras ia menembus kerumunan karena firasatnya yang tak nyaman. Dilihatnya Sintia dalam keadaan mengenaskan, jiwa manusianya merasa tak tega. Wisnu mematung dengan kaki gemetaran, wajahnya terlihat pias, hingga beberapa detik kemudian Lusi menyusul dan berdiri di sampingnya. "Bawa dia ke rumah sakit!" ucap Lusi dengan lutut terasa lemas. Ia sendiri tak tega melihat Sintia dalam keadaan seperti sekarang. *Beberapa jam setelah kejadian. Pelan mata itu mengerjap setelah lama tak sadarkan diri. Matanya silau oleh cahaya lam
"Kaki Sintia remuk dan sekarang sudah diamputasi," lirih Tiara, seketika matanya berkaca-kaca. Aiman memejamkan mata, sesaat kemudian mengusap pelan wajahnya dengan kedua tangannya. Ia tak berani membayangkan akan sesulit apa hidup Sintia ke depannya. "Aku tak tega melihat Sintia dalam keadaan seperti sekarang," lirih Tiara dengan suara pelan. "Takdir," jawab Aiman singkat. Sepatah kata yang mampu membungkam seluruh prasangka. Hening. Keduanya memilih sibuk dengan isi kepala masing-masing setelah beberapa patah kata sebagai salam jumpa, dan bertanya kabar tentang Sintia. Aiman terlihat mengusap wajahnya perlahan. Kejadian demi kejadian sejak awal hidup bersama Zia hingga detik ini satu persatu melintas, membuat laki-laki dengan berambut sedikit ikal itu merasa hidupnya terasa kacau."Apa kau bisa memaafkan perbuatan Sintia?" Tiba-tiba kalimat itu keluar dari bibir Tiara. Ia tak habis pikir melihat Aiman yang masih bersedia datang menjenguk mantan istrinya. Ketika kebanyakan laki
Matahari semakin jauh beranjak ke ufuk barat, menyisakan sinar terang yang mulai menguning. Farid menatap jalanan aspal yang membentang berwarna hitam keabuan memanjang hingga beberapa puluh meter ke depan, bahkan lebih. Zia duduk bersandar di sandaran kursi penumpang, sekilas ia melirik jam di pergelangan tangannya yang sebentar lagi menunjukkan pukul empat sore. Bik Suti memejamkan matanya, perempuan berusia cukup jauh di atas Zia itu terlihat mengantuk. Perjalanan pulang ke kosan Zia mereka lalui dengan banyak diam karena Bik Suti tak lagi banyak bicara seperti waktu berangkat tadi. Farid melirik sekilas lewat spion kecil di plafon mobil. Hanya ingin memastikan jika Zia dalam keadaan nyaman. Bik Suti sejak beberapa menit lalu sudah beranjak ke alam bawah sadar. Farid menepikan mobilnya ketika sampai di hadapan pagar kosan Zia. Tangannya cepat meraih tote bag berbahan karton yang sejak pagi tadi ia letakkan di dalam dashboar mobilnya. "Tunggu sebentar, Zi," ucap Farid, membuat
Zia membaca pesan Farid barusan hingga tiga kali dengan hati berdesir kuat. Bibir tipisnya kembali tersenyum dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Terima kasih sudah menghargaiku sedemikian rupa, semoga Allah tetapkan hati kita hingga tak ada satu pun makhluk di bumi mampu memisahkan kita," bisik Zia dengan dada bergemuruh. Mata yang sejak tadi berkaca-kaca kini menetes bulir bening di pipi. Perlakuan Farid padanya mampu membuat hati perempuan itu menghangat. Beberapa saat ujung jemari lentiknya sibuk mengusap sudut mata yang berurai. Senyum lembut karena haru kini tersungging. Pelan tangan Zia meraih kotak kecil yang tergeletak di sampingnya. Memandangi kilauan berlian yang terkena bias cahaya dari luar. "Semoga kau lah imam yang tertulis untukku di lauh mahfudz, Farid Aminuddin," bisik Zia dengat hati berharap penuh kalimatnya barusan akan menjadi doa yang mampu menembus langit. [Aku hanya ingin Abang yang memasangnya kelak setelah kita halal satu sama lain.]Di sana, Farid men
