"Tapi tak apa-apa, Nay. Itu akan membuatmu kuat. Orang lain belum tentu bisa sesabar kamu." Hibur Kak Ilham.
"Ayolah, kita jenguk Marry." Ajak ayah.
Kedua kakakku bangkit.Aku harus menunggui Leang di kamar."Kami keluar dulu, Nay.." pamit ibu, wanita mulia itu pun mencium Leang.
"Cepat sehat lagi ya, Nang.. " bisiknya di telinga anakku.Mereka berlalu.
Menjenguk Marry, menemui ipar-iparku. Entah bagaimana perlakuan mereka nanti kepada keluargaku. Menghargai atau malah memusuhi?Dalam konsep nilai adat budaya yang mereka miliki mestinya mereka menghormati keluarga kami, namun entahlah jika hanya Bapak dan Mama yang mewujudkan nilai-nilai itu dalam kesehariannya.
Sebab yang terjadi padaku selama dalam keluarga ini, nilai-nilai budaya itu tergerus oleh keirihatian dan ketakutan-ketakutan iparku terhadap dominasi lelaki dalam keluarga.
Padahal jika nilai-nilai itu diejawantahkan secara kolektif dalam kehidupan, kita akan menemukan bahwa sejatinya lelaki dan perempuan itu seimbang dalam berbagai peran dan fungsi sosialnya di masyarakat.
Rasanya aku tak sabar menunggu kakak-kakakku bercerita setelah pertemuan mereka dengan ipar-iparku itu nanti.
Handphone-ku berdering.
Nama Kak Irfan tertera di screen."Assalamualaikum, iya, kak." Jawabku setelah menekan tombol hijau."Nay, biaya pengobatan Leang bagaimana? Kalian punya dananya?" Tanya kak Irfan.
"Ada asuransi, kak." Jawabku.
Hatiku bertanya-tanya, kenapa tiba-tiba kakakku menanyakan hal ini."Oh, jadi sudah dicover asuransi ya. Baiklah."
Panggilan diputus.Lalu pesan W* masuk dari suamiku.
[Aku bawakan makan siang ya, sekalian untuk ayah, ibu, dan Pakde nya Leang]
[Ditunggu bawaannya, menantu dan adik ipar kesayangan 😘][Tolong sekalian beli juga untuk Bapak, Mama, dan Tante-tantenya Leang][Siap]Satu jam kemudian suamiku datang, berbarengan dengan keluargaku yang kembali lagi ke kamar.
Kami makan bersama.
"Bapak Leang sudah tahu belum hasil diagnosa dokter dan rencana tindakan medis untuk Marry?" Tanya Ayah.
"Belum, Yah" jawab suamiku.
"Bapaknya Leang kan baru datang, Yah. Belum ketemu sama Pak Regar." Kata Kak Irfan."Memang gimana katanya, Yah?" Tanya suamiku.
"Agak berat keliatannya. Harus dioperasi.Kemungkinan baiknya bisa sehat tapi tak bisa 100% seperti semula, kemungkinan buruknya kehilangan kemampuan pendengaran dan bicaranya, kemungkinan paling buruk jika tidak operasi tetap koma entah sampai kapan." Papar ayah.
"Biayanya diestimasikan diatas angka duaratus juta. Nah, tadi saudara-saudara mu bilang, karena musibah ini akibat ulah Naya maka keluarga Naya lah yang harus menanggung biayanya." Terang ayah lagi.
Nandean tertawa.
"Orang gila." Gumamnya sambil menggelengkan kepala."Yang ngomong seperti itu siapa, Yah?" Tanya Nandean.
"Rara sama Lily." Jawab Ayah.
"Terus Bapak bilang apa? Ada ngomong gak Bapak?" Tanya Nandean lagi.
"Bapakmu malah bilang, jangan didengarkan, pak. Nanti kami musyawarah keluarga dulu." Jawab ayah.
"Kebiasaan Bapak memang begitu, semua dimusyawarahkan dulu." Kata suamiku.
"Kadang aku juga bingung sama mereka yang perempuan-perempuan itu." Keluhnya.
"Tapi tanpa diminta pun nanti kami akan tetap membantu biayanya. Makanya tadi Irfan saya minta tanya Naya bagaimana biaya Leang, katanya sudah dicover asuransi, berarti persiapan bantuan untuk Leang kami alihkan untuk Marry." Kata Ayah.
