"Kita berhenti sebentar dekat butik yang biasa Fira kunjungi di depan ya," ucap Farid seraya mulai melajukan kendaraannya di jalan raya. "Abang mau ngapain?" tanya Zia dengan alis bertaut. Yang ia tahu butik yang Farid maksud berisi pakaian muslimah dengan harga lumayan. "Pengen ngajakin istri Abang jajan." Farid berucap enteng dengan senyum mengembang. "Baju-baju Zia udah banyak, Bang. Bahkan hantaran waktu kita nikah masih ada yang sama sekali belum dipakai," ucap Zia menolak dengan lembut. "Boleh kali ini Abang yang milih? Bukankah semenjak nikah Abang belum pernah membelikannya untukmu?" Farid menggenggam lembut jemari berkulit halus itu. "Bukan nggak pengen sebenarnya, cuma Zia nggak mau mubadzir. Bukankah semua yang kita miliki sekarang akan dipertanyakan kelak," jawab Zia pelan.Farid terdiam. Kalimat Zia barusan mampu membuat hatinya tercubit. Bagaimana dengan dirinya. Ya, ia sendiri begitu mudah membeli apa saja yang ia inginkan tanpa memikirkan jika semua itu akan ada pe
"Nggak suka sama modelnya?" tanya Farid lagi setelah melihat Zia kembali diam. "Suka."Farid menaikkan alis melirik sang istri yang mematung di sampingnya. Seketika ia menepuk jidat, ia baru ingat jika struk belanja masih ada di dalam sana, di plastik abu tua di tangan Zia. "Zi …," panggil Farid pelan. "Iya.""Kenapa diam, Sayang? Ada masalah?" Farid berucap lembut, tangan kirinya meraih tangan Zia membawanya di atas paha kirinya. "Nggak papa," jawab Zia singkat. "Marah?""Enggak," jawab Zia seraya menggeleng pelan. Tak ada raut marah di sana, yang ada hanya gurat sedih. "Kalau nggak marah coba senyum," pinta Farid sekilas kembali melirik Zia berusaha mencairkan suasana.Zia menoleh pada suaminya, bibirnya tersenyum, tepatnya senyum setengah terpaksa. Farid terkikik geli. Farid menaikkan laju kendaraannya agar semakin cepat sampai. Menyalip beberapa kendaraan di depannya dengan kecepatan cukup tinggi. "Nggak usah ngebut, Bang. Pelan juga bisa sampai rumah 'kan?" protes Zia mena
Malam semakin pekat bersamaan dengan dingin yang mulai menusuk tulang. Farid masih berada di balkon kamarnya—kamar sebelum mereka menikah dulu. Kamar itu terlihat terawat. Sebuah lemari buku serta satu paket meja kerja berjejer merapat ke dinding. Farid hanya akan mengunjunginya saat lembur di rumah saja. Jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Ia tengah asik berkutat dengan laptop di pangkuannya serta secangkir teh hangat buatan sang istri.Ketukan di pintu kamar terdengar pelan. Namun masih bisa terdengar. "Masuk!" ucap Farid dengan tatapan mata masih fokus ke layar laptopnya. Suara pintu berderit lalu langkah yang semakin mendekat membuat Farid mendongak ke arah pintu. Senyum seketika mengembang di bibirnya. "Sudah selesai ngobrol sama Mama?" tanya Farid setelah Zia duduk di sampingnya. Saat ia naik ke lantai atas tadi Zia tengah asik ngobrol dengan sang Mama. "Sudah dari tadi.""Belum tidur?" "Belum. Abang masih sibuk?" tanya Zia pelan seraya duduk di sofa berbaha
