Tak banyak yang berubah sejak kehadiran Nasya di rumah selain tatapan matanya yang selalu mengikuti ke mana Mas Fahry. Namun Mas Fahry tak sekalipun mempedulikannya. Sehari-harinya ia hanya menghabiskan waktu bersama Khanza, dan lebih banyak berada di dalam kamar. Sesekali ia masih menerima panggilan telepon membahas masalah pekerjaan.Aku tau, sebenarnya Mas Fahry merasa tersiksa ketika aktivitasnya terbatas seperti ini. Keputusan perusahaan belum lagi keluar mengenai hukuman apa yang akan diterimanya. Sedangkan dari Roy, kudengar jika Nasya sudah kembali mengajukan surat pengunduran diri. Dari Roy pula aku mendengar jika saat ini Hasan Lukman sudah kembali ke Bandung dan mengurus perceraian juga pembagian harta mereka. Ia sendiri masih mempercayakan pengawasan Nasya pada Roy, tanpa tau jika saat ini Roy telah berbalik arah dan memihak pada Nasya.Malam ini, tak tahan terus menerus berada di dalam kamar, aku mengajak Mas Fahry keluar. Kami bertiga memilih menghabiskan waktu di taman
Mas Fahry memilih es krim yang dibawa ibu tadi, aku pun memilih salah satunya. Tak ada pembicaraan lagi antara kami karena asyik menikmati es krim. Namun saat aku membuka bungkus es krim yang kedua yang ternyata sudah mulai meleleh, aku menangkap tatapan tak biasa dari Mas Fahry saat aku menjilati es krim yang hampir meleleh. Lelaki itu meringis seperti sedang menahan sakit.Aku menautkan alisku menatapnya heran, sambil terus menjilat es krim rasa coklat di tanganku ketika tiba-tiba saja Mas Fahry merebut kasar es krim ku lalu membuangnya ke sembarang arah.Baru saja aku hendak protes ketika lelaki itu telah menciumiku dengan membabi buta dan membuatku kehabisan napas. Mas Fahry pun seperti kehabisan napas namun ia sama sekali tak menghentikan ciumannya. Tangannya meremas rambutku dan menahan kepalaku agar tetap berada pada posisi yang diinginkannya.“Mas!” protesku saat memperoleh sedikit oksigen.Namun ternyata protesku justru membuatnya semakin menggila. Lidahnya menerobos berkali-
Kami chek out dari hotel tepat di saat cuaca kota Denpasar sedang tak bersahabat. Hujan deras disetai angin kencang membuat beberapa petugas hotel terlihat ragu saat Mas Fahry meminta fasilitas pengantaran ke Bandara Ngurah Rai. Guide tour pun sudah dicancel semua oleh Mas Fahry, padahal masih ada 2 hari tersisa dari paket bulan madu yang sudah dibayarnya. Mas Fahry terlihat sedikit bersitegang dengan pihak hotel ketika mereka menyarankan menunda ke bandara mengingat cuaca sedang sangat buruk.Namun Mas Fahry bersikeras dengan alasan sedang ada urusan yang sangat penting yang tak bisa ditunda lagi, sementara aku hanya menatapnya dari sofa yang ada di lobby hotel dengan tatapan kosng. Pikiranku tak lagi fokus karena memikirkan keselamatan putriku.Berkali-kali aku harus mengusap sudut mataku, yang kemudian membuat Mas Fahry makin terlihat panik dan menuntut untuk segera berangkat ke bandara.“Kamu tenang dulu, ya, Sayang. Mereka sudah setuju mengantarkan kita sekarang juga. Jangan pan
