"Bang Farid!" Hatinya berdesir. Zia mengulang kata demi kata pesan dari Farid. Tak pernah ia terpikir jika kakak laki-laki sahabatnya itu akan menyimpan rasa padanya. Di satu sisi ia merasa tersanjung. Namun, di sudut lain, ada kekhawatiran menelusup. Kegagalan dalam mengarungi bahtera bersama mantan suaminya kembali menghantui, menciptakan sudut lain hatinya menolak untuk kembali mengulangi bahtera yang sama meski dengan orang berbeda dalam waktu sesingkat ini. Beberapa saat mata teduh itu terpejam, mencari kata yang tepat untuk menyampaikan kata hatinya pada lelaki yang kini ia tahu memiliki rasa padanya. Selama ini ia menganggap Farid tak lebih dari sekedar kakak dari sahabatnya. Ia pun belum pernah berbincang secara langsung dengan Farid. Saat berpapasan ia hanya mengangguk sopan kemudian menunduk. Bahkan untuk wajah Farid saja ia hanya melihat sekilas. Namun, pelan setelah membaca pesan Farid untuk kesekian kalinya, rasa kagum kini mulai terbit. "Apa ini yang dimaksud Fira k
"Sakit apa? Apa mungkin karena kehujanan kemarin?" Farid menautkan alis dengan perasaan khawatir. Iba menelusup memenuhi rongga dadanya mana kala mengetahui Zia sakit, dan tinggal sendiri di kosannya."Sepertinya iya. Sekarang kita langsung ke kosan Zia aja, Bang."Tanpa menjawab, Farid memutar stir mobilnya ke arah kosan Zia. Sepanjang perjalanan hatinya tak tenang, khawatir terjadi sesuatu pada Zia. Dua puluh menit menuju kosan Zia terasa sangat jauh bagi Farid, padahal ia sudah menambah kecepatan lari besi beroda miliknya. Kaki kanannya spontan menginjak pedal gas lebih dalam lagi, membuat mobil melaju semakin kencang. "Nggak usah ngebut, Bang! Lagian kosan Zia udah nggak jauh lagi, kok." Protes Fira, membuat Farid kembali memelankan laju kendaraannya. Mesin mobil Farid mati sempurna ketika sampai di depan gerbang. Fira buru-buru turun dari mobil, berjalan cepat menuju kamar Zia. Sedangkan Farid menunggu dengan rasa yang entahlah. Hatinya tak tenang duduk menunggu di sini. Jika
Farid mendekat lalu duduk di kursi single disamping Zia yang tadi diduduki Fira. Mata pekat laki-laki itu sulit mengalihkan tatapannya dari wajah teduh yang kini masih terus terpejam. Ia begitu menikmati lukisan indah Sang Pencipta pada ciptaan-Nya yang sangat ia kagumi itu."Bangun, Zi! Jangan membuatku khawatir dengan keadaanmu sekarang!" bisik Farid hampir tak terdengar. Jika saja Zia tiba-tiba sadar, mungkin Farid akan sangat malu setelah mengatakan kalimat yang baru saja ia bisikkan. Jika saja perempuan yang tengah berbaring di hadapannya kini sudah halal baginya, ingin rasanya ia membelai kepalanya, mengecup lembut keningnya. Sayangnya, mereka hanyalah dua orang asing yang tak lebih dari sekedar seorang pengagum dan sosok yang dikagumi. Mata teduh itu pelan-pelan terbuka. Cahaya lampu membuat matanya menyipit. Kesadaran yang berangsur pulih mengingatkannya pada kejadian sebelum kesadarannya hilang. Di mana tadi pagi saat akan ke kamar mandi, tubuhnya limbung dan terjatuh meng
"Maaf jika aku sempat membuatmu tak nyaman, Zi!" Farid membuka suara. Zia menghela napas dalam. Kalimat yang sejak tadi ia khawatirkan, sekarang menjadi nyata. "Aku yang harusnya minta maaf, karena belum sempat balas pesan Abang.""Terima kasih sudah mengerti, Zi. Maaf, jika aku mengganggu waktumu." Farid menunduk, mendaratkan tatapannya diujung jari kakinya. "Maaf, Bang, bukan aku menolak, hanya saja luka karena pengkhiantan itu masih belum sembuh. Aku tak ingin melangkah buru-buru. Hingga saat ini, rasa ingin mengulang menyandang status 'istri' masih belum hadir. Aku tak ingin memaksa hati yang masih belum utuh."Ada segaris kecewa menelusup relung hati Farid. Namun, sayangnya, ia tak bisa memaksakan perasaannya pada gadis bermata teduh di hadapannya kini. "Apa itu artinya aku tetap memiliki kesempatan, Zi?" tanya Farid penuh harap. Ya, ia sangat berharap memiliki kesempatan untuk memiliki Zia, meski bukan sekarang. Atau meski sekecil apa pun kesempatan itu akan ia perjuangkan.
