"Kalau begitu kau dengan si Lily sama gilanya." Gerutu Bapak.
"Coba Ishaq, kau didiklah bagaimana seharusnya istrimu itu." Kata Bapak kepada Ishaq.
Kulihat wajah Bang Ishaq memerah."Si Rossy, umurnya paling muda diantara kalian tapi isi pikirannya lebih baik." Ucap Bapak lagi.
"Coba sih dijaga bicaramu, Rara, Lily, terutama di depan besan kami. Bukan kau yang dianggap kurang ajar, tapi aku, Bapakmu yang dipandang orang kurang ajar akibat perbuatanmu. Terutama kau, Rara. Macam tak punya otak kau kulihat. Malu saya kau buat didepan Pak Ikram, kalian minta mereka membayar biaya si Marry. Si Naya ini menantu kami, dunia akhirat dia sudah jadi bagian keluarga ini, kalian masih anggap dia dan keluarganya seperti orang lain. Lagipula yang terjadi pada Marry bukan sepenuhnya kesalahan Naya, salah si Marry bikin gara-gara." Bapak bicara panjang lebar.
"Lily yang nyuruh aku ngomong." Rara membela diri.
"Mana ada aku nyuruh kau ngomong." Elak Lily.
"Tadi itu, bilang sama ayahnya Naya, Ra, dia harus tanggungjawab bayar biaya pengobatan Marry, anaknya yang bikin ulah. Begitu kan kau bilang?" Balas Rara.
Wajah Lily merah padam, mungkin ia malu dan marah.
"Bodohnya kau, Rara. Mau saja dijerumuskan si Lily. Memang tak ada otakmu kurasa." Ujar Bapak."Pergilah kau dari depan saya! bukannya membantu memecahkan masalah malah kau tambah-tambah masalah. Kupecahkan juga nanti kepalamu!" Bentak Bapak.
"Selama ini kau anggap orangtuamu ini bodoh, karena kami tak berpendidikan. Sengaja kami sekolahkan kalian tinggi-tinggi, supaya bagus kelakuanmu, tapi rasanya percuma saja sekolahmu itu. Tetap saja kurang ajar kau pada orangtuamu. Tak ada artinya gelar di depan dan di belakang namamu itu. Mulutmu itu berbahaya, meracuni saudaramu sendiri. Saya yakin ada andil si Lily dalam peristiwa Marry ini."
Kami semua terdiam.Aku tercengang dengan kalimat terakhir Bapak. Benarkah dalam kejadian kemarin ada keterlibatan Lily?
Tak lama Rossy memberikan catatan kepada Bapak. Terlihat jumlah sumbangan yang disepakati dari masing-masing orang.
Rara: Rp. 0,- Lily: Rp. 0,-Anggun: 5 JTNaura: 15 JTNandean : 50 JTRossy: 20 JTBapak: 100 JT
Di ruang perawatan Leang, keluargaku berdiskusi. Mereka sepakat bahwa Ayah, ibu, dan kedua kakakku tetap akan memberikan santunan untuk biaya pengobatan Marry.
Siang itu Leang terbangun, makan bubur, minum obat, bercanda sebentar, lalu tidur lagi. Dia tidak mau menggunakan Pampers sehingga kakakku bergantian menggendongnya ke kamar mandi.
"Nay, batu permata yang bagus tidak terbentuk di dalam lumpur, tapi didalam bumi. Dihimpit bebatuan, ditempa panas yang tinggi. Sehingga ia kuat, sulit dipecahkan, dan bernilai jual mahal." Kata Ayah.
"Jadi jika kita sering menghadapi kesulitan, dihimpit kesedihan, dipanasi penderitaan, artinya kita sedang dibentuk menjadi manusia yang kuat dan berharga." Lanjut ayah.
"Kamu bersyukur bertemu dengan orang-orang seperti iparmu. Dari mereka kamu bisa belajar bahwa disakiti itu sangat tidak nyaman, maka jangan menyakiti orang lain.
Kamu juga bisa mempelajari berbagai karakter manusia, bahwa tidak semua orang sama seperti kita, tapi kita harus yakin bahwa orang baik biasanya akan dipertemukan dengan hal-hal dan orang-orang baik.""Dari yang menyakitkan kita belajar bahwa tidak semua hal harus kita dekap erat saat suka dan kita lepaskan saat benci. Sesuatu yang kita benci kadang juga memiliki manfaat, sesuatu yang sangat kita sukai kadang-kadang juga membawa mudharat."
