Aku keluar dari kamar tamu setelah membereskan semua barang-barang Nasya. Ada rasa lega memenuhi hatiku mengingat aku telah menghapus video dan beberapa foto di galeri tersembunyinya tadi. Mas Fahry sendiri sudah lebih dulu meninggalkan kamar tamu setelah ulahnya tadi yang membuat bibirku terasa membengkak.“Itu apa, Nak?” Ibu bertanya saat melihat aku membawa paper bag keluar dari kamar Nasya.“Barang-barang Nasya, Bu. Tania akan menyuruh Roy, teman Mas Fahry, untuk mengantarkannya pada pemiliknya.”“Nasya enggak akan tinggal di sini lagi?”Aku menautkan alisku ketika mendengar ibu bertanya.“Tania tak akan mengizinkan dia ke rumah ini lagi, Bu. Apalagi untuk tinggal di sini.”“Tapi bagaimana dengan ancaman suaminya, Nak?”Alisku kembali bertaut. Kenapa ibu terlihat mengkhawatirkan Nasya?“Bukan urusan kita lagi, Bu. Tania dan Mas Fahry sudah berusaha membantunya, tapi ternyata dia malah membalas dengan menculik Khanza.”“Maafkan Ibu, Nak. Ibu bukan mau membela Nasya, tapi Ibu rasa a
“Karena Khanza anak istimewa, Nak. Allah memberikan Khanza dua orang ayah yang sama baiknya, yang sama hebatnya, yang sama-sama menyayangi Khanza.”“Tapi siapa yang duluan jadi ayah Khanza, Bun?”“Ayah Farhan adalah ayah pertama bagi Khanza, Nak. Kemudian saat ayah Farhan meninggalkan kita, ayah Fahry menggantikannya menjadi ayah bagi Khanza.”“Jadi ayah Fahry bukan ayah yang sebenarnya?”“Dua-duanya ayah Khanza, Nak. Maka Khanza harus bersyukur pada Allah. Khanza harus banyak mendoakan ayah Farhan yang sudah meninggal, karena hanya doa Khanza lah yang bisa menemani ayah Farhan di alam sana. Tapi Khanza juga harus berbakti pada ayah Fahry karena kini dia lah yang ada di samping Khanza dan melindungi Khanza. Kelak saat kamu sudah dewasa kamu akan mengerti dengan sendirinya, Nak.”Khanza masih berceloteh dan menggumam sendiri, seolah masih belum menerima jika Mas Fahry adalah ayahnya karena aku tadi mengatakan jika Mas Farhan lah ayahnya yang pertama.Dia ayahmu, Nak. Ayah yang selalu m
PoV NasyaHari ini weekend tiba, suara bell di depan pintu tak membuatku tergerak untuk membuka pintu. Aku memilih tetap duduk di sofa ruang keluarga rumahku sambil membaca novel roman yang belakangan kukoleksi demi membunuh waktu. Bukan tanpa sebab aku memilih bergeming dan menunggu Bik Inah yang membuka pintu, karena aku sudah tau siapa yang ada di sana, itu pasti Roy, rekan kerjaku di perusahaan yang belakangan ini rutin mengunjungiku di saat ia sedang libur.Dia adalah satu-satunya orang yang tersisa yang mau memberi perhatian padaku. Kuakui, dia lelaki yang baik, perhatian dan kepeduliannya disaat aku tak memiliki siapa pun terkadang membuatku terharu. Namun, hanya sebatas rasa haru. Tak ada perasaan apa pun selain itu. Meski telah beberapa kali Roy mengungkapkan perasaannya padaku, juga menawarkan hubungan yang lebih serius agar dia dapat menjagaku lebih intens lagi namun aku menolak semuanya. Hebatnya, meski telah berkali-kali kutolak, tapi lelaki itu tak pernah menyerah dan t