"Aku bersaksi, abangku orang baik, Zi, insya Allah, dia bisa menjagamu dan memuliakanmu sebagaimana tuntunan nabi kita." Fira tersenyum lembut, membuat hati Zia berdesir. "Aku hanya minta waktu, Ra. Beri aku waktu untuk meyakinkan hati ini, jika laki-laki berbeda antara satu dan yang lainnya. Jujur, aku masih terlalu takut untuk mengulangnya," lirih Zia pelan. Fira mendekatkan wajah ke telingan Zia. Senyum manis tak henti terukir di bibirnya. "Apa kau tak khawatir jika ada wanita lain yang mendahuluimu kelak? Limited edition lho, Zi. Aku nggak punya stok abang lainnya buat dijodohkan dengan sahabat sebaik kamu," bisik Fira menggoda Zia. Zia hanya membalas dengan senyum. Ia mengakui kebenaran setiap kalimat Fira barusan, hanya saja luka itu menolak dipaksa untuk sembuh dengan cara memulai kisah yang baru. *Semburat cahaya matahari berwarna keemasan menembus jendela yang sejak tadi sudah dibuka Fira. Hingga pagi ini Fira masih setia menemani sahabatnya itu di rumah sakit. Sedangka
"Kau tau apa yang telah dilakukan Bang Farid sebagai bukti ia mengharapkanmu, Zi?" tanya Fira menerawang. Bibirnya mengulas senyum, mengingat bagaimana abangnya itu saat meminta restu orang tua mereka. Zia menggeleng pelan. "Bang Farid sudah berniat melamarmu sejak lama." "Apa kau yang memintanya?" selidik Zia. "Kau salah, Zi. Bang Farid bahkan sudah meminta restu untuk melamarmu pada Mama dan Papa." Fira berkata jujur. Harapannya agar Farid berjodoh dengan Zia begitu besar. "Lalu apa jawaban beliau berdua? Kedua orang tuamu sangat terpandang, Ra. Mereka pantas memiliki menantu yang lebih segalanya dariku. Lebih lagi, Bang Farid bujangan, sedangkan aku ….""Kau salah, Zi," potong Fira cepat. Ia tak ingin Zia menyelesaikan kalimatnya barusan. "Beliau berdua tak sedikit pun keberatan dengan niat baik Bang Farid. Bahkan saat aku menceritakan keinginan Bang Farid sama Mama, Mama dengan senang hati menerimamu jika seandainya Bang Farid memang menginginkanmu." Zia terdiam. Ia seperti ke
Susah payah ia berjuang melepaskan Wisnu, memupuk rasa-nya pada Aiman yang sebelumnya memudar, demi mempertahankan rumah tangganya dengan Aiman sesuai dengan saran Tiara waktu itu. Namun, apa yang ia dapat. Ternyata dibelakangnya Aiman masih menyimpan rasa pada mantan istrinya itu. Emosi membuat wajah cantik dengan kulit putih itu kini memerah. Dengan langkah cepat, ia bergegas menjumpai Aiman yang tengah memanaskan mesin mobilnya untuk berangkat ke kantor. Tatapan matanya tajam, menatap Aiman yang baru saja keluar dari mobil setelah menyalakan mesin mobilnya. "Tolong jelaskan! Ada apa dengan foto ini?" tanya Sintia tanpa basa-basi. Tangannya terangkat, memamerkan layar ponsel Aiman dengan tampilan foto Zia dengan senyum teduhnya. Aiman tersentak, kakinya mematung di tempat. Degub jantung yang seketika berpacu lebih kencang membuat keringat dingin keluar dari dahi dan tangannya. Kepalanya berpikir keras, mencari cara bagaimana berkilah. Ia khawatir Sintia akan meninggalkannya per
