Aku membanting ponselku ketika Mas Hasan sengaja memprovokasiku lewat telepon. Suara isakan tangis dari ruang tengah membuatku membuka pintu kamar. Di sana, di sofa itu, ibu Mas Fahry terlihat mengangis terisak-isak. Kurasa ia begitu menglhawatirkan Khanza, cucu kesayangannya. Rasa bersalah seketika memenuhi dadaku, jika benar Mas Hasan yang telah menculik Khanza, maka bagaimana pun aku adalah penyebabnya. Mas Fahry dan Tania sendiri belum terlihat, padahal tadinya kupikir mereka akan segera pulang dari Bali begitu mendengar berita mengenai hilangnya Khanza.Sosok wanita tua renta yang sedang menangis itu sungguh membuatku merasa sangat bersalah. Ibu Mas Fahry adalah satu-satunya orang yang terlihat tulus menerima kehadiranku di rumah ini. Tania dan Mas Fahry sendiri terkesan sangat cuek dan tak pernah menganggapku ada. Perlakuan dan perhatian Ibu Mas Fahry selalu mengingatkanku pada ibuku.Perlahan kuhampiri beliau.“Ibu istirahat dulu, ya,” ucapku ragu.Ibu menoleh padaku.“Tidak, N
Aku menoleh pada sahabat Mas Fahry ini. Dulu, saat aku masih menjadi kekasih Mas Fahry, tak jarang ia mengajakku ketika sedang berkumpul bersama sahabat-sahabatnya, termasuk salah satunya Gibran, sahabat Mas Fahry yang tinggal di Bandung dan berprofesi sebagai dokter.“Kamu ada hubungan dengan Nilam, Gib?” tanyaku.“Iya, Sya. Aku bahkan sudah berniat menikahinya?”Entah kenapa ada rasa sesak di dadaku. Kenapa kedua kakak beradik itu dengan gampangnya bisa menaklukkan lelaki yang baik seperti Mas Fahry dan Gibran? Sedangkan aku? Aku kini bahkan dicap perempuan murahan karena mengandung anak dari pria lain.“Ada apa, Sya?” Gibran sepertinya melihat ekspresi terkejutku.“Apa kamu tau seperti apa latar belakang Nilam, Gib? Gadis itu pernah menjalin hubungan gelap dengan suamiku.”“Aku tau. Bahkan karena kasus menyekap Nilam lah suamimu kemarin berurusan dengan kepolisian dan ditahan.”“Tapi kenapa kamu masih menerimanya?”“Dia tak seburuk yang ada dalam pikiranmu, Sya. Dia hanya terjebak
PoV TaniaKeberadaan Khanza di apartemen Nasya membuatku yang tadinya meragukan jika Nasya terlibat dalam hilangnya Khanza meradang. Bukan karena keadaan Khanza yang diculiknya dari rumah. Bukan. Toh kulihat di sana Khanza justru sedang tertidur lelap di sofa bersama Nasya. Namun yang membuatku meradang adalah apa sebenarnya yang direncanakan wanita itu, perbuatannya menculik Khanza sudah membuatku dan Mas Fahry yang tengah berada di Bali sungguh dilanda kepanikan yang luar biasa. Belum lagi kesedihan dan kepanikan ibu ketika tau cucunya menghilang.Kurasa Nasya benar-benar tak punya perasaan, dia bahkan tak bersyukur bahwa aku masih mau menerimanya di rumah kami untuk melindunginya dari suaminya. Apa mata hati wanita itu sudah benar-benar dibutakan oleh cintanya pada Mas Fahry? Apa ia melakukan ini hanya untuk memancingku dan Mas Fahry untuk segera pulang dari bulan madu kami? Sungguh, apa pun alasan Nasya melakukan ini, aku sudah terlanjur marah pada wanita itu.“A-apa yang terjadi?