“Nasya, aku tak pernah mau ikut campur dengan masa lalu kalian. Aku tau kamu dan Fahry punya hubungan seperti apa dulunya, dan itu bukanlah urusanku. Namun sekarang menjadi urusanku ketika kamu masih menyimpan foto-foto mesra kalian dan bahkan video haram kalian di ponselmu. Lalu kamu akan selalu melihat itu, sementara Mas Fahry sekarang sudah menjadi suamiku. Kamu bahkan menggunakan videomu itu untuk mengancam suamiku dulu kan? Bagaimana mungkin aku tak ikut campur, Nasya?”Aku meraung, melempar ponselku ke dinding hingga benda itu pecah berkeping-keping. Tak ada gunanya berdebat dengan Tania yang selalu merasa dirinya benar. Tak ada gunanya juga aku masih memiliki ponsel itu, toh semua kenanganku yang ada di sana telah hilang.Saat itu Roy hanya menatapku iba. Roy, sekali lagi hanya Roy yang ada di saat aku merasa sudah tak sanggup lagi menghadapi semua masalahku. Ia dengan sabar membersihkan pecahan-pecahan ponselku. Bahkan beberapa hari kemudian membawakan ponsel baru untukku yang
PoV FahryJadwal pekerjaanku sangat padat hari ini. Setelah kembali memulai dari bawah karirku, aku tetap berusaha kembali menunjukkan prestasiku. Siang ini tim kami sedang melakukan survey lokasi pekerjaan yang dulunya adalah sebuah hotel bintang empat yang sudah menjadi rahasia umum jika hotel ini adalah tempat prostitusi yang banyak dihuni oleh para mahasiswi yang mencari pria-pria berkantong tebal. Hotel ini kemudian dibeli oleh seorang pengusaha yang kemudian ingin mengubahnya menjadi pusat perbelanjaan, tak lagi sebagai tempat bertransaksi maksiat.Setibanya tim kami di hotel yang ternyata masih beroperasi karena belum resmi berpindah tangan itu, beberapa gadis dengan pakaian minim segera menghampiri tim kami yang semuanya adalah lelaki. Memang tak ada lagi arsitek wanita di perusahaan kami sejak Nasya resign. Perusahaan pun bukan tak mencari tapi memang belum menemukan arsitek wanita yang secerdas Nasya. Harus kuakui, Nasya memang partner yang sangat menguntungkan dalam urusan
“Itu bukan salah gue, Roy. Gue juga udah minta Nasya untuk ngelupain gue.”“Tapi paling tidak bersimpati lah, Ry.”“Jadi mau lu gue harus apa?”“Hubungilah dia sesekali. Siapa tau dengan begitu jiwanya yang gersang bisa sedikit lebih segar. Gue benar-benar takut jika kondisi kejiwaannya makin parah.”Aku tetap berkelit, sementara Roy masih tetap membujukku untuk peduli pada Nasya. Sejujurnnya dalam hatiku ada perasaan tak tega mendengar cerita Roy, tapi aku juga tak mau salah melangkah lagi.Aku dan Roy serta beberapa rekanku menoleh saat pintu ruangan kami diketuk. Lalu sosok yang selalu kurindukan itu muncul di sana. Tania! Oh iya, aku baru ingat kalau tadi pagi aku menyuruhnya ke kantorku mengantar bubur kacang yang dibuatnya tadi pagi. Aku memang penyuka bubur kacang, namun belum sempat menikmati buatan Tania tadi saat atasanku menelpon dan menyuruhku datang lebih awal untuk persiapan kunjungan lapangan kami tadi. Maka aku meminta Tania untuk mengantarkan bubur kacangnya di jam is
PoV Tania“Kamu yakin dengan semua cerita Roy?” tanyaku saat Mas Fahry menceritakan mengenai kondisi Nasya yang didengarnya dari Roy.“Sepertinya Roy nggak bohong, Tan. Lagian untuk apa dia berbohong, tak ada untungnya buat dia. Kamu meragukannya?”“Entahlah, Mas. Mugkin karena sudah berkali-kali Nasya meneror dengan tipu muslihatnya, aku sudah sulit untuk percaya semua yang kudengar tentangnya.”“Ya udah, kamu nggak usah mikirin dia. Toh aku hanya menceritakan apa yang Roy bilang tadi.”Aku diam. Jika benar apa yang dikatakan Mas Fahry tadi, aku bisa membayangkan betapa tertekannya Nasya, padahal saat ini dia tengah dalam kondisi hamil. Aku prihatin. Tapi jika memandang wajah suamiku yang selama ini begitu mudahnya diperdaya oleh Nasya, entah mengapa aku masih khawatir. Mas Fahry terlalu baik, bahkan mungkin terlalu polos untuk menghadapi wanita yang punya banyak cara seperti Nasya. Mungkin kebersamaan mereka bertahun-tahun dulu lah yang membuat Mas Fahry waktu itu selalu luluh dan t