Tiara membaringkan tubuh lemah Sintia di atas ranjang. Ia tak tega melihat sahabatnya itu terus meratapi nasibnya. "Aku tak berguna lagi, Ti." Sintia sesenggukan. "Ssstttt, tak ada yang berubah, Sin. Tidurlah, tubuhmu butuh istirahat," ucap Tiara seraya menutupi tubuh sintia dengang selimut. Sebuah tanya besar bersarang di hati Sinti, pertanyaan yang ia pendam sejak pertama kali melihat Aiman menjenguknya. "Ti, apa menurutmu Bang Aiman masih mau menerimaku?" tanya Sintia membuat Tiara diam seribu bahasa. Senyum terbit di bibir Tiara. Ia sendiri tak tahu harus menjawab apa. Namun, untuk membuat Sintia kecewa pun ia tega. "Aku pun sama denganmu, Sin. Aku tak tahu dengan isi hati Aiman seperti apa. Sudahlah, sekarang waktunya istirahat." Tiara tersenyum lembut, meskin sudit kecil di hatinya ada rasa tak nyaman. Sintia terlihat kecewa. Rasa pada mantan suaminya itu belum seutuhnya hilang, terlebih setelah melihat betapa Aiman masih begitu menghargainya hingga kini. "Aku menyesal,
Dua kali putaran, kunci kamar terbuka, dengan pelan tangan Zia memutar gagang pintu ke kanan, hingga sedetik kemudian pintu terbuka. "Iya, Pak, ada apa?" tanya Zia santun. "Ini, ada titipan dari Pak Farid, tadi minta tolong Bapak yang anterin," ucap Pak Kusnadi seraya mengangsurkan dua kantong kresek ke arah Zia. Zia menerima plastik makanan yang disodorkan Pak Kusnadi. Laki-laki itu beranjak untuk pergi. "Tunggu sebentar, Pak," cegah Zia pada laki-laki tinggi besar yang merupakan satpam di tempat ini. Laki-laki itu menghentikan langkahnya. Bukan hal baru baginya saat mengantar pemberian Farid pada Zia ia selalu dicegah saat akan pergi, karena Zia selalu membagikan setengah makanan itu untuknya. Gegas Zia membuka isi dua plastik makanan yang berisi nasi dan cemilan."Ini buat, Bapak, Zia tadi udah makan." Zia mengangsurkan plastik putih yang berisi satu paket nasi lengkap dengan lauk pauk, sedangkan dirinya memilih bolen pisang kesukaannya. "Makasih banyak, Bu," ucap Pak Kusnad
"Manurut Abang, bagaimana baiknya?" Zia balik bertanya, berusaha bijak sebelum memutuskan. "Abang sendiri setuju dengan kesepakatan Mama dan Ustadzah Hamidah, setidaknya kalau kita sudah selesai akad, berarti batasan yang selama ini kita jaga akan runtuh, itu artinya Abang bisa mendampingimu ke mana saja, Zi. Maaf, Abang hanya meminta persetujuanmu, jika merasa keberatan kau bisa menolaknya tanpa harus merasa tak nyaman," ucap Farid pelan. Zia tersenyum bersamaan dengan hati yang berdesir hebat. Sikap dan tutur bahasa laki-laki diseberang sana benar-benar mampu menciptakan suasana sejuk di hati Zia. Detik ini ia merasa begitu dihargai oleh makhluk bernama laki-laki. Benar yang Farid katakan, jika batasan itu runtuh oleh ijab qobul, ia tak akan merasa bersalah lagi berlama-lama menatap lekat wajah laki-laki itu, bahkan hingga ia merasa lelah sekalipun. Memikirkannya wajah putih bersih itu kini terlihat merona. "Jika itu yang terbaik, Zia pun setuju, Bang," ucap Zia lembut. Di sebe
