"Kenapa malah nangis?" tanya Farid dengan alis bertaut seraya mengusap lembut sudut mata Zia yang kini basah. "Terima kasih karena telah memperlakukanku dengan sangat sempurna." Zia menarik pergelangan tangan kanan Farid, mencium lembut lembut telapak tangan hingga punggung tangan itu dengan mata tertutup. "Itu semua karena kau yang telah menyempurnakan hidupku. Terima kasih telah bersedia menerima lamaran Abang dulu. Jika kau menolak, hari ini tak akan ada kisah manis yang setiap saat Abang rindu seperti sekarang."Zia tak menjawab, ia memeluk tangan kanan Farid dengan air mata yang kembali mengalir. "Kau tau? Sebelum bertemu denganmu Abang bahkan tak pernah memiliki rasa sedalam ini pada perempuan mana pun. Alhamdulillah, Allah menetapkan rasa di hati Abang untuk perempuan yang tepat. Perempuan berhati lembut yang Abang anggap sebagai titisan bidadari." Farid menata rindu di hatinya yang seolah tak kunjung reda. "Sungguh Abang mencintaimu, Zi. Mungkin kau akan bosan mendengar k
"Selain itu apalagi yang Abang inginkan dari Zia?" tanya Zia dengan rasa tak puas.Farid menggeleng cepat. "Sekarang Abang yang memintamu mengatakan apa yang kau pinta dari Abang?" tanya Farid dengan dahi terlipat. Zia menautkan alis, berpikir keras mencari seauatu yang bisa menjadi jawaban atas pertanyaan Farid barusan. Tatapannya mendarat pada renda goren kamar rumah sakit berwarna krem. Persis warna renda goredan kamar mereka. "Zia pengen minta waktu Abang untuk nemenin Zia di rumah."Farid tersenyum simpul. Ini kali pertama ia mendengar permintaan yang terkesan manja dari istrinya itu. "Tumben?" goda Farid. Zia hanya tersenyum dengan rona di wajah terlihat bahagia. "Tapi nggak bisa sekarang, Sayang. Bisanya minggu depan paling cepat. Besok Abang akan ajukan cuti. Tiga hari cukup?" tanya Farid memastikan. Zia mengangguk cepat. Ia sendiri merasa permintaannya kali ini sedikit berlebihan. "Abang tak keberatan?" Farid menggeleng cepat. Ia bahkan sangat senang dengan permintaa
"Aku bahkan tak ingin mengetahui kisah tentangnya lagi, Ti. Jujur, aku mencintaimu, Ti," lirih Aiman diakhir kalimatnya dengan nada sendu. Tiara tersenyum tipis. Ia berusaha tetap meski hatinya disesaki bahagia mendengar kalimat Aiman tentang perasaannya barusan. "Tapi tidak dengan Sintia. Hingga detik ini keinginannya masih sama. Mendapatkanmu secara utuh seperti dulu lagi." Tiara berkata apa adanya. Ia tak ingin membohongi hatinya tentang keadaan yang sebenatnya. Aiman mengusap kasar wajahnya. Semakin ke sini ia semakin kesal dengan ulah Sintia yang menganggap seolah tak ada lagi laki-laki lain di dunia ini yang lebih baik dari dirinya. Lebih lagi mengingat kembali pengkhianatan Sintia terhadapnya membuat Aiman semakin muak. "Aku semakin tak mengerti dengan isi kepala Sintia. Dulu dengan santainya dia mengkhinatiku saat aku sudah memantapkan hati untuk mempertahankannya, meski saat itu aku mulai sadar jika aku sudah salah langkah. Setelah ia kubebaskan, sekarang malah ingin kemb
