"Ada apa lagi, Bang?" tanya sang Mama setelah menghabiskan makan malam di piringnya. Pak Darmawan menatap Farid dengan menurunkan kaca matanya."Ada yang mau Farid bicarakan sama Mama dan Papa," ucap Farid setenang mungkin. Fira menatap abangnya itu sambil tersenyum geli. "Semoga tentang jodoh, Mama sudah tak sabar ingin gendong cucu," celetuk Ibu Liana dengan sudut mata melirik putranya.Hati Farid berdesir, harapannya begitu besar untuk diterimanya Zia dalam keluarga mereka. Hening! Semua menunggu Farid kembali bersuara. Jam dengan ukuran setinggi orang dewasa berdentang memecah sunyi di ruang tamu menggema hampir ke seluruh ruangan. Mengabari pada penghuni rumah megah itu, jika saat ini waktu menunjukkan pukul delapan malam. "Farid ingin melamar perempuan yang Farid rasa pantas untuk menemani Farid, Pa, Ma," ucapnya seolah tanpa ragu. Ya, dirinya memang tak merasa ragu sedikit pun tentang rasanya pada perempuan sebatang kara yang beberapa bulan terakhir kerap mewarnai mimpi-mimp
"Lalu … perempuan seperti apa yang kau inginkan menjadi pendampingmu, Bang? Kau harus menimbnag nama baik keluarga juga, jangan asal dalam memilih pasangan karena ini bukan hal sepele. Kau harus memikirkannya matang-matang," potong sang Mama dengan wajah kurang bersahabat. Farid menoleh pada adik satu-satunya yang duduk mematung di sampingnya. Hatinya gemas melihat Fira yang tak kunjung buka suara untuk membantunya menyampaikan maksud baiknya pada orang tua mereka. "Ma, Pa, Farid ingin melamar Zia!" Akhirnya kalimat itu meluncur dengan susah payah dari bibir Farid, setelah adik satu-satunya yang ia harapkan bisa membantunya kini hanya bergeming, seolah tidak terjadi apa-apa di hadapannya. Farid menangkap sesuatu yang Fira sembunyikan darinya, tapi apa itu ia pun tak tahu. Hening! Pak Darmawan dan Ibu Liana saling melempar tatap. Ibu Liana menaik turunkan alisnya seolah tengah memberi isyarat pada suaminya. Entah isyarat apa, Farid tak paham. Beberapa detik bahkan menit berlalu, t
"Aku mencintainya dan berkeinginan untuk menjadikannya istriku bukan karena rasa kasihan atas nasib pernikahannya yang sebelumnya gagal, ataupun karena dirinya yatim piatu. Aku sungguh mencintainya, bahkan sejak pertama melihatnya," aku Farid jujur dengan tatapan mata luruh di atas meja makan. Semua yang baru saja meluncur dari bibirnya memang benar adanya, ia bahkan menaruh hati pada perempuan itu sejak pandangan pertama, ya, saat Zia bahkan masih sah berstatus istri laki-laki lain. Sebelumnya ia berusaha menahan rasa yang tiba-tiba menyeruak, rasa yang berbeda pada perempuan yang ia lihat di pinggir jalan karena ban motornya bocor kala itu, hingga kabar perpisahan Zia sampai di telinganya saat Farah meminta bantuannya untuk mencarikan Zia kosan malam itu. Kini rasa itu semakin hari semakin kuat hingga menciptakan rindu yang kian menggunung."Apa Zia memiliki rasa yang sama terhadapmu?" Kali ini Ibu Liana bersuara, membuat Farid seketika menoleh pada Fira yang kini menautkan alis me
