Pagi sekali, setelah selesai sarapan, ART di rumah Pak Hartono mendekati Mengatakan bahwa di depan ada tamu."Tamu? Bukankah hari ini weekend. Kok ada saja yang berkunjung," gumam Bu Hartono dalam hati.Bu Hartono menemui tamunya tersebut. Dia kaget."Loh Bu Melati rupanya. Mari masuk Bu. Kok tidak bilang jika mau kesini?" ajak ramah Bu Hartono."Iya Bu. Tadi sekalian jalan. Saya kesini mau mengantarkan baju pesanan ibu," kata Bu Melati sembari menyerahkan sebuah paperbag. Bu Melati adalah penjahit langganan keluarga Hartono.Bu Hartono masih melongo. Karena dia tidak merasa memesan apapun."Terimakasih lhoh Bu. Sudah mempercayakan kepada saya untuk kesekian kalinya. Uang yang ditransfer juga di lebihkan, katanya untuk komisi. Padahal saya sudah senang mempunyai langganan seperti ibu," tambah Bu Melati dengan senyum tersipu malunya.Bu Hartono masih diam kebingungan."Kenapa Bu? Apakah ada yang salah dengan kalimat saya?" tanya Bu Melati yang tidak enak hati, karena Bu Hartono sedari
"Cemburu? Mana mungkin Ma?"jawab Agam sembari melengos ke arah lain menyembunyikan wajah memerahnya itu. Walau tidak dipungkiri dalam hati irama jantungnya berdetak lebih kencang. Entahlah."Baguslah. Kamu harusnya bersyukur bisa berpisah dari wanita yang mempunyai hati yang tidak bisa legowo seperti itu. Normalnya laki laki boleh kok menikah sampai empat kali. Katanya Amanda pintar, tapi begitu saja tidak paham," gerutu Bu Melisa."Selepas Mas Agam nikah, nanti gantian aku yang nikah ya Ma," ucap Naya tiba tiba.Bu Melisa membanting majalah yang ada di tangannya"Naya," tegurnya dengan netra yang melotot.Naya mendengus kesal."Kenapa sih Ma? Naya juga tidak meminta uang mama sedikitpun kok untuk menikah," protesnya."Jangan sok kamu. Memangnya kamu dapat uang darimana? Memangnya menikah itu hanya butuh biaya seratus dua ratus begitu? Banyak Nay.""Naya bukan anak kecil lagi. Naya tau betul akan hal itu. Tapi mama tenang saja. Mas Romi janji akan membiayai seluruh acara," jawab Naya
Bu Melisa melotot. Ingin sekali tanganya itu menampar mulut lancang Aisyah. Namun ia berpikir kedepannya. Bagaimana jika Aisyah sakit hati? Lalu membawa pergi kedua cucunya? Sementara dia sudah menyiapkan rencana sedemikian rupa. Tak boleh gagal."Ah ya sudahlah. Nanti saya tanyakan sendiri ke Agam," kata Bu Melisa akhirnya. Kemudian netranya menyapu seluruh sudut rumah kontrakan Aisyah. Kecil. Namun Aisyah yang notebene seorang ART tampak pandai menata sesuatu hingga terlihat rapi."Kenapa cari kontrakan di kawasan padat penduduk seperti ini? Anak anak bagaimana? Apakah mereka betah?" tanya Bu MelisaAisyah menghela nafas pelan."Betah tidak betah Ma. Yang mengatur ini semua Mas Agam.""Huft. Belum airnya juga. Bagaimana kalau justru airnya kotor? Nanti Mama akan minta kepada Agam untuk cari kontrakan yang lebih layak.""Aku kira cari apartemen lagi Ma."Bu Melisa menoleh dengan ketus."Tau diri Aisyah. Kamu itu siapa. Sudah mending Agam mau bertanggung jawab terhadapmu. Sudah mendin
Amanda hanya tersipu malu mendengar celoteh dari Yoga. Namun sedikitpun tidak ada senyum dari wajah Yoga. Pembawaannya begitu serius kali ini."Aku serius Nda. Jangan kira aku ini bercanda," kata Yoga lagi."Ga, tapi menikah itu tidak segampang itu. Ribet prosesnya,""Seribet apapun. Sesulit apapun prosesnya. Asal bersamamu aku pastikan bisa melewatimya dengan mudah. Lalu apa tujuanku melamarmu kalau bukan untuk menikahimu Nda," lanjut Yoga lagi penuh keseriusan."Secepat itu Ga?""Semakin cepat semakin baik, bukan?"Manda sejenak diam. Ah dia hampir tak percaya."Trauma jika kamu biarkan lama lama. Kapan akan sembuhnya? Percayakan kepada seseorang untuk bisa mengobatinya Nda. Dan aku akan berusaha untuk tidak menyia nyiakan kepercayaanmu," kata Yoga.*"Mama tidak ikut?" tanya Manda sata dia bersiap datang ke pernikahan Agam.Bu Yosi menggeleng dengan cepat."Ogah. Malas sekali bertemu dengan nenek sihir itu. Tapi kalau dia macam macam dengan kamu, bilang saja kepada Mama ya Nda. Mam