Beberapa kali terdengar pengumuman dari petugas bandara yang mengumumkan jika kemungkinan tak akan ada penerbangan lagi hari ini karena beberapa fasilitas bandara dan beberapa antena juga roboh diterpa angin kencang. Aku semakin panik, sementara penampilan Mas Fahry makin terlihat acak-acakan.Hingga akhirnya kami benar-benar tak bisa terbang, lalu kembali terdampar di salah satu hotel yang berada di area bandara.“Mas, aku takut.” Kali ini tangisku makin kencang.“Ssshhh. Kamu tenang, ya, Sayang. Insya Allah Khanza tidak apa-apa.”Dia menenangkanku, padahal aku tau lelaki itu pun sedang merasakan hal yang sama. Tadi kudengar ia menelepon Mas Gufron dan meminta bantuannya untuk mencari Khanza. Aku juga mendengar ia menelepon Gibran, namun yang membuatku semakin khawatir ketika aku mendengar pembicaraannya dengan Gibran.“Tolong kamu awasi gerak-gerik Hasan Lukman di sana. Aku curiga dia berada di balik semua ini.”Degg!! Jantungku serasa mau copot. Jika dugaan Mas Fahry benar, aku be
PoV Nasya.Sudah beberapa minggu ini aku tinggal di rumah Mas Fahry. Awalnya aku terkejut ketika Roy, salah satu rekanku sesama arsitek di perusahaan mengatakan akan membawaku ke rumah Mas Fahry saat aku sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit setelah menjalani perawatan akibat penganiayaan yang dilakukan Mas Fahry padaku.Keberadaan Roy sendiri masih menjadi tanda tanya besar bagiku. Aku tak terlalu akrab dengannya, meski dulunya kami juga satu kampus ketika kuliah. Memang tak jarang aku menangkap tatapan tak biasa darinya jika kami sedang bekerja. Aku merasa Roy sering diam-diam memperhatikanku, namun aku tak terlalu ambil pusing karena duniaku dan fokusku hanya selalu pada atasanku sekaligus mantan kekasihku, Fahry Aditama.Aku juga tau jika Mas Fahry dan Roy berteman, Roy bisa dengan santainya saling menyapa lu gue dengan Mas Fahry yang notabene adalah atasan kami di perusahaan.Maka kedatangannya ke rumah sakit dan mengurus semua administrasi kepulanganku sempat membuatku her
Awalnya kehadiran bayi dalam rahimku ini ingin kujadikan alat untuk menjebak Mas Fahry, namun ternyata semua tak berjalan sesuai rencanaku. Tindakan Mas Fahry yang menganiayaku dan Indah membuatku membuka mata bahwa lelaki itu sungguh tak lagi menginginkanku. Selama mengenalnya, aku belum pernah melihat lelaki yang kucintai itu semarah itu, apalagi menyakiti fisik wanita. Maka aku merasa sia-sia semua yang sudah kurencanakan.Benih yang tertanam di rahimku, benih hasil affairku dengan Mr. Adam ternyata tak dapat kujadikan alat untuk menjebak Mas Fahry. Meski aku sempat merasa senang saat beberapa kali Mas Fahry diam-diam mengunjungiku ke rumah sakit, memberi perhatian dengan menyuapiku. Namun ternyata itu semua dilakukannya hanya karena perasaan bersalahnya padaku karena telah mengangaiayaku.“Terima kasih atas perhatianmu, Mas,” ucapku saat itu sambil berkaca-kaca.Namun jawaban Mas Fahry sungguh membuat hatikun terluka.“Tak perlu berterima kasih. Jika saja kamu tidak dalam kondisi
Aku membanting ponselku ketika Mas Hasan sengaja memprovokasiku lewat telepon. Suara isakan tangis dari ruang tengah membuatku membuka pintu kamar. Di sana, di sofa itu, ibu Mas Fahry terlihat mengangis terisak-isak. Kurasa ia begitu menglhawatirkan Khanza, cucu kesayangannya. Rasa bersalah seketika memenuhi dadaku, jika benar Mas Hasan yang telah menculik Khanza, maka bagaimana pun aku adalah penyebabnya. Mas Fahry dan Tania sendiri belum terlihat, padahal tadinya kupikir mereka akan segera pulang dari Bali begitu mendengar berita mengenai hilangnya Khanza.Sosok wanita tua renta yang sedang menangis itu sungguh membuatku merasa sangat bersalah. Ibu Mas Fahry adalah satu-satunya orang yang terlihat tulus menerima kehadiranku di rumah ini. Tania dan Mas Fahry sendiri terkesan sangat cuek dan tak pernah menganggapku ada. Perlakuan dan perhatian Ibu Mas Fahry selalu mengingatkanku pada ibuku.Perlahan kuhampiri beliau.“Ibu istirahat dulu, ya,” ucapku ragu.Ibu menoleh padaku.“Tidak, N