"Jangan egois, Sin! Kenapa tidak kau perbaiki hubunganmu dengan Aiman? Bukankah dulu kau begitu mencintainya?" tanya Tiara tak habis pikir. Sintia menunduk, seperti ada beban yang berusaha ia pendam sendiri. "Aku juga bingung, Ti, beberapa waktu lalu, Aiman pernah memergokiku jalan berdua dengan Pak Wisnu. Kami bertengkar hebat hingga akhirnya aku mengusirnya dengan mengatakan kalau aku menikah dengannya hanya karena ingin balas dendam. Namun, saat ia mendiamkanku, ada sesuatu yang hilang. Aku takut ia benar-benar pergi. Aku sungguh tak mengerti dengan diriku sendiri," lirih Sintia pelan. Tiara menarik napas kasar, membuangnya perlahan. Menasihati sahabatnya itu rasanya ia butuh kesabaran tambahan. "Sekarang bagaimana keadaan rumah tangga kalian?" "Semua berjalan seperti sebelumnya setelah aku terlebih dulu minta maaf dan mengatakan Pak Wisnu adalah abang angkatku. Kukatakan jika aku khilaf saat mengatakan aku hanya dendam dengannya, meski sebenarnya aku tak sungguh-sungguh minta
Tanpa menjawab, Zia berjalan menuju motornya yang terparkir di bawah hujan lebat. Tubuh yang sudah menggigil dipaksanya untuk kuat. Ia tak ingin lebih lama lagi di sini, berdua dengan orang yang bahkan mengingat namanya saja mampu membuat hatinya perih. Di ujung sana, Farid dari dalam mobilnya mengawasi Zia dan mantan suaminya itu. Fira pun melakukan hal serupa. Bukan kebetulan, Farid sengaja menyusul Zia setelah menjemput Fira tadi. Awan gelap tadi membuatnya khawatir dengan gadis pujaannya itu. Zia mulai menstarter motornya, berjalan menembus hujan lebat yang tak kunjung reda. Cahaya lampu dari kendaraan di hadapannya bahkan tak mampu menjangkau jarak pandang terlalu jauh. Setetes air matanya luruh bersamaan dengan tetes hujan yang membasahi wajahnya. Luka itu masih sangat membekas di relung sana, hingga saat ini masih menyisakan perih yang terkadang masih terasa. Cepat Farid menyusul motor Zia. Aiman pun melakukan hal serupa. Keduanya tak ingin kehilangan kesempatan untuk mena
"Aku berharap banyak kau bisa menerimaku, Zi," lirih Farid. "Sekalian nitip ini, ya, dicuciin. Biar yang punya makin kecantol," ucap Fira dengan senyum jailnya. Tangannya menunjuk jas milik Farid yang menutup tubuh Zia. Zia hanya membalas dengan senyum, ia tak ambil pusing dengan kejailan Fira barusan. "Ya udah, aku pamit, ya, Zi. Cepetan mandi, gih. Besok malam ada sesuatu yang penting pengen aku omongin ke kamu. Pokoknya nggak boleh nolak."Wajah manis berbalit jilbab lebar itu tersenyum jail. ke arah sahabat baiknya itu. jauh di relung sana ia berharap semua harapannya tentang Farid dan Zia dipermudahkan. Fira segera berlalu setelah pamit, sedangkan Zia, ia hanya menggeleng berulang sambil tersenyum, kemudian segera masuk kamar mandi setelah menyabet handuk yang tergantung dibelakang pintu kamar. *Sejak kejadian tadi siang, hingga saat ini jam dinding sudah menunjukkan pukul 9 malam, Farid tak juga dapat memejamkan mata. Detik demi detik kejadian sore tadi kini bergantian ber
"Bang Farid!" Hatinya berdesir. Zia mengulang kata demi kata pesan dari Farid. Tak pernah ia terpikir jika kakak laki-laki sahabatnya itu akan menyimpan rasa padanya. Di satu sisi ia merasa tersanjung. Namun, di sudut lain, ada kekhawatiran menelusup. Kegagalan dalam mengarungi bahtera bersama mantan suaminya kembali menghantui, menciptakan sudut lain hatinya menolak untuk kembali mengulangi bahtera yang sama meski dengan orang berbeda dalam waktu sesingkat ini. Beberapa saat mata teduh itu terpejam, mencari kata yang tepat untuk menyampaikan kata hatinya pada lelaki yang kini ia tahu memiliki rasa padanya. Selama ini ia menganggap Farid tak lebih dari sekedar kakak dari sahabatnya. Ia pun belum pernah berbincang secara langsung dengan Farid. Saat berpapasan ia hanya mengangguk sopan kemudian menunduk. Bahkan untuk wajah Farid saja ia hanya melihat sekilas. Namun, pelan setelah membaca pesan Farid untuk kesekian kalinya, rasa kagum kini mulai terbit. "Apa ini yang dimaksud Fira k