Tanpa disangka Neni menarik tangan Agam, seperti mengisyaratkan sesuatu. Tentu Neni tau betul siapa yang bersama Amanda saat itu. Namun Agam tak terlalu menghiraukan. Agam dan sang mama saling pandang. Antara percaya dan tidak percaya tentunya. Namun dari penampilannya malam ini, memang tidak terlihat Ilham adalah seorang sopir. Penampilanya malam ini benar benar necis.Belum sempat menjawab apapun, Pak Hartono dan istri ternyata juga turut datang. Tentu Bu Melisa juga kaget. Mereka bukan orang sembarangan."Eh cepat kamu turun. Tidak penting, ini tamu penting mau datang," bisik Bu Melisa kepada Amanda setengah menekan. Mereka sontak menoleh. Namun melihat siapa yang datang justru mereka bertekad untuk tidak turun dari panggung.Langkah keluarga Hartono semakin mendekat."Cepat kalian pergi," perintah Agam lagi sembari mendorong pelan mereka. Tapi Tak berhasil. Dan mereka tetap kekeh diatas panggung.Sebelum keluarga Pak Hartono menyalami keluarga pengantin, terlebih dulu Amanda meng
"Serius kamu Nda?" tanya Yoga memastikan. Yoga juga masih tenang. Karena baginya berita ini biasa saja. Karena ia tidak terlalu kenal dengan keluarga Agam.Amanda mengangguk."Tapi aku tidak yakin jika mereka adalah orang orang dengan tipe mudah dinasihati," lanjut Manda "Ya gampang Nda. Tidak usah kamu nasihati. Terkadang seseorang itu sadar karena ditampar keadaan," kata Yoga.Amanda menoleh pelan. Mungkin omongan Yoga tersebut ada benarnya untuk dia membuatkan saja apa yang seharusnya terjadi."Aku tidak mampu dulu ya Nda. Sampaikan salam untuk Papa dan Mama. Aku harus memantau proyek baruku," pamit Yoga "Serius kamu? Tidak ngopi dulu? Nanti ngantuk loh,"Yoga menggeleng pelan "Tidak. Kalau sudah bertemu pawangnya, mana mungkin aku mengantuk," jawab Yoga.Amanda tersipu malu."Bagaimana Nda acaranya? Seru? Apakah nenek lampir itu menyerangmu?" tanya Bu Yosi saat Manda sudah sampai rumah "Ya seperti itu Ma. Tapi tadi Mama Yoga yang menjadi tamengku Ma. Jadi dia tak terlalu menye
"Berarti kamu menipuku mas?" tanya Neni dengan mata yang berkaca kaca.Agam sedikit kaget dengan ucapan dari sang istri. Dia melangkah mendekat. Bukan karena iba. Melainkan kaget dengan apa yang disampaikan sang istri."Menipu katamu? Sedari awal sudah aku bilang bukan? Bahwa aku keluar dari pelayaran. Dan kamu juga tidak keberatan."Neni melengos."Iya walau kamu keluar dari pelayaran sekalipun, toh kamu masih mempunyai usaha kan Mas? Usaha itu bisa menghasilkan uang bukan?" jawab Neni tak mau kalah.Agam tertawa kecil."Kamu pikir itu hanya usahaku? Tidak. Ada nama Mama, Naya juga disitu. Jika perbulan aku memberimu nafkah seratus juta, yang ada akan bangkrut usaha itu Nen. Jangan mengada-ngada kamu. Pikir yang logis," respon Agam setengah membentak.Neni menghela nafas pelan. Menjatuhkan diri di ranjang empuk kamar Agam. Dia menangis."Jangan menangis Nen. Aku tidak ada mendzolimimu. Ekspetasimu yang terlalu tinggi," kata Agam lagiNamun tidak ada sedikitpun kalimat Agam yang bisa