Di dalam mobil saat perjalanan pulang dari rumah sakit, Zia banyak diam. Zia yang aslinya ramah serta murah senyum kini cenderung pendiam. Kenyataan yang baru saja ia ketahui jika Farid menyimpan rasa untuknya membuatnya semakin sulit untuk bersikap biasa saat bersama laki-laki itu. "Jangan banyak ngelamun, Zi! Biar nggak setres." Fira menepuk pundak sahabatnya ituitu sambil tersenyim simpul. Sepanjang perjalanan memang hanya Fira lah yang paling aktif berbicara untuk mencairkan suasana. Zia hanya tersenyum lembut menanggapi candaan Fira. Farid pun melakukan hal serupa. Saat ada Zia di dekatnya, ia bahkan tak tahu harus bebicara apa. Ia sibuk menata desir hatinya. Farid langsung kembali ke kampus setelah mengantar Zia dan Fira ke kosan Zia. Adiknya itu meminta dijemput sore nanti. Farid masih ada kelas jam 2 siang. Sepanjang perjalanan bayangan Zia tak lepas dari kepalanya. Senyum lembut dari perempuan bermata teduh itu selalu merajai pikirannya. "Ya Allah, izinkan aku melindung
"Terima kasih atas waktu dua tahunmu membersamaiku, Bang. Semoga kau selalu menjadi laki-laki terbaik bagiku dan Hana, putri kita." Zia menyandarkan kepalanya ke dada bidang lelaki yang sudah dua tahun melengkapi hidupnya. Sebuah jalan takdir yang sama sekali tidak pernah ia duga sebelumnya, jika Farid akan menjadi suami, imam juga jalan dirinya untuk menggapai surga Rabb-nya."Alhamdulillah, Sayang. Abang juga sangat bersyukur sekali bisa dipertemukan dengan perempuan cantik, baik hati, sholeha, sepertimu." Senyum menawan Farid dia persembahkan untuk perempuan asing teristimewa dalam hidupnya. Keduanya saling menautkan jari menikmati semilir angin sore di taman samping rumah sambil melihat kelucuan Hana yang tengah bermain tidak jauh dari tempat mereka duduk.Kehangatan keluarga kecil mereka semakin lengkap setelah kehadiran Hana sebagai pengantar doa-doa panjang dalam setiap sujud mereka sebagai orang tua. Meminta serta memohon keberkahan untuk rumah tangga agar senantiasa berada d
Tiara menatap lekat wajah laki-laki di hadapannya. Dapat ia rasakan hatinya menghangat seiring cinta yang kian tumbuh dan berkembang terhadap laki-laki itu. "Kau yakin? Apa kau sama sekali tak memiliki rasa sakit hati atas penolakanku selama ini?" tanya Tiara dengan rasa penasaran. "Aku yakin. Tak naif, kecewa itu kerap terasa, hanya saja aku menganggapnya sebagai pecut untuk berjuang meraih cintamu lebih keras lagi. Jujur, di luaran sana ada yang mengejarku untuk meraih cintaku, sayangnya hati ini sudah terpaut sejak lama padamu, Ti." Laki-laki itu terlihat sangat serius. Tiara menatap Miko dengan senyum termanisnya. Hati berdesir kian rapat yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. "Apa kau akan selalu bersikap seperti ini seandianya aku menerima lamaranmu?" Tiara berusaha menuntaskan keingintahuannya. "Apa kau pikir aku akan mengorbankan waktu dan kesabaranku selama ini dalam memperjuangkan cintamu hingga aku akan mengabaikanmu saat kau sudah menjadi milikmu?" Miko balik bertanya
Zia mengangguk. "Aku udah maafin Sintia, Ti. Lagipula dari dulu Kakak nggak pernah dendam sama Sintia. Sakit hati atas perlakuan Sintia dulu Kakak rasa itu manusiawi, yang pasti sekarang Kakak sudah mengikhlaskan semuanya." Zia tersenyum lembut. "Kakak memang luar biasa. Terima kasih, Kak.""Maafin kesalahan Sintia! Anggap aja kalo Sintia khilaf waktu ngelakuin semuanya," lanjut Zia."Iya, Kak. Aku hanya berharap semoga Sintia tenang di kehidupan abadinya dan ke depannya nggak akan ada lagi Sintia baru di dalam hidup kita." Tiara berucap lirih. Zia mengangguk pelan. "Aamiin.."