Sepuluh menit berlalu masih sama. Farid menunggu dalam rasa tak pasti. Farid memarkirkan mobilnya di parkiran kampus. Getar ponsel di pangkuannya membuatnya memilih tetap berada di dalam mobil. [Ada perempuan yang lebih berhak atas rasa itu. Mulai sekarang, anggap saja semua seperti dulu, saat rasa itu belum tumbuh. Terima kasih untuk semua.]Farid meremas dadanya yang terasa berdenyut. Jika saja ia perempuan, mungkin air mata bisa menjadi gambaran betapa lemahnya dirinya ketika dihadapkan dengan rasa yang begitu menyiksanya saat ini. Dengan tangan bergetar, ia kembali membalas pesan Zia. Dadanya terlihat naik turun karena sesak yang menghimpit. [Maaf, Zi. Apa yang membuatmu mengatakan demikian? Jika ada sesuatu tentangku yang membuatmu berubah, kumohon ceritakan agar aku bisa tahu di mana salahku.]Pesan yang baru saja Farid kirim centang dua. Bermenit-menit ia menatap layar ponsel, menunggu pesannya dibaca dan berbalas. Namun yang diharapkan tak kunjung datang. Ponselnya masih
"Apa maksudmu, Ra?" tanya Farid heran. "Ya, aku baru tahu jika suaminya menikah diam-diam dibelakangnya dan membawa istri keduanya tinggal bersama Zia kurang dari dua minggu yang lalu. Itu pun bukan Zia yang sengaja menceritakannya padaku, melainkan keadaan yang mendesaknya karena Sintia melabraknya.""Sintia? Sintia siapa?" tanya Farid dengan rasa penasarannya. "Istri mantan suami Zia."Farid terlihat kesal, tapi kali ini ia tak lagi bertanya, ia sengaja menunggu kalimat selanjutnya yang akan Fira katakan sebagai jawaban rasa penasarannya. "Sintia datang ke kosan Zia, mempermalukan Zia di depan semua penghuni kos, jika Zia telah menggoda suaminya. Saat itu lah Zia buka suara, membeberkan semuanya, yang aku sendiri tak pernah tahu sebelumnya." Fira tersenyum getir. "Satu hal yang harus Abang tau, Zia terlalu pandai menyimpan lukanya."Fira menengadahkan kepalanya. Hatinya berdesir mengingat betapa berat beban hidup sahabatnya itu. Dirinya yang dikaruniai keluarga utuh dengan harta
Rasa yang mulai timbuh di hati Zia, kini mulai subur. Diam-diam kekagumannya pada laki-laki itu semakin besar. Beberapa saat Zia mematung. Kepalanya sibuk mencari kalimat sebagai penebus salahnya untuk laki-laki baik itu."Maafkan aku, Ra, maafkan atas kecerobohanku. Jika memang Bang Farid tak terikat dengan siapa pun, maka datanglah pada Ustadz Nasrun dan Ustadzah Hamidah, mereka lah pengganti orang tuaku," ucap Zia pelan dengan kepala tertunduk. Fira merasakan untuk beberapa saat lidahnya terasa kelu, ia masih tak menyangka jika kalimat itu secepat ini akan ia dengardengar dari bibir sahabatnya itu. "Apa kau melakukannya karena merasa terbebani atas semua yang pernah kulakukan untukmu, Zi?" tanya Fira tak enak hati. Pelan kepala Zia menggeleng. Ia bahkan tak terpikirkan tentang hal itu. "Tidak sama sekali, Ra, jangan mengkhawatirkanku!" Fira masih tak puas. Ditatapnya wajah teduh milik sahabatnya itu, tak ia lihat ada keterpaksaan di sana. "Zi, lihat aku!" ucap Fira pelan. Ia