"Aku benci laki-laki itu, Ti," ucap Sintia dengan gigi bergemelutuk. Mendengar nama Wisnu saja mampu membuat emosinya terpantik. Pelan tangan lembut Tiara mengusap bahu Sintia, berharap sahabatnya itu bisa berpikir lebih dingin."Sin, tenangkan dirimu. Kau hanya butuh bertenang sekarang. Jika kau hanya mengandalkan emosi maka kupastikan semua akan tambah hancur dan kau akan lebih menderita dari sekarang, Sin," Tiara berucap pelan, namun penuh penekanan. Ia tak ingin Sintia melakukan hal serupa seperti yang sudah-sudah. Sintia bergeming. Amarah di rongga dadanya terasa terbakar. Namun, setitik nasihat Tiara barusan berhasil membuatnya bungkam. "Apa kau pikir kau akan menunggu dengan keadaan seperti sekarang, Sin? Tidak 'kan? Kau mau 'kan hidup kembali normal seperti dulu lagi? Tak mungkin kau akan mengandalkan tabunganmu untuk seumur hidup, Sin! Kau butuh pekerjaan, kau butuh uang, kau butuh teman. Ayo lah, Sin, sadarlah! Semua hanya akan bisa diselesaikan dengan kepala dingin." Tia
"Terima kasih atas waktu dua tahunmu membersamaiku, Bang. Semoga kau selalu menjadi laki-laki terbaik bagiku dan Hana, putri kita." Zia menyandarkan kepalanya ke dada bidang lelaki yang sudah dua tahun melengkapi hidupnya. Sebuah jalan takdir yang sama sekali tidak pernah ia duga sebelumnya, jika Farid akan menjadi suami, imam juga jalan dirinya untuk menggapai surga Rabb-nya."Alhamdulillah, Sayang. Abang juga sangat bersyukur sekali bisa dipertemukan dengan perempuan cantik, baik hati, sholeha, sepertimu." Senyum menawan Farid dia persembahkan untuk perempuan asing teristimewa dalam hidupnya. Keduanya saling menautkan jari menikmati semilir angin sore di taman samping rumah sambil melihat kelucuan Hana yang tengah bermain tidak jauh dari tempat mereka duduk.Kehangatan keluarga kecil mereka semakin lengkap setelah kehadiran Hana sebagai pengantar doa-doa panjang dalam setiap sujud mereka sebagai orang tua. Meminta serta memohon keberkahan untuk rumah tangga agar senantiasa berada d
Tiara menatap lekat wajah laki-laki di hadapannya. Dapat ia rasakan hatinya menghangat seiring cinta yang kian tumbuh dan berkembang terhadap laki-laki itu. "Kau yakin? Apa kau sama sekali tak memiliki rasa sakit hati atas penolakanku selama ini?" tanya Tiara dengan rasa penasaran. "Aku yakin. Tak naif, kecewa itu kerap terasa, hanya saja aku menganggapnya sebagai pecut untuk berjuang meraih cintamu lebih keras lagi. Jujur, di luaran sana ada yang mengejarku untuk meraih cintaku, sayangnya hati ini sudah terpaut sejak lama padamu, Ti." Laki-laki itu terlihat sangat serius. Tiara menatap Miko dengan senyum termanisnya. Hati berdesir kian rapat yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. "Apa kau akan selalu bersikap seperti ini seandianya aku menerima lamaranmu?" Tiara berusaha menuntaskan keingintahuannya. "Apa kau pikir aku akan mengorbankan waktu dan kesabaranku selama ini dalam memperjuangkan cintamu hingga aku akan mengabaikanmu saat kau sudah menjadi milikmu?" Miko balik bertanya
