"Masuk, yuk, Zi. Eh, sama siapa ke sini?" tanya Ibu Ana setengah berbisik, matanya melirik pada laki-laki tampan bersama seorang perempuan yang berdiri kurang dari empat meter dari mereka berdua dengan perasaan gusar pelan-pelan menelusup. Zia berusaha tersenyum lembut, meski yang nampak lebih pada senyum setengah terpaksa. "Kita masuk, Bu, ada yang pengen Zia bicarakan," ucap Zia seraya merangkul lengan perempuan paruh baya itu. "Yuk, masuk," ajak Ibu ana dengan mengulas senyum ke arah Farid dan Bik Suti. Keduanya membalas dengan hal serupa. Farid dan Bik Suti serempak mengikuti langkah Zia dan Ibu Ana yang berjalan menuju pintu masuk, Pak Ramli menyambut uluran tangan Farid dan Bik Suti dengan senyum ramah. Kelima orang dewasa itu duduk di sofa ruang tamu bercat putih susu, mengitari meja persegi empat dengan taplak meja berwarna abu muda. Zia memperkenalkan Farid dan Bik Suti pada Ibu Ana dan Pak Ramli, pun sebaliknya. Beberapa saat setelahnya mereka asik bertukar cerita. Be
Tubuh Aiman terasa melemas hatinya perlahan remuk. Dapat ia rasakan jika harapannya untuk bisa meraih kembali cinta bidadari bermata teduh itu akan menemukan titik akhir. Farid menatap lekat perubahan sikap Aiman. Terpampang jelas di mata pekat laki-laki dengan hidung mancung itu jika dirinya masih sangat mencintai mantan istrinya itu. Dan itu yang membuat Farid sedikit getir. Ada rasa khawatir jika Zia masih memiliki rasa yang sama pada laki-laki itu, karena selama ini Zia memang terlihat begitu tertutup dalam hal apa pun. Ibu Ana dapat merasakan perasaan putra sulungnya. Cepat perempuan paruh baya itu mencairkan suasana. "Tolong bilang Bik Nia, kalau di sini ada tamu!" ucap Ibu Ana pada Aiman yang masih terpaku di tempat. Aiman tersadar, tangannya cepat mengusap wajahnya, lalu bergegas beranjak tanpa mampu berucap sepatah kata pun. Hening. Suasana canggung yang diciptakan Aiman sukses membuat ruang tamu itu bungkam. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Pelan Zia mengangkat
Perlahan ia bangkit menuju ke arah pintu. Dalam satu kali putaran, pintu kamarnya terbuka. Menampilkan wajah sang Ibu di seberang sana. "Boleh Ibu masuk?" tanya Ibu Ana dengan wajah sendu. Matanya menatap dalam wajah kusut Aiman. Aiman hanya mengangguk. Tak ada suara yang ke luar. Ia kembali memutar tubuhnya berjalan ke arah tempat tidurtidur lalu kembali duduk di atasnya. Dua ibu dan anak itu duduk bersisian menghadap deretan buku-buku di meja kerja Aiman. Beberapa saat hanya hening. Keduanya asik dengan tatapan kosong dengan dada sesak oleh masalah yang sama. "Apa kau masih berharap Zia akan kembali?" lirih Ibu Ana pelan memecah sepi tanpa menoleh pada lawan bicaranya. Aiman mengembus napas pelan. Pertanyaan barusan sukses membuat hatinya kembali terasa perih karena sesal yang semakin menggunung. "Bukankah Zia akan segera menikah?!" ucapnya dengan luka kembali menganga. Kepergian Zia membuatnya terluka, lebih lagi sebentar lagi Zia akan sah menjadi istri dari laki-laki lain.
