Sepuluh menit berlalu tak kunjung berbalas. Hingga kurang dari dua menit kemudian notif pesan masuk kembali berbunyi. [Di mana?][Kamu aja yang nentuin, senyamannya kamu aja. Aku tunggu kabar sampai besok.]Pesan terkirim. Entah sejak kapan Aiman merasa nyaman berbagi cerita dengan perempuan itu, yang pasti Tiara jauh berbeda dengan Sintia, itu yang Aiman tahu. Sikap Tiara menunjukkan jika dirinya perempuan dewasa nanti mandiri, hingga tak sedikit teman-temannya yang merasa nyaman dengan gadis itu. Di seberang sana Tiara mematung dengan pandangan lurus pada layar ponsel bersamaan debar jantung yang kian berpacu. Ia bingung dengan perasaannya sendiri. *Aiman baru saja sampai di tempat yang ia dan Tiara sepakati, Taman Kota. Lahan hijau membentang ditumbuhi pepohonan besar-besar yang disulap menjadi taman bermain itu ramai dikunjungi di hari libur seperti sekarang. Hampir setiap penjuru terdapat pengunjung, mulai dari anak-anak, remaja, orang dewasa, hingga manula. Semua terlihat
Dari ujung sana sekitar sepuluh meter dari mereka berada, seorang laki-laki sejak tadi mengawasi keduanya dari jauh. Tatapan mata laki-laki itu terlihat kurang bersahabat. Tiara masih belum menyadari jika laki-laki itu perlahan mendekat. "Kau di sini juga?" tanyanya membuat Tiara dan Aiman seketika menoleh ke asal suara. Laki-laki itu berdiri tegak di belakang Tiara. "Ya," jawab Tiara singkat, wajah perempuan itu berubah dingin. Aiman terdiam. Melihat wajah dingin keduanya Aiman merasa ada sesuatu di antara mereka. Namun ia memilih diam, memberi waktu pada Tiara dan laki-laki itu bicara. "Kenapa menolak ketika aku yang ngajak?" tanyanya dengan nada tak suka."Aku sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihanku. Katakan pada Ayah, aku bukan anak-anak yang ke mana-mana harus ada yang mengawasiku."Tiara membuang pandangan ke ruang kosong di hadapannya. Bertemu Miko saat tengah bersama Aiman membuat suasana hatinya menjadi kurang baik. "Ayahmu telah menyerahkanmu untukku, kenapa kau
"Kau bisa katakan alasannya?" tanya Aiman sedikit heran. Tiara terdengar menghela napas panjang. "Sintia.""Sintia?" Aiman menautkan alis. Tiara meluruhkan tatapan matanya menatap datar hamparan rerumputan hijau bak karpet raksasa yang menghampar di hadapannya. "Ya! Aku tak ingin Sintia membenciku andai ia tahu kita sering bertemu. Bagaimana pun aku harus menghargai perasaannya sebagai teman."Aiman bergeming. Rasa nyaman yang mulai hadir membuatnya keberatan dengan ucapan Tiara. Cukup lama Aiman menimbang apakah ia harus mengatakan perasaannya secepat ini pada Tiara. Namun pada akhirnya ia tahan. Kandasnya pernikahannya dengan Sintia cukup untuk menjadi pelajaran bagi Aiman agar tidak terburu-buru dalam memilih. Terlebih rasa nyaman yang ia rasakan pada Tiara baru beberapa hari yang lalu hadir. Merasa Aiman hanya diam Tiara berbalik, seraya mengembus napas pelan. "Baiklah, aku rasa cukup. Aku pamit sekarang," ucapnya dengan senyum mengembang, senyum dengan rasa canggung. "Kena