***"Sekarang tak ada lagi Sintia, Ti. Aku harap kau bisa menerima lamaranku. Maafkan atas sikapku beberapa waktu lalu." Aiman berucap dengan nada memohon. Aiman meminta Tiara untuk menemuinya di tempat biasa, rumah makan yang beberapa kali mereka jadikan tempat bertemu sambil menghabiskan waktu istirahat siang sebelum kembali ke kantor. Tiara tidak langsung menjawab, ia berpikir sejenak agar tidak salah men
Zia mengalihkan perhatiannya kembali pada sang dokter. Lalu menganggukkan kepala. "Benar, Dok. Jadi jika memang harus dilepas, saya dan keluarga akan berusaha menerima dengan lapang dada." Susah payah Zia mengucapkan kata-kata itu melalui bibirnya yang bergetar. Tapi dia harus, dia tidak bisa ikut rapuh di saat Tiara tak sanggup lagi untuk sekedar berdiri. "Tiara!"Zia menggandeng lengan Tiara untuk ke luar setelah pamit pada dokter yang di hadapan mereka. Farid pun memutuskan untuk mengambil alih semua tugas Tiara. Dia mengikuti dokter tersebut agar segera menandatangani surat persetujuan pelepasan alat penunjang hidup Sintia sekaligus melunasi segala biayanya. Jasad Sintia akan dimandikan oleh pihak rumah sakit dan dikafani sekalian di sini. Supaya mereka hanya tinggal menyemayamkan jasad Sintia menuju ke tempat peristirahatan terakhir. Di sisi lain, Zia mencoba menuntun Tiara ke kursi ruang tunggu. Dia mendudukkan Tiara sembari memberikan sebotol air mineral yang tadi sempat ia b
Tiara bercerita panjang lebar pada Zia. Ia sendiri merasa sedikit tak nyaman menceritakan semuanya pada Zia, terlebih sesuatu yang ada hubungannya dengan Aiman. Tapi ia sendiri seolah tidak memiliki tempat berbagi. Sang nenek tinggal terpisah darinya dengan jarak satu setengah jam perjalanan. Sedangkan sang ayah, laki-laki itu semakin tak memiliki waktu untuknya, bahkan hanya sekedar menelpon pun seolah tak memiliki waktu. "Kakak hanya bisa menyerahkan semua keputusan padamu, Ti. Kau sudah dewasa. Semoga apa pun keputusanmu itu akan berbuah manis di kemudian hati, Ti.""Terima kasih, Kak, sudah sudi mendengar ceritaku. Aku pun berharap begitu. Aku berharap ada kebahagiaan untukku tanpa harus menyakiti hati siapa pun."Telepon terputus. Zia terdiam sejenak. Isi percakapannya dengan Tiara barusan seolah berputar di kepalanya. Ia sendiri tak tahu harus berbuat apa yang pasti ia hanya berharap yang terbaik bagi Tiara. Embusan napas panjang ke luar dari mulutnya. Sekilas wajah patah hati
Tiara lagi-lagi tersenyum sinis. Kalimat Aiman mampu menoreh luka di relung sana. Bagi Tiara, pantang berbohong apalagi dalam hal sepenting ini."Jika saja kau bisa melihat isi hatiku, maka kalimat yang kau ucapkan barusan tak akan pernah ke luar." Kali ini tatapan mata Tiara lekat di wajah Aiman.Laki-laki itu terdiam sejenak. Mencari alasan agar kali ini usahanya untuk membina keluarga baru tidak kembali gagal. "Maafkan aku, Ti. Aku khilaf!" Aiman berusaha menurunkan egonya. "Kumohon mengertilah. Aku bahkan tak akan bisa tenang jika hubungan kita terus berlanjut. Dua hati yang aku korbankan atau … bisa saja lebih." Tiara berucap sendu. "Apa tak ada jalan lain, Ti?" Kumohon! Aku hanya ingin membina keluarga bahagia dan melihat senyum kedua orang tuaku kembali merekah." Aiman menghiba berharap hati Tiara akan luluh. Tiara bergeming. Bayangan Ibu Ana melintas membuatnya sedikit tak nyaman. Namun, ia tak ingin keadaan lebih buruk lagi. "Percayalah, kita akan menemukan jodoh kita ma