"Kau sakit, Zi?" tanya Farid dengan nada khawatir. "Nggak," jawab Zia pelan. Spontan tangan Farid meraba dahi Zia. Wajah istrinya itu memang terlihat pucat. "Kamu pucat, Sayang. Kita ke dokter, ya?" Farid meminta persetujuan. Ia pun bingung karena suhu tubuh Zia ia anggap normal tapi wajahnya terlihat pucat. "Nggak ah, Zia sehat, kok," jawab Zia dengan dahi berkerut. "Kamu pucat, Sayang." Kali ini Farid memegang dahi lancip milik istrinya, mengangkat sedikit hingga matanya menatap lekat wajah pucat Zia. Beberapa detik tatapan mereka bertemu, hingga jawaban Zia membuat Farid melongo. "Zia laper," ucap Zia dengan meringis menahan perutnya yang terasa perih. Sejak tadi perutnya meminta haknya terpenuhi. "Hah?! Kenapa nggak makan siang?" tanya Farid dengan mata membulat sempurna. Tangan kekarnya membolak-balik wajah sang istri ke kanan dan ke kiri. "Dompet Zia ketinggalan di kamar," ucap Zia dengan nyengir kuda. Entah apa yang membuatnya begitu ceroboh hari ini. Spontan Farid me
Sepulang kantor Sintia sengaja menemui Aiman di rumahnya. Berkali-kali Sintia memijat pelan kakinya yang sesekali masih berdenyut. Berharap laki-laki itu akan iba dan kembali padanya. Aiman bergeming. Sejak tadi dirinya memang menghindar dari tatapan Sintia. Laki-laki itu hanya tak ingin memberi harapan baru untuk mantan istrinya itu. "Atau mungkin Abang ingin kembali pada wanita itu?" Lagi, Sintia bertanya karena merasa tak puas dengan pertanyaan pertamanya yang tak kunjung terjawab. Permintaannya untuk bertemu yang tak kunjung dipenuhi Aiman membuat Sintia nekad datang ke rumah yang dulu pernah ia tinggali bersama laki-laki itu. Aiman terlihat menarik napas dalam setelah nama Zia kembali hadir dalam masalah mereka. "Jangan ganggu Zia lagi, Sin, dia sudah bahagia sekarang," lirih Aiman tanpa menoleh pada lawan bicaranya. Detik ini hatinya merasa sakit. Bibir berlipstik natural itu terlihat melengkungkan senyum karena bahagia yang tiba-tiba menyeruak. "Maksud Abang? Dia sudah m
"Bagaimana andaikan Zia tak mampu memberi Abang keturunan?" tanya Zia dengan senyum getir. Wajah getir Zia menyirat kekhawatiran. Banyaknya perpisahan dengan alasan keturunan membuatnya merasa getir. Tangan kekar itu menyentuh bahu Zia. Memutar tubuh istrinya hingga berhadapan dengannya. "Keturunan murni titipan, Zi, bonus dari Allah. Abang hanya butuh kau mencintai Abang seperti sekarang dan sampai kapan pun."Diciumnya telapak hingga punggung tangan Zia dengan lembut, seraya berjanji pada diri sendiri untuk menjaga amanah yang Tuhan titipkan untuknya saat ini yang berwujud seorang istri. "Bukankah Allah sesuai dengan prasangka hamba-Nya, Sayang. Sudahlah, Abang sangat menikmati kebersamaan ini. Tak perlu risau untuk kedepannya. Jangan mengkhawatirkan hati Abang, karena hati ini pun murni titipan, bahkan jasad ini pun titipan 'bukan?"Zia menghambur ke pelukan Farid kalimat yang baru saja meluncur membuat hatinya berdesir. "Maafkan Zia, Bang," lirih Zia pelan. Zia memejamkan ma
Sepuluh menit berlalu tak kunjung berbalas. Hingga kurang dari dua menit kemudian notif pesan masuk kembali berbunyi. [Di mana?][Kamu aja yang nentuin, senyamannya kamu aja. Aku tunggu kabar sampai besok.]Pesan terkirim. Entah sejak kapan Aiman merasa nyaman berbagi cerita dengan perempuan itu, yang pasti Tiara jauh berbeda dengan Sintia, itu yang Aiman tahu. Sikap Tiara menunjukkan jika dirinya perempuan dewasa nanti mandiri, hingga tak sedikit teman-temannya yang merasa nyaman dengan gadis itu. Di seberang sana Tiara mematung dengan pandangan lurus pada layar ponsel bersamaan debar jantung yang kian berpacu. Ia bingung dengan perasaannya sendiri. *Aiman baru saja sampai di tempat yang ia dan Tiara sepakati, Taman Kota. Lahan hijau membentang ditumbuhi pepohonan besar-besar yang disulap menjadi taman bermain itu ramai dikunjungi di hari libur seperti sekarang. Hampir setiap penjuru terdapat pengunjung, mulai dari anak-anak, remaja, orang dewasa, hingga manula. Semua terlihat