Aku menoleh pada sahabat Mas Fahry ini. Dulu, saat aku masih menjadi kekasih Mas Fahry, tak jarang ia mengajakku ketika sedang berkumpul bersama sahabat-sahabatnya, termasuk salah satunya Gibran, sahabat Mas Fahry yang tinggal di Bandung dan berprofesi sebagai dokter.“Kamu ada hubungan dengan Nilam, Gib?” tanyaku.“Iya, Sya. Aku bahkan sudah berniat menikahinya?”Entah kenapa ada rasa sesak di dadaku. Kenapa kedua kakak beradik itu dengan gampangnya bisa menaklukkan lelaki yang baik seperti Mas Fahry dan Gibran? Sedangkan aku? Aku kini bahkan dicap perempuan murahan karena mengandung anak dari pria lain.“Ada apa, Sya?” Gibran sepertinya melihat ekspresi terkejutku.“Apa kamu tau seperti apa latar belakang Nilam, Gib? Gadis itu pernah menjalin hubungan gelap dengan suamiku.”“Aku tau. Bahkan karena kasus menyekap Nilam lah suamimu kemarin berurusan dengan kepolisian dan ditahan.”“Tapi kenapa kamu masih menerimanya?”“Dia tak seburuk yang ada dalam pikiranmu, Sya. Dia hanya terjebak
Mas Fahry semakin jahil, sesekali ia menggenggam tanganku dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang setir. Sesekali pula ia bersenandung lalu kemudian mengedipkan matanya padaku, lengkap dengan senyum manisnya. Dalam hati aku mengucap terima kasih pada Mbak Tania, tanpa amanah darinya, tanpa harta paling berharga yang ditinggalkannya ini, mungkin seumur hidup aku tak akan pernah merasakan kebahagiaan seperti ini.Sesungguhnya Allah sebaik-baiknya penulis skenario. Jika saja aku tak menikah dengan Mas Fahry, mungkin aku akan menjadi wanita paling nelangsa karena tak bisa memiliki anak. Namun lihatlah apa yang kumiliki sekarang? Suami yang penyayang, anak-anak yang sehat dan ceria yang tak lain adalah keponakanku sendiri. Maka tak ada jarak apa pun yang menghalangi kasih sayangku pada Khanza dan Ghazy, anak-anak Mbak Tania. Aku menengok sekilas ke belakang, tersenyum pada Ghazy yang menggumamkan panggilannya saat aku tersenyum padanya.“Mama,” sapa bocah itu tersenyum. A
Sejak vonis tak bisa hamil dari dr. Sovia padaku, aku merasa Mas Fahry setiap hari semakin perhatian. Hal-hal sekecil apapun dilakukannya untukku. Kadang di saat aku masih sibuk menyiapkan sarapan pagi, ternyata ia berinisiatif memandikan Ghazy, atau hanya sekedar merapikan kamar jika Baby Ghazy masih tertidur. Tak jarang pula ia menelepon di siang hari dan mengatakan agar aku tak usah terlalu sibuk di dapur, dan sesaat kemudian ia menyuruh kurir mengantar berbagai menu makanan ke rumah kami. Kalimat-kalimat ajaibnya juga hampir setiap hari terdengar olehku.“Jangan terlalu capek, Dek.”“Kamu baik-baik saja kan, Dek?”“Mama Ghazy mau makan apa hari ini?”“Kalau bawa mobil hati-hati ya, Dek. Kalau capek mending pesan transportasi online.”“Mas pesan ART dari yayasan ya, untuk bantu-bantu kerjaan rumah.”Dan masih banyak lagi kalimat-kalimatnya yang lain yang membuatku seolah menjadi ratu di rumah ini. terkadang aku hanya tersenyum melihat tingkahnya. Sesekali aku memprotes jika merasa
