"Kalau gitu aku pulang ganti baju saja, langsung berangkat ke kantor." Ujarnya.
"Iya, Gun. Kalau Rara masih mau disini biar nanti aku juga pulang dulu." Kata Naura.Aku hanya jadi pendengar pasif diantara mereka.
"Bapak Leang sudah tahu belum, Lily mau lapor polisi?" Tanya Naura.
"Tadi sudah ku beritahu," kata Anggun."Biar saja dia lapor polisi." Jawab Nandean.
"Beritahu pada kakak kalian itu, daripada uangnya untuk bikin laporan ke polisi lebih baik untuk biaya pengobatan Marry." Kata Nandean lagi."Sampaikan juga, kalau Marry dan Rara bisa digertak dan ditakut-takuti, tapi Naya tidak." Ujar Nandean.
"Sebenarnya waktu Naya marah kemarin dia sudah agak takut sih." Kata Anggun.
"Tubuhnya gemetar, malam itu dia mengeluh kepalanya sakit, dadanya berdebar-debar. Terus dia bilang: apa aku keracunan ya, gun?""Lalu maksudnya dia mau bilang dia keracunan, yang dimakan makanan bawaanku, dia mau menuduh aku meracuni makananny"Iya, mba." Kami menyahut."Permisi Bapak dan Ibu, sampai ketemu lagi nanti sore ya, Leang." Pamit dokter."Terimakasih, dokter." Sahut kami.Sesaat setelah rombongan dokter pergi, Bapak dan Mama datang.Mereka menyapa dan mencandai Leang.Tigapuluh menit kemudian mereka dipanggil Rossy untuk menemui dokter yang memeriksa Marry. Bapak mengajak Nandean ikut serta.Aku sendirian bersama Leang yang mulai terkena efek obat, mengantuk. Tak lama kemudian ia tertidur.Aku memandangi wajah anakku, mengusap kepalanya, menyentuh wajahnya. Dia yang pernah sembilan bulan menghuni rahimku, nafasnya pernah menjadi nafasku, pertumbuhannya dari air susuku.Mengapa ada yang begitu tega ingin mencelakakan anak tak berdosa ini? Bahkan saat ia sama sekali belum mengerti rasa benci, belum memahami merah hitam dunia ini.Sedemikian dengkinya kah Lily kepada kami? Bukankah kami tak pernah meminta apa pun kepada Bapak? Bahkan kami telah mengalah perg
Tigapuluh menit proses radiologi selesai."Radiografi nya nanti kami serahkan kepada dokter spesialis yang menangani Leang ya, Bu." Kata petugas di ruang radiologi."Baik, mas. Terimakasih." Jawabku.Bersama perawat kami membawa Leang kembali ke kamar."Bagaimana?" Tanya suamiku."Tunggu hasil analisa dulu." Jawabku."Leang istirahat lagi ya," kata perawat yang mengantar kami."Mari, pak, Bu." Pamit mereka.Kami mengucapkan terimakasih pada keduanya.Tiba-tiba ada suara tangis mendekat."Naya..huhuhuhu.. Naya.." ternyata Rara."Maaf ya, Nay. Kakak baru jenguk Leang..huhuhu.." katanya."Iya, kak." Jawabku sambil menatapnya heran."Kau nangis kenapa?" Tanya Nandean."Bapak mengusirku pulang, tidak boleh ke rumah sakit." Jawabnya."Ya pulanglah. Kok malah nangis." Kata Nandean."Aku juga ingin mengurus adikku, melihat keponakanku." Katanya."Sudah banyak adikmu yang mengurus, kau uru
"Marry, maafkan istriku ya." Kata Nandean di telinganya.Marry melenguh."Salam dari Leang untuk Tante Marry cantik." Kata Nandean lagi.Bulir bening mengalir dari mata Marry.Lalu isaknya perlahan terdengar.Ternyata dia bisa takut, dia juga bisa menangis. Pikirku. Entah menangis marah atau menangis menyesal."Marry, semua orang menyayangimu. Saya dan Mamamu juga sangat menyayangimu. Meski kau suka melawan, sering buat kami marah, kami tetap menyayangimu." Kata Bapak."Siang malam kami mendoakan keselamatanmu, siang malam kami mengharapkan kesembuhanmu. Cepatlah kau sembuh dan mulai hidupmu yang baru." Lanjut Bapak.Marry terisak semakin keras. Tapi ia tak mengatakan apa pun.Aku tak tahu harus mengatakan apa lagi. Yang kutahu, saat ini aku merasa lega karena Marry sudah dalam keadaan sadar kembali, rasa bersalahku sedikit berkurang.Mama mengusap-usap lengan Marry, memberinya penguatan dan penghiburan."Cep
