SUARA Diko yang nyaring karena senang malam itu mengingatkanku kepada ayahnya, Brian. Sudah masuk dalam catatanku bahwa mayat di makamnya bukanlah mayatnya.Maka dari itu, penglihatan Cinta yang menangkap pandang Brian di sebuah gudang tua yang digunakan untuk berkumpulnya komplotan mereka, yang mengindikasikan ada keterlibatan penjualan narkoba, itu benar. Bisa jadi Lov tak bohong.Kemudian saat ingatanku masih liar, suara teriakan seorang wanita terdengar."Aaa!" teriaknya. Sontak semua pasang mata menoleh padanya. Wanita itu memegang minuman, namun tangannya seperti kaku tak dapat bergerak. Perlahan gelas minuman itu meluruh dari genggamannya, jatuh dan tumpah di atas lantai. Wanita itu tak lain adalah Sonar, salah satu karyawan di Lovamedia.Plang! Suara gelas menggelinding di lantai tersandung kakinya. Tubuhnya gemetar dan tangannya lunglai."Tanganku," keluhnya."Ada apa, Nar?" Cinta mendekatinya dan cepat memegang tangan yanh tiada daya itu."Tak dapat bergerak. Kaku." Sonar m
[Malam, Pak. Maaf mengganggu waktu tidurnya. Saya hanya ingin memberi kabar bahwa Sonar sudah ditangani dokter. Namun dokter bilang itu belum pernah terjadi sebelumnya. Berita baiknya, Sonar sudah dibawa pulang oleh keluarga]Dari Kasih. Masuk pukul 23.37.[Salam, Pak. Sonar sudah dibawa pulang oleh pihak keluarga. Sakitnya nggak diketahui apa, tapi dia baik-baik aja, kok. Administrasi sudah beres. Menggunakan BP*S dan asuransi] Pesan yang sama.Pagi akhir pekan itu aku akan menemui Sonar, juga Lunar. Untungnya, Lov pernah berkunjung ke rumah mereka kemarin. Jadi langsung saja kuajak istriku itu untuk berangkat ke rumah sonar. namun tiba-tiba saja cinta melakukan hal yang tak biasa."Lov, kamu dandan?" tanyaku saat melihat ia mencatut diri di depan cermin. Padahal biasanya ia hanya menggunakan make up tipis."Iya, Mas," jawabnya santai tanpa menoleh ke arahk."Tumben-tumbenan.""Biar lebih kelihatan aja, Mas.""Kelihatan apa?""Ya kelihatan seperti istri direktur.""Emangnya selama i
MAS RAMA kembali memasuki rumah Nenek Jum dan duduk bersila di sampingku setelah menerima telepon dari Pak Solomon, seorang dekan yang sempat hampir melecehkanku beberapa waktu silam. Lunar dan Sonar tak lama kemudian menyusul dan ikut duduk pula bersama kami.Suasana rumah sederhana yang dikelilingi pepohonan itu terasa sejuk. Angin segar bertiup lembut dari jendela dan pintu yang terbuka. Suara kicauan burung dan hewan-hewan pohon seperti tupai, serangga, dan lainnya, terdengar seperti orchestra yang harmoni.“Aaah, akhirnya tangan ini udah mulai bisa digerakkan. Udah mulai hilang kebasnya,” tandas Sonar dengan ekspresi lega dan menyungging senyum, menggerakkan tangan dan memutar-mutar bagian lengan atas.Nenek tersenyum tipis sambil menyipitkan mata. Jempolnya kemudian terangkat di depan wajah.“Oh ya, Nek, orang yang beli ramuan bius itu juga beli penawarnya?” lanjut Mas Rama bertanya penuh selidik, sudah seperti detektif saja yang kerjaannya menginterogasi para suspek.Nenek hany
“Baik, Mas.” Kubaca berita mengenai Mas Rama itu dengan seksama. Ternyata itu menceritakan kejadian dimana Mas Rama menolongku yang ditampar Rinaldi setelah pertunangan Kasih. Mas Rama memang hampir menghempaskan batu sebesar kepala ke wajah Rinaldi, tapi itu bukan niat membunah, hanya menggertak saja. Satu berita kupahami, berita lain muncul dan langsung kulibas pula. “Istri Panorama Angkasa Menghilang Tanpa Jejak, Membuat Ia Gila.” Berita yang sangat mengusik telingaku jika dibaca dari judulnya. Saat kubaca sampai selesai, ternyata apa yang diceritakan lebih menohok lagi dan membuatku geram. Berita itu menuduh Mas Rama sudah tak waras dan putus asa serta depresi sehingga muncul di acara TV lokal program Find Your Love. Serta mengadakan sayembara semu.“Rama Corporation Diprediksi Failed, Investor Kabur, Saham Anjlok.” Berita yang seperti dibuat-buat agar apa yang diceritakan benar-benar terjadi. Menciptakan perspektif pada publik dan pemegang saham untuk menghancurkan kepercayaan m