Dari ujung sana sekitar sepuluh meter dari mereka berada, seorang laki-laki sejak tadi mengawasi keduanya dari jauh. Tatapan mata laki-laki itu terlihat kurang bersahabat. Tiara masih belum menyadari jika laki-laki itu perlahan mendekat. "Kau di sini juga?" tanyanya membuat Tiara dan Aiman seketika menoleh ke asal suara. Laki-laki itu berdiri tegak di belakang Tiara. "Ya," jawab Tiara singkat, wajah perempuan itu berubah dingin. Aiman terdiam. Melihat wajah dingin keduanya Aiman merasa ada sesuatu di antara mereka. Namun ia memilih diam, memberi waktu pada Tiara dan laki-laki itu bicara. "Kenapa menolak ketika aku yang ngajak?" tanyanya dengan nada tak suka."Aku sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihanku. Katakan pada Ayah, aku bukan anak-anak yang ke mana-mana harus ada yang mengawasiku."Tiara membuang pandangan ke ruang kosong di hadapannya. Bertemu Miko saat tengah bersama Aiman membuat suasana hatinya menjadi kurang baik. "Ayahmu telah menyerahkanmu untukku, kenapa kau
"Terima kasih atas waktu dua tahunmu membersamaiku, Bang. Semoga kau selalu menjadi laki-laki terbaik bagiku dan Hana, putri kita." Zia menyandarkan kepalanya ke dada bidang lelaki yang sudah dua tahun melengkapi hidupnya. Sebuah jalan takdir yang sama sekali tidak pernah ia duga sebelumnya, jika Farid akan menjadi suami, imam juga jalan dirinya untuk menggapai surga Rabb-nya."Alhamdulillah, Sayang. Abang juga sangat bersyukur sekali bisa dipertemukan dengan perempuan cantik, baik hati, sholeha, sepertimu." Senyum menawan Farid dia persembahkan untuk perempuan asing teristimewa dalam hidupnya. Keduanya saling menautkan jari menikmati semilir angin sore di taman samping rumah sambil melihat kelucuan Hana yang tengah bermain tidak jauh dari tempat mereka duduk.Kehangatan keluarga kecil mereka semakin lengkap setelah kehadiran Hana sebagai pengantar doa-doa panjang dalam setiap sujud mereka sebagai orang tua. Meminta serta memohon keberkahan untuk rumah tangga agar senantiasa berada d
Tiara menatap lekat wajah laki-laki di hadapannya. Dapat ia rasakan hatinya menghangat seiring cinta yang kian tumbuh dan berkembang terhadap laki-laki itu. "Kau yakin? Apa kau sama sekali tak memiliki rasa sakit hati atas penolakanku selama ini?" tanya Tiara dengan rasa penasaran. "Aku yakin. Tak naif, kecewa itu kerap terasa, hanya saja aku menganggapnya sebagai pecut untuk berjuang meraih cintamu lebih keras lagi. Jujur, di luaran sana ada yang mengejarku untuk meraih cintaku, sayangnya hati ini sudah terpaut sejak lama padamu, Ti." Laki-laki itu terlihat sangat serius. Tiara menatap Miko dengan senyum termanisnya. Hati berdesir kian rapat yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. "Apa kau akan selalu bersikap seperti ini seandianya aku menerima lamaranmu?" Tiara berusaha menuntaskan keingintahuannya. "Apa kau pikir aku akan mengorbankan waktu dan kesabaranku selama ini dalam memperjuangkan cintamu hingga aku akan mengabaikanmu saat kau sudah menjadi milikmu?" Miko balik bertanya