"Kakak-kakaknya Nandean itu agak-agak aneh ya?" Gurau Kak Ilham sambil tertawa.
"Memang aneh." Tawa Nandean."Kalau tak aneh, tak akan ada cerita hari ini." Kata kak Irfan.
Ayah hanya tersenyum.Kemudian mereka semua sholat Dzuhur ke musholla.Aku dan ibu sholat di kamar."Nay," sapa ibu saat aku mencium tangannya setelah selesai sholat.
"Maafkan ibu ya. Ibu tak pernah tahu kesusahanmu." Ucap ibu sambil menangis.
"Ibu, Naya baik-baik saja, ibu tenanglah." Hiburku sambil tersenyum.Kugenggam tangan hangat pemilik syurgaku, tangan yang dulu merawat dan membesarkan aku dengan seluruh kasih sayangnya. Tangan yang mengerjakan berbagai hal untuk memenuhi aneka kebutuhanku. Tangan yang senantiasa menengadah ke langit memohon kebaikan-kebaikan dalam hidupku.
Bahkan kini tangan itu pun melakukannya untuk putraku.Tiba-tiba aku menyadari satu hal, yang membuatku bertahan melalui ujian hidup hingga saat ini adalah doa ibuku.
-0-
Siang itu Bapak meminta kami berkumpul. Aku menitipkan penjagaan Leang pada Ibu yang kebetulan masih berada di Rumah Sakit. Ayah dan kakak-kakak ku juga tampaknya masih menunggu perkembangan berita dari keluarga mertuaku.
Kami memilih tempat di sebuah sudut halaman parkir yang agak rindang untuk bermusyawarah. Bapak mulai membuka rundingan, menyampaikan hasil diagnosa dokter dan rencana tindakan medis yang harus dilakukan termasuk estimasi biaya."Jadi Saya mengumpulkan kalian untuk memusyawarahkan bagaimana kita akan mengatasi masalah ini. Setiap orang harus berpendapat, supaya nanti tidak ada saling iri dan saling menyalahkan. Kita semua mengupayakan yang terbaik untuk kesembuhan Marry." Kata Bapak."Yang membuat Marry sakit lah yang bertanggungjawab." Celetuk Rara yang langsung diperingatkan oleh Bang Ishaq, suaminya."Apaan sih" katanya pelan."Aku setuju sama Rara." Kata Lily."Kalau gak mau tanggungjawab, kita laporkan ke kepolisian, kasus penganiayaan." Lanjutnya.Nandean mendehem."Kalau menurut aku sih kita bisa sumbangan semampu kita, jika masih kurang nanti dicarikan jalan lainnya." Kata Naura yang diiyakan oleh Tanto, suaminya.
"Kalau begitu kau dengan si Lily sama gilanya." Gerutu Bapak."Coba Ishaq, kau didiklah bagaimana seharusnya istrimu itu." Kata Bapak kepada Ishaq.Kulihat wajah Bang Ishaq memerah."Si Rossy, umurnya paling muda diantara kalian tapi isi pikirannya lebih baik." Ucap Bapak lagi."Coba sih dijaga bicaramu, Rara, Lily, terutama di depan besan kami. Bukan kau yang dianggap kurang ajar, tapi aku, Bapakmu yang dipandang orang kurang ajar akibat perbuatanmu. Terutama kau, Rara. Macam tak punya otak kau kulihat. Malu saya kau buat didepan Pak Ikram, kalian minta mereka membayar biaya si Marry. Si Naya ini menantu kami, dunia akhirat dia sudah jadi bagian keluarga ini, kalian masih anggap dia dan keluarganya seperti orang lain. Lagipula yang terjadi pada Marry bukan sepenuhnya kesalahan Naya, salah si Marry bikin gara-gara." Bapak bicara panjang lebar."Lily yang nyuruh aku ngomong." Rara membela diri."Mana ada aku nyuruh kau ngomong." Elak Lily
