Tanpa disangka Neni menarik tangan Agam, seperti mengisyaratkan sesuatu. Tentu Neni tau betul siapa yang bersama Amanda saat itu. Namun Agam tak terlalu menghiraukan. Agam dan sang mama saling pandang. Antara percaya dan tidak percaya tentunya. Namun dari penampilannya malam ini, memang tidak terlihat Ilham adalah seorang sopir. Penampilanya malam ini benar benar necis.Belum sempat menjawab apapun, Pak Hartono dan istri ternyata juga turut datang. Tentu Bu Melisa juga kaget. Mereka bukan orang sembarangan."Eh cepat kamu turun. Tidak penting, ini tamu penting mau datang," bisik Bu Melisa kepada Amanda setengah menekan. Mereka sontak menoleh. Namun melihat siapa yang datang justru mereka bertekad untuk tidak turun dari panggung.Langkah keluarga Hartono semakin mendekat."Cepat kalian pergi," perintah Agam lagi sembari mendorong pelan mereka. Tapi Tak berhasil. Dan mereka tetap kekeh diatas panggung.Sebelum keluarga Pak Hartono menyalami keluarga pengantin, terlebih dulu Amanda meng
"Serius kamu Nda?" tanya Yoga memastikan. Yoga juga masih tenang. Karena baginya berita ini biasa saja. Karena ia tidak terlalu kenal dengan keluarga Agam.Amanda mengangguk."Tapi aku tidak yakin jika mereka adalah orang orang dengan tipe mudah dinasihati," lanjut Manda "Ya gampang Nda. Tidak usah kamu nasihati. Terkadang seseorang itu sadar karena ditampar keadaan," kata Yoga.Amanda menoleh pelan. Mungkin omongan Yoga tersebut ada benarnya untuk dia membuatkan saja apa yang seharusnya terjadi."Aku tidak mampu dulu ya Nda. Sampaikan salam untuk Papa dan Mama. Aku harus memantau proyek baruku," pamit Yoga "Serius kamu? Tidak ngopi dulu? Nanti ngantuk loh,"Yoga menggeleng pelan "Tidak. Kalau sudah bertemu pawangnya, mana mungkin aku mengantuk," jawab Yoga.Amanda tersipu malu."Bagaimana Nda acaranya? Seru? Apakah nenek lampir itu menyerangmu?" tanya Bu Yosi saat Manda sudah sampai rumah "Ya seperti itu Ma. Tapi tadi Mama Yoga yang menjadi tamengku Ma. Jadi dia tak terlalu menye
"Berarti kamu menipuku mas?" tanya Neni dengan mata yang berkaca kaca.Agam sedikit kaget dengan ucapan dari sang istri. Dia melangkah mendekat. Bukan karena iba. Melainkan kaget dengan apa yang disampaikan sang istri."Menipu katamu? Sedari awal sudah aku bilang bukan? Bahwa aku keluar dari pelayaran. Dan kamu juga tidak keberatan."Neni melengos."Iya walau kamu keluar dari pelayaran sekalipun, toh kamu masih mempunyai usaha kan Mas? Usaha itu bisa menghasilkan uang bukan?" jawab Neni tak mau kalah.Agam tertawa kecil."Kamu pikir itu hanya usahaku? Tidak. Ada nama Mama, Naya juga disitu. Jika perbulan aku memberimu nafkah seratus juta, yang ada akan bangkrut usaha itu Nen. Jangan mengada-ngada kamu. Pikir yang logis," respon Agam setengah membentak.Neni menghela nafas pelan. Menjatuhkan diri di ranjang empuk kamar Agam. Dia menangis."Jangan menangis Nen. Aku tidak ada mendzolimimu. Ekspetasimu yang terlalu tinggi," kata Agam lagiNamun tidak ada sedikitpun kalimat Agam yang bisa
Tangan Agam mengepal."Kamu mengancamku begitu?"Neni mengggeleng pelan dengan santai."Tidak. Aku tidak mengancammu. Hanya saja aku ingin bersikap tegas kepadamu, agar tidak kamu injak injak.""Tapi bukan begini caranya Neni. Mana bisa dengan penghasilan yang tidak seperti dulu, aku bisa menuruti semua kebutuhanmu ini?""Aku tidak mau tau ya Mas. Pokoknya kamu harus menuruti semua keinginanku. Aku tidak mau dibedakan dengan mantan istrimu. Titik," kata Neni penuh penekanan.Agam mengusap wajahnya dengan kasar, dan ia memilih pergi. Ia merasa sumpek.Entah kenapa tiba tiba pikiranya melayang kepada anak anaknya. Ah entah sudah berapa hari ia tidak mengunjungi darah dagingnya itu. Ia memilih memutar kemudi mobilnya ke kontrakan Aisyah.Dari luar terdengar canda tawa di dalam. Sepertinya Aisyah sedang bermain bersama anak anaknya. Dan saat itu, hati Agam merasa damai, merasa hangat."Halo sayang," ucap Agam.Sang putri memang menghampiri. Tapi tidak seantusias anak yang lain saat bertem