"Sakit apa? Apa mungkin karena kehujanan kemarin?" Farid menautkan alis dengan perasaan khawatir. Iba menelusup memenuhi rongga dadanya mana kala mengetahui Zia sakit, dan tinggal sendiri di kosannya."Sepertinya iya. Sekarang kita langsung ke kosan Zia aja, Bang."Tanpa menjawab, Farid memutar stir mobilnya ke arah kosan Zia. Sepanjang perjalanan hatinya tak tenang, khawatir terjadi sesuatu pada Zia. Dua puluh menit menuju kosan Zia terasa sangat jauh bagi Farid, padahal ia sudah menambah kecepatan lari besi beroda miliknya. Kaki kanannya spontan menginjak pedal gas lebih dalam lagi, membuat mobil melaju semakin kencang. "Nggak usah ngebut, Bang! Lagian kosan Zia udah nggak jauh lagi, kok." Protes Fira, membuat Farid kembali memelankan laju kendaraannya. Mesin mobil Farid mati sempurna ketika sampai di depan gerbang. Fira buru-buru turun dari mobil, berjalan cepat menuju kamar Zia. Sedangkan Farid menunggu dengan rasa yang entahlah. Hatinya tak tenang duduk menunggu di sini. Jika
"Terima kasih atas waktu dua tahunmu membersamaiku, Bang. Semoga kau selalu menjadi laki-laki terbaik bagiku dan Hana, putri kita." Zia menyandarkan kepalanya ke dada bidang lelaki yang sudah dua tahun melengkapi hidupnya. Sebuah jalan takdir yang sama sekali tidak pernah ia duga sebelumnya, jika Farid akan menjadi suami, imam juga jalan dirinya untuk menggapai surga Rabb-nya."Alhamdulillah, Sayang. Abang juga sangat bersyukur sekali bisa dipertemukan dengan perempuan cantik, baik hati, sholeha, sepertimu." Senyum menawan Farid dia persembahkan untuk perempuan asing teristimewa dalam hidupnya. Keduanya saling menautkan jari menikmati semilir angin sore di taman samping rumah sambil melihat kelucuan Hana yang tengah bermain tidak jauh dari tempat mereka duduk.Kehangatan keluarga kecil mereka semakin lengkap setelah kehadiran Hana sebagai pengantar doa-doa panjang dalam setiap sujud mereka sebagai orang tua. Meminta serta memohon keberkahan untuk rumah tangga agar senantiasa berada d
Tiara menatap lekat wajah laki-laki di hadapannya. Dapat ia rasakan hatinya menghangat seiring cinta yang kian tumbuh dan berkembang terhadap laki-laki itu. "Kau yakin? Apa kau sama sekali tak memiliki rasa sakit hati atas penolakanku selama ini?" tanya Tiara dengan rasa penasaran. "Aku yakin. Tak naif, kecewa itu kerap terasa, hanya saja aku menganggapnya sebagai pecut untuk berjuang meraih cintamu lebih keras lagi. Jujur, di luaran sana ada yang mengejarku untuk meraih cintaku, sayangnya hati ini sudah terpaut sejak lama padamu, Ti." Laki-laki itu terlihat sangat serius. Tiara menatap Miko dengan senyum termanisnya. Hati berdesir kian rapat yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. "Apa kau akan selalu bersikap seperti ini seandianya aku menerima lamaranmu?" Tiara berusaha menuntaskan keingintahuannya. "Apa kau pikir aku akan mengorbankan waktu dan kesabaranku selama ini dalam memperjuangkan cintamu hingga aku akan mengabaikanmu saat kau sudah menjadi milikmu?" Miko balik bertanya
