"Kenapa, Sayang?" Dahi Farid berkerut. "Boleh Abang yang bikinin?" tanya Zia. Ini kali pertamanya ia meminta Farid melakukan hal di luar kebiasaannya. Zia cukup tahu jika Farid sama sekali tak pernah berkecimpung di dapur, tapi entah kenapa kali ini ia ingin dilayani suaminya itu.Farid terdiam sesaat, kemudian tersenyum simpul. Baginya, permintaan Zia tidak berlebihan. "Akan Abang coba," ucapnya seraya mengecup lembut kening Zia. Setelahnya ia berjalan keluar menuju dapur untuk menemui asisten rumah tangga mereka. "Bik, bisa tolong ajarin pake alat itu?" tanya Farid pada Bik Suti yang tengah sibuk membersihkan kulkas. Tangannya menunjuk alat pemanggang roti listrik yang tertata rapi di atas meja batu di sampingnya. "Mau ngapain, Den?" Bik Suti balik bertanya dengan wajah heran. Sejenak tangannya yang tadi sibuk melap kulkas terhenti. "Itu, Bik, Zia lagi nggak enak badan. Minta dibikin roti sama teh hangat," ucap Farid dengan senyum tipis. "Kenapa nggak minta Bibi yang buatin?"
Seketika Ibu Liana dan Pak Darmawan menghentikan gerakan tangan yang tadi sibuk di atas piring makanan mereka. "Zia hamil?" tanya Ibu Liana dengan alis bertaut dan bibir menyungging senyum. Farid dan Bik Suti tersenyum hampir bersamaan. Keduanya saling tatap beberapa detik, kemudian Farid mengangguk pelan memberi kode agar Bik Suti yang menjelaskan langsung pada sang mama. "Kalau yang Bibi lihat iya, Bu. Tanda-tanda yang terlihat seperti keluhan sama detak jantung Zia menunjukkan kalau Non Zia tengah mengandung. Cuma memang belum periksa ke dokter," jelas Bik Suti. "Alhamdulillah, semoga bener-bener hamil, ya, Bik."Ibu Liana seperti kehilangan selera makan karena rasa bahagia yang tiba-tiba menderanya. Sedetik kemudian perempuan paruh baya itu meneguk air putih dari gelas di hadapannya, kemudian beranjak. "Mama mau ke mana?" tanya Farid saat melihat mamanya beranjak. Tak biasanya ia melihat mamanya meninggalkan makanan di meja pada saat makan. Pak Darmawan menampilkan senyum si
Meski ia tahu saat ini janin dalam kandungan sang istri belum berbentuk manusia. Namun, rasa bahagia menuntunnya untuk membisikkan kalimat cinta itu pada calon buah hatinya. Tak terasa bulir bening bersesakkan keluar yang kemudian luruh di pipi mulus Zia. Mendengar kalimat dari bibir Farid barusan membuat dadanya disesaki haru. Tangan Zia pelan mengusap kepala sang suami. Detik ini ia rasakan hidupnya begitu sempurna. Berdampingan dengan laki-laki yang begitu pintar menghargai keberadaannya, hingga dianugerahi calon buah hati dalam waktu sesingkat ini. "Terima kasih sudah menjadikanku istrimu, Bang. Terima kasih atas kebahagiaan yang senantiasa Abang berikan untukku. Terima kasih untuk banyak hal yang bahkan aku tak bisa menyebutnya secara keseluruhan," lirih Zia dengan suara parau. Farid mengangkat wajah, menatap lembut wajah cantik Zia. Seraya membenamkannya ke dalam pelukan. "Abang juga berterima kasih, karena kau telah menjadi penyempurna bagi ibadah Abang serta pelengkap seg
"Pliss, Sin. Tolong jangan terlalu merendahkan Zia di sini. Aku hanya ingin mencari tahu alasan Aiman jatuh cinta sedemikian rupa pada mantan istri pertamanya itu. Tujuannya agar aku bisa memberi saran. Setidaknya kau bisa mengikuti jejak Zia agar Aiman bisa kembali padamu." Sintia bergeming. Rasanya tak mungkin ia mampu mengikuti jejak Zia untuk menaklukkan hati Aiman. Bahkan dari segi berpakaian pun ia dan Zia bak langit dan bumi. Zia berpenampilan tertutup. Yang terlihat hanyalah wajah serta telapak tangannya saja. Sedangkan dirinya masih begitu nyaman dengan penampilan terbukanya. "Jawab jujur, Sin, menurutmu apa yang membuat Aiman mencintai Zia?" tanya Tiara berusaha dengan suara lembut. Ia tidak sepenuhnya tengah mencari tau tentang Zia demi keperluan Sintia, melainkan setengahnya ia tengah memuaskan rasa penasarannya tentang sosok Zia. "Zia berkerudung, Ti," ucap Sintia pelan tanpa melihat lawan bicaranya. "Selain itu?" kejar Tiara. Ia masih tak puas dengan jawaban Sintia.