MATAHARI berpijar sempurna, memancarkan ultraviolet yang maksimal diserap oleh tumbuhan untuk fotosintesis. Daun-daun pohon di depan rumah menari-nari dimainkan angin. Bilamana sudah kuning ia akan menggugurkan diri secara jantan. Netraku yang menerawang ke taman itu menangkap Tara yang berjalan tertatih dituntun Rendra. “Maafkan saya karena tidak bisa menjaga Bu Tara dengan baik, Pak.” Rendra meminta maaf pada Mas Rama sekali lagi. Mas Rama hanya mengibaskan tangan pelan. Ia tahu Rendra adalah tipe perfeksionis yang tak mungkin lalai. Kalau ia bicara seperti itu berarti semua sudah diluar batas kemampuannya.“Udah berapa kali aku bilang, jangan panggil aku Bu Tara. Bisa nggak?” Tara mengeluh lagi pada hal yang sama sejak tadi. Rendra masih menatap datar hingga mengangguk pelan. “Baik, Non Tara.”Tara langsung menjejakkan kaki ke lantai. “Nggak ngerti amat sih. Payah,” umpatnya. “Auuu, sakiiit.” Tara memegangi pergelangan kakinya.Rendra yang disindir Tara sama sekali tak mengubah
“Untuk media sosial, saya akan buat video klarifikasi. Tolong kirim ke semua akun berita,” terus Mas Rama. Setya mengerti dan cepat mencatatnya.“Untuk tim penyelidikan, harus lebih berhati-hati. Penyamaran harus lebih sempurna lagi. Saya mau informasinya langsung dikirim ke ponsel saya.” Pandang Mas Rama beralih ke salah satu lelaki yang berbadan kekar. “Cari istrinya Brian dan minta keterangan darinya. Cari pula siapa yang berkontak dengan Nenek Jum dan siapa yang membeli ramuan bius itu.”“Untuk Bu Meri, berhati-hati baik di rumah atau saat keluar belanja. Kalau bisa semua aktivitas ART lebih dikontrol lagi. Libur lebaran harus bergantian, jangan sampai ada hari dimana rumah kosong. Ini berlaku juga untuk para penjaga. Libur bergantian.”“Siap, Pak Rama,” jawab beberapa orang hampir serentak.“Terakhir, Dennis, saya minta hubungi beberapa mekanik untuk mobil, harus check sebelum dipakai. Saya tidak mau ada yang menyabotase. Jangan sampai ada rem blong atau apalah seperti di sinetro
MAS RAMA terpaksa melepas sebagian besar saham Rama Corporation dengan harga jatuh. Pak De Andre kembali mendesak saat malam takbir berkumandang dari segala penjuru. Tak disangka, esok saat hari kemenangan idul fitri, Mas Rama harus rela merasakan kehilangan. Meskipun begitu, Bunda Syandi terus menguatkan anaknya itu kalau harta ialah sepenuhnya hak prerogatif Tuhan.Pagi yang cerah membuat orang-orang begitu antusias untuk melaksanakan shalat idul fitri di masjid perumahan. Kami shalat di rumah karena alasan keamanan.Setelah shalat, aku dan Mas Rama mengunjungi rumah Bapak di kampung, dikawal beberapa lelaki. Kami selanjutnya mengunjungi Ibu pula di rumahnya, bertemu dengan Kasih, Rindu dan Mas Bagus.***Siangnya,Sebenarnya Mas Rama tidak mau menerima tamu di rumah lebaran kali ini. Namun Bunda Syandi tetap meminta untuk mengizinkan tamu datang. Pastinya yang datang paling awal adalah ibu-ibu perumahan sebelah. Mereka selalu seperti rebutan untuk datang lebih dulu, karena biasany