"Ayah bersyukur mendapati bahwa kau pernah dikelilingi mereka yang berperangai buruk, tetapi engkau tak terbawa menjadi buruk. Tapi itu saja belum cukup. Harus diupayakan bahwa mereka yang berperangai buruk bisa berubah karena kebaikan-kebaikan yang kita lakukan."
"Yang pasti, tidak ada manusia yang sempurna. Engkau mungkin telah bertahun-tahun menahan diri, tetap bersikap baik, namun akhirnya kontrol dirimu terlepas. Pasti engkau pernah merasa bahwa percuma berbuat baik toh mereka tetap berbuat buruk padamu. Tapi kita semua tahu, baik atau buruk perbuatan kita akan kembali ke diri kita sendiri."
Ayah bicara panjang lebar.
Suasana hening.Aku terpekur mendengarkan.Air mataku mengalir perlahan.Aku tahu ayah sedang menegurku dengan cara halus. Aku memang bersalah, aku lepas kontrol hingga membuat Marry dalam keadaan koma hingga kini.Meski aku punya alasan, aku memilih diam.Aku tak ingin mendebat orang yang telah mengajariku berbicara.Kefasihan ayah bicara, kebijakan kata-katanya, ketajaman analisanya, semua terwarisi oleh kami anak-anaknya.Tapi di hadapan ayah, kami tak pernah mendebat. Jika pun harus memberikan argumen maka argumen itu kami sampaikan dengan cara yang sopan dan tidak menyakiti orang tua kami."Ayah mestinya mengatakan itu pada kakaknya Nandean." Kata Kak Ilham dengan santai.Ayah tersenyum."Yang ada ayah langsung diusir siapa itu namanya? Lily? Ya Lily!" Ledek kak Irfan.Mereka pun tertawa."Bagaimana hasil rundingan keluarga Pak Regar tadi?" Tanya Ayah padaku."Mengumpulkan sumbangan dari tiap anggota keluarga." Jawabku.Ayah mengangguk-angguk."Berapa yang terkum
Dua pasang orangtua kami sedang bersinergi membangun kekuatan yang sebenarnya dalam hubungan kekerabatan. Mestinya hal ini menjadi contoh bagi anak-anaknya."Mama, ada yang mau disampaikan?" Tanya Bapak kepada Mama setelah Isaknya reda."Kami dan anak-anak kami mengucapkan terimakasih atas perhatian besan kami, semoga bermanfaat dan Allah membalas dengan rezeki yang berlipat-lipat kepada besan sekeluarga.Soal Naya, terus terang saja, kami menyayangi Naya seperti anak sendiri bahkan mungkin lebih, sehingga menimbulkan kecemburuan anak kami yang lain.Jadi mohon maaf Bapak dan Ibu Ikram, kalau ada kekeliruan kami dalam menjaga Naya selama menjadi menantu kami."Suara mama pelan namun cukup jelas."Yang lain dari Anggun, Naura, Lily, Rara, masih ada yang mau disampaikan?" Tawar Bapak."Terimakasih Banyak kepada Pak Ikram dan keluarga, atas nama pribadi saya mohon maaf kalau ada kesalahan saya dalam memperlakukan Ibunya Leang." Ucap Anggun.