"Itukan adiknya sendiri. Apa dia tega melakukan hal-hal jahat pada adiknya?" Tanyaku."Kau tidak tahu." Jawab Nandean."Saat aku kecil dia pernah menyiram dadaku dengan air panas, ia marah karena dimintai tolong Mama untuk membuatkan aku susu. Tapi dia beralasan bahwa akulah yang tidak sabar merebut gelas susu yang masih panas untuk diminum." Cerita Nandean.Aku tersentak."Lalu?" Tanyaku"Pokoknya dia paling pintar cari alasan dan mengelabui kami, terutama Bapak. Pada Bapak dia selalu mencari muka dan bersikap seperti orang tak punya dosa." Jelas Nandean."Tapi kan sekarang Bapak sudah tahu," Kataku."Bapak baru tahu semua kelicikannya saat Naura akan menikah. Dia terus menghalang-halangi pernikahan Naura, akhirnya Naura menceritakan semua perbuatan Lily pada kami." Kata Nandean."Makanya Bapak tetap menikahkan kita meski Lily marah dan mengamuk saat itu. Bapak tak mau menunjukkan bahwa selama ini dia dipengaruhi Lily. Bahkan ketika k
Ada yang diuji dengan pasangan, ada yang diuji dengan mertua atau ipar, ada yang diuji dengan orangtua, ada yang diuji dengan anak, dan sebagainya. Tugas kita adalah menerima ujian itu dengan ikhlas dan menjalaninya sesuai skenario Tuhan.Seorang teman pernah berkata, jangan mencari jawaban dari ujian hidup. Sebab saat kita temukan jawaban, hidup telah mengganti ujiannya. Percaya saja bahwa Tuhan memberikan ujian lengkap dengan jalan keluar atau jawabannya.Leang asyik menonton televisi, sesekali bertanya ini itu kepada Anggun."Halo, ya. Kenapa, Ra?" Anggun menjawab panggilan telponnya.[ ............. ....... ....... ] Suara tak begitu jelas dari lawan bicara Anggun."Marah-marah kenapa?" Tanya Anggun.[..... ..... .... .... .... ....]"Ngapain juga kau ngurusin dia. Biar aja semau dia, kan dari dulu juga begitu." Anggun menggerutu.[.... ..... .... .... .... ....]"Ya kalau dia bilang begitu suruh kesini aja, ngomong sama do
"Kakak bicarakan saja dengan Bapak Leang, bagaimana sebaiknya." Jawabku, mengulur pembicaraan."Kalau Bapak Leang kan adiknya Marry, keluarga sendiri. Pasti tidak akan perhitungan. Tapi yang mencelakakan Marry sampai seperti ini kan Naya, bukan Bapaknya Leang.""Tapi saya kan istrinya." Jawabku."Istri kan beda dengan saudara kandung." Katanya lagi."Jadi maksud kakak pertanggungjawabannya berbeda?" Tanyaku."Jelas bedalah." Jawabnya."Menurut kakak yang bertanggungjawab atas saya siapa?" Tanyaku lagi, menguji nalarnya."Ya keluarga Naya.""Bukan suami saya?""Ya bukanlah.""Tapi kan saya sudah menikah.""Tetap saja tanggungjawab terbesar itu dari keluarga, bukan dari suami. Suami kan orang luar." Jawabnya."Jadi Bapaknya Leang itu orang luar? Lalu Leang?" Tanyaku."Leang kan anaknya, cucu Bapak, keturunannya.""Apakah Leang bisa lahir tanpa ibunya?" Tanyaku."Jangan mengalihkan