Pintu kamar di belakang Farid berderit, Fira ke luar dengan piyama dan pashmina tersampir seadanya di kepalanya. "Kok, masih di sini, Bang?" tanya Fira saat melihat punggung Farid di depan kamarnya. Laki-laki itu menoleh lalu tersenyum simpul. "Nggak bisa tidur," jawab Farid sekenanya, membuat Fira tersenyum geli. Fira yang semula berniat ingin turun untuk mengambil minum, kini mendekati Farid. Keduanya duduk di sofa minimalis menghadap ruang tamu yang menyatu dengan ruang keluarga. "Fira turut bahagia, bahkan sangat bahagia," ucap Fira setengah menggoda. Malam ini pertama kali Fira menginap di rumah orang tuanya setelah diboyong Alfin ke rumahnya. Jarak dari sini ke rumah mereka sekitar satu jam perjalanan. "Makasih atas bantuanmu, Ra. Abang berhutang budi padamu." Farid tersenyum manis seraya menatal kagum pada adik semata wayangnya itu. Kembali berkelebat bagaimana pentingnya peran sang adik dalam membantu menyampaikan rasanya pada Zia. "Ini juga mimpi Fira," jawab Fira den
Ustadz Husni—nama penghulu yang akan menikahkan Farid dan Zia. Laki-laki yang juga menjadi imam masjid di masjid yang sering farid kunjungi untuk shalat berjamaah. Rangkaian acara satu persatu di mulai. Pembacaan al-quran menjadi acara pertama. Ustadz Syamsi—seorang qori yang sering memenangkan lomba tilawah al-quran tingkat kota, juga merupakan sahabat Ustadz Nasrun turut berperan menjadikan acara akad nikah Zia dan Farid terasa begitu khidmat. Lantunan ayat suci al-quran terdengar merdu, hingga tanpa sadar membuat keadaan hati terasa begitu damai dan menenangkan. Beberapa puluh menit kemudian khutbah nikah disampaikan oleh Ustadz Malik. Tak jauh dari tempat Ustadz Malik berdiri, Ustadzah Khofifah turut hadir bersama Syafiq—putra bungsu mereka. Zia mendengar dengan khusyuk meski akhirnya ingatannya pada kejadian hampir dua tahun lalu kembali mengambang di kepalanya, menciptakan getir yang kembali hadir. Lirih bibir dengan lipstik berwarna lembut itu membisikkan istighfar, berhara
Fira berpelukan dengan Fitri dan Adiba. Tiga sahabat yang semakin jarang bertemu itu kini turut larut dalam rasa yang sama. Bait demi bait do'a dibacakan oleh Ustadz Husni, membuat semua yang hadir larut dalam pinta dan harap yang sama. Tiba di penghujung acara, Zia dipersilakan untuk datang menemuai laki-laki yang kini resmi bergelar suaminya. Laki-laki yang kini duduk lebih dari sepuluh meter dari tempat Zia berada. Beberapa saat Zia memejamkan mata. Detik ini ia merasakan haru yang luar biasa bersamaan dengan rasa bahagia membuncah di dadanya. Ustadzah Hamidah dan Ibu Liana ikut mengantar Zia menemui Farid di pelaminan. Pun Fira dan dua sahabatnya, ketiganya menyusul di belakang. Dengan langkah pelan Zia berjalan anggun dengan kepala sedikit tertunduk, ia masih belum memiliki keberanian penuh untuk menatap wajah laki-laki tampan yang kini tepat berada di hadapannya. Sedetik pandangan keduanya bertemu, menciptakan getaran hebat dari rindu yang selama ini sekuat tenaga mereka p
Farid mengunci pintu kamar setelah keduanya masuk. Zia mematung di atas sofa panjang tepat di hadapan Farid. Rasa canggung membuatnya tak beranjak dari duduknya. "Zi …," panggil Farid pelan, perasaan laki-laki itu tak jauh berbeda. Berada dalam jarak yang begitu dekat membuat desir hatinya bertambah rapat. Zia mengangkat kepala, menatap sekilas wajah rupawan di hadapannya dengan senyum lembut, kemudian kembali menunduk. "Kita sholat berjamaah," tawar Farid dengan senyum termanisnya. Zia mengangguk pelan. Sudut hati Farid memintanya untuk memuaskan hasrat matanya untuk menatap wajah lembut itu sepuasnya. Namun, waktu dzuhur kian beranjak, membuatnya tak memiliki pilihan lain selain bergegas membersihkan diri untuk melaksanakan kewajibannya sebagai hamba. "Abang akan mandi dan wudhu di kamar atas, biar Zia di sini," ucap Farid, kali ini ia menatap dalam wajah lembut nan cantik dengan polesan make up yang masih tersisa sebelum akhirnya beranjak ke luar membawa hatinya yang disesaki