Zia mengangguk. "Aku udah maafin Sintia, Ti. Lagipula dari dulu Kakak nggak pernah dendam sama Sintia. Sakit hati atas perlakuan Sintia dulu Kakak rasa itu manusiawi, yang pasti sekarang Kakak sudah mengikhlaskan semuanya." Zia tersenyum lembut. "Kakak memang luar biasa. Terima kasih, Kak.""Maafin kesalahan Sintia! Anggap aja kalo Sintia khilaf waktu ngelakuin semuanya," lanjut Zia."Iya, Kak. Aku hanya berharap semoga Sintia tenang di kehidupan abadinya dan ke depannya nggak akan ada lagi Sintia baru di dalam hidup kita." Tiara berucap lirih. Zia mengangguk pelan. "Aamiin.."***"Sekarang tak ada lagi Sintia, Ti. Aku harap kau bisa menerima lamaranku. Maafkan atas sikapku beberapa waktu lalu." Aiman berucap dengan nada memohon. Aiman meminta Tiara untuk menemuinya di tempat biasa, rumah makan yang beberapa kali mereka jadikan tempat bertemu sambil menghabiskan waktu istirahat siang sebelum kembali ke kantor. Tiara tidak langsung menjawab, ia berpikir sejenak agar tidak salah men
Zia mengalihkan perhatiannya kembali pada sang dokter. Lalu menganggukkan kepala. "Benar, Dok. Jadi jika memang harus dilepas, saya dan keluarga akan berusaha menerima dengan lapang dada." Susah payah Zia mengucapkan kata-kata itu melalui bibirnya yang bergetar. Tapi dia harus, dia tidak bisa ikut rapuh di saat Tiara tak sanggup lagi untuk sekedar berdiri. "Tiara!"Zia menggandeng lengan Tiara untuk ke luar setelah pamit pada dokter yang di hadapan mereka. Farid pun memutuskan untuk mengambil alih semua tugas Tiara. Dia mengikuti dokter tersebut agar segera menandatangani surat persetujuan pelepasan alat penunjang hidup Sintia sekaligus melunasi segala biayanya. Jasad Sintia akan dimandikan oleh pihak rumah sakit dan dikafani sekalian di sini. Supaya mereka hanya tinggal menyemayamkan jasad Sintia menuju ke tempat peristirahatan terakhir. Di sisi lain, Zia mencoba menuntun Tiara ke kursi ruang tunggu. Dia mendudukkan Tiara sembari memberikan sebotol air mineral yang tadi sempat ia b
Tiara bercerita panjang lebar pada Zia. Ia sendiri merasa sedikit tak nyaman menceritakan semuanya pada Zia, terlebih sesuatu yang ada hubungannya dengan Aiman. Tapi ia sendiri seolah tidak memiliki tempat berbagi. Sang nenek tinggal terpisah darinya dengan jarak satu setengah jam perjalanan. Sedangkan sang ayah, laki-laki itu semakin tak memiliki waktu untuknya, bahkan hanya sekedar menelpon pun seolah tak memiliki waktu. "Kakak hanya bisa menyerahkan semua keputusan padamu, Ti. Kau sudah dewasa. Semoga apa pun keputusanmu itu akan berbuah manis di kemudian hati, Ti.""Terima kasih, Kak, sudah sudi mendengar ceritaku. Aku pun berharap begitu. Aku berharap ada kebahagiaan untukku tanpa harus menyakiti hati siapa pun."Telepon terputus. Zia terdiam sejenak. Isi percakapannya dengan Tiara barusan seolah berputar di kepalanya. Ia sendiri tak tahu harus berbuat apa yang pasti ia hanya berharap yang terbaik bagi Tiara. Embusan napas panjang ke luar dari mulutnya. Sekilas wajah patah hati
Tiara lagi-lagi tersenyum sinis. Kalimat Aiman mampu menoreh luka di relung sana. Bagi Tiara, pantang berbohong apalagi dalam hal sepenting ini."Jika saja kau bisa melihat isi hatiku, maka kalimat yang kau ucapkan barusan tak akan pernah ke luar." Kali ini tatapan mata Tiara lekat di wajah Aiman.Laki-laki itu terdiam sejenak. Mencari alasan agar kali ini usahanya untuk membina keluarga baru tidak kembali gagal. "Maafkan aku, Ti. Aku khilaf!" Aiman berusaha menurunkan egonya. "Kumohon mengertilah. Aku bahkan tak akan bisa tenang jika hubungan kita terus berlanjut. Dua hati yang aku korbankan atau … bisa saja lebih." Tiara berucap sendu. "Apa tak ada jalan lain, Ti?" Kumohon! Aku hanya ingin membina keluarga bahagia dan melihat senyum kedua orang tuaku kembali merekah." Aiman menghiba berharap hati Tiara akan luluh. Tiara bergeming. Bayangan Ibu Ana melintas membuatnya sedikit tak nyaman. Namun, ia tak ingin keadaan lebih buruk lagi. "Percayalah, kita akan menemukan jodoh kita ma