Ya, kami berdua memang masih dalam keadaan syok. Semalam, di tengah hujan badai yang terjadi di Kota Denpasar, kami berdua hanya bisa berpelukan sambil merapal doa berharap putri kami baik-baik saja. Mas Fahry bahkan dengan air mata berlinang meminta maaf berkali-kali padaku karena merasa tak bisa melindungi Nasya, berkali-kali juga kudengar ia menggumamkan kata maaf pada Mas Farhan atas kelalaiannya. Kami berdua benar-benar melalui malam panjang dengan pikiran masing-masing, dengan doa masing-masing.Maka, ketika aku tadi menangkap tatapan marahnya pada Nasya saat kami berhasil masuk ke apartemennya dan mendapati Khanza di sini, kurasa sangat wajar Mas Fahry marah. Bahkan mungkin jika Nasya tidak sedang dalam kondisi hamil, bukan tidak mungkin ia akan kembali menyakiti mantan kekasihnya itu.Aku tak ingin berlama-lama di sini. Keberadaan Khanza yang sudah aman dalam pelukan Mas Fahry kurasa cukup. Aku takut tak bisa mengendalikan emosiku jika Nasya masih saja berkilah. Seumur hidupku
“Sedang apa, Sayang?” Suara Mas Fahry mengejutkanku.“A-aku sedang membereskan barang-barang Nasya. Nanti akan kuserahkan pada Roy.”Mata Mas Fahry menatap ke arah tanganku yang sedang memegang ponsel Nasya.“Kamu membuka ponselnya? Untuk apa, Tania? Itu pasti akan menyakitimu. Nasya pasti masih menyimpan banyak hal tentangku di situ.”Rupanya Mas Fahry pun tau jika ponsel Nasya masih berisi semua tentangnya.“Tania, jangan pedulikan Nasya. Dia masih akan tetap seperti itu. Kamu hanya perlu percaya padaku. Jangan terpengaruh lagi dengan apapun yang dilakukan Nasya.”Aku mengangguk. Mbak Linda juga sudah pernah memperingatiku mengenai hal ini beberapa hari yang lalu ketika aku berkonsultasi padanya. Ya, aku masih intens berkonsultasi padanya agar hati dan mentalku bisa lebih siap menghadapi semua kegilaan Nasya, termasuk hal-hal seperti ini.“Tak mudah memang berada di posisimu Mbak Tania, tapi kurasa komitmen yang kuat di antara kalian lah yang akan bisa menguatkanmu. Tidak sedikit ko
Aku keluar dari kamar tamu setelah membereskan semua barang-barang Nasya. Ada rasa lega memenuhi hatiku mengingat aku telah menghapus video dan beberapa foto di galeri tersembunyinya tadi. Mas Fahry sendiri sudah lebih dulu meninggalkan kamar tamu setelah ulahnya tadi yang membuat bibirku terasa membengkak.“Itu apa, Nak?” Ibu bertanya saat melihat aku membawa paper bag keluar dari kamar Nasya.“Barang-barang Nasya, Bu. Tania akan menyuruh Roy, teman Mas Fahry, untuk mengantarkannya pada pemiliknya.”“Nasya enggak akan tinggal di sini lagi?”Aku menautkan alisku ketika mendengar ibu bertanya.“Tania tak akan mengizinkan dia ke rumah ini lagi, Bu. Apalagi untuk tinggal di sini.”“Tapi bagaimana dengan ancaman suaminya, Nak?”Alisku kembali bertaut. Kenapa ibu terlihat mengkhawatirkan Nasya?“Bukan urusan kita lagi, Bu. Tania dan Mas Fahry sudah berusaha membantunya, tapi ternyata dia malah membalas dengan menculik Khanza.”“Maafkan Ibu, Nak. Ibu bukan mau membela Nasya, tapi Ibu rasa a
