"Aku tak bisa menggantikan posisimu sampai detik ini."Suara Sintia terdengar bergetar. Ia benar-benar tak rela jika Aiman akan segera menikah dengan perempuan lain. "Mulai detik ini jangan pernah menggangguku lagi jika tak ingin aku berbuat di luar kemauanku. Satu hal lagi, siapa pun calon istriku kelak, tolong jangan pernah mengusik hidupku lagi karena aku tak akan tinggal diam jika kau berniat tak baik untuk hidupku."Sintia tersentak mendengar kalimat yang meluncur dari bibir Aiman. Kalimat ancaman di penghujungnya membuat Sintia menelan ludah getir. Aiman beranjak dari tempat duduknya. Ia berharap dengan sedikit ancaman Sintia akan berpikir dua kali untuk mengganggu hidupnya seperti yang sudah-sudah. Aiman berlalu dari hadapan Sintia, menyisakan perih yang merambat hingga relung terdalam di tubuh Sintia. Kuat Sintia mencengkram ujung kemeja yang ia kenakan. Merapatkan gigi-giginya hingga bergemelutuk. Kali ini Aiman benar-benar berbeda menurutnya. Selama ini laki-laki itu ta
Zia bergeming, kepalanya sibuk menerka siapa tamu sepagi ini datang ingin bertemu dengannya. "Zia ke sana, Bik. Tamunya di mana sekarang?" tanya Zia setelah merasa tak menemukan jawaban atas rasa penasarannya. "Di teras depan, Non. Tadi Bibi suruh nunggu di sana," jawab Bik Ani. "Oke, Bik. Makasih, ya."Cepat ditutupnya al-qur'an yang sejak tadi masih terbuka, meletakkannya di meja sudut di samping kursi yang tadi ia duduki kemudian beranjak. Zia berjalan gontai melewati ruang tengah menuju ruang tamu, lalu berjalan menuju teras depan. Pelan tangan Zia mendorong pintu pagar besi yang masih tertutup. Terlihat di sana punggung perempuan yang tadi dimaksud Bik Ani. "Maaf, Anda mencari saya?" tanya Zia santun pada perempuan berkerudung pashmina putih susu yang tengah sibuk dengan layar ponsel di tangannya. Tiara seketika menoleh lalu bangkit dari duduknya, berbalik menatap Zia yang kini berdiri di dekat pintu masuk. Lidahnya terasa kelu saat melihat perempuan yang beberapa bulan
"Hingga saat ini Sintia masih menyalahkan Kakak atas semua kegagalannya," ucap Tiara pelan. Zia menelan ludah getir. Ia pun merasa apa yang dikatakan Tiara benar adanya. Sintia masih belum puas melihatnya menderita saat bersama Aiman dulu. "Apa yang membuat Sintia begitu ingin melihatku menderita?" lirih Zia setengah berbisik dengan kepala menggeleng pelan. "Aku pun tak tahu. Yang pasti nasihatku selama ini seolah tak berguna sama sekali." Tiara berucap sendu. "Jika bukan karena peduli, mungkin aku lebih memilih cuek dengan permasalahan kalian, Kak." Tiara menatap lekat wajah getir Zia. Ia merasa tak tega jika perempuan baik di hadapannya itu kembali terluka karena ulah Sintia. "Lalu apa yang akan Sintia lakukan? Bukankah aku tak lagi ada hubungan antara dirinya dengan mantan suaminya?" Tiara menghela napas panjang hingga beberapa kali. Ulah Sintia memang berlebihan menurutnya. "Sintia masih mencintai mantan suaminya, sayangnya Aiman sebaliknya. Sekarang Sintia tengah mencari c