Zia mengangguk. "Aku udah maafin Sintia, Ti. Lagipula dari dulu Kakak nggak pernah dendam sama Sintia. Sakit hati atas perlakuan Sintia dulu Kakak rasa itu manusiawi, yang pasti sekarang Kakak sudah mengikhlaskan semuanya." Zia tersenyum lembut. "Kakak memang luar biasa. Terima kasih, Kak.""Maafin kesalahan Sintia! Anggap aja kalo Sintia khilaf waktu ngelakuin semuanya," lanjut Zia."Iya, Kak. Aku hanya berharap semoga Sintia tenang di kehidupan abadinya dan ke depannya nggak akan ada lagi Sintia baru di dalam hidup kita." Tiara berucap lirih. Zia mengangguk pelan. "Aamiin.."***"Sekarang tak ada lagi Sintia, Ti. Aku harap kau bisa menerima lamaranku. Maafkan atas sikapku beberapa waktu lalu." Aiman berucap dengan nada memohon. Aiman meminta Tiara untuk menemuinya di tempat biasa, rumah makan yang beberapa kali mereka jadikan tempat bertemu sambil menghabiskan waktu istirahat siang sebelum kembali ke kantor. Tiara tidak langsung menjawab, ia berpikir sejenak agar tidak salah men
Zia mengalihkan perhatiannya kembali pada sang dokter. Lalu menganggukkan kepala. "Benar, Dok. Jadi jika memang harus dilepas, saya dan keluarga akan berusaha menerima dengan lapang dada." Susah payah Zia mengucapkan kata-kata itu melalui bibirnya yang bergetar. Tapi dia harus, dia tidak bisa ikut rapuh di saat Tiara tak sanggup lagi untuk sekedar berdiri. "Tiara!"Zia menggandeng lengan Tiara untuk ke luar setelah pamit pada dokter yang di hadapan mereka. Farid pun memutuskan untuk mengambil alih semua tugas Tiara. Dia mengikuti dokter tersebut agar segera menandatangani surat persetujuan pelepasan alat penunjang hidup Sintia sekaligus melunasi segala biayanya. Jasad Sintia akan dimandikan oleh pihak rumah sakit dan dikafani sekalian di sini. Supaya mereka hanya tinggal menyemayamkan jasad Sintia menuju ke tempat peristirahatan terakhir. Di sisi lain, Zia mencoba menuntun Tiara ke kursi ruang tunggu. Dia mendudukkan Tiara sembari memberikan sebotol air mineral yang tadi sempat ia b
Tiara bercerita panjang lebar pada Zia. Ia sendiri merasa sedikit tak nyaman menceritakan semuanya pada Zia, terlebih sesuatu yang ada hubungannya dengan Aiman. Tapi ia sendiri seolah tidak memiliki tempat berbagi. Sang nenek tinggal terpisah darinya dengan jarak satu setengah jam perjalanan. Sedangkan sang ayah, laki-laki itu semakin tak memiliki waktu untuknya, bahkan hanya sekedar menelpon pun seolah tak memiliki waktu. "Kakak hanya bisa menyerahkan semua keputusan padamu, Ti. Kau sudah dewasa. Semoga apa pun keputusanmu itu akan berbuah manis di kemudian hati, Ti.""Terima kasih, Kak, sudah sudi mendengar ceritaku. Aku pun berharap begitu. Aku berharap ada kebahagiaan untukku tanpa harus menyakiti hati siapa pun."Telepon terputus. Zia terdiam sejenak. Isi percakapannya dengan Tiara barusan seolah berputar di kepalanya. Ia sendiri tak tahu harus berbuat apa yang pasti ia hanya berharap yang terbaik bagi Tiara. Embusan napas panjang ke luar dari mulutnya. Sekilas wajah patah hati
Tiara lagi-lagi tersenyum sinis. Kalimat Aiman mampu menoreh luka di relung sana. Bagi Tiara, pantang berbohong apalagi dalam hal sepenting ini."Jika saja kau bisa melihat isi hatiku, maka kalimat yang kau ucapkan barusan tak akan pernah ke luar." Kali ini tatapan mata Tiara lekat di wajah Aiman.Laki-laki itu terdiam sejenak. Mencari alasan agar kali ini usahanya untuk membina keluarga baru tidak kembali gagal. "Maafkan aku, Ti. Aku khilaf!" Aiman berusaha menurunkan egonya. "Kumohon mengertilah. Aku bahkan tak akan bisa tenang jika hubungan kita terus berlanjut. Dua hati yang aku korbankan atau … bisa saja lebih." Tiara berucap sendu. "Apa tak ada jalan lain, Ti?" Kumohon! Aku hanya ingin membina keluarga bahagia dan melihat senyum kedua orang tuaku kembali merekah." Aiman menghiba berharap hati Tiara akan luluh. Tiara bergeming. Bayangan Ibu Ana melintas membuatnya sedikit tak nyaman. Namun, ia tak ingin keadaan lebih buruk lagi. "Percayalah, kita akan menemukan jodoh kita ma