“Karena Khanza anak istimewa, Nak. Allah memberikan Khanza dua orang ayah yang sama baiknya, yang sama hebatnya, yang sama-sama menyayangi Khanza.”“Tapi siapa yang duluan jadi ayah Khanza, Bun?”“Ayah Farhan adalah ayah pertama bagi Khanza, Nak. Kemudian saat ayah Farhan meninggalkan kita, ayah Fahry menggantikannya menjadi ayah bagi Khanza.”“Jadi ayah Fahry bukan ayah yang sebenarnya?”“Dua-duanya ayah Khanza, Nak. Maka Khanza harus bersyukur pada Allah. Khanza harus banyak mendoakan ayah Farhan yang sudah meninggal, karena hanya doa Khanza lah yang bisa menemani ayah Farhan di alam sana. Tapi Khanza juga harus berbakti pada ayah Fahry karena kini dia lah yang ada di samping Khanza dan melindungi Khanza. Kelak saat kamu sudah dewasa kamu akan mengerti dengan sendirinya, Nak.”Khanza masih berceloteh dan menggumam sendiri, seolah masih belum menerima jika Mas Fahry adalah ayahnya karena aku tadi mengatakan jika Mas Farhan lah ayahnya yang pertama.Dia ayahmu, Nak. Ayah yang selalu m
PoV NasyaHari ini weekend tiba, suara bell di depan pintu tak membuatku tergerak untuk membuka pintu. Aku memilih tetap duduk di sofa ruang keluarga rumahku sambil membaca novel roman yang belakangan kukoleksi demi membunuh waktu. Bukan tanpa sebab aku memilih bergeming dan menunggu Bik Inah yang membuka pintu, karena aku sudah tau siapa yang ada di sana, itu pasti Roy, rekan kerjaku di perusahaan yang belakangan ini rutin mengunjungiku di saat ia sedang libur.Dia adalah satu-satunya orang yang tersisa yang mau memberi perhatian padaku. Kuakui, dia lelaki yang baik, perhatian dan kepeduliannya disaat aku tak memiliki siapa pun terkadang membuatku terharu. Namun, hanya sebatas rasa haru. Tak ada perasaan apa pun selain itu. Meski telah beberapa kali Roy mengungkapkan perasaannya padaku, juga menawarkan hubungan yang lebih serius agar dia dapat menjagaku lebih intens lagi namun aku menolak semuanya. Hebatnya, meski telah berkali-kali kutolak, tapi lelaki itu tak pernah menyerah dan t
Mas Fahry semakin jahil, sesekali ia menggenggam tanganku dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang setir. Sesekali pula ia bersenandung lalu kemudian mengedipkan matanya padaku, lengkap dengan senyum manisnya. Dalam hati aku mengucap terima kasih pada Mbak Tania, tanpa amanah darinya, tanpa harta paling berharga yang ditinggalkannya ini, mungkin seumur hidup aku tak akan pernah merasakan kebahagiaan seperti ini.Sesungguhnya Allah sebaik-baiknya penulis skenario. Jika saja aku tak menikah dengan Mas Fahry, mungkin aku akan menjadi wanita paling nelangsa karena tak bisa memiliki anak. Namun lihatlah apa yang kumiliki sekarang? Suami yang penyayang, anak-anak yang sehat dan ceria yang tak lain adalah keponakanku sendiri. Maka tak ada jarak apa pun yang menghalangi kasih sayangku pada Khanza dan Ghazy, anak-anak Mbak Tania. Aku menengok sekilas ke belakang, tersenyum pada Ghazy yang menggumamkan panggilannya saat aku tersenyum padanya.“Mama,” sapa bocah itu tersenyum. A
Sejak vonis tak bisa hamil dari dr. Sovia padaku, aku merasa Mas Fahry setiap hari semakin perhatian. Hal-hal sekecil apapun dilakukannya untukku. Kadang di saat aku masih sibuk menyiapkan sarapan pagi, ternyata ia berinisiatif memandikan Ghazy, atau hanya sekedar merapikan kamar jika Baby Ghazy masih tertidur. Tak jarang pula ia menelepon di siang hari dan mengatakan agar aku tak usah terlalu sibuk di dapur, dan sesaat kemudian ia menyuruh kurir mengantar berbagai menu makanan ke rumah kami. Kalimat-kalimat ajaibnya juga hampir setiap hari terdengar olehku.“Jangan terlalu capek, Dek.”“Kamu baik-baik saja kan, Dek?”“Mama Ghazy mau makan apa hari ini?”“Kalau bawa mobil hati-hati ya, Dek. Kalau capek mending pesan transportasi online.”“Mas pesan ART dari yayasan ya, untuk bantu-bantu kerjaan rumah.”Dan masih banyak lagi kalimat-kalimatnya yang lain yang membuatku seolah menjadi ratu di rumah ini. terkadang aku hanya tersenyum melihat tingkahnya. Sesekali aku memprotes jika merasa