Meski usia Farid yang sudah melewati angka 30, perempuan di hadapannya itu selalu menganggap anak laki-lakinya itu bocah mungilnya dulu yang selalu minta ia peluk saat bangun dari tidur. "Nggak, kok, Ma." Farid menyungging senyum, berusaha meyakinkan sang Mama kalau dirinya baik-baik saja. "Terus, ada masalah apa, sampe nggak turun saat mama ajak makan?" Ibu Liana masih tak puas. "Farid cuma lagi nggak nafsu makan aja, Ma." Farid berkilah. Ia tak ingin membuat perempuan terbaik dalam hidupnya itu tak tenang. "Tidak, Bang! Kau tak seperti biasa. Jangan membohongi Mama, Nak. Mama tahu apa yang membuatmu nyaman, atau pun tak nyaman sejak kau masih dalam gendongan Mama." Ibu Liana melangkah masuk dan duduk di atas ranjang Farid. Anak laki-lakinya itu pun melakukan hal serupa. "Apa ini tentang Zia?" Ibu Liana menebak. Farid terdiam sejenak, memilah apakah ia akan bercerita atau tetap diam. "Do'akan saja semoga Zia bisa menerima Farid, Ma," ucap Farid dengan senyum getir. Tangan pe
Fira menatap Farid dengan hati dipenuhi rona bahagia. Namun, ia tetap merahasiakannya dari Farid sesuai janjinya dengan Zia semalam. "Andaikan Zia menerima lamaran laki-laki lain, apa yang akan Abang lakukan?" tanya Fira dengan mata fokus melihat ekspresi sang kakak. Hening. Beberapa detik bahkan merambat ke menit tak ada jawaban dari Farid. Wajah laki-laki itu terlihat menegang. Ia masih belum sanggup membayangkan Zia akan menikah dengan laki-laki lain. Fira berusaha menggigit bibir bawah, hatinya tertawa geli melihat wajah gusar Farid. Farid menghela napas dalam. Bagaimana pun, kemungkinan apa saja bisa terjadi, ia harus berusaha siap dengan semua takdir yang telah Allah gariskan untuknya. Berusaha Farid menguatkan hatinya, menahan gejolak di dada yang hampir tak sanggup ia tahan. "Bismillah, Ra, jika memang Zia bukan yang terbaik untuk Abang, semoga kami sama-sama menemukan yang terbaik bagi kami masing-masing."Dengan ulu hati terasa nyeri, kalimat itu meluncur dengan begitu
Farid berjalan dengan kedua tungkai terasa sedikit lemas menuju kamarnya, melewati ruang keluarga di mana Zia dan Fira berada, ia tak ingin hatinya lebih nyeri melihat keakraban keluarganya dengan Zia, khawatir akan lebih sulit mengikhlaskan perempuan bermata teduh itu. Dibaringkannya tubuh lelahnya di atas ranjang. Mata sendu miliknya terpejam bersama helaan napas berat. Beberapa saat posisinya berubah menjadi telungkup, kemudian kembali menghadap langit-langit kamar. Diremasnya dada yang kini terasa nyeri, nyeri karena pengharapannya yang mungkin terlalu tinggi. Pelan bibirnya melafadzkan istigfar, berusaha mengenyahkan bayangan perempuan yang tengah duduk di ruang keluarga rumahnya saat ini. Hingga adzan magrib tiba, barulah Farid beranjak untuk menunaikan kewajibannya di masjid.Tiga puluh menit berlalu, sebagian besar jama'ah sudah kembali ke rumah masing-masing. Namun, tidak dengan Farid, laki-laki itu tak berniat untuk pulang lebih cepat. Ia lebih memilih menunggu waktu is
Fira menatap wajah getir abangnya itu dengan senyum manis, membuat Farid merasa ada sesuatu yang tengah disembunyikan sang adik. "Itu karena, Zia meminta Abang melamarnya langsung pada Ustadz Nasrun," ucap Fira dengan senyum menggoda. Farid mematung, degub jantungnya berkejaran bersamaan dengan hati yang berdesir hebat. "Apa kau tengah bercanda, Ra?" tanya Farid dengan jantung terasa ingin melompat dari sarangnya. Fira terkikik geli. Kali ini ia benar-benar berhasil membuat abangnya itu melotot karena mendengar kalimatnya. "Aku tidak sedang bercanda, Bang. Serius!" Fira nyengir seraya mengacung telunjuk serta jari tengah tangan kanannya secara bersamaan. Farid merubah posisi, menghadap lurus dashboard mobilnya. Degup jantung masih terus berpacu bersamaan desir yang tiba-tiba menelusup. Fira memberi waktu beberapa menit untuk sang kakak menikmati debar hatinya, menata detak jantungnya, hingga memuaskan lengkungan di bibirnya dengan mata terpejam. "Abang ingin tau apa yang membu