"Sama-sama, pak. Inilah fungsinya keluarga, saling mengingatkan. Kami mohon pamit, untuk bantuannya akan kami kirim ke rekening Naya agar dapat segera diserahkan kepada Bapak. Jumlahnya 50 juta." Kata Ayah."Nah, kalau begitu kan jelas. Biar transparan. Ya Nggak, Nay?" Kata Rara.Naura langsung menyikutnya,"Apa sih, Ra?"Sementara mata Bang Ishaq melotot pada istrinya.Ayah, ibu, kak Ilham dan kak Irfan pun pamit pulang.Mereka memelukku hangat dan erat."Tenang, Nay. Kami selalu di belakangmu untuk menguatkan dan mendukungmu." Bisik Kak Irfan.Terimakasih, Tuhan.Kau berikan aku cinta berkelimpahan.Pasti akan ada cerita baru tentang ipar-iparku setelah pertemuan sore ini.Menjelang Maghrib kondisi Leang kembali mengkhawatirkan. Demam tinggi. Berkali-kali infus lepas dan pindah tempat."Ibu, kepala Eang sakit." Rintihnya."Sabar ya, nak. Nanti setelah minum obat sembuh." Bujukku samb
"Kak Rara diajak Bang Ishaq pulang, Dzaki rewel katanya. Lily hipertensinya kambuh." Urai Rossy."Bang Ishaq tampaknya marah." Rossy bergumam."Kenapa?" Tanya Nandean."Katanya karena kak Lily nyuruh kak Rara minta biaya rumah sakit pada ayahnya kak Naya, kak Lily juga marah pada kak Rara karena menceritakan dalam pertemuan tadi sore." Jawab Rossy.Kami tersenyum, ada-ada saja mereka ini."Kalian sudah makan belum?" Tanya suamiku."Belum. Kakak dan Abang juga belum kan? Nanti sekalian aku pesan." Jawab Rossy."Tidak. Biar aku saja yang beli, sekalian keluar nanti." Kata suamiku.Suamiku beranjak keluar kamar.Rossy duduk di sisi pembaringan, tangannya mengelus pipi Leang perlahan. Selama ini jarang sekali dia melakukan kontak fisik dengan anakku."Kak, maaf ya atas kelakuan kakak-kakak kami." Tiba-tiba Rossy bersuara.Aku tersenyum, "tidak apa-apa.""Kak, bisa tidak kakak memaafkan kak Marry?" Tanyanya
Hingga Nandean datang, Rossy masih menangis."Kenapa?" Bisik Nandean kepadaku.Aku menggeleng.Aku tak mampu bersuara.Tenggorokanku seperti tercekat.Aku menghampiri Rossy yang tertelungkup di samping Leang. Mengusap-usap punggungnya.Bahkan aku saja terperanjat mendengar ceritanya, apalagi dia yang mendengar langsung dan mengetahui fakta tentang kejahatan kakaknya."Bapak sama Mama mau kesini katanya." Ujar Nandean memecah kebisuan.Aku membereskan makanan yang tadi dibawa Nandean."Kok banyak amat ini?" Tanyaku."Bapak dan Mama mau makan bareng disini." Jawab Nandean.Rossy bangkit mengusap matanya, kemudian ke kamar mandi. Gemercik suara air terdengar, tampaknya ia mencuci muka.Tak lama ada suara salam dan ketukan di pintu kamar. Aku gegas membukanya, tampak wajah Bapak dan Mama yang terlihat letih."Bagaimana si Leang?" Tanya Bapak."Sedang tidur, pak. Tadi demam tingg
Aku berdiri di bawah sebuah pohon mangga yang besar dan berbuah lebat. Buah-buahnya yang matang jatuh berserakan di sekeliling pohon. Kupungut buah-buah yang jatuh dan kumasukkan dalam sebuah keranjang besar hingga keranjangku hampir penuh.Lily dan Marry datang mendekat, mereka memetik buah yang masih tergantung di pohon."Kak, tidak boleh mengambil yang masih di pohon. Ambil yang sudah jatuh saja." Aku mengingatkan.Lily menatapku marah.Dia pergi dan kembali lagi membawa sebuah golok panjang.Disuruhnya Marry memotong dahan pohon."Biar dapat banyak buahnya." Katanya kepada Marry.Aku tak bisa mencegah mereka, karena pohon ini pun bukan milikku.Susah payah Marry memotong dahan sementara Lily hanya berteriak-teriak mengatur begini dan begitu, bahkan sesekali marah jika Marry tak bisa menjangkau dahan pohon.Tiba-tiba dahan pohon patah, jatuh menimpa Marry. Aku berteriak mengingatkan, tapi terlambat. Marry jatuh rebah tert
"Ibu, apakah kain-kain ini boleh dilepas?" Tanyanya menunjuk perban yang masih melilit bagian kepala, kaki, dan tangan."Nanti kita tanya dokter ya, nak." Jawabku sambil tersenyum.'Kepala Leang masih sakit?" Tanyaku.Leang menggeleng.Nandean datang membawakan sarapan."Abang dari kemarin membawakan sarapan untuk mereka, jangankan bilang terimakasih, menegur saja tidak." Kata Rossy."Itu kan kakak-kakakmu." Jawab Nandean sambil tertawa.Rossy tersenyum datar."Tapi tadi Anggun bilang: Terimakasih, Bapak Leang." Kata Nandean."Tapi Abang langsung pergi?" Tanya Rossy."Ya mau ngapain?" Nandean balik bertanya.Aku mendengarkan percakapan mereka sambil tersenyum. Mereka ini aneh sekali. Selama aku menjadi menantu di keluarga ini jarang kulihat mereka berbincang akrab antar kakak beradik bersama-sama. Mereka hanya berkumpul saat Bapak memanggil untuk merapatkan sesuatu yang suasananya selalu formal cenderung tegang.