Zia mengangkat wajahnya. Pertanyaan terakhir Farid sukses membuatnya tersenyum, senyum dengan wajah sendu. "Sungguh, aku tak memiliki alasan untuk tak bahagia," lirih Zia seraya menggeleng pelan, dadanya masih disesaki haru. Pelan tangan Farid menggenggam jemari yang masih tertutup mukena. Mencium lembut jemari Zia dengan mata tertutup untuk beberapa saat. "Lantas apa yang membuatmu menangis, Zi? Ceritakan, Zi! Abang tak ingin melihat kau bersedih." Farid mengusap lembut pipi Zia, membuat perempuan itu tak sanggup menahan rasa bahagia yang tercipta. "Terima kasih untuk semua yang Abang lakukan untuk Zia," lirih Zia sendu. "Abang boleh memelukmu, Zi?" tanya Farid dengan rasa rindu yang menggebu, rindu yang telah lama ia pendam. Zia mengangguk pelan dengan bibir tersenyum lembut. Farid tak mampu lagi menahan keinginannya. Laki-laki itu memeluk tubuh Zia, mendekapnya erat dengan mata terpejam. Tangan kekarnya merebahkan kepala Zia di dadanya, seolah meminta Zia paham sedalam apa ri
"Terima kasih atas waktu dua tahunmu membersamaiku, Bang. Semoga kau selalu menjadi laki-laki terbaik bagiku dan Hana, putri kita." Zia menyandarkan kepalanya ke dada bidang lelaki yang sudah dua tahun melengkapi hidupnya. Sebuah jalan takdir yang sama sekali tidak pernah ia duga sebelumnya, jika Farid akan menjadi suami, imam juga jalan dirinya untuk menggapai surga Rabb-nya."Alhamdulillah, Sayang. Abang juga sangat bersyukur sekali bisa dipertemukan dengan perempuan cantik, baik hati, sholeha, sepertimu." Senyum menawan Farid dia persembahkan untuk perempuan asing teristimewa dalam hidupnya. Keduanya saling menautkan jari menikmati semilir angin sore di taman samping rumah sambil melihat kelucuan Hana yang tengah bermain tidak jauh dari tempat mereka duduk.Kehangatan keluarga kecil mereka semakin lengkap setelah kehadiran Hana sebagai pengantar doa-doa panjang dalam setiap sujud mereka sebagai orang tua. Meminta serta memohon keberkahan untuk rumah tangga agar senantiasa berada d
Tiara menatap lekat wajah laki-laki di hadapannya. Dapat ia rasakan hatinya menghangat seiring cinta yang kian tumbuh dan berkembang terhadap laki-laki itu. "Kau yakin? Apa kau sama sekali tak memiliki rasa sakit hati atas penolakanku selama ini?" tanya Tiara dengan rasa penasaran. "Aku yakin. Tak naif, kecewa itu kerap terasa, hanya saja aku menganggapnya sebagai pecut untuk berjuang meraih cintamu lebih keras lagi. Jujur, di luaran sana ada yang mengejarku untuk meraih cintaku, sayangnya hati ini sudah terpaut sejak lama padamu, Ti." Laki-laki itu terlihat sangat serius. Tiara menatap Miko dengan senyum termanisnya. Hati berdesir kian rapat yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. "Apa kau akan selalu bersikap seperti ini seandianya aku menerima lamaranmu?" Tiara berusaha menuntaskan keingintahuannya. "Apa kau pikir aku akan mengorbankan waktu dan kesabaranku selama ini dalam memperjuangkan cintamu hingga aku akan mengabaikanmu saat kau sudah menjadi milikmu?" Miko balik bertanya