"Apa nggak terlalu buru-buru, Ma?" tanya Pak Darmawan lagi. "Nggak lah, Pa. Semua perlengkapan acara Fira sudah kelar jauh-jauh hari lho, Pa. Jadi sekarang kita tinggal nunggu hari H-nya saja. Jadi nggak apa-apa kalau harus melamar Zia untuk Farid sebelum Fira menikah juga," jawab Ibu Liana. "Iya, Pa, kayaknya nggak papa. Acarannya 'kan, bisa diatur bagusnya kapan." Kali ini Fira ikut bersuara. Pak Darmawan berpikir beberapa saat, akhirnya meminta jawaban langsung dari yang bersangkutan. "Kalau menurutmu bagaimana, Bang?" Pertanyaan yang ditunjukkan untuk Farid. "Menurut Farid, kita ikuti pendapat terbanyak saja, Pa. Toh, ini 'kan baru lamaran, kalau diterima, baru menentukan hari H-nya kapan, acaranya di mana, serta hal lain. Jadi menurut Farid ngga apa-apa disegerakan." Farid berusaha meredam rasa bahagia yang membuat dadanya terasa sesak. Laki-laki paruh baya itu mengangguk-anggukkan kepala, pertanda menemukan jawaban atas musyawarah barusan. "Baiklah, kalau begitu minggu in
"Terima kasih atas waktu dua tahunmu membersamaiku, Bang. Semoga kau selalu menjadi laki-laki terbaik bagiku dan Hana, putri kita." Zia menyandarkan kepalanya ke dada bidang lelaki yang sudah dua tahun melengkapi hidupnya. Sebuah jalan takdir yang sama sekali tidak pernah ia duga sebelumnya, jika Farid akan menjadi suami, imam juga jalan dirinya untuk menggapai surga Rabb-nya."Alhamdulillah, Sayang. Abang juga sangat bersyukur sekali bisa dipertemukan dengan perempuan cantik, baik hati, sholeha, sepertimu." Senyum menawan Farid dia persembahkan untuk perempuan asing teristimewa dalam hidupnya. Keduanya saling menautkan jari menikmati semilir angin sore di taman samping rumah sambil melihat kelucuan Hana yang tengah bermain tidak jauh dari tempat mereka duduk.Kehangatan keluarga kecil mereka semakin lengkap setelah kehadiran Hana sebagai pengantar doa-doa panjang dalam setiap sujud mereka sebagai orang tua. Meminta serta memohon keberkahan untuk rumah tangga agar senantiasa berada d
Tiara menatap lekat wajah laki-laki di hadapannya. Dapat ia rasakan hatinya menghangat seiring cinta yang kian tumbuh dan berkembang terhadap laki-laki itu. "Kau yakin? Apa kau sama sekali tak memiliki rasa sakit hati atas penolakanku selama ini?" tanya Tiara dengan rasa penasaran. "Aku yakin. Tak naif, kecewa itu kerap terasa, hanya saja aku menganggapnya sebagai pecut untuk berjuang meraih cintamu lebih keras lagi. Jujur, di luaran sana ada yang mengejarku untuk meraih cintaku, sayangnya hati ini sudah terpaut sejak lama padamu, Ti." Laki-laki itu terlihat sangat serius. Tiara menatap Miko dengan senyum termanisnya. Hati berdesir kian rapat yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. "Apa kau akan selalu bersikap seperti ini seandianya aku menerima lamaranmu?" Tiara berusaha menuntaskan keingintahuannya. "Apa kau pikir aku akan mengorbankan waktu dan kesabaranku selama ini dalam memperjuangkan cintamu hingga aku akan mengabaikanmu saat kau sudah menjadi milikmu?" Miko balik bertanya