"Kalau gitu aku pulang ganti baju saja, langsung berangkat ke kantor." Ujarnya."Iya, Gun. Kalau Rara masih mau disini biar nanti aku juga pulang dulu." Kata Naura.Aku hanya jadi pendengar pasif diantara mereka."Bapak Leang sudah tahu belum, Lily mau lapor polisi?" Tanya Naura."Tadi sudah ku beritahu," kata Anggun."Biar saja dia lapor polisi." Jawab Nandean."Beritahu pada kakak kalian itu, daripada uangnya untuk bikin laporan ke polisi lebih baik untuk biaya pengobatan Marry." Kata Nandean lagi."Sampaikan juga, kalau Marry dan Rara bisa digertak dan ditakut-takuti, tapi Naya tidak." Ujar Nandean."Sebenarnya waktu Naya marah kemarin dia sudah agak takut sih." Kata Anggun."Tubuhnya gemetar, malam itu dia mengeluh kepalanya sakit, dadanya berdebar-debar. Terus dia bilang: apa aku keracunan ya, gun?""Lalu maksudnya dia mau bilang dia keracunan, yang dimakan makanan bawaanku, dia mau menuduh aku meracuni makananny
Sebulan berlalu tanpa ada berita apa-apa tentang para iparku. Sesekali Mama menelpon menanyakan Leang, tapi tak pernah menyinggung tentang anak-anaknya. Hanya ada satu cerita dari beliau, kini Marry sudah rajin beribadah. Aku mengucapkan syukur.Hingga di suatu sore, Rara menelpon."Bapak Leang, si Lily sudah beli rumah!" serunya."Alhamdulillah..." jawab Nandean."Harganya limaratus juta," lanjut Rara "Syukurlah," sahut Nandean."Lebih mahal dari rumah kalian," kata Rara lagi."Ya, rumah kami memang tidak semahal itu," jawab Nandean datar."Kau mau menyumbang apa?" tanya Rara."Maksudnya?" Nandean balik bertanya."Perabotan Lily belum ada, jadi dia minta sumbangan dari kita," jawab Rara."Katakan pada Lily, beli otak dulu baru beli rumah!" ujar Nandean ketus dan langsung memutuskan sambungan telepon."Apalah maksudnya, pamer beli rumah limaratus juta, rumahnya lebih mahal dari rumah kita, tapi minta sumbangan beli perabot! Sakit Jiwa orang itu," gerutu Nandean.Aku tertawa kecil
Sebulan sudah Lily dan Antar berada di rumah Bapak. Nandean sering bercerita bahwa Bapak sering mempertanyakan mengapa Antar bisa meninggalkan pekerjaannya lebih dari sepuluh hari, padahal cuti maksimal yang bisa didapatkan seorang karyawan maksimal cuma 10 hari."Mungkin dia berniat mencari pekerjaan lain, pak," jawab Nandean."Sudah sebulan ini dua orang itu makan-tidur, makan-tidur di rumah saya," gerutu Bapak."Tak ada basa-basinya menambah uang belanja Mamamu atau membantu pekerjaannya di rumah. Saya lihat Mamamu kerepotan sendiri di rumah," kata Bapak lagi."Bapak bilanglah kalau bapak keberatan," saran Nandean."Sudah pernah saya tanya, alasannya tunggu proses mutasi si Lily," jawab Bapak."Tunggu proses kan tidak harus disini, bisa tunggu di kampungnya sana," ujar Nandean."Seminggu yang lalu si Marry lihat si Antar membuka-buka laci buffet di ruang depan katanya. Waktu ditanya, dia bilang sedang cari gunting. Si Lily ada di kamarnya, Mamamu sedang di belakang." Bapak bercerit