Ternyata beberapa hari setelahnya pekerjaan Mas Fahry makin padat. Di hari di mana aku memintanya untuk tidak pulang malam, ia justru pulang tengah malam. Aku masih terjaga saat ia dengan pelan mencium keningku dan berbisik maaf. Aku memilih pura-pura tertidur agar ia tak merasa bersalah, padahal aku baru bisa tertidur lelap setelah ia berbaring di sebelahku dan lengannya melingkar di pinggangku.Hari-hari berikutnya pekerjaannya juga padat. Sudah tiga hari ini ia bahkan tak sempat makan malam di rumah bersamaku dan ibu. Menurut cerita Mas Fahry, beban pekerjaannya masih sama seperti saat dia masih menjadi kepala arsitek, mungkin karena beberapa pekerjaan memang sudah dikuasainya dengan baik jadi tanggung jawab itu tetap dibebankan di pundaknya.“Kemarin beberapa petinggi perusahaan memangil aku, Tan. Menurut mereka kemungkinan besar aku akan kembali dipromosikan ke jabatanku sebelumnya, karena memang aku masih memegang beberapa pekerjaan di posisi itu,” ucapnya tadi pagi saat kami se
Mas Fahry semakin jahil, sesekali ia menggenggam tanganku dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang setir. Sesekali pula ia bersenandung lalu kemudian mengedipkan matanya padaku, lengkap dengan senyum manisnya. Dalam hati aku mengucap terima kasih pada Mbak Tania, tanpa amanah darinya, tanpa harta paling berharga yang ditinggalkannya ini, mungkin seumur hidup aku tak akan pernah merasakan kebahagiaan seperti ini.Sesungguhnya Allah sebaik-baiknya penulis skenario. Jika saja aku tak menikah dengan Mas Fahry, mungkin aku akan menjadi wanita paling nelangsa karena tak bisa memiliki anak. Namun lihatlah apa yang kumiliki sekarang? Suami yang penyayang, anak-anak yang sehat dan ceria yang tak lain adalah keponakanku sendiri. Maka tak ada jarak apa pun yang menghalangi kasih sayangku pada Khanza dan Ghazy, anak-anak Mbak Tania. Aku menengok sekilas ke belakang, tersenyum pada Ghazy yang menggumamkan panggilannya saat aku tersenyum padanya.“Mama,” sapa bocah itu tersenyum. A
Sejak vonis tak bisa hamil dari dr. Sovia padaku, aku merasa Mas Fahry setiap hari semakin perhatian. Hal-hal sekecil apapun dilakukannya untukku. Kadang di saat aku masih sibuk menyiapkan sarapan pagi, ternyata ia berinisiatif memandikan Ghazy, atau hanya sekedar merapikan kamar jika Baby Ghazy masih tertidur. Tak jarang pula ia menelepon di siang hari dan mengatakan agar aku tak usah terlalu sibuk di dapur, dan sesaat kemudian ia menyuruh kurir mengantar berbagai menu makanan ke rumah kami. Kalimat-kalimat ajaibnya juga hampir setiap hari terdengar olehku.“Jangan terlalu capek, Dek.”“Kamu baik-baik saja kan, Dek?”“Mama Ghazy mau makan apa hari ini?”“Kalau bawa mobil hati-hati ya, Dek. Kalau capek mending pesan transportasi online.”“Mas pesan ART dari yayasan ya, untuk bantu-bantu kerjaan rumah.”Dan masih banyak lagi kalimat-kalimatnya yang lain yang membuatku seolah menjadi ratu di rumah ini. terkadang aku hanya tersenyum melihat tingkahnya. Sesekali aku memprotes jika merasa