"Laki-laki itu masih menyimpan rasa padamu, Sayang!" ucap Farid saat keduanya baru saja masuk ke mobil. Zia menatap lekat wajah sang suami dengan dahi berkerut. Farid sengaja mengalihkan pandangan lurus ke depan. "Maksudnya?" tanya Zia seolah tak mengerti. "Mantan suamimu!" Kali ini Farid melirik sekilas wajah cemberut Zia. "Abang tak suka Zia bertemu dengannya?" "Tidak!""Meski tanpa sengaja?""Ya."Hening. Zia tak lagi meneruskan pertanyaannya. Ia memilih menatap lekat wajah Farid dengan wajah manyun. Farid yang merasa diperhatikan kini tak bisa menyembunyikan tawanya. "Manyun aja keliatan cantik, apalagi senyum." Farid mengecup puncak hidung Zia. Zia tak menjawab. Gemas rasanya karena merasa dipermainkan. "Nggak usah dipikirin! Abang cuma becanda." Farid tersenyum lembut. "Sebenarnya Abang serius kalau dia masih menyimpan rasa padamu. Sayangnya sekarang Abang-lah laki-laki beruntung itu, bukan dia." Farid kembali terkekeh. "Tak usah bahas dia lagi. Zia nggak nyaman," aku Zi
Aiman bangkit dan mengangsurkan tangannya saat Farid dan Zia sudah berdiri di dekatnya. Farid dan Aiman bersalaman layaknya dua orang yang baru saja kenal. Karena ini memang kali pertamanya Farid dan Aiman bertatap muka. Saat Zia menikah pun Aiman tak datang karena merasa tak mampu melihat Zia berbahagia dengan laki-laki lain. Setelahnya Farid duduk dengan jarak satu kursi dari Aiman. Zia duduk di samping Farid. "Baru sampai?" tanya Farid berusaha mencairkan suasana. Ia tahu jika Aiman masih sangat menginginkan Zia hingga Zia memuyuskan menerima lamarannya. "Sekitar pukul 2 tadi," jawab Aiman. Ia merasakan suasana yang begitu canggung. "Tiara di dalam?" tanya Farid lagi. "Iya, beberapa menit lalu baru masuk." Aiman menjawab singkat pertanyaan Farid. Ia tak tahu harus berbasa-basi seperti apa agar suasana canggung antara mereka bisa menghangat. *Di dalam ruangan ICU Tiara duduk di sisi kiri Sintia. Ditatapnya wajah dengan luka jahitan di kepala dan pipi di hadapannya. Ada iba d
"Kau di sini …." Aiman duduk tepat di samping Tiara. "Maaf, saking paniknya aku lupa mengabarimu." Tiara berucap setelah menoleh sekilas pada Aiman. Setelahnya tatapan matanya kembali mengarah pada pintu ruang ICU yang tertutup rapat. "Aku menghubungimu berulang-ulang tapi tapi tak ada balasan. Akhirnya kuputuskan untuk mencarimu di tempat di mana Sintia dirawat.""Terima kasih sudah sepeduli itu padaku." Kalimat Tiara terdengar datar. Kini Aiman seolah tak lagi memiliki daya tarik di matanya. Ia mulai sadar jika terlalu banyak hati bahkan fisik yang tersakiti saat dirinya ia memutuskan untuk menerima lamaran Aiman.Jika ia tetap meneruskan rencana awal ia yakin hati Miko akan bertambah hancur, pun dengan Sintia. Tiara tak ingin menambah api dendam di hati perempuan itu seandainya Sintia sembuh dari komanya. "Besok malam kita bertemu di tempat biasa habis isya! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu," lirih Tiara sendu. Ia sangat paham dengan memutuskan hubungan dengan Aiman berarti