"Aku mau pakai mobil," katanya."Terus?""Bawa sini mobil Bapak!""Mau aku pakai!""Kau kan punya mobil sendiri,""Itu mobil mertuaku, mau dipakai anaknya!""Biasanya Naya tidak bawa mobil,""Sekarang disuruh ayahnya bawa mobil, karena setiap pagi dia mengantarkan Leang ke rumah mertuaku,""Kau sajalah yang mengantarkan mereka!""Naya berangkat lebih pagi dari aku,""Rempong amat sih!""Kau yang rempong! Tak punya mobil tapi ingin pakai mobil! Naik motor saja kalau belum punya mobil,""Sok kaya kau!""Jangan lupa, motor yang kau pakai itu juga punyaku! Baca nama di STNK nya baik-baik!"Klik! Panggilan diputus.Nandean tertawa."Kapan lagi aku bisa mengerjai mereka, kalau tidak sekarang." Dia bicara sendiri."Nanti kau berubah jadi seperti mereka, Pak," sahutku."Ya, tidaklah! Aku kan hanya mengantisipasi berbagai kemungkinan, sekaligus memberi pelajaran pada Lily sedikit demi sedikit.
Sebulan kemudian Lily dan Antar kembali ke rumah Bapak."Aku tak mau pindah kamar, Pak!" Marry protes kepada Bapak."Lalu kakakmu tidur dimana nanti?" tanya Bapak."Di kamar belakang lah! Kan kosong!" Marry berkeras."Memangnya aku pembantu?" ujar Lily emosi."Dulu kau yang bilang, kalau sudah menikah tidak boleh menempati kamar yang ada di depan, harus di belakang," jawab Marry."Kapan aku bilang?" debat Lily."Waktu Nandean dan Naya tinggal disini!" jawab Marry keras."Ooo... Jadi kau anggap aku dan istriku pembantu waktu tinggal disini ya?" tanya Nandean sambil tertawa."Aku tidak bilang begitu," gumam Lily."Tadi kau bilang, 'memangnya aku pembantu?' seolah yang ada dalam pikiranmu hanya pembantu yang pantas tidur di kamar belakang," cecar Nandean."Konsisten dong, Ly, konsisten. Apa yang pernah kau ucapkan, kau ajarkan pada adik-adikmu, harus kau laksanakan." Nandean bicara sambil menahan tawa."Kau dengar
"Tapi jangan main-main dengan saya, kalau ada yang berniat jahat pada keluarga saya, akan saya balas lebih jahat!" lanjutnya sambil tertawa.Lily menangis terisak-isak. Antar hanya diam.Setelah semua siap, kami pun berangkat. Kembali menyusuri jalan-jalan kampung yang lengang, melewati pasar-pasar desa, dan memasuki jalan lintas provinsi.Tiba-tiba Bapak tertawa, "saya rasa cocok si Lily bertemu mertua seperti Mamak si Antar ini. Sama-sama beringas dan bermulut pedas," ujarnya.Mama ikut tertawa."Semoga ke depannya jadi baik semua, Pak," ujar Nandean."Yang masih mengganggu pikiran saya, apa motif si Antar waktu berniat kabur kemarin itu ya?" tanya Bapak."Sebab orangtuanya orang baik-baik saya lihat," lanjut Bapak."Cuma si Antar lah yang tahu alasannya. Apa kita kembali lagi kesana, menanyakan langsung pada si Antar, pak?" tawar Nandean sambil tertawa.Bapak dan Mama tertawa kecil.Pikiranku melayang pada Lily. Membayan
"Tidak jauh kan kebunnya, Mak?" tanyaku."Dekat, lima menit pun jalan kita sampai," jawabnya."Ayoklah! Kuambil dulu karung di belakang," lanjutnya."Aku ikutlah!" ujar Nandean."Mama juga ingin ikut," ucap Mama."Ayoklah! Kita ke kebun, tak jauh! Sambil jalan pagi-pagi," ajak Pak Busthami.Akhirnya kami berangkat ke kebun. Sepanjang jalan Pak Busthami bercerita tentang kebun-kebun yang kami lalui."Milik kami tinggal tiga per empat hektar inilah, yang lain sudah habis dijual untuk biaya sekolah si Farida dan Antar."Kami hanya tersenyum menanggapi ceritanya."Si Farida agak lumayan hidupnya. Suaminya rajin berkebun dan menjual hasilnya langsung ke pedagang di pasar-pasar. Banyak langganannya. Kami pun kalau panen menitipkan hasil panen pada si Arifin untuk dijualkan." Kata Bu Busthami."Kalau si Antar tak mau dia ke kebun. Sudah terbiasa di kota, malas dia mau ke kebun," lanjutnya.Kami pun memetik jeruk den