"Kita bertemu di sini, Zi." Sebuah suara yang cukup familiar di telinga Zia, membuat perempuan itu menghentikan gerakan tangannya lalu menoleh ke asal suara. Tak ada kata yang keluar dari bibir Zia setelah tahu siapa yang menegurnya. Tangan kirinya sibuk memegang botol minuman, sedang tangan kanannya menutup kembali freezer minuman di hadapannya. Zia hendak berjalan menuju meja kasir. Namun Sintia berusaha menghalanginya. Perempuan itu menatap sinis pada Zia dengan tangan bersedekap di dada. "Apakah semua perempuan bergelar ustadzah agar bersikap demikian saat ditegur baik-baik?" tanya Sintia dengan nada merendahkan. Setelah apa yang dilakukannya pada Zia, perempuan itu masih saja merasa seolah dirinya tak memiliki salah sedikit pun. Zia menghela napas panjang. Dipertemukan dengan Sintia dalam keadaan telah bersama Farid tetap tak bisa membuatnya bersikap manis pada perempuan itu. "Apa yang kau inginkan?" tanya Zia tanpa basa-basi dengan wajah terlihat dingin. Malas rasanya jika
"Kau masih sakit hati dengan hal itu, Zi? Jangan-jangan kau masih menyimpan rasa dengan Bang Aiman meski kau sudah menikah dengan laki-laki lain." Sintia tersenyum mengejek, membuat Zia hanya mampu memejamkan mata dengan gigi bergemelutuk. Cinta pada Aiman bahkan sudah tak lagi berbekas, melainkan rasa perih yang saat-saat tertentu masih terasa menyayat. Zia mengembuskan napas kasar. Ia rasakan jika sikap buruk Sintia seperti sudah mendarah daging. "Jika kumau, aku bahkan bisa kembali padanya setelah dia mentalakmu," ucap Zia dengan senyum sinis. Ia sadar, berhadapan dengan Sintia tak bisa dengan cara lembut dan mengalah. "Suamimu itu bahkan memintaku untuk kembali saat belum genap 24 jam kalian berpisah," lanjut Zia. Ucapan Zia kali ini begitu lembut, tapi terdengar panas di telinga Sintia. Sintia meremas ujung kemeja yang tengah ia kenakan. Ia merasa kesal mendengar kalimat Zia barusan, karena ia tahu Zia tak mungkin berbohong tentang hal itu. Ia merasa kesal karena belum genap
Bukan Sintia namanya jika tak bisa memutar balikkan fakta agar musuhnya lah yang terlihat bersalah. "Dia yang memulai. Ketahuilah, istrimu itu masih menyimpan rasa pada mantan suamiku. Bahkan saat aku masih bersama suamiku dulu," adu Sintia membuat wajah Zia sedikit pias. Ia merasa khawatir jika Farid akan mempercayai ucapan Sintia."Tutup mulutmu! Jika saja kau laki-laki aku tak akan membiarkanmu pulang dalam keadaan tenang." Farid menatap Sintia dengan tatapan muak. Beberapa saat kemudian ia mendekat pada Zia, menarik pelan tangan istrinya itu. Zia menurut dengan bibir terkunci. "Kita pergi sekarang!" ucap Farid tanpa peduli Sintia yang masih terpaku dengan lidah kelu. Kalimat Farid sukses membuat Sintia mematung dengan lutut sedikit bergetar. Namun, tidak menjadi alasan perempuan itu untuk menyerah dalam mencapai keinginannya. Farid berlalu dari hadapan Sintia dengan menggandeng bahu Zia. Zia mengiringi langkah Farid dalam diam. Sintia menatap perlakuan lembut Farid pada Zia
"Bukankah kita tak pernah tahu tentang masa depan?" Zia balik bertanya. Farid tersenyum mendengar kalimat Zia. "Karena sebab itu, kita cukup meyakinkan diri sendiri dan pasangan agar semua berjalan sesuai harapan masing-masing, Sayang. Selebihnya pasrahkan pada-Nya agar hati kita lebih tenang."Kedua tangan Farid mencubit lembut pipi Zia bersamaan dengan kecupan lembut di kening sang istri. "Kita berangkat sekarang! Lupakan saja perempuan itu. Abang tak ingin istri Abang banyak pikiran hanya karena bertemu seseorang yang tak penting untuk diladeni."Zia hanya tersenyum lembut. Farid sangat paham bagaimana mengambil sikap, hingga membuat hati Zia selalu luluh oleh setiap sikap dan kalimatnya. *"Gimana perasaanmu sekarang, Ra?" tanya Zia saat melihat Fira yang baru saja ke luar dari kamar mandi. Sejak ia datang, adik iparnya itu sudah beberapa kali bolak balik ke kamar mandi untuk mengeluarkan makanan yang sempat masuk ke dalam perutnya. Fira berjalan menuju sofa panjang yang Zia
