Bu Melisa melotot. Ingin sekali tanganya itu menampar mulut lancang Aisyah. Namun ia berpikir kedepannya. Bagaimana jika Aisyah sakit hati? Lalu membawa pergi kedua cucunya? Sementara dia sudah menyiapkan rencana sedemikian rupa. Tak boleh gagal."Ah ya sudahlah. Nanti saya tanyakan sendiri ke Agam," kata Bu Melisa akhirnya. Kemudian netranya menyapu seluruh sudut rumah kontrakan Aisyah. Kecil. Namun Aisyah yang notebene seorang ART tampak pandai menata sesuatu hingga terlihat rapi."Kenapa cari kontrakan di kawasan padat penduduk seperti ini? Anak anak bagaimana? Apakah mereka betah?" tanya Bu MelisaAisyah menghela nafas pelan."Betah tidak betah Ma. Yang mengatur ini semua Mas Agam.""Huft. Belum airnya juga. Bagaimana kalau justru airnya kotor? Nanti Mama akan minta kepada Agam untuk cari kontrakan yang lebih layak.""Aku kira cari apartemen lagi Ma."Bu Melisa menoleh dengan ketus."Tau diri Aisyah. Kamu itu siapa. Sudah mending Agam mau bertanggung jawab terhadapmu. Sudah mendin
Amanda hanya tersipu malu mendengar celoteh dari Yoga. Namun sedikitpun tidak ada senyum dari wajah Yoga. Pembawaannya begitu serius kali ini."Aku serius Nda. Jangan kira aku ini bercanda," kata Yoga lagi."Ga, tapi menikah itu tidak segampang itu. Ribet prosesnya,""Seribet apapun. Sesulit apapun prosesnya. Asal bersamamu aku pastikan bisa melewatimya dengan mudah. Lalu apa tujuanku melamarmu kalau bukan untuk menikahimu Nda," lanjut Yoga lagi penuh keseriusan."Secepat itu Ga?""Semakin cepat semakin baik, bukan?"Manda sejenak diam. Ah dia hampir tak percaya."Trauma jika kamu biarkan lama lama. Kapan akan sembuhnya? Percayakan kepada seseorang untuk bisa mengobatinya Nda. Dan aku akan berusaha untuk tidak menyia nyiakan kepercayaanmu," kata Yoga.*"Mama tidak ikut?" tanya Manda sata dia bersiap datang ke pernikahan Agam.Bu Yosi menggeleng dengan cepat."Ogah. Malas sekali bertemu dengan nenek sihir itu. Tapi kalau dia macam macam dengan kamu, bilang saja kepada Mama ya Nda. Mam
Tanpa disangka Neni menarik tangan Agam, seperti mengisyaratkan sesuatu. Tentu Neni tau betul siapa yang bersama Amanda saat itu. Namun Agam tak terlalu menghiraukan. Agam dan sang mama saling pandang. Antara percaya dan tidak percaya tentunya. Namun dari penampilannya malam ini, memang tidak terlihat Ilham adalah seorang sopir. Penampilanya malam ini benar benar necis.Belum sempat menjawab apapun, Pak Hartono dan istri ternyata juga turut datang. Tentu Bu Melisa juga kaget. Mereka bukan orang sembarangan."Eh cepat kamu turun. Tidak penting, ini tamu penting mau datang," bisik Bu Melisa kepada Amanda setengah menekan. Mereka sontak menoleh. Namun melihat siapa yang datang justru mereka bertekad untuk tidak turun dari panggung.Langkah keluarga Hartono semakin mendekat."Cepat kalian pergi," perintah Agam lagi sembari mendorong pelan mereka. Tapi Tak berhasil. Dan mereka tetap kekeh diatas panggung.Sebelum keluarga Pak Hartono menyalami keluarga pengantin, terlebih dulu Amanda meng
"Serius kamu Nda?" tanya Yoga memastikan. Yoga juga masih tenang. Karena baginya berita ini biasa saja. Karena ia tidak terlalu kenal dengan keluarga Agam.Amanda mengangguk."Tapi aku tidak yakin jika mereka adalah orang orang dengan tipe mudah dinasihati," lanjut Manda "Ya gampang Nda. Tidak usah kamu nasihati. Terkadang seseorang itu sadar karena ditampar keadaan," kata Yoga.Amanda menoleh pelan. Mungkin omongan Yoga tersebut ada benarnya untuk dia membuatkan saja apa yang seharusnya terjadi."Aku tidak mampu dulu ya Nda. Sampaikan salam untuk Papa dan Mama. Aku harus memantau proyek baruku," pamit Yoga "Serius kamu? Tidak ngopi dulu? Nanti ngantuk loh,"Yoga menggeleng pelan "Tidak. Kalau sudah bertemu pawangnya, mana mungkin aku mengantuk," jawab Yoga.Amanda tersipu malu."Bagaimana Nda acaranya? Seru? Apakah nenek lampir itu menyerangmu?" tanya Bu Yosi saat Manda sudah sampai rumah "Ya seperti itu Ma. Tapi tadi Mama Yoga yang menjadi tamengku Ma. Jadi dia tak terlalu menye