Bakul-bakul berukuran sedang berisi nasi diletakkan berselang seling dengan berbagai lauk, sayur, sambal, dan lalapan. Tidak ada sendok dan garpu. Sendok hanya diletakkan di mangkuk-mangkuk lauk dan sayur saja, bukan untuk makan. Mangkok-mangkok kecil berisi air disediakan sebagai tempat cuci tangan. Kami makan bersama, para ibu tak henti-hentinya berbicara meski mulutnya berisi makanan. Mereka membicarakan kelebihan dan kekurangan menantu masing-masing lalu saling membanding-bandingkan. Selesai makan para tamu pulang, beberapa masih tinggal dan membantu membereskan peralatan makan yang kotor dan membawanya ke belakang. Lagi-lagi Farida memanggil Lily."Jangan ngobrol disini!" Ujarnya, "kita ngobrol di belakang saja sambil cuci piring dan beres-beres yang lain," tangannya bergerak mengajak. "Aku ganti pakaian dulu," jawab Lily."Tak perlu ganti pakaian, pakai itu pun tidak masalah untuk ke dapur dan ke sumur, kan tidak mahal-mahal amat bajumu itu," celoteh Farida.Lily mengepalkan
Jam sepuluh kami kembali lagi ke rumah Pak Busthami, orangtua Antar. Kursi-kursi yang tadi kami duduki sudah dikeluarkan. Di ruang tamu dan ruang tengah rumah sudah dibentangkan tikar. Bapak masih terlibat perbincangan dengan Pak Busthami. Sepintas kudengar mereka sedang bercerita tentang sejarah hidup dan masa lalu masing-masing.Ibu Busthami kembali duduk menemani Mama di ruang tengah, kue-kue disuguhkan. Separuhnya adalah kue bawaan kami. Pembicaraan kami pun hanya seputar jenis kue dan resep-resep masakan. Ciri khas ibu-ibu."Sedang apa si Lily, Bu?" tanya Mama pada Bu Busthami."Sedang menggoreng ikan dia," jawab Bu Busthami."Disini menantu harus terlihat rajin, Bu. Biar tak malu kami pada tetangga," ujarnya lagi.Kami hanya tersenyum."Da, Farida!" Panggil Bu Busthami."Iya, Mak!" Farida menyahut. Beberapa detik kemudian sosoknya muncul."Suruhlah Lily mandi, biar bersiap dia. Tamu sebentar lagi datang," kata Bu Busthami."Pekerjaannya belum selesai, Mak," ujar Farida."Biar si
Orangtua Antar menyambut kami di depan."Cepat sekali kalian sampai," Ayah Antar menyambut kami dengan senyum lebar."Ayolah, masuk sini!" Ajak Mamanya Antar.Kami menyalami mereka."Farida! Farida! Adikmu sudah sampai, da!" Mama Antar berseru sambil berjalan ke dalam rumah.Seorang perempuan seusia Marry keluar, dengan kaos oblong warna biru dan sarung warna merah bermotif bunga."Selamat datang di kampung," ucapnya sambil tersenyum canggung pada kami.Kami duduk di ruang tamu dengan satu set kursi kayu yang terlihat masih baru. Jendela-jendela terbuka menampilkan pemandangan di luar rumah yang tampak hangat disirami cahaya matahari.Suguhan teh, kopi, goreng ubi, dan rebusan jagung memenuhi meja ruang tamu. Kami menikmati teh hangat tanpa harum melati sambil berbincang.Antar dan Nandean membuka bagasi, menurunkan koper-koper Lily dan memasukkannya ke dalam kamar yang ditunjukkan Mamanya Antar."Lily, kau bantulah kakak