“Intip, intip.” Ijah bergegas mengejakku mengintip dari dinding pembatas antara ruang makan dan ruang tamu. Suasana rumah masih terdengar riuh dengan banyak orang yang sedang membicarakan banyak hal. Mas Rama yang tadi memberikan sambutan sudah duduk bergabung bersama bapak-bapak di ujung ruang tamu sana. Bunda dengan beberapa tetangga. Sementara di dekat dapur sini adalah para warga komplek sebelah yang berharap amplop itu.“Satu,” Ijah menghitung. “Dua, dan … tiga.”“Huaaaaaaa!” teriak seorang wanita yang bertubuh agak gemuk itu sambil langsung berdiri, menjejak-jejakkan kaki ke lantai, tangannya mengibas-ngibas di depan mulut. Keningnya mengernyit, matanya menyipit. “Aaasiiiiiiin!” lanjutnya sambil setengah melompat-lompat. “Buuuaaah!” wanita muda di sampingnya juga menyemburkan lontong sapi kare itu ke depan seorang ibu di depannya, tepat pula mengenai bajunya, membuat baju ibu itu basah sebagian. “Asiiin bangeet.”Sementara aku dan Ijah Munica terpingkal-pingkal dari balik dindi
PEMUKIMAN itu rata dengan tanah. Yang tersisa hanya puing-puing yang terlanjur menjadi arang dan abu. Asap masih mengepul di beberapa bagian pagi itu. Katanya, kebakaran dimulai sejak semalam hingga pagi ini baru bisa dipadamkan.Lima belas unit mobil pemadam kebakaran tak cukup, dikerahkan lagi tujuh bantuan pemadam. Itu pun petugas dibantu warga masih kewalahan dalam bertarung dengan si jago merah. Susahnya akses masuk mobil jadi sebab utama. Pun rumah yang berdempetan membuat api tertawa ria mengejek dari jauh, membesar sesuka hati.Aku terpaku saat turun dari mobil.“Rumahnya, ludes.” Ruki bergumam.Aku hanya menggeleng pelan, tak dapat mengucap sepatah kata pun. Mas Rama pun hanya terdiam, menatap sendu.Nun di sebelah sana, ratusan pasang mata hanya dapat menyaksikan rumah mereka dilalap api. Pasrah tak dapat menyelamatkannya. Barangkali hanya satu-dua barang yang bisa diamankan, termasuk baju yang terpakai di badan.Tak banyak yang dapat disaksikan selain isak tangis dari ibu-
“TOTAL biaya tanggungan utang warga kampung Tanjung Kawan sebesar 1,7 milyar, Pak. Terlalu besar untuk dana CSR, atau mungkin kalau Bapak sendiri yang ingin membiayai dulu.” Rendra menyerahkan hitungan utang pemukiman yang berbentuk sebundel laporan itu.“Terlalu besar, Mas.” Tara menimpali.“Tapi gimana, Ra? Kasihan mereka.”“Yah, memang sebenarnya bukan tanggung jawab kita. Itu murni kesalahan mereka sendiri yang sudah berani berutang. Tapi, aku tahu kalau Mbak Cinta sudah niat bergerak ya mau gimana lagi. Aku siap support aja.”Siang itu kami kaman bersama di sebuah café tak jauh dari Aurora Corporation. Bosan makan di dapur umum kantor, kami ingin mencari suasana baru. Café bernuansa alam di jalan Ahmad Yani itu tak terlalu ramai, masih nyaman untuk dikunjungi.Mas Rama masih berpikir. “Mungkin kalau semua CSR dari perusahaan client dikumpulkan, bisa membantu setidaknya.”“CSR perusahan client?” tanyaku tertarik.“Eh, Sayang, makan dulu pastanya. Kamu lagi hamil nanti calon bayiny