Farid selalu merasa tak sabar untuk mendengar cerita Zia setiap harinya, meski kenyataannya dari hari ke hari jawaban Zia tak jauh berbeda. Zia tak menjawab. Ia hanya tersenyum manis serta mengusap lembut dada bidang Farid yang masih melekat kemeja marun sebagai pembatas kulit keduanya. "Udah shalat?" tanya Zia pelan. "Udah, tadi jamaah di masjid di depan komplek.""Ya udah, sekarang Abang mandilah dulu, sebentar lagi Mama pasti datang buat ngajak makan malam," ucap Zia dengan senyum lembut. "Siap, Nona," goda Farid sambil tersenyum geli. Farid beranjak membersihkan diri setelah terlebih dahulu mengecup kening sang istri. Seharian bekerja membuat tubuhnya terasa lengket. "Jawab pertanyaan Abang tadi," ucap Farid saat ia baru saja selesai mengenakan kaos putih tipis dengan celana santai dibawah lutut. Laki-laki itu kini duduk di sisi tempat tidur di samping sang istri. Tangannya membelai lembut perut rata Zia. Zia bergeming sambil menyandarkan kepala di bahu suaminya. Ia hanya t
Tiara jatuh cinta melihat keseriusan Aiman padanya. "Apa kau tak ragu dengan kalimatmu barusan?" tanya Tiara setelah keduanya hening untuk beberapa saat. Jauh di relung sana, Tiara merasakan desir halus memenuhi rongga dadanya bersamaan dengan detak jantung yang memburu. Aiman menggeleng pelan dengan bibir tersenyum lembut. Tangannya merogoh saku celananya, meraih kotak kecil yang sedari tadi berada di sana. "Aku tak memiliki sedikitpun keraguan untuk melamarmu, Ti. Aku yakin kau bisa menjadi istri serta ibu yang baik bagi keturunanku kelak."Ucapan Aiman terdengar begitu manis di telinga Tiara. Sudah lama ia menginginkan ini, menginginkan Aiman memintanya untuk menjadi istrinya. Namun ia sadar, banyak hal yang harus ia pikirkan kembali sebelum menerima lamaran Aiman padanya. Aiman membuka kotak cincin di tangannya. Kotak kecil berlapis bahan bludru berwarna marun itu terbuka, menampilkan sebuah cincin emas putih di dalamnya. Aiman berharap penuh jika Tiara akan menerima perasaann
Tiara terlihat berpikir sejenak, lalu menjawab. "Minggu besok aku tak ada kegiatan.""Baiklah, aku akan membawamu pada Ibu. Semoga kalian cocok." Aiman tersenyum dengan sedikit canggung. Tangannya perlahan memasukkan kembali cincin di tangannya ke tempatnya. Ada kecewa yang menggurat di hatinya. Namun ia sendiri tak memiliki hak untuk marah, semua murni hak Tiara untuk menerima atau menolaknya. Ia tak ingin memaksa kehendaknya pada perempuan itu, meski Aiman sendiri tau jika Tiara juga memiliki rasa yang sama untuknya. Dua meja dari Aiman dan Tiara berada, seorang laki-laki dan perempuan sibuk memperhatikan keduanya. Bahkan sejak beberapa menit lalu perempuan dengan rambut ikal sebahu itu sibuk membidikkan kamera ponselnya ke arah Aiman dan Tiara tanpa keduanya tahu.*Sintia baru saja beranjak ke kamarnya ketika layar ponselnya menyala. Cepat ia mendekat ke arah benda pipih itu, lalu meraihnya. Perempuan itu semakin merasa sendiri akhir-akhir ini. Jika dulu Tiara kerap menemaniny
Pulang kantor Aiman tak langsung pulang ke rumahnya, mengingat besok hari minggu dan ia sudah membuat janji pada Tiara untuk bertemu keluarganya. Ia memacu mobilnya menuju rumah orang tuanya. Jalanan kota yang Aiman lalui baru saja diguyur hujan. Tetesan-tetesan kecil bahkan masih terlihat jelas jatuh ke aspal meninggalkan jejak hitam pekat. Beberapa pengendara motor masih mengenakan jas hujan. Ada pula yang terlihat berhenti di sisi jalan untuk melepas jas hujan yang sempat dipakai untuk menghalangi air hujan membasahi pakaian kering mereka. Di tengah perjalanan adzan magrib mengalun merdu bersahut-sahutan dari masjid satu dengan yang lainnya. Aiman memilih menepi untuk melaksanakan kewajiban tiga rakaatnya sebagai hamba, sebagai rasa syukur serta bakti pada Sang Pencipta. Sepuluh menit berselang ia kembali ke mobil. Melanjutkan perjalanannya yang masih tersisa separuhnya lagi. Jarak satu jam perjalanan ia tempuh, hingga mobilnya terparkir di depan rumah orang tuanya. Keadaan ru