Zia mengangguk. "Aku udah maafin Sintia, Ti. Lagipula dari dulu Kakak nggak pernah dendam sama Sintia. Sakit hati atas perlakuan Sintia dulu Kakak rasa itu manusiawi, yang pasti sekarang Kakak sudah mengikhlaskan semuanya." Zia tersenyum lembut. "Kakak memang luar biasa. Terima kasih, Kak.""Maafin kesalahan Sintia! Anggap aja kalo Sintia khilaf waktu ngelakuin semuanya," lanjut Zia."Iya, Kak. Aku hanya berharap semoga Sintia tenang di kehidupan abadinya dan ke depannya nggak akan ada lagi Sintia baru di dalam hidup kita." Tiara berucap lirih. Zia mengangguk pelan. "Aamiin.."***"Sekarang tak ada lagi Sintia, Ti. Aku harap kau bisa menerima lamaranku. Maafkan atas sikapku beberapa waktu lalu." Aiman berucap dengan nada memohon. Aiman meminta Tiara untuk menemuinya di tempat biasa, rumah makan yang beberapa kali mereka jadikan tempat bertemu sambil menghabiskan waktu istirahat siang sebelum kembali ke kantor. Tiara tidak langsung menjawab, ia berpikir sejenak agar tidak salah men
Zia mengalihkan perhatiannya kembali pada sang dokter. Lalu menganggukkan kepala. "Benar, Dok. Jadi jika memang harus dilepas, saya dan keluarga akan berusaha menerima dengan lapang dada." Susah payah Zia mengucapkan kata-kata itu melalui bibirnya yang bergetar. Tapi dia harus, dia tidak bisa ikut rapuh di saat Tiara tak sanggup lagi untuk sekedar berdiri. "Tiara!"Zia menggandeng lengan Tiara untuk ke luar setelah pamit pada dokter yang di hadapan mereka. Farid pun memutuskan untuk mengambil alih semua tugas Tiara. Dia mengikuti dokter tersebut agar segera menandatangani surat persetujuan pelepasan alat penunjang hidup Sintia sekaligus melunasi segala biayanya. Jasad Sintia akan dimandikan oleh pihak rumah sakit dan dikafani sekalian di sini. Supaya mereka hanya tinggal menyemayamkan jasad Sintia menuju ke tempat peristirahatan terakhir. Di sisi lain, Zia mencoba menuntun Tiara ke kursi ruang tunggu. Dia mendudukkan Tiara sembari memberikan sebotol air mineral yang tadi sempat ia b
Tiara bercerita panjang lebar pada Zia. Ia sendiri merasa sedikit tak nyaman menceritakan semuanya pada Zia, terlebih sesuatu yang ada hubungannya dengan Aiman. Tapi ia sendiri seolah tidak memiliki tempat berbagi. Sang nenek tinggal terpisah darinya dengan jarak satu setengah jam perjalanan. Sedangkan sang ayah, laki-laki itu semakin tak memiliki waktu untuknya, bahkan hanya sekedar menelpon pun seolah tak memiliki waktu. "Kakak hanya bisa menyerahkan semua keputusan padamu, Ti. Kau sudah dewasa. Semoga apa pun keputusanmu itu akan berbuah manis di kemudian hati, Ti.""Terima kasih, Kak, sudah sudi mendengar ceritaku. Aku pun berharap begitu. Aku berharap ada kebahagiaan untukku tanpa harus menyakiti hati siapa pun."Telepon terputus. Zia terdiam sejenak. Isi percakapannya dengan Tiara barusan seolah berputar di kepalanya. Ia sendiri tak tahu harus berbuat apa yang pasti ia hanya berharap yang terbaik bagi Tiara. Embusan napas panjang ke luar dari mulutnya. Sekilas wajah patah hati
Tiara lagi-lagi tersenyum sinis. Kalimat Aiman mampu menoreh luka di relung sana. Bagi Tiara, pantang berbohong apalagi dalam hal sepenting ini."Jika saja kau bisa melihat isi hatiku, maka kalimat yang kau ucapkan barusan tak akan pernah ke luar." Kali ini tatapan mata Tiara lekat di wajah Aiman.Laki-laki itu terdiam sejenak. Mencari alasan agar kali ini usahanya untuk membina keluarga baru tidak kembali gagal. "Maafkan aku, Ti. Aku khilaf!" Aiman berusaha menurunkan egonya. "Kumohon mengertilah. Aku bahkan tak akan bisa tenang jika hubungan kita terus berlanjut. Dua hati yang aku korbankan atau … bisa saja lebih." Tiara berucap sendu. "Apa tak ada jalan lain, Ti?" Kumohon! Aku hanya ingin membina keluarga bahagia dan melihat senyum kedua orang tuaku kembali merekah." Aiman menghiba berharap hati Tiara akan luluh. Tiara bergeming. Bayangan Ibu Ana melintas membuatnya sedikit tak nyaman. Namun, ia tak ingin keadaan lebih buruk lagi. "Percayalah, kita akan menemukan jodoh kita ma