"Aku akan menerimamu dengan satu syarat …."Tiara menggantung kalimatnya. Jujur ia tak tega membiarkan Aiman berjuang meyakinkan perempuan tak biasa seperti Sintia. Namun, untuk menerima Aiman secara cuma-cuma pun tak mungkin karena hanya akan membuat keadaan semakin kacau. "Apa yang kau pinta sebagai syaratnya, Ti? Selagi aku sanggup, akan aku lakukan," ucap Aiman dengan secercah harapan muncul di relung hatinya. Menciptakan semangat baru demi cintanya. Tiara mengangkat pandangannya, menatap wajah tampan dengan bola mata kecoklatan milik Aiman. Hatinya kembali berdesir hebat seiring detak jantung yang semakin berpacu. Lelaki yang beberapa bulan terakhir bayangannya kerap melintas saat ia sedang sendiri kini telah mengutarakan rasa yang sama untuknya. Detik-detik yang Tiara harapkan sejak lama. Berusaha ia selami tatapan mata dari laki-laki berpostur tubuh ideal itu. Ada cinta di sana, ada rindu yang sama dengan yang ia punya. Tiara tersenyum lembut. "Aku hanya ingin kau mengata
"Boleh aku tahu apa yang membuatmu berkeinginan kuat melindungi Zia dari ulah Sintia?" tanya Aiman berusaha mengurai tanya di benaknya. Tiara menjawabnya dengan senyum. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada Aiman tentang Zia, tapi ia urungkan. Ia ingin mengenal secara langsung sosok Zia tanpa harus mendengarnya dari yang lain. "Naluri perempuan mana pun tak akan ada yang membenarkan Sintia dalam permasalahan kalian dulu, termasuk aku. Aku orang pertama yang menentang perbuatan Sintia kala itu. Sayangnya, Sintia baru menceritakannya padaku saat kalian sudah resmi menikah."Tiara menarik napas dalam. Ada banyak hal yang membuat nalurinya ingin melindungi Zia. Aiman bergeming. Ia memberikan waktu untuk Tiara meluahkan isi hatinya tentang mantan istrinya itu, mantan istri terbaik yang pernah ia miliki. "Jujur, yang kutahu tentang Zia dari Sintia hanyalah kisah buruknya. Dan kudengar darimu semua kebaikan Zia. Aku menjadi penasaran dengan sosok Zia. Dan hingga kini yang aku yakini
"Maaf, bisa saya minta nomor ponsel atau alamat Ustadzah Zia?" tanya Tiara dengan senyum lembut. Beberapa saat perempuan berkaca mata itu hanya diam. Ia tak bisa memberikan nomor Zia pada sembarang orang. Namun, sudut hatinya mengatakan jika perempuan di sampingnya itu tak memiliki niat buruk terhadap Zia. "Jika Ustadzah keberatan aku tak akan memaksa," ucap Tiara dengan senyum lembut. "Aku hanya ingin menyampaikan hal yang aku anggap penting pada beliau," lanjut Tiara dengan santun. Rahma membalas kalimat Tiara dengan senyum lembut. Sesaat kemudian ia membuka ransel kecil miliknya, merogoh ponsel dari dalamnya. Dua belas digit nomor ia sebut, sedangkan Tiara fokus mengetik di layar ponselnya."Makasih, Ustadzah," ucap Tiara sumringah. Setidaknya ia sudah memiliki akses untuk lebih dekat dengan Zia, meski hanya lewat nomor telpon. "Perlu alamat Ustadzah Zia?" tawar Rahma dengan senyum simpul. "Boleh, jika Ustadzah tidak keberatan."Rahma tak menjawab. Ia mengeluarkan secarik ker
"Aku tak bisa menggantikan posisimu sampai detik ini."Suara Sintia terdengar bergetar. Ia benar-benar tak rela jika Aiman akan segera menikah dengan perempuan lain. "Mulai detik ini jangan pernah menggangguku lagi jika tak ingin aku berbuat di luar kemauanku. Satu hal lagi, siapa pun calon istriku kelak, tolong jangan pernah mengusik hidupku lagi karena aku tak akan tinggal diam jika kau berniat tak baik untuk hidupku."Sintia tersentak mendengar kalimat yang meluncur dari bibir Aiman. Kalimat ancaman di penghujungnya membuat Sintia menelan ludah getir. Aiman beranjak dari tempat duduknya. Ia berharap dengan sedikit ancaman Sintia akan berpikir dua kali untuk mengganggu hidupnya seperti yang sudah-sudah. Aiman berlalu dari hadapan Sintia, menyisakan perih yang merambat hingga relung terdalam di tubuh Sintia. Kuat Sintia mencengkram ujung kemeja yang ia kenakan. Merapatkan gigi-giginya hingga bergemelutuk. Kali ini Aiman benar-benar berbeda menurutnya. Selama ini laki-laki itu ta