"Assalamu'alaikum," sapa Tiara seramah mungkin. Melihat perempuan di hadapannya kini Tiara merasa dirinya masih begitu banyak kekurangan dalam menutupi aurat. Ya, Tiara masih mengenakan celana panjang, meski terlihat longgar, serta pashmina yang ia naikan ke bahu. "Wa'alaikumussalaam," jawab perempuan berkaca mata itu dengan senyum ramah. "Saya Tiara. Maaf, saya mau tanya, kenal Ustadzah Zia? Katanya beliau salah satu tenaga pengajar di sini?" tanya Tiara dengan santun. Senyum lembut mengulas di bibirnya. "Oh, iya, kenal. Ada yang bisa saya bantu? Soalnya hari ini Ustadzah Zia nggak masuk. Beliau izin karena kurang enak badan." Perempuan dengan nama sapaan Haura itu menjelaskan. "Oh, begitu. Nggak, nggak papa, biar besok aku ke sini lagi. Terima kasih, Ustadzah." Tiara mengangguk sopan. Kemudian mengundurkan diri dari hadapan Haura, berjalan kembali ke mobil. *Farid mempercepat langkah kakinya menuju parkiran kampus di mana mobilnya terparkir. Sekilas ia melirik jam tangannya,
Aiman sibuk mencari sendiri jawaban untuk kalutnya. Rasanya pada Tiara kini mulai menyiksanya. Cinta memang datang tanpa kenal tempat, pun ia datang tanpa terlebih dulu mengajukan syarat. Itu yang Aiman rasakan. Cinta yang perlahan hadir di hatinya untuk Tiara seolah tanpa aba-aba. Di mata Aiman, Tiara pantas untuk ia cintai. Perempuan mandiri dengan kepribadian sangat tenang itu telah sukses membuatnya terpikat. Sayangnya, di saat rasa itu tumbuh di hati Aiman, Tiara berniat beranjak pergi. Aiman meraih ponselnya. Benda pipih memanjang berwarna hitam pekat itu kini menyala. Aiman menscroll layar ponselnya dengan telapak ibu jari kanannya, mencari pesan yang Tiara kirimkan di aplikasi hijau miliknya. Cukup jauh ke bawah pesan dari Tiara. Bukti jika keduanya cukup lama tak ada interaksi. Aiman menatap kosong daun pintu kamar di hadapannya. Ia tengah mencari tahu apa yang harus ia lakukan untuk mengurai rindu yang semakin pekat. Dengan sedikit canggung, Aiman menekan tanda panggi
Pelan Tiara mengusap bulir bening yang sempat tumpah di pipinya. Menarik napas dalam, membiarkan sesak karena rindu itu terurai. Beberapa pesan masuk. Pesan teratas dari grup satu divisi dengannya di kantor. Nama Aiman terlihat nampak di layar. Empat pesan masuk. Ada rasa penasaran di hati Tiara pada pesan yang dikirim Aiman. Apa alasan laki-laki itu menghubunginya? Mungkinkah karena rasa ayang sama? Atau hanya sekedar ingin kembali berbagi kisah seperti yang sudah-sudah? Segera Tiara menggeser kunci pada layar ponselnya demi menjawab tebakan demi tebakan yang kini memenuhi kepalanya. Dalam satu kali klik pesan itu terbuka. Pesan yang cukup panjang menurut Tiara. Ada desir lembut yang perlahan menjalar saat membaca pesan dari Aiman saat mengetahui laki-laki itu merasa kehilangannya. Meski ia sendiri tak paham rasa kehilangan seperti apa yang tengah Aiman rasakan. Sesaat ia berpikir akan ia balas apa pesan Aiman barusan. [Maaf. Baiklah, nanti siang aku tunggu di tempat makan bi