"Laki-laki itu masih menyimpan rasa padamu, Sayang!" ucap Farid saat keduanya baru saja masuk ke mobil. Zia menatap lekat wajah sang suami dengan dahi berkerut. Farid sengaja mengalihkan pandangan lurus ke depan. "Maksudnya?" tanya Zia seolah tak mengerti. "Mantan suamimu!" Kali ini Farid melirik sekilas wajah cemberut Zia. "Abang tak suka Zia bertemu dengannya?" "Tidak!""Meski tanpa sengaja?""Ya."Hening. Zia tak lagi meneruskan pertanyaannya. Ia memilih menatap lekat wajah Farid dengan wajah manyun. Farid yang merasa diperhatikan kini tak bisa menyembunyikan tawanya. "Manyun aja keliatan cantik, apalagi senyum." Farid mengecup puncak hidung Zia. Zia tak menjawab. Gemas rasanya karena merasa dipermainkan. "Nggak usah dipikirin! Abang cuma becanda." Farid tersenyum lembut. "Sebenarnya Abang serius kalau dia masih menyimpan rasa padamu. Sayangnya sekarang Abang-lah laki-laki beruntung itu, bukan dia." Farid kembali terkekeh. "Tak usah bahas dia lagi. Zia nggak nyaman," aku Zi
Aiman bangkit dan mengangsurkan tangannya saat Farid dan Zia sudah berdiri di dekatnya. Farid dan Aiman bersalaman layaknya dua orang yang baru saja kenal. Karena ini memang kali pertamanya Farid dan Aiman bertatap muka. Saat Zia menikah pun Aiman tak datang karena merasa tak mampu melihat Zia berbahagia dengan laki-laki lain. Setelahnya Farid duduk dengan jarak satu kursi dari Aiman. Zia duduk di samping Farid. "Baru sampai?" tanya Farid berusaha mencairkan suasana. Ia tahu jika Aiman masih sangat menginginkan Zia hingga Zia memuyuskan menerima lamarannya. "Sekitar pukul 2 tadi," jawab Aiman. Ia merasakan suasana yang begitu canggung. "Tiara di dalam?" tanya Farid lagi. "Iya, beberapa menit lalu baru masuk." Aiman menjawab singkat pertanyaan Farid. Ia tak tahu harus berbasa-basi seperti apa agar suasana canggung antara mereka bisa menghangat. *Di dalam ruangan ICU Tiara duduk di sisi kiri Sintia. Ditatapnya wajah dengan luka jahitan di kepala dan pipi di hadapannya. Ada iba d
"Kau di sini …." Aiman duduk tepat di samping Tiara. "Maaf, saking paniknya aku lupa mengabarimu." Tiara berucap setelah menoleh sekilas pada Aiman. Setelahnya tatapan matanya kembali mengarah pada pintu ruang ICU yang tertutup rapat. "Aku menghubungimu berulang-ulang tapi tapi tak ada balasan. Akhirnya kuputuskan untuk mencarimu di tempat di mana Sintia dirawat.""Terima kasih sudah sepeduli itu padaku." Kalimat Tiara terdengar datar. Kini Aiman seolah tak lagi memiliki daya tarik di matanya. Ia mulai sadar jika terlalu banyak hati bahkan fisik yang tersakiti saat dirinya ia memutuskan untuk menerima lamaran Aiman.Jika ia tetap meneruskan rencana awal ia yakin hati Miko akan bertambah hancur, pun dengan Sintia. Tiara tak ingin menambah api dendam di hati perempuan itu seandainya Sintia sembuh dari komanya. "Besok malam kita bertemu di tempat biasa habis isya! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu," lirih Tiara sendu. Ia sangat paham dengan memutuskan hubungan dengan Aiman berarti