Tangan Agam mengepal."Kamu mengancamku begitu?"Neni mengggeleng pelan dengan santai."Tidak. Aku tidak mengancammu. Hanya saja aku ingin bersikap tegas kepadamu, agar tidak kamu injak injak.""Tapi bukan begini caranya Neni. Mana bisa dengan penghasilan yang tidak seperti dulu, aku bisa menuruti semua kebutuhanmu ini?""Aku tidak mau tau ya Mas. Pokoknya kamu harus menuruti semua keinginanku. Aku tidak mau dibedakan dengan mantan istrimu. Titik," kata Neni penuh penekanan.Agam mengusap wajahnya dengan kasar, dan ia memilih pergi. Ia merasa sumpek.Entah kenapa tiba tiba pikiranya melayang kepada anak anaknya. Ah entah sudah berapa hari ia tidak mengunjungi darah dagingnya itu. Ia memilih memutar kemudi mobilnya ke kontrakan Aisyah.Dari luar terdengar canda tawa di dalam. Sepertinya Aisyah sedang bermain bersama anak anaknya. Dan saat itu, hati Agam merasa damai, merasa hangat."Halo sayang," ucap Agam.Sang putri memang menghampiri. Tapi tidak seantusias anak yang lain saat bertem
Agam melongo. Apakah nasibnya akan seperti sang Mama? Terbaring di rumah sakit seperti ini?Bagaikan sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Ditinggal istri dan sekarang harus kehilangan satu satunya sumber penghasilan.Belum usai, seorang dokter keluar dari ruang rawat mamanya. Masih dengan wajah sedih bercampur bingung, ia menghadap sang dokter."Keluarganya Bu Melani?"Agam mengangguk"Iya. Saya anaknya," jawab Agam"Ibu anda terserang stroke. Dan mungkin harus selalu didampingi ya Pak. Karena tubuhnya sulit untuk digerakan.""Dok, tapi mama saya sebelumnya tidak punya penyakit darah tinggi. Mana mungkin mama saya terkena stroke tiba tiba?" tanya Naya masih tak percaya. Ia tak bisa membayangkan mamanya yang semula bisa beraktivitas tiba tiba harus berubah tak bisa untuk apa apa"Penyakit stroke bisa menyerang siapa dan dengan latar belakang apapun Mbak. Lagipula umur ibu anda sudah tidak muda lagi. Mungkin sebelumnya ada berita yang mengagetkan. Bisa jadi itu memacu tekanan darah beliau
Neni menoleh kanan kiri dengan suara tersebut "Aku disini Mbak," ucap suara itu.Berapa terkejutnya Neni saat mengetahui Naya ada dibelakangnya. Lidah Neni saat itu terasa kelu."Kenapa Mbak? Biasa saja wajahnya. Tidak usah kaget," lanjut Naya dengan senyum mengejeknya."Nay, kenapa kamu ada disini?"Lagi lagi Naya tersenyum penuh remeh"Memangnya kenapa Mbak? Ini tempat umum. Bukan milik Mbak Neni. Jadi wajar aku ada disini," lawan Naya."Untuk apa kamu di ATM? Kamu pasti sengaja ngikutin aku ya?""Tak perlu aku jelaskan bukan apa fungsi ATM. Lagipula bukan hanya Mbak Neni kok yang punya uang. Aku juga punya. Uang halal malahan. Percuma kan uangnya banyak, bisa beli barang branded ternyata uang dari simpanan. Upps." kata Naya lagi Ng dengan sengaja menyindir Neni."Memangnya kenapa? Itu juga karena kesalahan Abang kamu. Tidak bisa mencukupi kebutuhan istrinya." sengit Neni tak mau kalah.Naya menggeleng walau tak percaya. Ternyata ada iblis di balik polos dan cantiknya wajah seorang
Tak ada perlawanan dari Bu Melisa, kecuali menurut untuk turun dari panggung."Ini yang mau Mama cela? Lihatlah bahkan lebih dari Mas Agam," kata NayaBu Melisa hanya melengos. Ya mau bagaimana memang Yoga lebih mapan adanya.Sementara Neni tak perduli. Mau suaminya kalah dengan suami Manda sekalipun, ia tak perduli. Toh ia sudah ada yang baru.Baru saja hendak menyuapkan satu suapan ke mulutnya, Bu Melisa mendapatkan telepon dari salah satu anak buahnya bahwa salah satunya rumah makan mereka yang ada di pusat, yang paling terbesar kebakaran.Bu Melisa tentu shock bukan main. Satu sendok di tanganya gagal masuk ke mulut. Bahkan sekedar untuk memberi tau anak anaknya pun lidahnya terasa kelu.Bu Melisa hanya mampu menepuk bahu Naya yang ada di sampingnya"Ada apa Ma?"Bu Melisa masih diam. Sulit sekali untuk berucap. Karena merasa aneh, Bata mengambil alih handphone mamanya. Dan ia mendengar sendiri bahwa rumah makan mereka sedang kebakaran.Tak banyak tingkah, Naya segera mungkin memb