"Kau gil*, Sin!"Tiara tersentak saat mendengar ide gil* Sintia untuk kembali memberi perhitungan pada Zia setelah kejadian di mini market waktu itu. Hari ini Sintia meminta Tiara untuk makan siang bersama di salah satu rumah makan padang di antara kantor keduanya. Bekerja di tempat berbeda membuat keduanya jarang bertemu. Ini kali pertamanya mereka bertemu setelah seminggu yang lalu. "Aku kesal, Ti. Masak aku cuma minta bantuan gitu aja dia nolak. Songong banget, kan?" ucap Sintia sambil mengunyah makanan di mulutnya. Lagi dan lagi, Sintia merasa seolah dirinya lah yang terdzolimi. Dirinya lah yang merupakan korban. Tiara menggeleng pelan seraya menyendokkan suapan terakhir di piringnya memasukkannya ke mulut. Ia ingin cepat-cepat menghabiskan isi piringnya agar bisa berbicara lebih leluasa pada Sintia. Beberapa detik ia mengunyah cepat makanannya kemudian mendorongnya dengan meminum air mineral di hadapannya. Ulah Sintia memang selalu kelewatan menurutnya. Ia kesal karena Sin
"Terima kasih atas waktu dua tahunmu membersamaiku, Bang. Semoga kau selalu menjadi laki-laki terbaik bagiku dan Hana, putri kita." Zia menyandarkan kepalanya ke dada bidang lelaki yang sudah dua tahun melengkapi hidupnya. Sebuah jalan takdir yang sama sekali tidak pernah ia duga sebelumnya, jika Farid akan menjadi suami, imam juga jalan dirinya untuk menggapai surga Rabb-nya."Alhamdulillah, Sayang. Abang juga sangat bersyukur sekali bisa dipertemukan dengan perempuan cantik, baik hati, sholeha, sepertimu." Senyum menawan Farid dia persembahkan untuk perempuan asing teristimewa dalam hidupnya. Keduanya saling menautkan jari menikmati semilir angin sore di taman samping rumah sambil melihat kelucuan Hana yang tengah bermain tidak jauh dari tempat mereka duduk.Kehangatan keluarga kecil mereka semakin lengkap setelah kehadiran Hana sebagai pengantar doa-doa panjang dalam setiap sujud mereka sebagai orang tua. Meminta serta memohon keberkahan untuk rumah tangga agar senantiasa berada d
Tiara menatap lekat wajah laki-laki di hadapannya. Dapat ia rasakan hatinya menghangat seiring cinta yang kian tumbuh dan berkembang terhadap laki-laki itu. "Kau yakin? Apa kau sama sekali tak memiliki rasa sakit hati atas penolakanku selama ini?" tanya Tiara dengan rasa penasaran. "Aku yakin. Tak naif, kecewa itu kerap terasa, hanya saja aku menganggapnya sebagai pecut untuk berjuang meraih cintamu lebih keras lagi. Jujur, di luaran sana ada yang mengejarku untuk meraih cintaku, sayangnya hati ini sudah terpaut sejak lama padamu, Ti." Laki-laki itu terlihat sangat serius. Tiara menatap Miko dengan senyum termanisnya. Hati berdesir kian rapat yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. "Apa kau akan selalu bersikap seperti ini seandianya aku menerima lamaranmu?" Tiara berusaha menuntaskan keingintahuannya. "Apa kau pikir aku akan mengorbankan waktu dan kesabaranku selama ini dalam memperjuangkan cintamu hingga aku akan mengabaikanmu saat kau sudah menjadi milikmu?" Miko balik bertanya