Zia mengangguk. "Aku udah maafin Sintia, Ti. Lagipula dari dulu Kakak nggak pernah dendam sama Sintia. Sakit hati atas perlakuan Sintia dulu Kakak rasa itu manusiawi, yang pasti sekarang Kakak sudah mengikhlaskan semuanya." Zia tersenyum lembut. "Kakak memang luar biasa. Terima kasih, Kak.""Maafin kesalahan Sintia! Anggap aja kalo Sintia khilaf waktu ngelakuin semuanya," lanjut Zia."Iya, Kak. Aku hanya berharap semoga Sintia tenang di kehidupan abadinya dan ke depannya nggak akan ada lagi Sintia baru di dalam hidup kita." Tiara berucap lirih. Zia mengangguk pelan. "Aamiin.."***"Sekarang tak ada lagi Sintia, Ti. Aku harap kau bisa menerima lamaranku. Maafkan atas sikapku beberapa waktu lalu." Aiman berucap dengan nada memohon. Aiman meminta Tiara untuk menemuinya di tempat biasa, rumah makan yang beberapa kali mereka jadikan tempat bertemu sambil menghabiskan waktu istirahat siang sebelum kembali ke kantor. Tiara tidak langsung menjawab, ia berpikir sejenak agar tidak salah men
Zia mengalihkan perhatiannya kembali pada sang dokter. Lalu menganggukkan kepala. "Benar, Dok. Jadi jika memang harus dilepas, saya dan keluarga akan berusaha menerima dengan lapang dada." Susah payah Zia mengucapkan kata-kata itu melalui bibirnya yang bergetar. Tapi dia harus, dia tidak bisa ikut rapuh di saat Tiara tak sanggup lagi untuk sekedar berdiri. "Tiara!"Zia menggandeng lengan Tiara untuk ke luar setelah pamit pada dokter yang di hadapan mereka. Farid pun memutuskan untuk mengambil alih semua tugas Tiara. Dia mengikuti dokter tersebut agar segera menandatangani surat persetujuan pelepasan alat penunjang hidup Sintia sekaligus melunasi segala biayanya. Jasad Sintia akan dimandikan oleh pihak rumah sakit dan dikafani sekalian di sini. Supaya mereka hanya tinggal menyemayamkan jasad Sintia menuju ke tempat peristirahatan terakhir. Di sisi lain, Zia mencoba menuntun Tiara ke kursi ruang tunggu. Dia mendudukkan Tiara sembari memberikan sebotol air mineral yang tadi sempat ia b
Tiara bercerita panjang lebar pada Zia. Ia sendiri merasa sedikit tak nyaman menceritakan semuanya pada Zia, terlebih sesuatu yang ada hubungannya dengan Aiman. Tapi ia sendiri seolah tidak memiliki tempat berbagi. Sang nenek tinggal terpisah darinya dengan jarak satu setengah jam perjalanan. Sedangkan sang ayah, laki-laki itu semakin tak memiliki waktu untuknya, bahkan hanya sekedar menelpon pun seolah tak memiliki waktu. "Kakak hanya bisa menyerahkan semua keputusan padamu, Ti. Kau sudah dewasa. Semoga apa pun keputusanmu itu akan berbuah manis di kemudian hati, Ti.""Terima kasih, Kak, sudah sudi mendengar ceritaku. Aku pun berharap begitu. Aku berharap ada kebahagiaan untukku tanpa harus menyakiti hati siapa pun."Telepon terputus. Zia terdiam sejenak. Isi percakapannya dengan Tiara barusan seolah berputar di kepalanya. Ia sendiri tak tahu harus berbuat apa yang pasti ia hanya berharap yang terbaik bagi Tiara. Embusan napas panjang ke luar dari mulutnya. Sekilas wajah patah hati
Tiara lagi-lagi tersenyum sinis. Kalimat Aiman mampu menoreh luka di relung sana. Bagi Tiara, pantang berbohong apalagi dalam hal sepenting ini."Jika saja kau bisa melihat isi hatiku, maka kalimat yang kau ucapkan barusan tak akan pernah ke luar." Kali ini tatapan mata Tiara lekat di wajah Aiman.Laki-laki itu terdiam sejenak. Mencari alasan agar kali ini usahanya untuk membina keluarga baru tidak kembali gagal. "Maafkan aku, Ti. Aku khilaf!" Aiman berusaha menurunkan egonya. "Kumohon mengertilah. Aku bahkan tak akan bisa tenang jika hubungan kita terus berlanjut. Dua hati yang aku korbankan atau … bisa saja lebih." Tiara berucap sendu. "Apa tak ada jalan lain, Ti?" Kumohon! Aku hanya ingin membina keluarga bahagia dan melihat senyum kedua orang tuaku kembali merekah." Aiman menghiba berharap hati Tiara akan luluh. Tiara bergeming. Bayangan Ibu Ana melintas membuatnya sedikit tak nyaman. Namun, ia tak ingin keadaan lebih buruk lagi. "Percayalah, kita akan menemukan jodoh kita ma