Pagi menyapa menggantikan malam. Jam dinding kamar masih menunjukkan pukul 6 pagi. Farid masih setia di atas kasur dalam balutan selimut. Pendingin ruangan menambah suasana sejuk pagi iniini membuat laki-laki itu enggan beranjak. Zia keluar kamar mandi dalam balutan handuk kimono di tubuhnya serta selembar handuk membalut rambut basahnya. "Katanya pengen ngajak jalan santai," sindir Zia saat ia baru saja duduk di depan meja rias. Tangannya sibuk meremas-remas rambut dalam balutan handuk putih itu agar segera kering. "Mama bilang kurang baik kalau lagi hamil muda banyak olahraga. Kalau mau, kita duduk santai di taman aja, ya. Nanti kalau udah trimester tiga Abang temenin olahraga tiap hari." Farid tersenyum lembut. Zia terdiam sesaat lalu mengangguk pelan. Farid bangkit dari baringnya. Mendekat ke arah Zia dengan duduk di sisi ranjang persis di samping Zia. "Kecewa?" tanya Farid lembut seraya menyentuh pundak sang istri. Zia menoleh pada Farid. Tangannya seketika berhenti mengeri
"Terima kasih atas waktu dua tahunmu membersamaiku, Bang. Semoga kau selalu menjadi laki-laki terbaik bagiku dan Hana, putri kita." Zia menyandarkan kepalanya ke dada bidang lelaki yang sudah dua tahun melengkapi hidupnya. Sebuah jalan takdir yang sama sekali tidak pernah ia duga sebelumnya, jika Farid akan menjadi suami, imam juga jalan dirinya untuk menggapai surga Rabb-nya."Alhamdulillah, Sayang. Abang juga sangat bersyukur sekali bisa dipertemukan dengan perempuan cantik, baik hati, sholeha, sepertimu." Senyum menawan Farid dia persembahkan untuk perempuan asing teristimewa dalam hidupnya. Keduanya saling menautkan jari menikmati semilir angin sore di taman samping rumah sambil melihat kelucuan Hana yang tengah bermain tidak jauh dari tempat mereka duduk.Kehangatan keluarga kecil mereka semakin lengkap setelah kehadiran Hana sebagai pengantar doa-doa panjang dalam setiap sujud mereka sebagai orang tua. Meminta serta memohon keberkahan untuk rumah tangga agar senantiasa berada d
Tiara menatap lekat wajah laki-laki di hadapannya. Dapat ia rasakan hatinya menghangat seiring cinta yang kian tumbuh dan berkembang terhadap laki-laki itu. "Kau yakin? Apa kau sama sekali tak memiliki rasa sakit hati atas penolakanku selama ini?" tanya Tiara dengan rasa penasaran. "Aku yakin. Tak naif, kecewa itu kerap terasa, hanya saja aku menganggapnya sebagai pecut untuk berjuang meraih cintamu lebih keras lagi. Jujur, di luaran sana ada yang mengejarku untuk meraih cintaku, sayangnya hati ini sudah terpaut sejak lama padamu, Ti." Laki-laki itu terlihat sangat serius. Tiara menatap Miko dengan senyum termanisnya. Hati berdesir kian rapat yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. "Apa kau akan selalu bersikap seperti ini seandianya aku menerima lamaranmu?" Tiara berusaha menuntaskan keingintahuannya. "Apa kau pikir aku akan mengorbankan waktu dan kesabaranku selama ini dalam memperjuangkan cintamu hingga aku akan mengabaikanmu saat kau sudah menjadi milikmu?" Miko balik bertanya