"Neni bekerja Nay. Dia itu model beberapa baju temannya," bela Agam.Naya hanya melengos. Ia menghela nafas dengan kasar"Gaji dari model baju bisa untuk membeli baju branded seperti itu ya Mas? Mbak Neni bukan artis dengan bayaran fantastis. Artis saja mungkin berfikir berkali kali untuk membeli barang semewah itu. Coba Mas Agam lebih perhatikan Mbak Neni. Lebih tepatnya selidiki. Percaya boleh. Tapi dibodohi jangan mau mas. Jangan hanya menerima begitu saja." kata Naya lagi.Agam hanya mengangguk. Ya Naya memang baru tau hanya pakaian yang diberikan kepada Mama. Belum pakaian yang kemarin. Yang bahkan sempat dibelikan untuk dia.Sepulang dari rumah Mama, Agam mengutarakan rasa penasarannya juga karena aduan dari Naya tersebut."Neni, boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Agam dengan pelan"Langsung tanya saja kenapa sih Mas.""Gaji kamu berapa jadi model Nen?"Neni yang ada di sebelah Agam langsungenoleh tajam menatap sang suami."Kenapa Mas Agam tanya seperti itu? Tumben. Aneh. Dan pe
"Tumben sekali. Apa kamu tidak mengajakku untuk turut serta Nen?" tanya Agam sembari menikmati makanan."Duh, bagaimana ya Mas. Teman temanku tidak ada yang membawa suami. Jadi aku tidak enak kalau membawa suami sendiri. Ka.u dirumah saja ya. Ehm sebagai gantinya nanti aku belikan oleh oleh yang mahal tentunya dari hasilku menjadi model baju. Bagaimana?" tawar Neni.Agam mengangguk."Bolehlah."Neni tentu tersenyum penuh kemenangan.'Dasar kere. Disogok pakai barang mahal langsung nurut begitu saja,' gumam Neni."Oh iya Nen. Aku sudah bercerai dengan Aisyah," ucap Agam tiba tiba."Oh iya? Baguslah kalau begitu." jawab Neni dengan santai."Kok responmu biasa saja Nen? Bukankah ini yang kamu harapkan dari dulu?"Neni sedikit salah tingkah."Bukan begitu Mas. Tapi aku sadar, aku sudah bersuami. Itu artinya aku juga harus lebih dewasa dari sebelumnya. Lalu mau Mas Agam aku harus bagaimana? Jingkrak jingkrak begitu? Yang ada ditertawakan ayam mas," elak Neni. Padahal dalam hati juga Neni b
Tentu Manda kebingungan dengan Naya yang ada dihadapannya tersebut."Nay, tenang dulu. Ada apa?"Naya mengusap air matanya."Romi, Mbak."Mendengar itu, Manda yang justru gemetar."Iya benar. Harusnya dari awal aku harus hati hati. Menyelediki di setiap sisinya. Di hari pertunangan, justru dia baru mengaku bahwa menikahiku untuk dijadikan istri ke tiganya. Aku malu Mbak. Malu sekali kepada Mbak Manda,"Manda masih mengggenggam tangan Naya."Tidak perlu malu Nay. Aku juga tidak akan mengolokku. Pak Romi adalah tetanggaku. Jadi aku tau,"Mendengar itu justru tangis Naya semakin pecah."Nay, sudah. Itu artinya Tuhan sudah menyelamatkanmu dari hal yang salah. Kamu tidak perlu malu. Tidak perlu menyesal. Tapi kamu harus bersyukur," pesan Manda.Naya hanya mengangguk kecil."Aku juga minta maaf ya Mbak. Atas topengku. Atas kemunafikan ku. Terutama keluargaku."Manda mengambil nafas panjang. Sejenak netranya terpejam."Iya." jawab Manda singkat."Berat ya Mbak? Iya dan aku sudah merasakanya.