Aku tahu ayah sedang menegurku dengan cara halus. Aku memang bersalah, aku lepas kontrol hingga membuat Marry dalam keadaan koma hingga kini.Meski aku punya alasan, aku memilih diam.Aku tak ingin mendebat orang yang telah mengajariku berbicara.Kefasihan ayah bicara, kebijakan kata-katanya, ketajaman analisanya, semua terwarisi oleh kami anak-anaknya.Tapi di hadapan ayah, kami tak pernah mendebat. Jika pun harus memberikan argumen maka argumen itu kami sampaikan dengan cara yang sopan dan tidak menyakiti orang tua kami."Ayah mestinya mengatakan itu pada kakaknya Nandean." Kata Kak Ilham dengan santai.Ayah tersenyum."Yang ada ayah langsung diusir siapa itu namanya? Lily? Ya Lily!" Ledek kak Irfan.Mereka pun tertawa."Bagaimana hasil rundingan keluarga Pak Regar tadi?" Tanya Ayah padaku."Mengumpulkan sumbangan dari tiap anggota keluarga." Jawabku.Ayah mengangguk-angguk."Berapa yang terkum
Dua pasang orangtua kami sedang bersinergi membangun kekuatan yang sebenarnya dalam hubungan kekerabatan. Mestinya hal ini menjadi contoh bagi anak-anaknya."Mama, ada yang mau disampaikan?" Tanya Bapak kepada Mama setelah Isaknya reda."Kami dan anak-anak kami mengucapkan terimakasih atas perhatian besan kami, semoga bermanfaat dan Allah membalas dengan rezeki yang berlipat-lipat kepada besan sekeluarga.Soal Naya, terus terang saja, kami menyayangi Naya seperti anak sendiri bahkan mungkin lebih, sehingga menimbulkan kecemburuan anak kami yang lain.Jadi mohon maaf Bapak dan Ibu Ikram, kalau ada kekeliruan kami dalam menjaga Naya selama menjadi menantu kami."Suara mama pelan namun cukup jelas."Yang lain dari Anggun, Naura, Lily, Rara, masih ada yang mau disampaikan?" Tawar Bapak."Terimakasih Banyak kepada Pak Ikram dan keluarga, atas nama pribadi saya mohon maaf kalau ada kesalahan saya dalam memperlakukan Ibunya Leang." Ucap Anggun.
"Sama-sama, pak. Inilah fungsinya keluarga, saling mengingatkan. Kami mohon pamit, untuk bantuannya akan kami kirim ke rekening Naya agar dapat segera diserahkan kepada Bapak. Jumlahnya 50 juta." Kata Ayah."Nah, kalau begitu kan jelas. Biar transparan. Ya Nggak, Nay?" Kata Rara.Naura langsung menyikutnya,"Apa sih, Ra?"Sementara mata Bang Ishaq melotot pada istrinya.Ayah, ibu, kak Ilham dan kak Irfan pun pamit pulang.Mereka memelukku hangat dan erat."Tenang, Nay. Kami selalu di belakangmu untuk menguatkan dan mendukungmu." Bisik Kak Irfan.Terimakasih, Tuhan.Kau berikan aku cinta berkelimpahan.Pasti akan ada cerita baru tentang ipar-iparku setelah pertemuan sore ini.Menjelang Maghrib kondisi Leang kembali mengkhawatirkan. Demam tinggi. Berkali-kali infus lepas dan pindah tempat."Ibu, kepala Eang sakit." Rintihnya."Sabar ya, nak. Nanti setelah minum obat sembuh." Bujukku samb
"Kak Rara diajak Bang Ishaq pulang, Dzaki rewel katanya. Lily hipertensinya kambuh." Urai Rossy."Bang Ishaq tampaknya marah." Rossy bergumam."Kenapa?" Tanya Nandean."Katanya karena kak Lily nyuruh kak Rara minta biaya rumah sakit pada ayahnya kak Naya, kak Lily juga marah pada kak Rara karena menceritakan dalam pertemuan tadi sore." Jawab Rossy.Kami tersenyum, ada-ada saja mereka ini."Kalian sudah makan belum?" Tanya suamiku."Belum. Kakak dan Abang juga belum kan? Nanti sekalian aku pesan." Jawab Rossy."Tidak. Biar aku saja yang beli, sekalian keluar nanti." Kata suamiku.Suamiku beranjak keluar kamar.Rossy duduk di sisi pembaringan, tangannya mengelus pipi Leang perlahan. Selama ini jarang sekali dia melakukan kontak fisik dengan anakku."Kak, maaf ya atas kelakuan kakak-kakak kami." Tiba-tiba Rossy bersuara.Aku tersenyum, "tidak apa-apa.""Kak, bisa tidak kakak memaafkan kak Marry?" Tanyanya