Zia mengangguk. "Aku udah maafin Sintia, Ti. Lagipula dari dulu Kakak nggak pernah dendam sama Sintia. Sakit hati atas perlakuan Sintia dulu Kakak rasa itu manusiawi, yang pasti sekarang Kakak sudah mengikhlaskan semuanya." Zia tersenyum lembut. "Kakak memang luar biasa. Terima kasih, Kak.""Maafin kesalahan Sintia! Anggap aja kalo Sintia khilaf waktu ngelakuin semuanya," lanjut Zia."Iya, Kak. Aku hanya berharap semoga Sintia tenang di kehidupan abadinya dan ke depannya nggak akan ada lagi Sintia baru di dalam hidup kita." Tiara berucap lirih. Zia mengangguk pelan. "Aamiin.."***"Sekarang tak ada lagi Sintia, Ti. Aku harap kau bisa menerima lamaranku. Maafkan atas sikapku beberapa waktu lalu." Aiman berucap dengan nada memohon. Aiman meminta Tiara untuk menemuinya di tempat biasa, rumah makan yang beberapa kali mereka jadikan tempat bertemu sambil menghabiskan waktu istirahat siang sebelum kembali ke kantor. Tiara tidak langsung menjawab, ia berpikir sejenak agar tidak salah men
Zia mengalihkan perhatiannya kembali pada sang dokter. Lalu menganggukkan kepala. "Benar, Dok. Jadi jika memang harus dilepas, saya dan keluarga akan berusaha menerima dengan lapang dada." Susah payah Zia mengucapkan kata-kata itu melalui bibirnya yang bergetar. Tapi dia harus, dia tidak bisa ikut rapuh di saat Tiara tak sanggup lagi untuk sekedar berdiri. "Tiara!"Zia menggandeng lengan Tiara untuk ke luar setelah pamit pada dokter yang di hadapan mereka. Farid pun memutuskan untuk mengambil alih semua tugas Tiara. Dia mengikuti dokter tersebut agar segera menandatangani surat persetujuan pelepasan alat penunjang hidup Sintia sekaligus melunasi segala biayanya. Jasad Sintia akan dimandikan oleh pihak rumah sakit dan dikafani sekalian di sini. Supaya mereka hanya tinggal menyemayamkan jasad Sintia menuju ke tempat peristirahatan terakhir. Di sisi lain, Zia mencoba menuntun Tiara ke kursi ruang tunggu. Dia mendudukkan Tiara sembari memberikan sebotol air mineral yang tadi sempat ia b
Tiara bercerita panjang lebar pada Zia. Ia sendiri merasa sedikit tak nyaman menceritakan semuanya pada Zia, terlebih sesuatu yang ada hubungannya dengan Aiman. Tapi ia sendiri seolah tidak memiliki tempat berbagi. Sang nenek tinggal terpisah darinya dengan jarak satu setengah jam perjalanan. Sedangkan sang ayah, laki-laki itu semakin tak memiliki waktu untuknya, bahkan hanya sekedar menelpon pun seolah tak memiliki waktu. "Kakak hanya bisa menyerahkan semua keputusan padamu, Ti. Kau sudah dewasa. Semoga apa pun keputusanmu itu akan berbuah manis di kemudian hati, Ti.""Terima kasih, Kak, sudah sudi mendengar ceritaku. Aku pun berharap begitu. Aku berharap ada kebahagiaan untukku tanpa harus menyakiti hati siapa pun."Telepon terputus. Zia terdiam sejenak. Isi percakapannya dengan Tiara barusan seolah berputar di kepalanya. Ia sendiri tak tahu harus berbuat apa yang pasti ia hanya berharap yang terbaik bagi Tiara. Embusan napas panjang ke luar dari mulutnya. Sekilas wajah patah hati
Tiara lagi-lagi tersenyum sinis. Kalimat Aiman mampu menoreh luka di relung sana. Bagi Tiara, pantang berbohong apalagi dalam hal sepenting ini."Jika saja kau bisa melihat isi hatiku, maka kalimat yang kau ucapkan barusan tak akan pernah ke luar." Kali ini tatapan mata Tiara lekat di wajah Aiman.Laki-laki itu terdiam sejenak. Mencari alasan agar kali ini usahanya untuk membina keluarga baru tidak kembali gagal. "Maafkan aku, Ti. Aku khilaf!" Aiman berusaha menurunkan egonya. "Kumohon mengertilah. Aku bahkan tak akan bisa tenang jika hubungan kita terus berlanjut. Dua hati yang aku korbankan atau … bisa saja lebih." Tiara berucap sendu. "Apa tak ada jalan lain, Ti?" Kumohon! Aku hanya ingin membina keluarga bahagia dan melihat senyum kedua orang tuaku kembali merekah." Aiman menghiba berharap hati Tiara akan luluh. Tiara bergeming. Bayangan Ibu Ana melintas membuatnya sedikit tak nyaman. Namun, ia tak ingin keadaan lebih buruk lagi. "Percayalah, kita akan menemukan jodoh kita ma