Aisyah melihat lembaran uang dari Manda di tanganya itu. Tawaran Papa Manda tempo hari juga terngiang ngiang di kepalanya. Bisa saja ia pergi saat ini juga. Tapi bukankah itu namanya adalah seorang pengecut?Dan dengan uang ditanganya itu, bisa saja ia membayar kontrakan. Bahkan mungkin sisa, walau tak seberapa. Namun untuk bulan depan? Bagaimana jika Agam masih tetap saja tidak memberi nafkah? Ia tak tau harus bagaimana bukan? Ia pun tentu sungkan bahkan malu jika harus meminta tolong Manda kembali.Entah mengapa, sisa uang yang tidak seberapa itu, Aisyah berfikir untuk menjual jajan atau es saja di depan rumah kontrakannya. Lagipula banyak sekali anak kecil di kawasan kontrakan ini. Barangkali bisa untuk membantu ekonominya tanpa selalu bergantung kepada Agam.*"Aku pakai baju yang mana untuk lamaran Naya esok hari Mas?" tanya Neni yang kebingungan di depan lemari."Lihatlah baju baju kamu itu sudah banyak sekali. Kenapa masih saja bingung Nen?""Tapi ini semua sudah pernah aku pa
Plakk..Tangan Bu Melisa mendarat dengan sempurna di pipi Romi. Sempat ada pembelaan dari Naya. Meskipun air mata telah membanjiri pipi."Kamu kira, kamu itu siapa? Hah? Enak sekali menjadikan anak saya sebagai istri ketiga? Tidak. Saya tidak akan memberi restu. Saya tidak gila dengan harta kamu," jawab Bu Melisa dengan berapi api.Seorang wanita tampak maju mendekati Romi. Ia memeriksa sang suami. Apakah baik baik saja atau tidak. Sepertinya ia adalah salah satu istri Romi juga.Melihat itu tentu hati Naya menjadi sakit bukan main.Romi tetap tenang menghadapi kemarahan keluarga Naya."Yakin tidak gila harta? Buktinya apartemen anda dibeli dengan uang siapa?" tanya Romi dengan pelan namun penuh dengan tatapan sinis.Agam yang ada di belakang Mamanya pun tidak terima. Seolah Romi mempermainkan keluarganya saat itu."Ambil saja apartemen itu. Kami tidak butuh," sengit Agam dengan geram.Para tamu saling berbisik. Pak Anton yang melihatnya dari kejauhan hanya tersenyum simpul. Karena i
"Darimana saja kamu Neni. Di telfon lebih dari sepuluh kali tapi tidak kamu angkat?" gerutu Agam saat sang istri baru pulang.Neni sudah lelah. Ia hanya meletakan sebuah kantong plastik di meja."Nih makan. Ini resto milik artis yang baru buka itu Mas. Rame banget," jawab Neni, mimik wajahnya terlihat senang.Agam masih lurus menatap Neni. Tangannya dilipat di dada."Aku tanya apa, jawabmu apa?" sengit Agam.Neni yang biasanya akan membentak balik saat dibentak Agam hanya tersenyum. Karena apalagi kalau tidak karena hatinya sedang senang saat ini."Mas, aku sudah bilang, aku dari rumah Mama. Kamu sudah lupa? Atau pura pura lupa?" tanya balik Neni dengan tenang.Namun sepertinya jawaban Neni tersebut tidak member rasa puas untuk Agam."Lalu kenapa kamu justru pergi ke restoran artis itu?"Neni sedikit salah tingkah."Tidak. Ini tadi saudaraku yang membelikan. Makanlah mas. Kamu sedari tadi belum makan bukan? Pasti keluargamu sibuk karena huru hara ditipu calon suami," kata Neni.Tak me
Tentu Manda kebingungan dengan Naya yang ada dihadapannya tersebut."Nay, tenang dulu. Ada apa?"Naya mengusap air matanya."Romi, Mbak."Mendengar itu, Manda yang justru gemetar."Iya benar. Harusnya dari awal aku harus hati hati. Menyelediki di setiap sisinya. Di hari pertunangan, justru dia baru mengaku bahwa menikahiku untuk dijadikan istri ke tiganya. Aku malu Mbak. Malu sekali kepada Mbak Manda,"Manda masih mengggenggam tangan Naya."Tidak perlu malu Nay. Aku juga tidak akan mengolokku. Pak Romi adalah tetanggaku. Jadi aku tau,"Mendengar itu justru tangis Naya semakin pecah."Nay, sudah. Itu artinya Tuhan sudah menyelamatkanmu dari hal yang salah. Kamu tidak perlu malu. Tidak perlu menyesal. Tapi kamu harus bersyukur," pesan Manda.Naya hanya mengangguk kecil."Aku juga minta maaf ya Mbak. Atas topengku. Atas kemunafikan ku. Terutama keluargaku."Manda mengambil nafas panjang. Sejenak netranya terpejam."Iya." jawab Manda singkat."Berat ya Mbak? Iya dan aku sudah merasakanya.