Hingga Nandean datang, Rossy masih menangis."Kenapa?" Bisik Nandean kepadaku.Aku menggeleng.Aku tak mampu bersuara.Tenggorokanku seperti tercekat.Aku menghampiri Rossy yang tertelungkup di samping Leang. Mengusap-usap punggungnya.Bahkan aku saja terperanjat mendengar ceritanya, apalagi dia yang mendengar langsung dan mengetahui fakta tentang kejahatan kakaknya."Bapak sama Mama mau kesini katanya." Ujar Nandean memecah kebisuan.Aku membereskan makanan yang tadi dibawa Nandean."Kok banyak amat ini?" Tanyaku."Bapak dan Mama mau makan bareng disini." Jawab Nandean.Rossy bangkit mengusap matanya, kemudian ke kamar mandi. Gemercik suara air terdengar, tampaknya ia mencuci muka.Tak lama ada suara salam dan ketukan di pintu kamar. Aku gegas membukanya, tampak wajah Bapak dan Mama yang terlihat letih."Bagaimana si Leang?" Tanya Bapak."Sedang tidur, pak. Tadi demam tingg
Aku berdiri di bawah sebuah pohon mangga yang besar dan berbuah lebat. Buah-buahnya yang matang jatuh berserakan di sekeliling pohon. Kupungut buah-buah yang jatuh dan kumasukkan dalam sebuah keranjang besar hingga keranjangku hampir penuh.Lily dan Marry datang mendekat, mereka memetik buah yang masih tergantung di pohon."Kak, tidak boleh mengambil yang masih di pohon. Ambil yang sudah jatuh saja." Aku mengingatkan.Lily menatapku marah.Dia pergi dan kembali lagi membawa sebuah golok panjang.Disuruhnya Marry memotong dahan pohon."Biar dapat banyak buahnya." Katanya kepada Marry.Aku tak bisa mencegah mereka, karena pohon ini pun bukan milikku.Susah payah Marry memotong dahan sementara Lily hanya berteriak-teriak mengatur begini dan begitu, bahkan sesekali marah jika Marry tak bisa menjangkau dahan pohon.Tiba-tiba dahan pohon patah, jatuh menimpa Marry. Aku berteriak mengingatkan, tapi terlambat. Marry jatuh rebah tert
Sebulan berlalu tanpa ada berita apa-apa tentang para iparku. Sesekali Mama menelpon menanyakan Leang, tapi tak pernah menyinggung tentang anak-anaknya. Hanya ada satu cerita dari beliau, kini Marry sudah rajin beribadah. Aku mengucapkan syukur.Hingga di suatu sore, Rara menelpon."Bapak Leang, si Lily sudah beli rumah!" serunya."Alhamdulillah..." jawab Nandean."Harganya limaratus juta," lanjut Rara "Syukurlah," sahut Nandean."Lebih mahal dari rumah kalian," kata Rara lagi."Ya, rumah kami memang tidak semahal itu," jawab Nandean datar."Kau mau menyumbang apa?" tanya Rara."Maksudnya?" Nandean balik bertanya."Perabotan Lily belum ada, jadi dia minta sumbangan dari kita," jawab Rara."Katakan pada Lily, beli otak dulu baru beli rumah!" ujar Nandean ketus dan langsung memutuskan sambungan telepon."Apalah maksudnya, pamer beli rumah limaratus juta, rumahnya lebih mahal dari rumah kita, tapi minta sumbangan beli perabot! Sakit Jiwa orang itu," gerutu Nandean.Aku tertawa kecil
Sebulan sudah Lily dan Antar berada di rumah Bapak. Nandean sering bercerita bahwa Bapak sering mempertanyakan mengapa Antar bisa meninggalkan pekerjaannya lebih dari sepuluh hari, padahal cuti maksimal yang bisa didapatkan seorang karyawan maksimal cuma 10 hari."Mungkin dia berniat mencari pekerjaan lain, pak," jawab Nandean."Sudah sebulan ini dua orang itu makan-tidur, makan-tidur di rumah saya," gerutu Bapak."Tak ada basa-basinya menambah uang belanja Mamamu atau membantu pekerjaannya di rumah. Saya lihat Mamamu kerepotan sendiri di rumah," kata Bapak lagi."Bapak bilanglah kalau bapak keberatan," saran Nandean."Sudah pernah saya tanya, alasannya tunggu proses mutasi si Lily," jawab Bapak."Tunggu proses kan tidak harus disini, bisa tunggu di kampungnya sana," ujar Nandean."Seminggu yang lalu si Marry lihat si Antar membuka-buka laci buffet di ruang depan katanya. Waktu ditanya, dia bilang sedang cari gunting. Si Lily ada di kamarnya, Mamamu sedang di belakang." Bapak bercerit