Zia mengangguk. "Aku udah maafin Sintia, Ti. Lagipula dari dulu Kakak nggak pernah dendam sama Sintia. Sakit hati atas perlakuan Sintia dulu Kakak rasa itu manusiawi, yang pasti sekarang Kakak sudah mengikhlaskan semuanya." Zia tersenyum lembut. "Kakak memang luar biasa. Terima kasih, Kak.""Maafin kesalahan Sintia! Anggap aja kalo Sintia khilaf waktu ngelakuin semuanya," lanjut Zia."Iya, Kak. Aku hanya berharap semoga Sintia tenang di kehidupan abadinya dan ke depannya nggak akan ada lagi Sintia baru di dalam hidup kita." Tiara berucap lirih. Zia mengangguk pelan. "Aamiin.."***"Sekarang tak ada lagi Sintia, Ti. Aku harap kau bisa menerima lamaranku. Maafkan atas sikapku beberapa waktu lalu." Aiman berucap dengan nada memohon. Aiman meminta Tiara untuk menemuinya di tempat biasa, rumah makan yang beberapa kali mereka jadikan tempat bertemu sambil menghabiskan waktu istirahat siang sebelum kembali ke kantor. Tiara tidak langsung menjawab, ia berpikir sejenak agar tidak salah men
Zia mengalihkan perhatiannya kembali pada sang dokter. Lalu menganggukkan kepala. "Benar, Dok. Jadi jika memang harus dilepas, saya dan keluarga akan berusaha menerima dengan lapang dada." Susah payah Zia mengucapkan kata-kata itu melalui bibirnya yang bergetar. Tapi dia harus, dia tidak bisa ikut rapuh di saat Tiara tak sanggup lagi untuk sekedar berdiri. "Tiara!"Zia menggandeng lengan Tiara untuk ke luar setelah pamit pada dokter yang di hadapan mereka. Farid pun memutuskan untuk mengambil alih semua tugas Tiara. Dia mengikuti dokter tersebut agar segera menandatangani surat persetujuan pelepasan alat penunjang hidup Sintia sekaligus melunasi segala biayanya. Jasad Sintia akan dimandikan oleh pihak rumah sakit dan dikafani sekalian di sini. Supaya mereka hanya tinggal menyemayamkan jasad Sintia menuju ke tempat peristirahatan terakhir. Di sisi lain, Zia mencoba menuntun Tiara ke kursi ruang tunggu. Dia mendudukkan Tiara sembari memberikan sebotol air mineral yang tadi sempat ia b
Tiara bercerita panjang lebar pada Zia. Ia sendiri merasa sedikit tak nyaman menceritakan semuanya pada Zia, terlebih sesuatu yang ada hubungannya dengan Aiman. Tapi ia sendiri seolah tidak memiliki tempat berbagi. Sang nenek tinggal terpisah darinya dengan jarak satu setengah jam perjalanan. Sedangkan sang ayah, laki-laki itu semakin tak memiliki waktu untuknya, bahkan hanya sekedar menelpon pun seolah tak memiliki waktu. "Kakak hanya bisa menyerahkan semua keputusan padamu, Ti. Kau sudah dewasa. Semoga apa pun keputusanmu itu akan berbuah manis di kemudian hati, Ti.""Terima kasih, Kak, sudah sudi mendengar ceritaku. Aku pun berharap begitu. Aku berharap ada kebahagiaan untukku tanpa harus menyakiti hati siapa pun."Telepon terputus. Zia terdiam sejenak. Isi percakapannya dengan Tiara barusan seolah berputar di kepalanya. Ia sendiri tak tahu harus berbuat apa yang pasti ia hanya berharap yang terbaik bagi Tiara. Embusan napas panjang ke luar dari mulutnya. Sekilas wajah patah hati
Tiara lagi-lagi tersenyum sinis. Kalimat Aiman mampu menoreh luka di relung sana. Bagi Tiara, pantang berbohong apalagi dalam hal sepenting ini."Jika saja kau bisa melihat isi hatiku, maka kalimat yang kau ucapkan barusan tak akan pernah ke luar." Kali ini tatapan mata Tiara lekat di wajah Aiman.Laki-laki itu terdiam sejenak. Mencari alasan agar kali ini usahanya untuk membina keluarga baru tidak kembali gagal. "Maafkan aku, Ti. Aku khilaf!" Aiman berusaha menurunkan egonya. "Kumohon mengertilah. Aku bahkan tak akan bisa tenang jika hubungan kita terus berlanjut. Dua hati yang aku korbankan atau … bisa saja lebih." Tiara berucap sendu. "Apa tak ada jalan lain, Ti?" Kumohon! Aku hanya ingin membina keluarga bahagia dan melihat senyum kedua orang tuaku kembali merekah." Aiman menghiba berharap hati Tiara akan luluh. Tiara bergeming. Bayangan Ibu Ana melintas membuatnya sedikit tak nyaman. Namun, ia tak ingin keadaan lebih buruk lagi. "Percayalah, kita akan menemukan jodoh kita ma