"Coba saja kalau bisa." Aku tersenyum mengejek.Lily mengambil cup air mineral didekatnya dan melemparkan padaku. Lemparannya meleset. Padahal aku sama sekali tak bergerak menghindar. Aku memang sengaja memancingnya berbuat kasar agar aku punya bukti fisik.Naura memegangi Lily."Sudah, ly. Nanti darah tinggi mu kambuh lagi." Kata Naura."Biar saja! Biar aku mati sekalian!" Teriak Lily."Kakak kepingin mati? Silakan saja!" Jawabku.Lily menatapku garang.Anggun menarik tanganku, mengajak keluar ruangan.Aku menolak. Di ruangan ini harus ada orang ketiga jika Lily ada.Naura seperti memahami keadaan, dia menelpon Rossy.Tak lama Rossy masuk ke dalam kamar."Kau senang kan kalau aku mati? Biar puas kau pengaruhi Bapak dan Mama! Biar kau kuasai semua yang ada di rumah kami!" Lily masih terus berteriak.Aku melangkah ke pintu."Kabari saya kalau kakak mati, saya akan menyumbang paling banyak!" Ucapku sambil
Aku mengenggam tangannya yang menempel erat dibahuku. Kurasakan beban terbagi lewat bahu dan tangan kami, hingga nafasku menjadi ringan."Apa yang harus kujawab jika Bapak dan Mama bertanya tentang peristiwa tadi?" Tanyaku lirih."Jangan khawatir. Kedua mertuamu itu sayang sekali padamu, sampai aku pun cemburu." Gurau Nandean sambil mengelus pipiku.Aku tersenyum.Jika suamiku saja cemburu pada kasih sayang orangtuanya padaku, apalagi ipar-iparku.Pintu diketuk, kami mendengar suara lembut mengucapkan salam.Bapak dan Mama berdiri di muka pintu, kami menyambutnya masuk."Sudah mau pulang cucu saya ini ya, sudah sehat kau ya?" Bapak langsung menegur Leang sambil mengusap kepalanya.Leang tertawa."Hati-hati di rumah ya, jangan melompat-lompat dan lari-lari dulu kau nanti, supaya sehat dulu badanmu, biar tak robek lagi lukamu." Pesan Bapak."Iya, pung." Jawab Leang."Sudah kau tengok si Marry pagi ini?" Tanya Bapak kepada
Sebulan berlalu tanpa ada berita apa-apa tentang para iparku. Sesekali Mama menelpon menanyakan Leang, tapi tak pernah menyinggung tentang anak-anaknya. Hanya ada satu cerita dari beliau, kini Marry sudah rajin beribadah. Aku mengucapkan syukur.Hingga di suatu sore, Rara menelpon."Bapak Leang, si Lily sudah beli rumah!" serunya."Alhamdulillah..." jawab Nandean."Harganya limaratus juta," lanjut Rara "Syukurlah," sahut Nandean."Lebih mahal dari rumah kalian," kata Rara lagi."Ya, rumah kami memang tidak semahal itu," jawab Nandean datar."Kau mau menyumbang apa?" tanya Rara."Maksudnya?" Nandean balik bertanya."Perabotan Lily belum ada, jadi dia minta sumbangan dari kita," jawab Rara."Katakan pada Lily, beli otak dulu baru beli rumah!" ujar Nandean ketus dan langsung memutuskan sambungan telepon."Apalah maksudnya, pamer beli rumah limaratus juta, rumahnya lebih mahal dari rumah kita, tapi minta sumbangan beli perabot! Sakit Jiwa orang itu," gerutu Nandean.Aku tertawa kecil
Sebulan sudah Lily dan Antar berada di rumah Bapak. Nandean sering bercerita bahwa Bapak sering mempertanyakan mengapa Antar bisa meninggalkan pekerjaannya lebih dari sepuluh hari, padahal cuti maksimal yang bisa didapatkan seorang karyawan maksimal cuma 10 hari."Mungkin dia berniat mencari pekerjaan lain, pak," jawab Nandean."Sudah sebulan ini dua orang itu makan-tidur, makan-tidur di rumah saya," gerutu Bapak."Tak ada basa-basinya menambah uang belanja Mamamu atau membantu pekerjaannya di rumah. Saya lihat Mamamu kerepotan sendiri di rumah," kata Bapak lagi."Bapak bilanglah kalau bapak keberatan," saran Nandean."Sudah pernah saya tanya, alasannya tunggu proses mutasi si Lily," jawab Bapak."Tunggu proses kan tidak harus disini, bisa tunggu di kampungnya sana," ujar Nandean."Seminggu yang lalu si Marry lihat si Antar membuka-buka laci buffet di ruang depan katanya. Waktu ditanya, dia bilang sedang cari gunting. Si Lily ada di kamarnya, Mamamu sedang di belakang." Bapak bercerit