"Aku mau pakai mobil," katanya."Terus?""Bawa sini mobil Bapak!""Mau aku pakai!""Kau kan punya mobil sendiri,""Itu mobil mertuaku, mau dipakai anaknya!""Biasanya Naya tidak bawa mobil,""Sekarang disuruh ayahnya bawa mobil, karena setiap pagi dia mengantarkan Leang ke rumah mertuaku,""Kau sajalah yang mengantarkan mereka!""Naya berangkat lebih pagi dari aku,""Rempong amat sih!""Kau yang rempong! Tak punya mobil tapi ingin pakai mobil! Naik motor saja kalau belum punya mobil,""Sok kaya kau!""Jangan lupa, motor yang kau pakai itu juga punyaku! Baca nama di STNK nya baik-baik!"Klik! Panggilan diputus.Nandean tertawa."Kapan lagi aku bisa mengerjai mereka, kalau tidak sekarang." Dia bicara sendiri."Nanti kau berubah jadi seperti mereka, Pak," sahutku."Ya, tidaklah! Aku kan hanya mengantisipasi berbagai kemungkinan, sekaligus memberi pelajaran pada Lily sedikit demi sedikit.
Sebulan kemudian Lily dan Antar kembali ke rumah Bapak."Aku tak mau pindah kamar, Pak!" Marry protes kepada Bapak."Lalu kakakmu tidur dimana nanti?" tanya Bapak."Di kamar belakang lah! Kan kosong!" Marry berkeras."Memangnya aku pembantu?" ujar Lily emosi."Dulu kau yang bilang, kalau sudah menikah tidak boleh menempati kamar yang ada di depan, harus di belakang," jawab Marry."Kapan aku bilang?" debat Lily."Waktu Nandean dan Naya tinggal disini!" jawab Marry keras."Ooo... Jadi kau anggap aku dan istriku pembantu waktu tinggal disini ya?" tanya Nandean sambil tertawa."Aku tidak bilang begitu," gumam Lily."Tadi kau bilang, 'memangnya aku pembantu?' seolah yang ada dalam pikiranmu hanya pembantu yang pantas tidur di kamar belakang," cecar Nandean."Konsisten dong, Ly, konsisten. Apa yang pernah kau ucapkan, kau ajarkan pada adik-adikmu, harus kau laksanakan." Nandean bicara sambil menahan tawa."Kau dengar
"Tapi jangan main-main dengan saya, kalau ada yang berniat jahat pada keluarga saya, akan saya balas lebih jahat!" lanjutnya sambil tertawa.Lily menangis terisak-isak. Antar hanya diam.Setelah semua siap, kami pun berangkat. Kembali menyusuri jalan-jalan kampung yang lengang, melewati pasar-pasar desa, dan memasuki jalan lintas provinsi.Tiba-tiba Bapak tertawa, "saya rasa cocok si Lily bertemu mertua seperti Mamak si Antar ini. Sama-sama beringas dan bermulut pedas," ujarnya.Mama ikut tertawa."Semoga ke depannya jadi baik semua, Pak," ujar Nandean."Yang masih mengganggu pikiran saya, apa motif si Antar waktu berniat kabur kemarin itu ya?" tanya Bapak."Sebab orangtuanya orang baik-baik saya lihat," lanjut Bapak."Cuma si Antar lah yang tahu alasannya. Apa kita kembali lagi kesana, menanyakan langsung pada si Antar, pak?" tawar Nandean sambil tertawa.Bapak dan Mama tertawa kecil.Pikiranku melayang pada Lily. Membayan