"Laki-laki itu masih menyimpan rasa padamu, Sayang!" ucap Farid saat keduanya baru saja masuk ke mobil. Zia menatap lekat wajah sang suami dengan dahi berkerut. Farid sengaja mengalihkan pandangan lurus ke depan. "Maksudnya?" tanya Zia seolah tak mengerti. "Mantan suamimu!" Kali ini Farid melirik sekilas wajah cemberut Zia. "Abang tak suka Zia bertemu dengannya?" "Tidak!""Meski tanpa sengaja?""Ya."Hening. Zia tak lagi meneruskan pertanyaannya. Ia memilih menatap lekat wajah Farid dengan wajah manyun. Farid yang merasa diperhatikan kini tak bisa menyembunyikan tawanya. "Manyun aja keliatan cantik, apalagi senyum." Farid mengecup puncak hidung Zia. Zia tak menjawab. Gemas rasanya karena merasa dipermainkan. "Nggak usah dipikirin! Abang cuma becanda." Farid tersenyum lembut. "Sebenarnya Abang serius kalau dia masih menyimpan rasa padamu. Sayangnya sekarang Abang-lah laki-laki beruntung itu, bukan dia." Farid kembali terkekeh. "Tak usah bahas dia lagi. Zia nggak nyaman," aku Zi
Aiman bangkit dan mengangsurkan tangannya saat Farid dan Zia sudah berdiri di dekatnya. Farid dan Aiman bersalaman layaknya dua orang yang baru saja kenal. Karena ini memang kali pertamanya Farid dan Aiman bertatap muka. Saat Zia menikah pun Aiman tak datang karena merasa tak mampu melihat Zia berbahagia dengan laki-laki lain. Setelahnya Farid duduk dengan jarak satu kursi dari Aiman. Zia duduk di samping Farid. "Baru sampai?" tanya Farid berusaha mencairkan suasana. Ia tahu jika Aiman masih sangat menginginkan Zia hingga Zia memuyuskan menerima lamarannya. "Sekitar pukul 2 tadi," jawab Aiman. Ia merasakan suasana yang begitu canggung. "Tiara di dalam?" tanya Farid lagi. "Iya, beberapa menit lalu baru masuk." Aiman menjawab singkat pertanyaan Farid. Ia tak tahu harus berbasa-basi seperti apa agar suasana canggung antara mereka bisa menghangat. *Di dalam ruangan ICU Tiara duduk di sisi kiri Sintia. Ditatapnya wajah dengan luka jahitan di kepala dan pipi di hadapannya. Ada iba d
"Kau di sini …." Aiman duduk tepat di samping Tiara. "Maaf, saking paniknya aku lupa mengabarimu." Tiara berucap setelah menoleh sekilas pada Aiman. Setelahnya tatapan matanya kembali mengarah pada pintu ruang ICU yang tertutup rapat. "Aku menghubungimu berulang-ulang tapi tapi tak ada balasan. Akhirnya kuputuskan untuk mencarimu di tempat di mana Sintia dirawat.""Terima kasih sudah sepeduli itu padaku." Kalimat Tiara terdengar datar. Kini Aiman seolah tak lagi memiliki daya tarik di matanya. Ia mulai sadar jika terlalu banyak hati bahkan fisik yang tersakiti saat dirinya ia memutuskan untuk menerima lamaran Aiman.Jika ia tetap meneruskan rencana awal ia yakin hati Miko akan bertambah hancur, pun dengan Sintia. Tiara tak ingin menambah api dendam di hati perempuan itu seandainya Sintia sembuh dari komanya. "Besok malam kita bertemu di tempat biasa habis isya! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu," lirih Tiara sendu. Ia sangat paham dengan memutuskan hubungan dengan Aiman berarti