Farid mempercepat laju kendaraannya. Jika saja jarak antara kantor menuju rumah sakit bisa ia pangkas, maka sejak tadi ia lakukan. Sayangnya, itu hanya ada dalam angannya saja. Setelah mendengar kabar jika Zia tiba-tiba pingsan di kelas dan langsung dibawa ke rumah sakit, detak jantung Farid berdegub cepat hingga detik ini. Beberapa kali ia menekan klakson sebagai isyarat jika ia ingin mendahului kendaraan di depannya. Farid meremas jemari sendiri saat berhenti di lampu merah. Beberapa kali terlihat ia mengembuskan napas panjang, berharap gusar yang membuat sesak dadanya bisa sedikit reda. Berusaha ia dawamkan istigfar saat membayangkan wajah lemah Zia, hatinya tak henti berharap agar Zia baik-baik saja, pun dengan buah cinta mereka yang tengah menumpang di rahim sang istri. Lima belas menit jarak dari kantor menuju rumah sakit tempat di mana Zia berada. Farid bergegas turun. Pintu mobil ia tutup dengan sedikit keras karena terburu-buru. Ia seolah tak bisa lagi berkonsentrasi den
"Terima kasih atas waktu dua tahunmu membersamaiku, Bang. Semoga kau selalu menjadi laki-laki terbaik bagiku dan Hana, putri kita." Zia menyandarkan kepalanya ke dada bidang lelaki yang sudah dua tahun melengkapi hidupnya. Sebuah jalan takdir yang sama sekali tidak pernah ia duga sebelumnya, jika Farid akan menjadi suami, imam juga jalan dirinya untuk menggapai surga Rabb-nya."Alhamdulillah, Sayang. Abang juga sangat bersyukur sekali bisa dipertemukan dengan perempuan cantik, baik hati, sholeha, sepertimu." Senyum menawan Farid dia persembahkan untuk perempuan asing teristimewa dalam hidupnya. Keduanya saling menautkan jari menikmati semilir angin sore di taman samping rumah sambil melihat kelucuan Hana yang tengah bermain tidak jauh dari tempat mereka duduk.Kehangatan keluarga kecil mereka semakin lengkap setelah kehadiran Hana sebagai pengantar doa-doa panjang dalam setiap sujud mereka sebagai orang tua. Meminta serta memohon keberkahan untuk rumah tangga agar senantiasa berada d
Tiara menatap lekat wajah laki-laki di hadapannya. Dapat ia rasakan hatinya menghangat seiring cinta yang kian tumbuh dan berkembang terhadap laki-laki itu. "Kau yakin? Apa kau sama sekali tak memiliki rasa sakit hati atas penolakanku selama ini?" tanya Tiara dengan rasa penasaran. "Aku yakin. Tak naif, kecewa itu kerap terasa, hanya saja aku menganggapnya sebagai pecut untuk berjuang meraih cintamu lebih keras lagi. Jujur, di luaran sana ada yang mengejarku untuk meraih cintaku, sayangnya hati ini sudah terpaut sejak lama padamu, Ti." Laki-laki itu terlihat sangat serius. Tiara menatap Miko dengan senyum termanisnya. Hati berdesir kian rapat yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. "Apa kau akan selalu bersikap seperti ini seandianya aku menerima lamaranmu?" Tiara berusaha menuntaskan keingintahuannya. "Apa kau pikir aku akan mengorbankan waktu dan kesabaranku selama ini dalam memperjuangkan cintamu hingga aku akan mengabaikanmu saat kau sudah menjadi milikmu?" Miko balik bertanya
Zia mengangguk. "Aku udah maafin Sintia, Ti. Lagipula dari dulu Kakak nggak pernah dendam sama Sintia. Sakit hati atas perlakuan Sintia dulu Kakak rasa itu manusiawi, yang pasti sekarang Kakak sudah mengikhlaskan semuanya." Zia tersenyum lembut. "Kakak memang luar biasa. Terima kasih, Kak.""Maafin kesalahan Sintia! Anggap aja kalo Sintia khilaf waktu ngelakuin semuanya," lanjut Zia."Iya, Kak. Aku hanya berharap semoga Sintia tenang di kehidupan abadinya dan ke depannya nggak akan ada lagi Sintia baru di dalam hidup kita." Tiara berucap lirih. Zia mengangguk pelan. "Aamiin.."