Pagi ini aku bangun dengan wajah pucat, tapi masih tetap menjalankan tugasku menyiapkan sarapan untuk keluarga kecil kami, dan menyiapkan semua perlengkapan kerja Mas Fahry.“Kamu pucat sekali, Nak.” Ibu menegurku saat aku sedang sibuk di dapur.“Iya, Bu,” jawabku singkat.“Nilam sakit, Nak?”“Nggak, Bu. Biasa, penyakit bulanan.”“Nilam lagi haid?”“Iya, Bu.”Ibu dan bahkan Mas Fahry memang sudah hapal dengan kebiasaanku. Setiap bulan, saat sedang haid, aku akan selalu terlihat pucat dan tak bersemangat. Ini memang sudah menjadi penyakitku sejak masih gadis dulu. Masa-masa haid selalu membuatku tersiksa, sakit perut dan pucat serta lemas.“Sebaiknya Nak Nilam sesekali memeriksakan diri ke dokter.”“Ah, nggak perlu, Bu. Nilam udah terbiasa. Nanti juga sembuh sendiri.”“Tak ada salahnya mencoba, Nak. Ibu hanya khawatir, soalnya Nilam kalau sedang haid selalu seperti ini.”“Nilam nggak apa-apa, Bu.”Aku masih berusaha meyakinkan ibu, sementara Mas Fahry dan Khanza tak berkomentar apa-apa
Kini hampir enam bulan sudah usia pernikahanku dan Mas Fahry. Setelah ia mendengar pengakuan perasaanku waktu itu di depan pusara Mbak Tania, aku tau pria itu juga semakin berusaha untuk mencintaiku, meski aku tau jauh di dalam hatinya masih nama Mbak Tania lah yang bertahta. Aku pun tak menuntut banyak. Bagiku, cukuplah dengan dia tak memiliki wanita lain dan selalu memperhatikan kebutuhanku dan anak-anak, itu semua sudah cukup.Dan ternyata Mas Fahry memenuhi semuanya. Ia bahkan membelikan sebuah mobil untukku, yang sehari-harinya kugunakan untuk mengantar jemput Khanza yang kini sudah mulai bersekolah di jenjang PAUD. Jatah uang bulanan pun selalu tepat waktu dan tak pernah berkurang. Bahkan saat aku memprotes padanya karena merasa ia terlalu banyak memberikan nafkah bulanan, Mas Fahry hanya beralasan jika itu semua tak seberapa jika dibanding dengan pengabdianku padanya, terutama menjaga anak-anak dan juga merawat ibu yang kini mulai sakit-sakitan.Mas Fahry juga sering mengajakk
“Kenapa-kenapa gimana maksud Mas?”“Ngomong sendiri tadi, panjang lebar lagi.”“Hah? Mas Fahry dengar?”Ia kembali mengacak rambutku, lalu menghela napas dalam-dalam.“Mas dengar semuanya, Dek. Makanya lain kali kalau bicara di depan pusara gini dalam hati saja. Bukan kayak tadi seolah-olah sedang berhadapan langsung dengan Tania.”“Ehm ... Mas Fahry dengar apa?” Aku penasaran.“Dengar ungkapan perasaan dari seorang gadis yang kini tiba-tiba saja sudah dewasa.”Aku salah tingkah. Bagaimana ini? Dia mendengar aku mengakui perasaanku padanya di hadapan pusara istrinya. Pipiku mendadak terasa panas. Mas Fahry meraih tanganku, menyatukan jemarinya dengan jemariku. Kini kami berdua berdiri bergenggaman tangan di depan pusara Mbak Tania.“Kamu lihat, Tania ... adik kecilmu ini udah dewasa sekarang. Dia sudah bisa jadi mama yang baik bagi Ghazy. Juga sudah bisa ... jadi istri yang memuaskan suami.” Kalimat terakirnya setengah berbisik. Aku mencubit pinggangnya.“Ayo pulang.”“Nilam bawa moto
Pagi ini aku terbangun dengan mata seperti berpasir dan juga bengkak. Semalaman tadi aku memang tak bisa memejamkan mata dan baru tertidur beberapa jam sebelum azan Subuh berkumandang. Kejadian semalam membuat rasa kantukku menguap entah ke mana, selain karena rasa tak nyaman pada pusat tubuhku akibat hubungan semalam, gumaman Mas Fahry setelahnya juga sangat mengganggu pikiranku. Bagaimana mungkin aku menyerahkan mahkotaku pada lelaki yang menggumankan nama lain setelahnya, meskipun itu adalah nama kakakku sendiri. Ada rasa nyeri di ulu hatiku. Apakah aku telah salah melakukan ini?Mas Fahry tersenyum simpul saat berpapasan denganku saat ia baru saja pulang dari mesjid untuk menunaikan salah subuh. Kulihat ia memperhatikan wajahku sesaat. Aku segera menunduk, menyembunyikan mataku yang terasa panas dan bengkak akibat.“Nggak perlu malu-malu gitu, Dek. Nanti juga terbiasa,” ucapnya padaku, sambil mencolek daguku yang masih menunduk.Bukan, Mas. Aku bukan sedang malu, toh apa yang kita