Zia mengangguk. "Aku udah maafin Sintia, Ti. Lagipula dari dulu Kakak nggak pernah dendam sama Sintia. Sakit hati atas perlakuan Sintia dulu Kakak rasa itu manusiawi, yang pasti sekarang Kakak sudah mengikhlaskan semuanya." Zia tersenyum lembut. "Kakak memang luar biasa. Terima kasih, Kak.""Maafin kesalahan Sintia! Anggap aja kalo Sintia khilaf waktu ngelakuin semuanya," lanjut Zia."Iya, Kak. Aku hanya berharap semoga Sintia tenang di kehidupan abadinya dan ke depannya nggak akan ada lagi Sintia baru di dalam hidup kita." Tiara berucap lirih. Zia mengangguk pelan. "Aamiin.."***"Sekarang tak ada lagi Sintia, Ti. Aku harap kau bisa menerima lamaranku. Maafkan atas sikapku beberapa waktu lalu." Aiman berucap dengan nada memohon. Aiman meminta Tiara untuk menemuinya di tempat biasa, rumah makan yang beberapa kali mereka jadikan tempat bertemu sambil menghabiskan waktu istirahat siang sebelum kembali ke kantor. Tiara tidak langsung menjawab, ia berpikir sejenak agar tidak salah men
Zia mengalihkan perhatiannya kembali pada sang dokter. Lalu menganggukkan kepala. "Benar, Dok. Jadi jika memang harus dilepas, saya dan keluarga akan berusaha menerima dengan lapang dada." Susah payah Zia mengucapkan kata-kata itu melalui bibirnya yang bergetar. Tapi dia harus, dia tidak bisa ikut rapuh di saat Tiara tak sanggup lagi untuk sekedar berdiri. "Tiara!"Zia menggandeng lengan Tiara untuk ke luar setelah pamit pada dokter yang di hadapan mereka. Farid pun memutuskan untuk mengambil alih semua tugas Tiara. Dia mengikuti dokter tersebut agar segera menandatangani surat persetujuan pelepasan alat penunjang hidup Sintia sekaligus melunasi segala biayanya. Jasad Sintia akan dimandikan oleh pihak rumah sakit dan dikafani sekalian di sini. Supaya mereka hanya tinggal menyemayamkan jasad Sintia menuju ke tempat peristirahatan terakhir. Di sisi lain, Zia mencoba menuntun Tiara ke kursi ruang tunggu. Dia mendudukkan Tiara sembari memberikan sebotol air mineral yang tadi sempat ia b
Tiara bercerita panjang lebar pada Zia. Ia sendiri merasa sedikit tak nyaman menceritakan semuanya pada Zia, terlebih sesuatu yang ada hubungannya dengan Aiman. Tapi ia sendiri seolah tidak memiliki tempat berbagi. Sang nenek tinggal terpisah darinya dengan jarak satu setengah jam perjalanan. Sedangkan sang ayah, laki-laki itu semakin tak memiliki waktu untuknya, bahkan hanya sekedar menelpon pun seolah tak memiliki waktu. "Kakak hanya bisa menyerahkan semua keputusan padamu, Ti. Kau sudah dewasa. Semoga apa pun keputusanmu itu akan berbuah manis di kemudian hati, Ti.""Terima kasih, Kak, sudah sudi mendengar ceritaku. Aku pun berharap begitu. Aku berharap ada kebahagiaan untukku tanpa harus menyakiti hati siapa pun."Telepon terputus. Zia terdiam sejenak. Isi percakapannya dengan Tiara barusan seolah berputar di kepalanya. Ia sendiri tak tahu harus berbuat apa yang pasti ia hanya berharap yang terbaik bagi Tiara. Embusan napas panjang ke luar dari mulutnya. Sekilas wajah patah hati
Tiara lagi-lagi tersenyum sinis. Kalimat Aiman mampu menoreh luka di relung sana. Bagi Tiara, pantang berbohong apalagi dalam hal sepenting ini."Jika saja kau bisa melihat isi hatiku, maka kalimat yang kau ucapkan barusan tak akan pernah ke luar." Kali ini tatapan mata Tiara lekat di wajah Aiman.Laki-laki itu terdiam sejenak. Mencari alasan agar kali ini usahanya untuk membina keluarga baru tidak kembali gagal. "Maafkan aku, Ti. Aku khilaf!" Aiman berusaha menurunkan egonya. "Kumohon mengertilah. Aku bahkan tak akan bisa tenang jika hubungan kita terus berlanjut. Dua hati yang aku korbankan atau … bisa saja lebih." Tiara berucap sendu. "Apa tak ada jalan lain, Ti?" Kumohon! Aku hanya ingin membina keluarga bahagia dan melihat senyum kedua orang tuaku kembali merekah." Aiman menghiba berharap hati Tiara akan luluh. Tiara bergeming. Bayangan Ibu Ana melintas membuatnya sedikit tak nyaman. Namun, ia tak ingin keadaan lebih buruk lagi. "Percayalah, kita akan menemukan jodoh kita ma