***"Sekarang tak ada lagi Sintia, Ti. Aku harap kau bisa menerima lamaranku. Maafkan atas sikapku beberapa waktu lalu." Aiman berucap dengan nada memohon. Aiman meminta Tiara untuk menemuinya di tempat biasa, rumah makan yang beberapa kali mereka jadikan tempat bertemu sambil menghabiskan waktu istirahat siang sebelum kembali ke kantor. Tiara tidak langsung menjawab, ia berpikir sejenak agar tidak salah men
Zia mengalihkan perhatiannya kembali pada sang dokter. Lalu menganggukkan kepala. "Benar, Dok. Jadi jika memang harus dilepas, saya dan keluarga akan berusaha menerima dengan lapang dada." Susah payah Zia mengucapkan kata-kata itu melalui bibirnya yang bergetar. Tapi dia harus, dia tidak bisa ikut rapuh di saat Tiara tak sanggup lagi untuk sekedar berdiri. "Tiara!"Zia menggandeng lengan Tiara untuk ke luar setelah pamit pada dokter yang di hadapan mereka. Farid pun memutuskan untuk mengambil alih semua tugas Tiara. Dia mengikuti dokter tersebut agar segera menandatangani surat persetujuan pelepasan alat penunjang hidup Sintia sekaligus melunasi segala biayanya. Jasad Sintia akan dimandikan oleh pihak rumah sakit dan dikafani sekalian di sini. Supaya mereka hanya tinggal menyemayamkan jasad Sintia menuju ke tempat peristirahatan terakhir. Di sisi lain, Zia mencoba menuntun Tiara ke kursi ruang tunggu. Dia mendudukkan Tiara sembari memberikan sebotol air mineral yang tadi sempat ia b
Tiara bercerita panjang lebar pada Zia. Ia sendiri merasa sedikit tak nyaman menceritakan semuanya pada Zia, terlebih sesuatu yang ada hubungannya dengan Aiman. Tapi ia sendiri seolah tidak memiliki tempat berbagi. Sang nenek tinggal terpisah darinya dengan jarak satu setengah jam perjalanan. Sedangkan sang ayah, laki-laki itu semakin tak memiliki waktu untuknya, bahkan hanya sekedar menelpon pun seolah tak memiliki waktu. "Kakak hanya bisa menyerahkan semua keputusan padamu, Ti. Kau sudah dewasa. Semoga apa pun keputusanmu itu akan berbuah manis di kemudian hati, Ti.""Terima kasih, Kak, sudah sudi mendengar ceritaku. Aku pun berharap begitu. Aku berharap ada kebahagiaan untukku tanpa harus menyakiti hati siapa pun."Telepon terputus. Zia terdiam sejenak. Isi percakapannya dengan Tiara barusan seolah berputar di kepalanya. Ia sendiri tak tahu harus berbuat apa yang pasti ia hanya berharap yang terbaik bagi Tiara. Embusan napas panjang ke luar dari mulutnya. Sekilas wajah patah hati
Tiara lagi-lagi tersenyum sinis. Kalimat Aiman mampu menoreh luka di relung sana. Bagi Tiara, pantang berbohong apalagi dalam hal sepenting ini."Jika saja kau bisa melihat isi hatiku, maka kalimat yang kau ucapkan barusan tak akan pernah ke luar." Kali ini tatapan mata Tiara lekat di wajah Aiman.Laki-laki itu terdiam sejenak. Mencari alasan agar kali ini usahanya untuk membina keluarga baru tidak kembali gagal. "Maafkan aku, Ti. Aku khilaf!" Aiman berusaha menurunkan egonya. "Kumohon mengertilah. Aku bahkan tak akan bisa tenang jika hubungan kita terus berlanjut. Dua hati yang aku korbankan atau … bisa saja lebih." Tiara berucap sendu. "Apa tak ada jalan lain, Ti?" Kumohon! Aku hanya ingin membina keluarga bahagia dan melihat senyum kedua orang tuaku kembali merekah." Aiman menghiba berharap hati Tiara akan luluh. Tiara bergeming. Bayangan Ibu Ana melintas membuatnya sedikit tak nyaman. Namun, ia tak ingin keadaan lebih buruk lagi. "Percayalah, kita akan menemukan jodoh kita ma