Zia bergeming, kepalanya sibuk menerka siapa tamu sepagi ini datang ingin bertemu dengannya. "Zia ke sana, Bik. Tamunya di mana sekarang?" tanya Zia setelah merasa tak menemukan jawaban atas rasa penasarannya. "Di teras depan, Non. Tadi Bibi suruh nunggu di sana," jawab Bik Ani. "Oke, Bik. Makasih, ya."Cepat ditutupnya al-qur'an yang sejak tadi masih terbuka, meletakkannya di meja sudut di samping kursi yang tadi ia duduki kemudian beranjak. Zia berjalan gontai melewati ruang tengah menuju ruang tamu, lalu berjalan menuju teras depan. Pelan tangan Zia mendorong pintu pagar besi yang masih tertutup. Terlihat di sana punggung perempuan yang tadi dimaksud Bik Ani. "Maaf, Anda mencari saya?" tanya Zia santun pada perempuan berkerudung pashmina putih susu yang tengah sibuk dengan layar ponsel di tangannya. Tiara seketika menoleh lalu bangkit dari duduknya, berbalik menatap Zia yang kini berdiri di dekat pintu masuk. Lidahnya terasa kelu saat melihat perempuan yang beberapa bulan
"Terima kasih atas waktu dua tahunmu membersamaiku, Bang. Semoga kau selalu menjadi laki-laki terbaik bagiku dan Hana, putri kita." Zia menyandarkan kepalanya ke dada bidang lelaki yang sudah dua tahun melengkapi hidupnya. Sebuah jalan takdir yang sama sekali tidak pernah ia duga sebelumnya, jika Farid akan menjadi suami, imam juga jalan dirinya untuk menggapai surga Rabb-nya."Alhamdulillah, Sayang. Abang juga sangat bersyukur sekali bisa dipertemukan dengan perempuan cantik, baik hati, sholeha, sepertimu." Senyum menawan Farid dia persembahkan untuk perempuan asing teristimewa dalam hidupnya. Keduanya saling menautkan jari menikmati semilir angin sore di taman samping rumah sambil melihat kelucuan Hana yang tengah bermain tidak jauh dari tempat mereka duduk.Kehangatan keluarga kecil mereka semakin lengkap setelah kehadiran Hana sebagai pengantar doa-doa panjang dalam setiap sujud mereka sebagai orang tua. Meminta serta memohon keberkahan untuk rumah tangga agar senantiasa berada d
Tiara menatap lekat wajah laki-laki di hadapannya. Dapat ia rasakan hatinya menghangat seiring cinta yang kian tumbuh dan berkembang terhadap laki-laki itu. "Kau yakin? Apa kau sama sekali tak memiliki rasa sakit hati atas penolakanku selama ini?" tanya Tiara dengan rasa penasaran. "Aku yakin. Tak naif, kecewa itu kerap terasa, hanya saja aku menganggapnya sebagai pecut untuk berjuang meraih cintamu lebih keras lagi. Jujur, di luaran sana ada yang mengejarku untuk meraih cintaku, sayangnya hati ini sudah terpaut sejak lama padamu, Ti." Laki-laki itu terlihat sangat serius. Tiara menatap Miko dengan senyum termanisnya. Hati berdesir kian rapat yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. "Apa kau akan selalu bersikap seperti ini seandianya aku menerima lamaranmu?" Tiara berusaha menuntaskan keingintahuannya. "Apa kau pikir aku akan mengorbankan waktu dan kesabaranku selama ini dalam memperjuangkan cintamu hingga aku akan mengabaikanmu saat kau sudah menjadi milikmu?" Miko balik bertanya