"Laki-laki itu masih menyimpan rasa padamu, Sayang!" ucap Farid saat keduanya baru saja masuk ke mobil. Zia menatap lekat wajah sang suami dengan dahi berkerut. Farid sengaja mengalihkan pandangan lurus ke depan. "Maksudnya?" tanya Zia seolah tak mengerti. "Mantan suamimu!" Kali ini Farid melirik sekilas wajah cemberut Zia. "Abang tak suka Zia bertemu dengannya?" "Tidak!""Meski tanpa sengaja?""Ya."Hening. Zia tak lagi meneruskan pertanyaannya. Ia memilih menatap lekat wajah Farid dengan wajah manyun. Farid yang merasa diperhatikan kini tak bisa menyembunyikan tawanya. "Manyun aja keliatan cantik, apalagi senyum." Farid mengecup puncak hidung Zia. Zia tak menjawab. Gemas rasanya karena merasa dipermainkan. "Nggak usah dipikirin! Abang cuma becanda." Farid tersenyum lembut. "Sebenarnya Abang serius kalau dia masih menyimpan rasa padamu. Sayangnya sekarang Abang-lah laki-laki beruntung itu, bukan dia." Farid kembali terkekeh. "Tak usah bahas dia lagi. Zia nggak nyaman," aku Zi
Aiman bangkit dan mengangsurkan tangannya saat Farid dan Zia sudah berdiri di dekatnya. Farid dan Aiman bersalaman layaknya dua orang yang baru saja kenal. Karena ini memang kali pertamanya Farid dan Aiman bertatap muka. Saat Zia menikah pun Aiman tak datang karena merasa tak mampu melihat Zia berbahagia dengan laki-laki lain. Setelahnya Farid duduk dengan jarak satu kursi dari Aiman. Zia duduk di samping Farid. "Baru sampai?" tanya Farid berusaha mencairkan suasana. Ia tahu jika Aiman masih sangat menginginkan Zia hingga Zia memuyuskan menerima lamarannya. "Sekitar pukul 2 tadi," jawab Aiman. Ia merasakan suasana yang begitu canggung. "Tiara di dalam?" tanya Farid lagi. "Iya, beberapa menit lalu baru masuk." Aiman menjawab singkat pertanyaan Farid. Ia tak tahu harus berbasa-basi seperti apa agar suasana canggung antara mereka bisa menghangat. *Di dalam ruangan ICU Tiara duduk di sisi kiri Sintia. Ditatapnya wajah dengan luka jahitan di kepala dan pipi di hadapannya. Ada iba d
"Kau di sini …." Aiman duduk tepat di samping Tiara. "Maaf, saking paniknya aku lupa mengabarimu." Tiara berucap setelah menoleh sekilas pada Aiman. Setelahnya tatapan matanya kembali mengarah pada pintu ruang ICU yang tertutup rapat. "Aku menghubungimu berulang-ulang tapi tapi tak ada balasan. Akhirnya kuputuskan untuk mencarimu di tempat di mana Sintia dirawat.""Terima kasih sudah sepeduli itu padaku." Kalimat Tiara terdengar datar. Kini Aiman seolah tak lagi memiliki daya tarik di matanya. Ia mulai sadar jika terlalu banyak hati bahkan fisik yang tersakiti saat dirinya ia memutuskan untuk menerima lamaran Aiman.Jika ia tetap meneruskan rencana awal ia yakin hati Miko akan bertambah hancur, pun dengan Sintia. Tiara tak ingin menambah api dendam di hati perempuan itu seandainya Sintia sembuh dari komanya. "Besok malam kita bertemu di tempat biasa habis isya! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu," lirih Tiara sendu. Ia sangat paham dengan memutuskan hubungan dengan Aiman berarti