"Berarti kamu menipuku mas?" tanya Neni dengan mata yang berkaca kaca.Agam sedikit kaget dengan ucapan dari sang istri. Dia melangkah mendekat. Bukan karena iba. Melainkan kaget dengan apa yang disampaikan sang istri."Menipu katamu? Sedari awal sudah aku bilang bukan? Bahwa aku keluar dari pelayaran. Dan kamu juga tidak keberatan."Neni melengos."Iya walau kamu keluar dari pelayaran sekalipun, toh kamu masih mempunyai usaha kan Mas? Usaha itu bisa menghasilkan uang bukan?" jawab Neni tak mau kalah.Agam tertawa kecil."Kamu pikir itu hanya usahaku? Tidak. Ada nama Mama, Naya juga disitu. Jika perbulan aku memberimu nafkah seratus juta, yang ada akan bangkrut usaha itu Nen. Jangan mengada-ngada kamu. Pikir yang logis," respon Agam setengah membentak.Neni menghela nafas pelan. Menjatuhkan diri di ranjang empuk kamar Agam. Dia menangis."Jangan menangis Nen. Aku tidak ada mendzolimimu. Ekspetasimu yang terlalu tinggi," kata Agam lagiNamun tidak ada sedikitpun kalimat Agam yang bisa
Tangan Agam mengepal."Kamu mengancamku begitu?"Neni mengggeleng pelan dengan santai."Tidak. Aku tidak mengancammu. Hanya saja aku ingin bersikap tegas kepadamu, agar tidak kamu injak injak.""Tapi bukan begini caranya Neni. Mana bisa dengan penghasilan yang tidak seperti dulu, aku bisa menuruti semua kebutuhanmu ini?""Aku tidak mau tau ya Mas. Pokoknya kamu harus menuruti semua keinginanku. Aku tidak mau dibedakan dengan mantan istrimu. Titik," kata Neni penuh penekanan.Agam mengusap wajahnya dengan kasar, dan ia memilih pergi. Ia merasa sumpek.Entah kenapa tiba tiba pikiranya melayang kepada anak anaknya. Ah entah sudah berapa hari ia tidak mengunjungi darah dagingnya itu. Ia memilih memutar kemudi mobilnya ke kontrakan Aisyah.Dari luar terdengar canda tawa di dalam. Sepertinya Aisyah sedang bermain bersama anak anaknya. Dan saat itu, hati Agam merasa damai, merasa hangat."Halo sayang," ucap Agam.Sang putri memang menghampiri. Tapi tidak seantusias anak yang lain saat bertem
Aisyah melihat lembaran uang dari Manda di tanganya itu. Tawaran Papa Manda tempo hari juga terngiang ngiang di kepalanya. Bisa saja ia pergi saat ini juga. Tapi bukankah itu namanya adalah seorang pengecut?Dan dengan uang ditanganya itu, bisa saja ia membayar kontrakan. Bahkan mungkin sisa, walau tak seberapa. Namun untuk bulan depan? Bagaimana jika Agam masih tetap saja tidak memberi nafkah? Ia tak tau harus bagaimana bukan? Ia pun tentu sungkan bahkan malu jika harus meminta tolong Manda kembali.Entah mengapa, sisa uang yang tidak seberapa itu, Aisyah berfikir untuk menjual jajan atau es saja di depan rumah kontrakannya. Lagipula banyak sekali anak kecil di kawasan kontrakan ini. Barangkali bisa untuk membantu ekonominya tanpa selalu bergantung kepada Agam.*"Aku pakai baju yang mana untuk lamaran Naya esok hari Mas?" tanya Neni yang kebingungan di depan lemari."Lihatlah baju baju kamu itu sudah banyak sekali. Kenapa masih saja bingung Nen?""Tapi ini semua sudah pernah aku pa
Plakk..Tangan Bu Melisa mendarat dengan sempurna di pipi Romi. Sempat ada pembelaan dari Naya. Meskipun air mata telah membanjiri pipi."Kamu kira, kamu itu siapa? Hah? Enak sekali menjadikan anak saya sebagai istri ketiga? Tidak. Saya tidak akan memberi restu. Saya tidak gila dengan harta kamu," jawab Bu Melisa dengan berapi api.Seorang wanita tampak maju mendekati Romi. Ia memeriksa sang suami. Apakah baik baik saja atau tidak. Sepertinya ia adalah salah satu istri Romi juga.Melihat itu tentu hati Naya menjadi sakit bukan main.Romi tetap tenang menghadapi kemarahan keluarga Naya."Yakin tidak gila harta? Buktinya apartemen anda dibeli dengan uang siapa?" tanya Romi dengan pelan namun penuh dengan tatapan sinis.Agam yang ada di belakang Mamanya pun tidak terima. Seolah Romi mempermainkan keluarganya saat itu."Ambil saja apartemen itu. Kami tidak butuh," sengit Agam dengan geram.Para tamu saling berbisik. Pak Anton yang melihatnya dari kejauhan hanya tersenyum simpul. Karena i