"Tidak jauh kan kebunnya, Mak?" tanyaku."Dekat, lima menit pun jalan kita sampai," jawabnya."Ayoklah! Kuambil dulu karung di belakang," lanjutnya."Aku ikutlah!" ujar Nandean."Mama juga ingin ikut," ucap Mama."Ayoklah! Kita ke kebun, tak jauh! Sambil jalan pagi-pagi," ajak Pak Busthami.Akhirnya kami berangkat ke kebun. Sepanjang jalan Pak Busthami bercerita tentang kebun-kebun yang kami lalui."Milik kami tinggal tiga per empat hektar inilah, yang lain sudah habis dijual untuk biaya sekolah si Farida dan Antar."Kami hanya tersenyum menanggapi ceritanya."Si Farida agak lumayan hidupnya. Suaminya rajin berkebun dan menjual hasilnya langsung ke pedagang di pasar-pasar. Banyak langganannya. Kami pun kalau panen menitipkan hasil panen pada si Arifin untuk dijualkan." Kata Bu Busthami."Kalau si Antar tak mau dia ke kebun. Sudah terbiasa di kota, malas dia mau ke kebun," lanjutnya.Kami pun memetik jeruk den
Bakul-bakul berukuran sedang berisi nasi diletakkan berselang seling dengan berbagai lauk, sayur, sambal, dan lalapan. Tidak ada sendok dan garpu. Sendok hanya diletakkan di mangkuk-mangkuk lauk dan sayur saja, bukan untuk makan. Mangkok-mangkok kecil berisi air disediakan sebagai tempat cuci tangan. Kami makan bersama, para ibu tak henti-hentinya berbicara meski mulutnya berisi makanan. Mereka membicarakan kelebihan dan kekurangan menantu masing-masing lalu saling membanding-bandingkan. Selesai makan para tamu pulang, beberapa masih tinggal dan membantu membereskan peralatan makan yang kotor dan membawanya ke belakang. Lagi-lagi Farida memanggil Lily."Jangan ngobrol disini!" Ujarnya, "kita ngobrol di belakang saja sambil cuci piring dan beres-beres yang lain," tangannya bergerak mengajak. "Aku ganti pakaian dulu," jawab Lily."Tak perlu ganti pakaian, pakai itu pun tidak masalah untuk ke dapur dan ke sumur, kan tidak mahal-mahal amat bajumu itu," celoteh Farida.Lily mengepalkan
Jam sepuluh kami kembali lagi ke rumah Pak Busthami, orangtua Antar. Kursi-kursi yang tadi kami duduki sudah dikeluarkan. Di ruang tamu dan ruang tengah rumah sudah dibentangkan tikar. Bapak masih terlibat perbincangan dengan Pak Busthami. Sepintas kudengar mereka sedang bercerita tentang sejarah hidup dan masa lalu masing-masing.Ibu Busthami kembali duduk menemani Mama di ruang tengah, kue-kue disuguhkan. Separuhnya adalah kue bawaan kami. Pembicaraan kami pun hanya seputar jenis kue dan resep-resep masakan. Ciri khas ibu-ibu."Sedang apa si Lily, Bu?" tanya Mama pada Bu Busthami."Sedang menggoreng ikan dia," jawab Bu Busthami."Disini menantu harus terlihat rajin, Bu. Biar tak malu kami pada tetangga," ujarnya lagi.Kami hanya tersenyum."Da, Farida!" Panggil Bu Busthami."Iya, Mak!" Farida menyahut. Beberapa detik kemudian sosoknya muncul."Suruhlah Lily mandi, biar bersiap dia. Tamu sebentar lagi datang," kata Bu Busthami."Pekerjaannya belum selesai, Mak," ujar Farida."Biar si
Orangtua Antar menyambut kami di depan."Cepat sekali kalian sampai," Ayah Antar menyambut kami dengan senyum lebar."Ayolah, masuk sini!" Ajak Mamanya Antar.Kami menyalami mereka."Farida! Farida! Adikmu sudah sampai, da!" Mama Antar berseru sambil berjalan ke dalam rumah.Seorang perempuan seusia Marry keluar, dengan kaos oblong warna biru dan sarung warna merah bermotif bunga."Selamat datang di kampung," ucapnya sambil tersenyum canggung pada kami.Kami duduk di ruang tamu dengan satu set kursi kayu yang terlihat masih baru. Jendela-jendela terbuka menampilkan pemandangan di luar rumah yang tampak hangat disirami cahaya matahari.Suguhan teh, kopi, goreng ubi, dan rebusan jagung memenuhi meja ruang tamu. Kami menikmati teh hangat tanpa harum melati sambil berbincang.Antar dan Nandean membuka bagasi, menurunkan koper-koper Lily dan memasukkannya ke dalam kamar yang ditunjukkan Mamanya Antar."Lily, kau bantulah kakak