“Udah?” tanyanya.“Iya.” Aku terkekeh.“Awas kamu, ya. Nanti malam Mas hukum.”“Kalau gitu sebelum Mas pulang mending Nilam balik ke rumah ayah aja, dari pada dihukum.”“Ehhh, jangan dong! Hukumannya hukuman enak kok.” Ia menggerakkan alisnya naik turun.Aku bergidik saat memahami maksud dari kalimatnya tadi.“Udah ah. Katanya banyak kerjaan.”“Kamu sih aneh-aneh aja sampai video call segala. Oiya, anak-anak mana, Dek?”“Nih, lagi main puzzle.” Kuarahkan kamera ponselku pada Khanza dan Ghazy yang tengah bermain.Masa Fahry pun menyapa anak-anak satu persatu sebelum memutuskan sambungan telepon.***Aku memilih duduk di sofa sambil membaca novel sambil menunggu Mas Fahry pulang. Ghazy sendiri sudah tertidur pulas setelah menghabiskan dua botol susu formula tadi. Jika biasanya aku dengan acuh tidur di samping Ghazy dan tak menunggu jika Mas Fahry pulang malam, tapi entah kenapa hari ini aku begitu menantikan kepulangannya. Kejadian semalam dimana ia melakukan sentuhan fisik yang memabuk
Aku sedang merapikan beberapa barang-barang Mbak Tania dari lemari saat ibu memanggilku. Ya, aku baru berani merapikan beberapa barang Mbak Tania setelah kemarin Mas Fahry melepas pigura foto mereka di dinding kamar. Kurasa mungkin benar apa kata Mas Fahry kemarin, meski dia belum bisa melupakan Mbak Tania, dan aku pun masih merasa risih dengan statusku saat ini, tapi hidup kami akan terus berjalan. Aku sudah menjadi istri sah Mas Fahry, anak-anak pun akan semakin bertumbuh besar dalam pengasuhanku. Kurasa pelan-pelan aku juga harus menata hidup dan menata hati. Bukankah ini juga amanah dari Mbak Tania padaku untuk mengawasi anak-anaknya setelah kepergiannya? Meskipun Mbak Tania tak pernah memintaku untuk menggantikan perannya sebagai istri Mas Fahry, namun ternyata sekarang takdir telah membawaku ke sini, ke kamar ini, menggantikan peran Mbak Tania menjaga anak-anaknya dan sekaligus menjadi istri dari Mas Fahry.“Iya, ada apa, Bu?” tanyaku saat ibu memanggilku dari depan pintu kamar.
“Lepas, Mas. Aku mau mandiin Ghazy!”“Jawab dulu, Dek. Mas boleh ketemu Nasya hari ini?”“Mas mau ajak Khanza?”“Nggak lah, Dek. Mas nggak mungkin kabulkan permintaan Khanza tadi. Ini benar-benar urusan kerjaan, bukan urusan pribadi.”“Terserah kamu, Mas! Lepaskan, aku mau mandiin Ghazy.” Kali ini aku sendiri yang melepas tangannya dari pinggangku.Mas Fahry menghela napas kasar, kemudian memperhatikan saat aku mulai membuka pakaian Baby Ghazy satu persatu untuk kumandikan.“Ngapain senyum-senyum?” tanyaku dengan kening mengeryit ketika melihat Mas Fahry tersenyum.“Mas sedang bayangin kalau Mas yang dibukain pakaiannya seperti itu sama kamu.” Ia terkekeh.Dasar nggak ada akhlak! Batinku. Seenaknya saja lelaki ini mengucapkan guyonan tanpa berpikir apa akibatnya. Tak taukah dia kalimatnya barusan berhasil membuat wajahku panas, kurasa saat ini wajahku sudah seperti kepiting rebus. Dan masih dengan tak punya perasaan lelaki itu justru membuatku semakin merona.“Kapan bisa praktekin sep