Pagi ini aku bangun dengan wajah pucat, tapi masih tetap menjalankan tugasku menyiapkan sarapan untuk keluarga kecil kami, dan menyiapkan semua perlengkapan kerja Mas Fahry.“Kamu pucat sekali, Nak.” Ibu menegurku saat aku sedang sibuk di dapur.“Iya, Bu,” jawabku singkat.“Nilam sakit, Nak?”“Nggak, Bu. Biasa, penyakit bulanan.”“Nilam lagi haid?”“Iya, Bu.”Ibu dan bahkan Mas Fahry memang sudah hapal dengan kebiasaanku. Setiap bulan, saat sedang haid, aku akan selalu terlihat pucat dan tak bersemangat. Ini memang sudah menjadi penyakitku sejak masih gadis dulu. Masa-masa haid selalu membuatku tersiksa, sakit perut dan pucat serta lemas.“Sebaiknya Nak Nilam sesekali memeriksakan diri ke dokter.”“Ah, nggak perlu, Bu. Nilam udah terbiasa. Nanti juga sembuh sendiri.”“Tak ada salahnya mencoba, Nak. Ibu hanya khawatir, soalnya Nilam kalau sedang haid selalu seperti ini.”“Nilam nggak apa-apa, Bu.”Aku masih berusaha meyakinkan ibu, sementara Mas Fahry dan Khanza tak berkomentar apa-apa
Kini hampir enam bulan sudah usia pernikahanku dan Mas Fahry. Setelah ia mendengar pengakuan perasaanku waktu itu di depan pusara Mbak Tania, aku tau pria itu juga semakin berusaha untuk mencintaiku, meski aku tau jauh di dalam hatinya masih nama Mbak Tania lah yang bertahta. Aku pun tak menuntut banyak. Bagiku, cukuplah dengan dia tak memiliki wanita lain dan selalu memperhatikan kebutuhanku dan anak-anak, itu semua sudah cukup.Dan ternyata Mas Fahry memenuhi semuanya. Ia bahkan membelikan sebuah mobil untukku, yang sehari-harinya kugunakan untuk mengantar jemput Khanza yang kini sudah mulai bersekolah di jenjang PAUD. Jatah uang bulanan pun selalu tepat waktu dan tak pernah berkurang. Bahkan saat aku memprotes padanya karena merasa ia terlalu banyak memberikan nafkah bulanan, Mas Fahry hanya beralasan jika itu semua tak seberapa jika dibanding dengan pengabdianku padanya, terutama menjaga anak-anak dan juga merawat ibu yang kini mulai sakit-sakitan.Mas Fahry juga sering mengajakk
“Kenapa-kenapa gimana maksud Mas?”“Ngomong sendiri tadi, panjang lebar lagi.”“Hah? Mas Fahry dengar?”Ia kembali mengacak rambutku, lalu menghela napas dalam-dalam.“Mas dengar semuanya, Dek. Makanya lain kali kalau bicara di depan pusara gini dalam hati saja. Bukan kayak tadi seolah-olah sedang berhadapan langsung dengan Tania.”“Ehm ... Mas Fahry dengar apa?” Aku penasaran.“Dengar ungkapan perasaan dari seorang gadis yang kini tiba-tiba saja sudah dewasa.”Aku salah tingkah. Bagaimana ini? Dia mendengar aku mengakui perasaanku padanya di hadapan pusara istrinya. Pipiku mendadak terasa panas. Mas Fahry meraih tanganku, menyatukan jemarinya dengan jemariku. Kini kami berdua berdiri bergenggaman tangan di depan pusara Mbak Tania.“Kamu lihat, Tania ... adik kecilmu ini udah dewasa sekarang. Dia sudah bisa jadi mama yang baik bagi Ghazy. Juga sudah bisa ... jadi istri yang memuaskan suami.” Kalimat terakirnya setengah berbisik. Aku mencubit pinggangnya.“Ayo pulang.”“Nilam bawa moto