"Aku mau pakai mobil," katanya."Terus?""Bawa sini mobil Bapak!""Mau aku pakai!""Kau kan punya mobil sendiri,""Itu mobil mertuaku, mau dipakai anaknya!""Biasanya Naya tidak bawa mobil,""Sekarang disuruh ayahnya bawa mobil, karena setiap pagi dia mengantarkan Leang ke rumah mertuaku,""Kau sajalah yang mengantarkan mereka!""Naya berangkat lebih pagi dari aku,""Rempong amat sih!""Kau yang rempong! Tak punya mobil tapi ingin pakai mobil! Naik motor saja kalau belum punya mobil,""Sok kaya kau!""Jangan lupa, motor yang kau pakai itu juga punyaku! Baca nama di STNK nya baik-baik!"Klik! Panggilan diputus.Nandean tertawa."Kapan lagi aku bisa mengerjai mereka, kalau tidak sekarang." Dia bicara sendiri."Nanti kau berubah jadi seperti mereka, Pak," sahutku."Ya, tidaklah! Aku kan hanya mengantisipasi berbagai kemungkinan, sekaligus memberi pelajaran pada Lily sedikit demi sedikit.
Sebulan kemudian Lily dan Antar kembali ke rumah Bapak."Aku tak mau pindah kamar, Pak!" Marry protes kepada Bapak."Lalu kakakmu tidur dimana nanti?" tanya Bapak."Di kamar belakang lah! Kan kosong!" Marry berkeras."Memangnya aku pembantu?" ujar Lily emosi."Dulu kau yang bilang, kalau sudah menikah tidak boleh menempati kamar yang ada di depan, harus di belakang," jawab Marry."Kapan aku bilang?" debat Lily."Waktu Nandean dan Naya tinggal disini!" jawab Marry keras."Ooo... Jadi kau anggap aku dan istriku pembantu waktu tinggal disini ya?" tanya Nandean sambil tertawa."Aku tidak bilang begitu," gumam Lily."Tadi kau bilang, 'memangnya aku pembantu?' seolah yang ada dalam pikiranmu hanya pembantu yang pantas tidur di kamar belakang," cecar Nandean."Konsisten dong, Ly, konsisten. Apa yang pernah kau ucapkan, kau ajarkan pada adik-adikmu, harus kau laksanakan." Nandean bicara sambil menahan tawa."Kau dengar
"Tapi jangan main-main dengan saya, kalau ada yang berniat jahat pada keluarga saya, akan saya balas lebih jahat!" lanjutnya sambil tertawa.Lily menangis terisak-isak. Antar hanya diam.Setelah semua siap, kami pun berangkat. Kembali menyusuri jalan-jalan kampung yang lengang, melewati pasar-pasar desa, dan memasuki jalan lintas provinsi.Tiba-tiba Bapak tertawa, "saya rasa cocok si Lily bertemu mertua seperti Mamak si Antar ini. Sama-sama beringas dan bermulut pedas," ujarnya.Mama ikut tertawa."Semoga ke depannya jadi baik semua, Pak," ujar Nandean."Yang masih mengganggu pikiran saya, apa motif si Antar waktu berniat kabur kemarin itu ya?" tanya Bapak."Sebab orangtuanya orang baik-baik saya lihat," lanjut Bapak."Cuma si Antar lah yang tahu alasannya. Apa kita kembali lagi kesana, menanyakan langsung pada si Antar, pak?" tawar Nandean sambil tertawa.Bapak dan Mama tertawa kecil.Pikiranku melayang pada Lily. Membayan