Pagi ini aku bangun dengan wajah pucat, tapi masih tetap menjalankan tugasku menyiapkan sarapan untuk keluarga kecil kami, dan menyiapkan semua perlengkapan kerja Mas Fahry.“Kamu pucat sekali, Nak.” Ibu menegurku saat aku sedang sibuk di dapur.“Iya, Bu,” jawabku singkat.“Nilam sakit, Nak?”“Nggak, Bu. Biasa, penyakit bulanan.”“Nilam lagi haid?”“Iya, Bu.”Ibu dan bahkan Mas Fahry memang sudah hapal dengan kebiasaanku. Setiap bulan, saat sedang haid, aku akan selalu terlihat pucat dan tak bersemangat. Ini memang sudah menjadi penyakitku sejak masih gadis dulu. Masa-masa haid selalu membuatku tersiksa, sakit perut dan pucat serta lemas.“Sebaiknya Nak Nilam sesekali memeriksakan diri ke dokter.”“Ah, nggak perlu, Bu. Nilam udah terbiasa. Nanti juga sembuh sendiri.”“Tak ada salahnya mencoba, Nak. Ibu hanya khawatir, soalnya Nilam kalau sedang haid selalu seperti ini.”“Nilam nggak apa-apa, Bu.”Aku masih berusaha meyakinkan ibu, sementara Mas Fahry dan Khanza tak berkomentar apa-apa
Kini hampir enam bulan sudah usia pernikahanku dan Mas Fahry. Setelah ia mendengar pengakuan perasaanku waktu itu di depan pusara Mbak Tania, aku tau pria itu juga semakin berusaha untuk mencintaiku, meski aku tau jauh di dalam hatinya masih nama Mbak Tania lah yang bertahta. Aku pun tak menuntut banyak. Bagiku, cukuplah dengan dia tak memiliki wanita lain dan selalu memperhatikan kebutuhanku dan anak-anak, itu semua sudah cukup.Dan ternyata Mas Fahry memenuhi semuanya. Ia bahkan membelikan sebuah mobil untukku, yang sehari-harinya kugunakan untuk mengantar jemput Khanza yang kini sudah mulai bersekolah di jenjang PAUD. Jatah uang bulanan pun selalu tepat waktu dan tak pernah berkurang. Bahkan saat aku memprotes padanya karena merasa ia terlalu banyak memberikan nafkah bulanan, Mas Fahry hanya beralasan jika itu semua tak seberapa jika dibanding dengan pengabdianku padanya, terutama menjaga anak-anak dan juga merawat ibu yang kini mulai sakit-sakitan.Mas Fahry juga sering mengajakk
“Kenapa-kenapa gimana maksud Mas?”“Ngomong sendiri tadi, panjang lebar lagi.”“Hah? Mas Fahry dengar?”Ia kembali mengacak rambutku, lalu menghela napas dalam-dalam.“Mas dengar semuanya, Dek. Makanya lain kali kalau bicara di depan pusara gini dalam hati saja. Bukan kayak tadi seolah-olah sedang berhadapan langsung dengan Tania.”“Ehm ... Mas Fahry dengar apa?” Aku penasaran.“Dengar ungkapan perasaan dari seorang gadis yang kini tiba-tiba saja sudah dewasa.”Aku salah tingkah. Bagaimana ini? Dia mendengar aku mengakui perasaanku padanya di hadapan pusara istrinya. Pipiku mendadak terasa panas. Mas Fahry meraih tanganku, menyatukan jemarinya dengan jemariku. Kini kami berdua berdiri bergenggaman tangan di depan pusara Mbak Tania.“Kamu lihat, Tania ... adik kecilmu ini udah dewasa sekarang. Dia sudah bisa jadi mama yang baik bagi Ghazy. Juga sudah bisa ... jadi istri yang memuaskan suami.” Kalimat terakirnya setengah berbisik. Aku mencubit pinggangnya.“Ayo pulang.”“Nilam bawa moto
Pagi ini aku terbangun dengan mata seperti berpasir dan juga bengkak. Semalaman tadi aku memang tak bisa memejamkan mata dan baru tertidur beberapa jam sebelum azan Subuh berkumandang. Kejadian semalam membuat rasa kantukku menguap entah ke mana, selain karena rasa tak nyaman pada pusat tubuhku akibat hubungan semalam, gumaman Mas Fahry setelahnya juga sangat mengganggu pikiranku. Bagaimana mungkin aku menyerahkan mahkotaku pada lelaki yang menggumankan nama lain setelahnya, meskipun itu adalah nama kakakku sendiri. Ada rasa nyeri di ulu hatiku. Apakah aku telah salah melakukan ini?Mas Fahry tersenyum simpul saat berpapasan denganku saat ia baru saja pulang dari mesjid untuk menunaikan salah subuh. Kulihat ia memperhatikan wajahku sesaat. Aku segera menunduk, menyembunyikan mataku yang terasa panas dan bengkak akibat.“Nggak perlu malu-malu gitu, Dek. Nanti juga terbiasa,” ucapnya padaku, sambil mencolek daguku yang masih menunduk.Bukan, Mas. Aku bukan sedang malu, toh apa yang kita