"Laki-laki itu masih menyimpan rasa padamu, Sayang!" ucap Farid saat keduanya baru saja masuk ke mobil. Zia menatap lekat wajah sang suami dengan dahi berkerut. Farid sengaja mengalihkan pandangan lurus ke depan. "Maksudnya?" tanya Zia seolah tak mengerti. "Mantan suamimu!" Kali ini Farid melirik sekilas wajah cemberut Zia. "Abang tak suka Zia bertemu dengannya?" "Tidak!""Meski tanpa sengaja?""Ya."Hening. Zia tak lagi meneruskan pertanyaannya. Ia memilih menatap lekat wajah Farid dengan wajah manyun. Farid yang merasa diperhatikan kini tak bisa menyembunyikan tawanya. "Manyun aja keliatan cantik, apalagi senyum." Farid mengecup puncak hidung Zia. Zia tak menjawab. Gemas rasanya karena merasa dipermainkan. "Nggak usah dipikirin! Abang cuma becanda." Farid tersenyum lembut. "Sebenarnya Abang serius kalau dia masih menyimpan rasa padamu. Sayangnya sekarang Abang-lah laki-laki beruntung itu, bukan dia." Farid kembali terkekeh. "Tak usah bahas dia lagi. Zia nggak nyaman," aku Zi
Aiman bangkit dan mengangsurkan tangannya saat Farid dan Zia sudah berdiri di dekatnya. Farid dan Aiman bersalaman layaknya dua orang yang baru saja kenal. Karena ini memang kali pertamanya Farid dan Aiman bertatap muka. Saat Zia menikah pun Aiman tak datang karena merasa tak mampu melihat Zia berbahagia dengan laki-laki lain. Setelahnya Farid duduk dengan jarak satu kursi dari Aiman. Zia duduk di samping Farid. "Baru sampai?" tanya Farid berusaha mencairkan suasana. Ia tahu jika Aiman masih sangat menginginkan Zia hingga Zia memuyuskan menerima lamarannya. "Sekitar pukul 2 tadi," jawab Aiman. Ia merasakan suasana yang begitu canggung. "Tiara di dalam?" tanya Farid lagi. "Iya, beberapa menit lalu baru masuk." Aiman menjawab singkat pertanyaan Farid. Ia tak tahu harus berbasa-basi seperti apa agar suasana canggung antara mereka bisa menghangat. *Di dalam ruangan ICU Tiara duduk di sisi kiri Sintia. Ditatapnya wajah dengan luka jahitan di kepala dan pipi di hadapannya. Ada iba d
"Kau di sini …." Aiman duduk tepat di samping Tiara. "Maaf, saking paniknya aku lupa mengabarimu." Tiara berucap setelah menoleh sekilas pada Aiman. Setelahnya tatapan matanya kembali mengarah pada pintu ruang ICU yang tertutup rapat. "Aku menghubungimu berulang-ulang tapi tapi tak ada balasan. Akhirnya kuputuskan untuk mencarimu di tempat di mana Sintia dirawat.""Terima kasih sudah sepeduli itu padaku." Kalimat Tiara terdengar datar. Kini Aiman seolah tak lagi memiliki daya tarik di matanya. Ia mulai sadar jika terlalu banyak hati bahkan fisik yang tersakiti saat dirinya ia memutuskan untuk menerima lamaran Aiman.Jika ia tetap meneruskan rencana awal ia yakin hati Miko akan bertambah hancur, pun dengan Sintia. Tiara tak ingin menambah api dendam di hati perempuan itu seandainya Sintia sembuh dari komanya. "Besok malam kita bertemu di tempat biasa habis isya! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu," lirih Tiara sendu. Ia sangat paham dengan memutuskan hubungan dengan Aiman berarti