“PAK Rama jemput?” tanya Fresha di dalam mobil. Hari sudah mulai sore. Aku dan Mas Rama berjanji untuk bertemu di suatu tempat dan kami akan menuju dokter kandungan. Dokter Meity.“Iya. Sebentar lagi sampai.” Aku sibuk memainkan ponsel, tak menatap pada Fresha.Sudah lima menit aku menuggu Mas Rama di tempat yang disepakati. Pukul 16.05 di arlojiku.Lima menit kemudian, sebuah mobil Mercedes hitam sampai di tempat itu. Melihat mobil Mas Rama itu aku berpamitan pada Fresha dan Dennis. Mas Rama membukakan pintu mobil seperti biasa.“Telat sepuluh menit. Eh, sebelas.” Aku menatap arloji.Mas Rama malah mencubit pipiku dan menariknya.“Auu.”“Shalat ashar dulu, Sayang.”“Iya. Cepetan ke praktek Bunda Meity.”Mas Rama tancap gas. Di perjalanan ia memandangiku dengan tatapan aneh. Alisnya sering terangkat dua kali seperti menggoda. Tapi aku tak tahu maksudnya apa. Entahlah, lelaki kadang memang tak dapat dimengerti. Makhluk aneh.“Jadi mual dan muntah tadi?”“Hmm.”“Kenapa?” Mas Rama malah
SUASANA rumah Bejo mendadak tegang ketika aku mulai tak senang dengan aturan yang ia terapkan semena-mena. Betapa tidak, utang yang awalnya hanya lima juta meranak-pinak jadi 10 juta dalam tiga bulan.Bukan hanya itu, utang itu pun mengganda ketika yang membayar bukan orang yang bersangkutan.“Ini buktinya. Silakan periksa saja. Semua jelas tertulis di perjanjian utang-piutang itu.” Bejo tersenyum mnyeringai. Bibirnya terangkat sebelah tanda ia merasa menang telak.Kuraih kertas yang Bejo letakkan di atas meja. Nama Marsudi tertera sebagai salah satu pihak penanda tangan kontrak. Kubaca lekat-lekat agar tiada satu kata pun terlewat. Sampai ujung tanda-tangannya kubaca, perkataan Bejo ternyata memang benar adanya. Perjanjian itu ditandatangani di atas materai. Kubaca dengan seksama tiap kata dan kupahami maksudnya betul-betul. Tapi mungkin Fresha sebagai sekretaris lebih paham apa isinya. Maka kusodorkan padanya.Fresha meneliti surat perjanjian itu beberapa detik.“Benar, Bu Cinta. Di
“Kali ini biarkan aku mengurus ini, Mas. Aku nggak mau terus-terusan bergantung sama kamu. Aku mau mandiri.”Mas Rama malah berdecak kesal. “Kamu mau hadapin si Joko itu sendiri?”“Kana da Dennis, Setya, Anzu sama Rizal yang aku bawa. Kalau keamanan kamu gak usah khawatir. Kamu fokus aja sama kerjaan. Lagian perusahaan ‘kan lagi berkembang sekarang. Kasihan kamunya kalau pecah fokus.”“Yah mau gimana lagi.”“Boleh Mas ya?”“Boleh,” jawab Mas Rama pelan. “Proposal untuk CSR renovasi rumahnya udah selesai?”“Udah.” Aku mengeluarkan sebundel kertas dan menyodorkan di atas meja kerja Mas Rama. Ia kemudian membuka proposal itu dan membacanya sekilas tiap lampirannya. Suara pintu diketuk. Mas Rama mempersilakan seseorang yang mengetuk pintu itu untuk masuk. Dennis dengan jas abu-abu dan tampilan yang klimis pun beranjak ke ruangan itu.“Saya hari ini menemani Bu Cinta untuk menyelesaikan masalah kemarin, Pak.” Dennis melapor di depan Mas Rama. Mas Rama meletakkan proposal yang dibacanya di
BRAK! Suara sesuatu ditendang keras. Aku dan Sonar yang terkejut serentak menoleh ke luar pintu. Seorang lelaki bertubuh besar tinggi, dengant tato di lengan atas, berbaju tanpa lengan, bercelana jeans, datang dengan wajah bengis.“Pak Tua! Sampai kapan mau nunggak utang!” lanjutnya.Kakek yang sibuk membantu istrinya duduk pun terkesiap. Ia berjalan mendekati pintu dimana lelaki itu berada.“Maaf, Mas Joko, saya belum punya uang.” Suara rintih itu terdengar sangat memelas.“Halah, aku gak peduli ya!” bentak lelaki bernama Joko itu.“Tapi saya harus bayar pakai apa?” Kakek memohon.“Apa aja. Mana sertifikat tanah ini?”“Jangan, Mas Joko. Kami tidak punya apa-apa lagi.”“Aku gak peduli. Utangmu udah sepuluh juta!”Joko mendorong tubuh Kakek hingga ia termundur beberapa langkah. Kakek yang tubuhnya masih terluka itu memegangi perut karena merasa sakit. Ia tersentak kaget.“Ini siapa?” tanya Joko menunjuk ke arah kami. “Wanita cantik ini anakmu?” lanjutnya.“Bu-bukan. Mereka cuma tamu.”