"Laki-laki itu masih menyimpan rasa padamu, Sayang!" ucap Farid saat keduanya baru saja masuk ke mobil. Zia menatap lekat wajah sang suami dengan dahi berkerut. Farid sengaja mengalihkan pandangan lurus ke depan. "Maksudnya?" tanya Zia seolah tak mengerti. "Mantan suamimu!" Kali ini Farid melirik sekilas wajah cemberut Zia. "Abang tak suka Zia bertemu dengannya?" "Tidak!""Meski tanpa sengaja?""Ya."Hening. Zia tak lagi meneruskan pertanyaannya. Ia memilih menatap lekat wajah Farid dengan wajah manyun. Farid yang merasa diperhatikan kini tak bisa menyembunyikan tawanya. "Manyun aja keliatan cantik, apalagi senyum." Farid mengecup puncak hidung Zia. Zia tak menjawab. Gemas rasanya karena merasa dipermainkan. "Nggak usah dipikirin! Abang cuma becanda." Farid tersenyum lembut. "Sebenarnya Abang serius kalau dia masih menyimpan rasa padamu. Sayangnya sekarang Abang-lah laki-laki beruntung itu, bukan dia." Farid kembali terkekeh. "Tak usah bahas dia lagi. Zia nggak nyaman," aku Zi
Aiman bangkit dan mengangsurkan tangannya saat Farid dan Zia sudah berdiri di dekatnya. Farid dan Aiman bersalaman layaknya dua orang yang baru saja kenal. Karena ini memang kali pertamanya Farid dan Aiman bertatap muka. Saat Zia menikah pun Aiman tak datang karena merasa tak mampu melihat Zia berbahagia dengan laki-laki lain. Setelahnya Farid duduk dengan jarak satu kursi dari Aiman. Zia duduk di samping Farid. "Baru sampai?" tanya Farid berusaha mencairkan suasana. Ia tahu jika Aiman masih sangat menginginkan Zia hingga Zia memuyuskan menerima lamarannya. "Sekitar pukul 2 tadi," jawab Aiman. Ia merasakan suasana yang begitu canggung. "Tiara di dalam?" tanya Farid lagi. "Iya, beberapa menit lalu baru masuk." Aiman menjawab singkat pertanyaan Farid. Ia tak tahu harus berbasa-basi seperti apa agar suasana canggung antara mereka bisa menghangat. *Di dalam ruangan ICU Tiara duduk di sisi kiri Sintia. Ditatapnya wajah dengan luka jahitan di kepala dan pipi di hadapannya. Ada iba d
"Kau di sini …." Aiman duduk tepat di samping Tiara. "Maaf, saking paniknya aku lupa mengabarimu." Tiara berucap setelah menoleh sekilas pada Aiman. Setelahnya tatapan matanya kembali mengarah pada pintu ruang ICU yang tertutup rapat. "Aku menghubungimu berulang-ulang tapi tapi tak ada balasan. Akhirnya kuputuskan untuk mencarimu di tempat di mana Sintia dirawat.""Terima kasih sudah sepeduli itu padaku." Kalimat Tiara terdengar datar. Kini Aiman seolah tak lagi memiliki daya tarik di matanya. Ia mulai sadar jika terlalu banyak hati bahkan fisik yang tersakiti saat dirinya ia memutuskan untuk menerima lamaran Aiman.Jika ia tetap meneruskan rencana awal ia yakin hati Miko akan bertambah hancur, pun dengan Sintia. Tiara tak ingin menambah api dendam di hati perempuan itu seandainya Sintia sembuh dari komanya. "Besok malam kita bertemu di tempat biasa habis isya! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu," lirih Tiara sendu. Ia sangat paham dengan memutuskan hubungan dengan Aiman berarti