"Darimana saja kamu Neni. Di telfon lebih dari sepuluh kali tapi tidak kamu angkat?" gerutu Agam saat sang istri baru pulang.Neni sudah lelah. Ia hanya meletakan sebuah kantong plastik di meja."Nih makan. Ini resto milik artis yang baru buka itu Mas. Rame banget," jawab Neni, mimik wajahnya terlihat senang.Agam masih lurus menatap Neni. Tangannya dilipat di dada."Aku tanya apa, jawabmu apa?" sengit Agam.Neni yang biasanya akan membentak balik saat dibentak Agam hanya tersenyum. Karena apalagi kalau tidak karena hatinya sedang senang saat ini."Mas, aku sudah bilang, aku dari rumah Mama. Kamu sudah lupa? Atau pura pura lupa?" tanya balik Neni dengan tenang.Namun sepertinya jawaban Neni tersebut tidak member rasa puas untuk Agam."Lalu kenapa kamu justru pergi ke restoran artis itu?"Neni sedikit salah tingkah."Tidak. Ini tadi saudaraku yang membelikan. Makanlah mas. Kamu sedari tadi belum makan bukan? Pasti keluargamu sibuk karena huru hara ditipu calon suami," kata Neni.Tak me
Plakk..Tangan Bu Melisa mendarat dengan sempurna di pipi Romi. Sempat ada pembelaan dari Naya. Meskipun air mata telah membanjiri pipi."Kamu kira, kamu itu siapa? Hah? Enak sekali menjadikan anak saya sebagai istri ketiga? Tidak. Saya tidak akan memberi restu. Saya tidak gila dengan harta kamu," jawab Bu Melisa dengan berapi api.Seorang wanita tampak maju mendekati Romi. Ia memeriksa sang suami. Apakah baik baik saja atau tidak. Sepertinya ia adalah salah satu istri Romi juga.Melihat itu tentu hati Naya menjadi sakit bukan main.Romi tetap tenang menghadapi kemarahan keluarga Naya."Yakin tidak gila harta? Buktinya apartemen anda dibeli dengan uang siapa?" tanya Romi dengan pelan namun penuh dengan tatapan sinis.Agam yang ada di belakang Mamanya pun tidak terima. Seolah Romi mempermainkan keluarganya saat itu."Ambil saja apartemen itu. Kami tidak butuh," sengit Agam dengan geram.Para tamu saling berbisik. Pak Anton yang melihatnya dari kejauhan hanya tersenyum simpul. Karena i
Aisyah melihat lembaran uang dari Manda di tanganya itu. Tawaran Papa Manda tempo hari juga terngiang ngiang di kepalanya. Bisa saja ia pergi saat ini juga. Tapi bukankah itu namanya adalah seorang pengecut?Dan dengan uang ditanganya itu, bisa saja ia membayar kontrakan. Bahkan mungkin sisa, walau tak seberapa. Namun untuk bulan depan? Bagaimana jika Agam masih tetap saja tidak memberi nafkah? Ia tak tau harus bagaimana bukan? Ia pun tentu sungkan bahkan malu jika harus meminta tolong Manda kembali.Entah mengapa, sisa uang yang tidak seberapa itu, Aisyah berfikir untuk menjual jajan atau es saja di depan rumah kontrakannya. Lagipula banyak sekali anak kecil di kawasan kontrakan ini. Barangkali bisa untuk membantu ekonominya tanpa selalu bergantung kepada Agam.*"Aku pakai baju yang mana untuk lamaran Naya esok hari Mas?" tanya Neni yang kebingungan di depan lemari."Lihatlah baju baju kamu itu sudah banyak sekali. Kenapa masih saja bingung Nen?""Tapi ini semua sudah pernah aku pa