“Udah?” tanyanya.“Iya.” Aku terkekeh.“Awas kamu, ya. Nanti malam Mas hukum.”“Kalau gitu sebelum Mas pulang mending Nilam balik ke rumah ayah aja, dari pada dihukum.”“Ehhh, jangan dong! Hukumannya hukuman enak kok.” Ia menggerakkan alisnya naik turun.Aku bergidik saat memahami maksud dari kalimatnya tadi.“Udah ah. Katanya banyak kerjaan.”“Kamu sih aneh-aneh aja sampai video call segala. Oiya, anak-anak mana, Dek?”“Nih, lagi main puzzle.” Kuarahkan kamera ponselku pada Khanza dan Ghazy yang tengah bermain.Masa Fahry pun menyapa anak-anak satu persatu sebelum memutuskan sambungan telepon.***Aku memilih duduk di sofa sambil membaca novel sambil menunggu Mas Fahry pulang. Ghazy sendiri sudah tertidur pulas setelah menghabiskan dua botol susu formula tadi. Jika biasanya aku dengan acuh tidur di samping Ghazy dan tak menunggu jika Mas Fahry pulang malam, tapi entah kenapa hari ini aku begitu menantikan kepulangannya. Kejadian semalam dimana ia melakukan sentuhan fisik yang memabuk
Aku sedang merapikan beberapa barang-barang Mbak Tania dari lemari saat ibu memanggilku. Ya, aku baru berani merapikan beberapa barang Mbak Tania setelah kemarin Mas Fahry melepas pigura foto mereka di dinding kamar. Kurasa mungkin benar apa kata Mas Fahry kemarin, meski dia belum bisa melupakan Mbak Tania, dan aku pun masih merasa risih dengan statusku saat ini, tapi hidup kami akan terus berjalan. Aku sudah menjadi istri sah Mas Fahry, anak-anak pun akan semakin bertumbuh besar dalam pengasuhanku. Kurasa pelan-pelan aku juga harus menata hidup dan menata hati. Bukankah ini juga amanah dari Mbak Tania padaku untuk mengawasi anak-anaknya setelah kepergiannya? Meskipun Mbak Tania tak pernah memintaku untuk menggantikan perannya sebagai istri Mas Fahry, namun ternyata sekarang takdir telah membawaku ke sini, ke kamar ini, menggantikan peran Mbak Tania menjaga anak-anaknya dan sekaligus menjadi istri dari Mas Fahry.“Iya, ada apa, Bu?” tanyaku saat ibu memanggilku dari depan pintu kamar.
“Lepas, Mas. Aku mau mandiin Ghazy!”“Jawab dulu, Dek. Mas boleh ketemu Nasya hari ini?”“Mas mau ajak Khanza?”“Nggak lah, Dek. Mas nggak mungkin kabulkan permintaan Khanza tadi. Ini benar-benar urusan kerjaan, bukan urusan pribadi.”“Terserah kamu, Mas! Lepaskan, aku mau mandiin Ghazy.” Kali ini aku sendiri yang melepas tangannya dari pinggangku.Mas Fahry menghela napas kasar, kemudian memperhatikan saat aku mulai membuka pakaian Baby Ghazy satu persatu untuk kumandikan.“Ngapain senyum-senyum?” tanyaku dengan kening mengeryit ketika melihat Mas Fahry tersenyum.“Mas sedang bayangin kalau Mas yang dibukain pakaiannya seperti itu sama kamu.” Ia terkekeh.Dasar nggak ada akhlak! Batinku. Seenaknya saja lelaki ini mengucapkan guyonan tanpa berpikir apa akibatnya. Tak taukah dia kalimatnya barusan berhasil membuat wajahku panas, kurasa saat ini wajahku sudah seperti kepiting rebus. Dan masih dengan tak punya perasaan lelaki itu justru membuatku semakin merona.“Kapan bisa praktekin sep