"Laki-laki itu masih menyimpan rasa padamu, Sayang!" ucap Farid saat keduanya baru saja masuk ke mobil. Zia menatap lekat wajah sang suami dengan dahi berkerut. Farid sengaja mengalihkan pandangan lurus ke depan. "Maksudnya?" tanya Zia seolah tak mengerti. "Mantan suamimu!" Kali ini Farid melirik sekilas wajah cemberut Zia. "Abang tak suka Zia bertemu dengannya?" "Tidak!""Meski tanpa sengaja?""Ya."Hening. Zia tak lagi meneruskan pertanyaannya. Ia memilih menatap lekat wajah Farid dengan wajah manyun. Farid yang merasa diperhatikan kini tak bisa menyembunyikan tawanya. "Manyun aja keliatan cantik, apalagi senyum." Farid mengecup puncak hidung Zia. Zia tak menjawab. Gemas rasanya karena merasa dipermainkan. "Nggak usah dipikirin! Abang cuma becanda." Farid tersenyum lembut. "Sebenarnya Abang serius kalau dia masih menyimpan rasa padamu. Sayangnya sekarang Abang-lah laki-laki beruntung itu, bukan dia." Farid kembali terkekeh. "Tak usah bahas dia lagi. Zia nggak nyaman," aku Zi
Aiman bangkit dan mengangsurkan tangannya saat Farid dan Zia sudah berdiri di dekatnya. Farid dan Aiman bersalaman layaknya dua orang yang baru saja kenal. Karena ini memang kali pertamanya Farid dan Aiman bertatap muka. Saat Zia menikah pun Aiman tak datang karena merasa tak mampu melihat Zia berbahagia dengan laki-laki lain. Setelahnya Farid duduk dengan jarak satu kursi dari Aiman. Zia duduk di samping Farid. "Baru sampai?" tanya Farid berusaha mencairkan suasana. Ia tahu jika Aiman masih sangat menginginkan Zia hingga Zia memuyuskan menerima lamarannya. "Sekitar pukul 2 tadi," jawab Aiman. Ia merasakan suasana yang begitu canggung. "Tiara di dalam?" tanya Farid lagi. "Iya, beberapa menit lalu baru masuk." Aiman menjawab singkat pertanyaan Farid. Ia tak tahu harus berbasa-basi seperti apa agar suasana canggung antara mereka bisa menghangat. *Di dalam ruangan ICU Tiara duduk di sisi kiri Sintia. Ditatapnya wajah dengan luka jahitan di kepala dan pipi di hadapannya. Ada iba d
"Kau di sini …." Aiman duduk tepat di samping Tiara. "Maaf, saking paniknya aku lupa mengabarimu." Tiara berucap setelah menoleh sekilas pada Aiman. Setelahnya tatapan matanya kembali mengarah pada pintu ruang ICU yang tertutup rapat. "Aku menghubungimu berulang-ulang tapi tapi tak ada balasan. Akhirnya kuputuskan untuk mencarimu di tempat di mana Sintia dirawat.""Terima kasih sudah sepeduli itu padaku." Kalimat Tiara terdengar datar. Kini Aiman seolah tak lagi memiliki daya tarik di matanya. Ia mulai sadar jika terlalu banyak hati bahkan fisik yang tersakiti saat dirinya ia memutuskan untuk menerima lamaran Aiman.Jika ia tetap meneruskan rencana awal ia yakin hati Miko akan bertambah hancur, pun dengan Sintia. Tiara tak ingin menambah api dendam di hati perempuan itu seandainya Sintia sembuh dari komanya. "Besok malam kita bertemu di tempat biasa habis isya! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu," lirih Tiara sendu. Ia sangat paham dengan memutuskan hubungan dengan Aiman berarti