Zia mengangguk. "Aku udah maafin Sintia, Ti. Lagipula dari dulu Kakak nggak pernah dendam sama Sintia. Sakit hati atas perlakuan Sintia dulu Kakak rasa itu manusiawi, yang pasti sekarang Kakak sudah mengikhlaskan semuanya." Zia tersenyum lembut. "Kakak memang luar biasa. Terima kasih, Kak.""Maafin kesalahan Sintia! Anggap aja kalo Sintia khilaf waktu ngelakuin semuanya," lanjut Zia."Iya, Kak. Aku hanya berharap semoga Sintia tenang di kehidupan abadinya dan ke depannya nggak akan ada lagi Sintia baru di dalam hidup kita." Tiara berucap lirih. Zia mengangguk pelan. "Aamiin.."***"Sekarang tak ada lagi Sintia, Ti. Aku harap kau bisa menerima lamaranku. Maafkan atas sikapku beberapa waktu lalu." Aiman berucap dengan nada memohon. Aiman meminta Tiara untuk menemuinya di tempat biasa, rumah makan yang beberapa kali mereka jadikan tempat bertemu sambil menghabiskan waktu istirahat siang sebelum kembali ke kantor. Tiara tidak langsung menjawab, ia berpikir sejenak agar tidak salah men
Zia mengalihkan perhatiannya kembali pada sang dokter. Lalu menganggukkan kepala. "Benar, Dok. Jadi jika memang harus dilepas, saya dan keluarga akan berusaha menerima dengan lapang dada." Susah payah Zia mengucapkan kata-kata itu melalui bibirnya yang bergetar. Tapi dia harus, dia tidak bisa ikut rapuh di saat Tiara tak sanggup lagi untuk sekedar berdiri. "Tiara!"Zia menggandeng lengan Tiara untuk ke luar setelah pamit pada dokter yang di hadapan mereka. Farid pun memutuskan untuk mengambil alih semua tugas Tiara. Dia mengikuti dokter tersebut agar segera menandatangani surat persetujuan pelepasan alat penunjang hidup Sintia sekaligus melunasi segala biayanya. Jasad Sintia akan dimandikan oleh pihak rumah sakit dan dikafani sekalian di sini. Supaya mereka hanya tinggal menyemayamkan jasad Sintia menuju ke tempat peristirahatan terakhir. Di sisi lain, Zia mencoba menuntun Tiara ke kursi ruang tunggu. Dia mendudukkan Tiara sembari memberikan sebotol air mineral yang tadi sempat ia b
Tiara bercerita panjang lebar pada Zia. Ia sendiri merasa sedikit tak nyaman menceritakan semuanya pada Zia, terlebih sesuatu yang ada hubungannya dengan Aiman. Tapi ia sendiri seolah tidak memiliki tempat berbagi. Sang nenek tinggal terpisah darinya dengan jarak satu setengah jam perjalanan. Sedangkan sang ayah, laki-laki itu semakin tak memiliki waktu untuknya, bahkan hanya sekedar menelpon pun seolah tak memiliki waktu. "Kakak hanya bisa menyerahkan semua keputusan padamu, Ti. Kau sudah dewasa. Semoga apa pun keputusanmu itu akan berbuah manis di kemudian hati, Ti.""Terima kasih, Kak, sudah sudi mendengar ceritaku. Aku pun berharap begitu. Aku berharap ada kebahagiaan untukku tanpa harus menyakiti hati siapa pun."Telepon terputus. Zia terdiam sejenak. Isi percakapannya dengan Tiara barusan seolah berputar di kepalanya. Ia sendiri tak tahu harus berbuat apa yang pasti ia hanya berharap yang terbaik bagi Tiara. Embusan napas panjang ke luar dari mulutnya. Sekilas wajah patah hati
Tiara lagi-lagi tersenyum sinis. Kalimat Aiman mampu menoreh luka di relung sana. Bagi Tiara, pantang berbohong apalagi dalam hal sepenting ini."Jika saja kau bisa melihat isi hatiku, maka kalimat yang kau ucapkan barusan tak akan pernah ke luar." Kali ini tatapan mata Tiara lekat di wajah Aiman.Laki-laki itu terdiam sejenak. Mencari alasan agar kali ini usahanya untuk membina keluarga baru tidak kembali gagal. "Maafkan aku, Ti. Aku khilaf!" Aiman berusaha menurunkan egonya. "Kumohon mengertilah. Aku bahkan tak akan bisa tenang jika hubungan kita terus berlanjut. Dua hati yang aku korbankan atau … bisa saja lebih." Tiara berucap sendu. "Apa tak ada jalan lain, Ti?" Kumohon! Aku hanya ingin membina keluarga bahagia dan melihat senyum kedua orang tuaku kembali merekah." Aiman menghiba berharap hati Tiara akan luluh. Tiara bergeming. Bayangan Ibu Ana melintas membuatnya sedikit tak nyaman. Namun, ia tak ingin keadaan lebih buruk lagi. "Percayalah, kita akan menemukan jodoh kita ma