"Laki-laki itu masih menyimpan rasa padamu, Sayang!" ucap Farid saat keduanya baru saja masuk ke mobil. Zia menatap lekat wajah sang suami dengan dahi berkerut. Farid sengaja mengalihkan pandangan lurus ke depan. "Maksudnya?" tanya Zia seolah tak mengerti. "Mantan suamimu!" Kali ini Farid melirik sekilas wajah cemberut Zia. "Abang tak suka Zia bertemu dengannya?" "Tidak!""Meski tanpa sengaja?""Ya."Hening. Zia tak lagi meneruskan pertanyaannya. Ia memilih menatap lekat wajah Farid dengan wajah manyun. Farid yang merasa diperhatikan kini tak bisa menyembunyikan tawanya. "Manyun aja keliatan cantik, apalagi senyum." Farid mengecup puncak hidung Zia. Zia tak menjawab. Gemas rasanya karena merasa dipermainkan. "Nggak usah dipikirin! Abang cuma becanda." Farid tersenyum lembut. "Sebenarnya Abang serius kalau dia masih menyimpan rasa padamu. Sayangnya sekarang Abang-lah laki-laki beruntung itu, bukan dia." Farid kembali terkekeh. "Tak usah bahas dia lagi. Zia nggak nyaman," aku Zi
Aiman bangkit dan mengangsurkan tangannya saat Farid dan Zia sudah berdiri di dekatnya. Farid dan Aiman bersalaman layaknya dua orang yang baru saja kenal. Karena ini memang kali pertamanya Farid dan Aiman bertatap muka. Saat Zia menikah pun Aiman tak datang karena merasa tak mampu melihat Zia berbahagia dengan laki-laki lain. Setelahnya Farid duduk dengan jarak satu kursi dari Aiman. Zia duduk di samping Farid. "Baru sampai?" tanya Farid berusaha mencairkan suasana. Ia tahu jika Aiman masih sangat menginginkan Zia hingga Zia memuyuskan menerima lamarannya. "Sekitar pukul 2 tadi," jawab Aiman. Ia merasakan suasana yang begitu canggung. "Tiara di dalam?" tanya Farid lagi. "Iya, beberapa menit lalu baru masuk." Aiman menjawab singkat pertanyaan Farid. Ia tak tahu harus berbasa-basi seperti apa agar suasana canggung antara mereka bisa menghangat. *Di dalam ruangan ICU Tiara duduk di sisi kiri Sintia. Ditatapnya wajah dengan luka jahitan di kepala dan pipi di hadapannya. Ada iba d
"Kau di sini …." Aiman duduk tepat di samping Tiara. "Maaf, saking paniknya aku lupa mengabarimu." Tiara berucap setelah menoleh sekilas pada Aiman. Setelahnya tatapan matanya kembali mengarah pada pintu ruang ICU yang tertutup rapat. "Aku menghubungimu berulang-ulang tapi tapi tak ada balasan. Akhirnya kuputuskan untuk mencarimu di tempat di mana Sintia dirawat.""Terima kasih sudah sepeduli itu padaku." Kalimat Tiara terdengar datar. Kini Aiman seolah tak lagi memiliki daya tarik di matanya. Ia mulai sadar jika terlalu banyak hati bahkan fisik yang tersakiti saat dirinya ia memutuskan untuk menerima lamaran Aiman.Jika ia tetap meneruskan rencana awal ia yakin hati Miko akan bertambah hancur, pun dengan Sintia. Tiara tak ingin menambah api dendam di hati perempuan itu seandainya Sintia sembuh dari komanya. "Besok malam kita bertemu di tempat biasa habis isya! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu," lirih Tiara sendu. Ia sangat paham dengan memutuskan hubungan dengan Aiman berarti