RUKI ternganga melihat aku membawa setumpuk sisa penjualan korannya tadi pagi. Apa lagi kuletakkan selembar uang seratus ribu, barangkali ia tak menyangka. Orang yang ia sakiti membalasnya dengan kebaikan.“Cinta!” panggilnya sambil berdiri dari kursi pajang pinggir jalan itu.“Iya?” Aku berhenti. Tanpa balik kanan menoleh padanya.“Terima kasih.” Matanya berkaca-kaca.“Aku tunggu di Lovamedia.” Kujawab sambil tersenyum, membuat matanya yang kian basah tak mampu membendung air mata yang titik setetes. Senyumnya terkembang di ujung bibir.Aku pun beranjak melewati trotoar hingga sampai di seberang minimarket. Setelah menyeberang dengan hati-hati aku masuk ke mobil dan Setya menjalankan mobil kembali.“Untuk apa bawa setumpuk koran?” tanya Mas Rama yang heran ketika kubawa tumpukan koran itu masuk ke mobil.“Nanti pasti ada gunanya. Mungkin bagi kita sampah, tapi bagi orang lain bisa jadi berkah.”Mas Rama menggeleng sambil tersenyum tipis.Mungkin sekitar lima belas menit kemudian kami
KETIKA sedang menghirup udara segar pagi itu di jalanan kota Lombok, perkataan Mas Rama mengingatkanku pada sesuatu. Barangkali wanita yang hilang itu berada di dalam kasur!Mengapa kupikir demikian?Pertama, saat aku berbaring di atas kasur di kamar itu rasanya keras dan tak nyaman sama sekali. Kedua, barang-barang yang kutemukan di sudut ruangan yang merupakan segulung tali seperti benang dan jarum yang tertancap di tanaman hias. Alat untuk menjahit.Sementara potongan kain yang kudapatkan di dalam tong sampah tak lain adalah isi dari kasur yang dikeluarkan. Yang berkemungkinan pula sebagian besar isinya itu telah dimasukkan ke koper bersama pakaian kotor.“Mungkin aja sih, Lov. Boleh juga insting detektif kamu.” Jawaban Mas Rama saat kuberi tahu pendapatku tentang hilangnya wanita itu. “Kasih tahu polisi yang jaga.”“Kembali lagi ke hotel?”“Iya.”“Ya udah, ayo.”Kami yang kembali lagi ke hotel. Mas Rama menunggu di depan pintu masuk hotel sementara aku menuju lobi dimana dua orang
RUANGAN lobi jadi tempat berkumpul semua penghuni hotel. Sementara meja salah satu ruang di lantai bawah dijadikan ruang interogasi oleh para polisi. Pertama, lelaki yang berhubungan dengan si wanita yang hilang itu diberondong pertanyaan.“Maaf, saya dengar Ibu langsung berkontak dengan lelaki itu.” Seorang lelaki berpakain polisi menegurku ramah. “Bolehkah kami mewawancarai di ruangan sana?”Aku yang berdiri sambil menyilangkan tangan menjawab, “Ya.”Kemudian aku mengekor di belakang lelaki itu dan ikut masuk ke dalam ruang interogasi.“Sejak jam berapa anda di hotel ini?” pertanyaan pertama setelah nama da nasal.“Sejak pukul lima kira-kira.”Mungkin yang bertanya itu adalah seorang detektif. Cepat ia mencatat jawabanku sambil mengangguk pelan.“Bersama siapa?”“Suami.”“Jadi anda berada di kamar 304?”“Ya.”“Malamnya anda sempat pergi keluar, lalu saat kembali anda sempat berkomunikasi dengan pria ini?” Detektif itu menunjukkan sebuah foto yang tak lain dan tak bukan adalah pria y