"Laki-laki itu masih menyimpan rasa padamu, Sayang!" ucap Farid saat keduanya baru saja masuk ke mobil. Zia menatap lekat wajah sang suami dengan dahi berkerut. Farid sengaja mengalihkan pandangan lurus ke depan. "Maksudnya?" tanya Zia seolah tak mengerti. "Mantan suamimu!" Kali ini Farid melirik sekilas wajah cemberut Zia. "Abang tak suka Zia bertemu dengannya?" "Tidak!""Meski tanpa sengaja?""Ya."Hening. Zia tak lagi meneruskan pertanyaannya. Ia memilih menatap lekat wajah Farid dengan wajah manyun. Farid yang merasa diperhatikan kini tak bisa menyembunyikan tawanya. "Manyun aja keliatan cantik, apalagi senyum." Farid mengecup puncak hidung Zia. Zia tak menjawab. Gemas rasanya karena merasa dipermainkan. "Nggak usah dipikirin! Abang cuma becanda." Farid tersenyum lembut. "Sebenarnya Abang serius kalau dia masih menyimpan rasa padamu. Sayangnya sekarang Abang-lah laki-laki beruntung itu, bukan dia." Farid kembali terkekeh. "Tak usah bahas dia lagi. Zia nggak nyaman," aku Zi
Aiman bangkit dan mengangsurkan tangannya saat Farid dan Zia sudah berdiri di dekatnya. Farid dan Aiman bersalaman layaknya dua orang yang baru saja kenal. Karena ini memang kali pertamanya Farid dan Aiman bertatap muka. Saat Zia menikah pun Aiman tak datang karena merasa tak mampu melihat Zia berbahagia dengan laki-laki lain. Setelahnya Farid duduk dengan jarak satu kursi dari Aiman. Zia duduk di samping Farid. "Baru sampai?" tanya Farid berusaha mencairkan suasana. Ia tahu jika Aiman masih sangat menginginkan Zia hingga Zia memuyuskan menerima lamarannya. "Sekitar pukul 2 tadi," jawab Aiman. Ia merasakan suasana yang begitu canggung. "Tiara di dalam?" tanya Farid lagi. "Iya, beberapa menit lalu baru masuk." Aiman menjawab singkat pertanyaan Farid. Ia tak tahu harus berbasa-basi seperti apa agar suasana canggung antara mereka bisa menghangat. *Di dalam ruangan ICU Tiara duduk di sisi kiri Sintia. Ditatapnya wajah dengan luka jahitan di kepala dan pipi di hadapannya. Ada iba d
"Kau di sini …." Aiman duduk tepat di samping Tiara. "Maaf, saking paniknya aku lupa mengabarimu." Tiara berucap setelah menoleh sekilas pada Aiman. Setelahnya tatapan matanya kembali mengarah pada pintu ruang ICU yang tertutup rapat. "Aku menghubungimu berulang-ulang tapi tapi tak ada balasan. Akhirnya kuputuskan untuk mencarimu di tempat di mana Sintia dirawat.""Terima kasih sudah sepeduli itu padaku." Kalimat Tiara terdengar datar. Kini Aiman seolah tak lagi memiliki daya tarik di matanya. Ia mulai sadar jika terlalu banyak hati bahkan fisik yang tersakiti saat dirinya ia memutuskan untuk menerima lamaran Aiman.Jika ia tetap meneruskan rencana awal ia yakin hati Miko akan bertambah hancur, pun dengan Sintia. Tiara tak ingin menambah api dendam di hati perempuan itu seandainya Sintia sembuh dari komanya. "Besok malam kita bertemu di tempat biasa habis isya! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu," lirih Tiara sendu. Ia sangat paham dengan memutuskan hubungan dengan Aiman berarti