"Laki-laki itu masih menyimpan rasa padamu, Sayang!" ucap Farid saat keduanya baru saja masuk ke mobil. Zia menatap lekat wajah sang suami dengan dahi berkerut. Farid sengaja mengalihkan pandangan lurus ke depan. "Maksudnya?" tanya Zia seolah tak mengerti. "Mantan suamimu!" Kali ini Farid melirik sekilas wajah cemberut Zia. "Abang tak suka Zia bertemu dengannya?" "Tidak!""Meski tanpa sengaja?""Ya."Hening. Zia tak lagi meneruskan pertanyaannya. Ia memilih menatap lekat wajah Farid dengan wajah manyun. Farid yang merasa diperhatikan kini tak bisa menyembunyikan tawanya. "Manyun aja keliatan cantik, apalagi senyum." Farid mengecup puncak hidung Zia. Zia tak menjawab. Gemas rasanya karena merasa dipermainkan. "Nggak usah dipikirin! Abang cuma becanda." Farid tersenyum lembut. "Sebenarnya Abang serius kalau dia masih menyimpan rasa padamu. Sayangnya sekarang Abang-lah laki-laki beruntung itu, bukan dia." Farid kembali terkekeh. "Tak usah bahas dia lagi. Zia nggak nyaman," aku Zi
Aiman bangkit dan mengangsurkan tangannya saat Farid dan Zia sudah berdiri di dekatnya. Farid dan Aiman bersalaman layaknya dua orang yang baru saja kenal. Karena ini memang kali pertamanya Farid dan Aiman bertatap muka. Saat Zia menikah pun Aiman tak datang karena merasa tak mampu melihat Zia berbahagia dengan laki-laki lain. Setelahnya Farid duduk dengan jarak satu kursi dari Aiman. Zia duduk di samping Farid. "Baru sampai?" tanya Farid berusaha mencairkan suasana. Ia tahu jika Aiman masih sangat menginginkan Zia hingga Zia memuyuskan menerima lamarannya. "Sekitar pukul 2 tadi," jawab Aiman. Ia merasakan suasana yang begitu canggung. "Tiara di dalam?" tanya Farid lagi. "Iya, beberapa menit lalu baru masuk." Aiman menjawab singkat pertanyaan Farid. Ia tak tahu harus berbasa-basi seperti apa agar suasana canggung antara mereka bisa menghangat. *Di dalam ruangan ICU Tiara duduk di sisi kiri Sintia. Ditatapnya wajah dengan luka jahitan di kepala dan pipi di hadapannya. Ada iba d
"Kau di sini …." Aiman duduk tepat di samping Tiara. "Maaf, saking paniknya aku lupa mengabarimu." Tiara berucap setelah menoleh sekilas pada Aiman. Setelahnya tatapan matanya kembali mengarah pada pintu ruang ICU yang tertutup rapat. "Aku menghubungimu berulang-ulang tapi tapi tak ada balasan. Akhirnya kuputuskan untuk mencarimu di tempat di mana Sintia dirawat.""Terima kasih sudah sepeduli itu padaku." Kalimat Tiara terdengar datar. Kini Aiman seolah tak lagi memiliki daya tarik di matanya. Ia mulai sadar jika terlalu banyak hati bahkan fisik yang tersakiti saat dirinya ia memutuskan untuk menerima lamaran Aiman.Jika ia tetap meneruskan rencana awal ia yakin hati Miko akan bertambah hancur, pun dengan Sintia. Tiara tak ingin menambah api dendam di hati perempuan itu seandainya Sintia sembuh dari komanya. "Besok malam kita bertemu di tempat biasa habis isya! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu," lirih Tiara sendu. Ia sangat paham dengan memutuskan hubungan dengan Aiman berarti