Pagi ini aku terbangun dengan mata seperti berpasir dan juga bengkak. Semalaman tadi aku memang tak bisa memejamkan mata dan baru tertidur beberapa jam sebelum azan Subuh berkumandang. Kejadian semalam membuat rasa kantukku menguap entah ke mana, selain karena rasa tak nyaman pada pusat tubuhku akibat hubungan semalam, gumaman Mas Fahry setelahnya juga sangat mengganggu pikiranku. Bagaimana mungkin aku menyerahkan mahkotaku pada lelaki yang menggumankan nama lain setelahnya, meskipun itu adalah nama kakakku sendiri. Ada rasa nyeri di ulu hatiku. Apakah aku telah salah melakukan ini?Mas Fahry tersenyum simpul saat berpapasan denganku saat ia baru saja pulang dari mesjid untuk menunaikan salah subuh. Kulihat ia memperhatikan wajahku sesaat. Aku segera menunduk, menyembunyikan mataku yang terasa panas dan bengkak akibat.“Nggak perlu malu-malu gitu, Dek. Nanti juga terbiasa,” ucapnya padaku, sambil mencolek daguku yang masih menunduk.Bukan, Mas. Aku bukan sedang malu, toh apa yang kita
“Udah?” tanyanya.“Iya.” Aku terkekeh.“Awas kamu, ya. Nanti malam Mas hukum.”“Kalau gitu sebelum Mas pulang mending Nilam balik ke rumah ayah aja, dari pada dihukum.”“Ehhh, jangan dong! Hukumannya hukuman enak kok.” Ia menggerakkan alisnya naik turun.Aku bergidik saat memahami maksud dari kalimatnya tadi.“Udah ah. Katanya banyak kerjaan.”“Kamu sih aneh-aneh aja sampai video call segala. Oiya, anak-anak mana, Dek?”“Nih, lagi main puzzle.” Kuarahkan kamera ponselku pada Khanza dan Ghazy yang tengah bermain.Masa Fahry pun menyapa anak-anak satu persatu sebelum memutuskan sambungan telepon.***Aku memilih duduk di sofa sambil membaca novel sambil menunggu Mas Fahry pulang. Ghazy sendiri sudah tertidur pulas setelah menghabiskan dua botol susu formula tadi. Jika biasanya aku dengan acuh tidur di samping Ghazy dan tak menunggu jika Mas Fahry pulang malam, tapi entah kenapa hari ini aku begitu menantikan kepulangannya. Kejadian semalam dimana ia melakukan sentuhan fisik yang memabuk
Aku sedang merapikan beberapa barang-barang Mbak Tania dari lemari saat ibu memanggilku. Ya, aku baru berani merapikan beberapa barang Mbak Tania setelah kemarin Mas Fahry melepas pigura foto mereka di dinding kamar. Kurasa mungkin benar apa kata Mas Fahry kemarin, meski dia belum bisa melupakan Mbak Tania, dan aku pun masih merasa risih dengan statusku saat ini, tapi hidup kami akan terus berjalan. Aku sudah menjadi istri sah Mas Fahry, anak-anak pun akan semakin bertumbuh besar dalam pengasuhanku. Kurasa pelan-pelan aku juga harus menata hidup dan menata hati. Bukankah ini juga amanah dari Mbak Tania padaku untuk mengawasi anak-anaknya setelah kepergiannya? Meskipun Mbak Tania tak pernah memintaku untuk menggantikan perannya sebagai istri Mas Fahry, namun ternyata sekarang takdir telah membawaku ke sini, ke kamar ini, menggantikan peran Mbak Tania menjaga anak-anaknya dan sekaligus menjadi istri dari Mas Fahry.“Iya, ada apa, Bu?” tanyaku saat ibu memanggilku dari depan pintu kamar.
“Lepas, Mas. Aku mau mandiin Ghazy!”“Jawab dulu, Dek. Mas boleh ketemu Nasya hari ini?”“Mas mau ajak Khanza?”“Nggak lah, Dek. Mas nggak mungkin kabulkan permintaan Khanza tadi. Ini benar-benar urusan kerjaan, bukan urusan pribadi.”“Terserah kamu, Mas! Lepaskan, aku mau mandiin Ghazy.” Kali ini aku sendiri yang melepas tangannya dari pinggangku.Mas Fahry menghela napas kasar, kemudian memperhatikan saat aku mulai membuka pakaian Baby Ghazy satu persatu untuk kumandikan.“Ngapain senyum-senyum?” tanyaku dengan kening mengeryit ketika melihat Mas Fahry tersenyum.“Mas sedang bayangin kalau Mas yang dibukain pakaiannya seperti itu sama kamu.” Ia terkekeh.Dasar nggak ada akhlak! Batinku. Seenaknya saja lelaki ini mengucapkan guyonan tanpa berpikir apa akibatnya. Tak taukah dia kalimatnya barusan berhasil membuat wajahku panas, kurasa saat ini wajahku sudah seperti kepiting rebus. Dan masih dengan tak punya perasaan lelaki itu justru membuatku semakin merona.“Kapan bisa praktekin sep