"Tidak jauh kan kebunnya, Mak?" tanyaku."Dekat, lima menit pun jalan kita sampai," jawabnya."Ayoklah! Kuambil dulu karung di belakang," lanjutnya."Aku ikutlah!" ujar Nandean."Mama juga ingin ikut," ucap Mama."Ayoklah! Kita ke kebun, tak jauh! Sambil jalan pagi-pagi," ajak Pak Busthami.Akhirnya kami berangkat ke kebun. Sepanjang jalan Pak Busthami bercerita tentang kebun-kebun yang kami lalui."Milik kami tinggal tiga per empat hektar inilah, yang lain sudah habis dijual untuk biaya sekolah si Farida dan Antar."Kami hanya tersenyum menanggapi ceritanya."Si Farida agak lumayan hidupnya. Suaminya rajin berkebun dan menjual hasilnya langsung ke pedagang di pasar-pasar. Banyak langganannya. Kami pun kalau panen menitipkan hasil panen pada si Arifin untuk dijualkan." Kata Bu Busthami."Kalau si Antar tak mau dia ke kebun. Sudah terbiasa di kota, malas dia mau ke kebun," lanjutnya.Kami pun memetik jeruk den
Bakul-bakul berukuran sedang berisi nasi diletakkan berselang seling dengan berbagai lauk, sayur, sambal, dan lalapan. Tidak ada sendok dan garpu. Sendok hanya diletakkan di mangkuk-mangkuk lauk dan sayur saja, bukan untuk makan. Mangkok-mangkok kecil berisi air disediakan sebagai tempat cuci tangan. Kami makan bersama, para ibu tak henti-hentinya berbicara meski mulutnya berisi makanan. Mereka membicarakan kelebihan dan kekurangan menantu masing-masing lalu saling membanding-bandingkan. Selesai makan para tamu pulang, beberapa masih tinggal dan membantu membereskan peralatan makan yang kotor dan membawanya ke belakang. Lagi-lagi Farida memanggil Lily."Jangan ngobrol disini!" Ujarnya, "kita ngobrol di belakang saja sambil cuci piring dan beres-beres yang lain," tangannya bergerak mengajak. "Aku ganti pakaian dulu," jawab Lily."Tak perlu ganti pakaian, pakai itu pun tidak masalah untuk ke dapur dan ke sumur, kan tidak mahal-mahal amat bajumu itu," celoteh Farida.Lily mengepalkan
Jam sepuluh kami kembali lagi ke rumah Pak Busthami, orangtua Antar. Kursi-kursi yang tadi kami duduki sudah dikeluarkan. Di ruang tamu dan ruang tengah rumah sudah dibentangkan tikar. Bapak masih terlibat perbincangan dengan Pak Busthami. Sepintas kudengar mereka sedang bercerita tentang sejarah hidup dan masa lalu masing-masing.Ibu Busthami kembali duduk menemani Mama di ruang tengah, kue-kue disuguhkan. Separuhnya adalah kue bawaan kami. Pembicaraan kami pun hanya seputar jenis kue dan resep-resep masakan. Ciri khas ibu-ibu."Sedang apa si Lily, Bu?" tanya Mama pada Bu Busthami."Sedang menggoreng ikan dia," jawab Bu Busthami."Disini menantu harus terlihat rajin, Bu. Biar tak malu kami pada tetangga," ujarnya lagi.Kami hanya tersenyum."Da, Farida!" Panggil Bu Busthami."Iya, Mak!" Farida menyahut. Beberapa detik kemudian sosoknya muncul."Suruhlah Lily mandi, biar bersiap dia. Tamu sebentar lagi datang," kata Bu Busthami."Pekerjaannya belum selesai, Mak," ujar Farida."Biar si
Orangtua Antar menyambut kami di depan."Cepat sekali kalian sampai," Ayah Antar menyambut kami dengan senyum lebar."Ayolah, masuk sini!" Ajak Mamanya Antar.Kami menyalami mereka."Farida! Farida! Adikmu sudah sampai, da!" Mama Antar berseru sambil berjalan ke dalam rumah.Seorang perempuan seusia Marry keluar, dengan kaos oblong warna biru dan sarung warna merah bermotif bunga."Selamat datang di kampung," ucapnya sambil tersenyum canggung pada kami.Kami duduk di ruang tamu dengan satu set kursi kayu yang terlihat masih baru. Jendela-jendela terbuka menampilkan pemandangan di luar rumah yang tampak hangat disirami cahaya matahari.Suguhan teh, kopi, goreng ubi, dan rebusan jagung memenuhi meja ruang tamu. Kami menikmati teh hangat tanpa harum melati sambil berbincang.Antar dan Nandean membuka bagasi, menurunkan koper-koper Lily dan memasukkannya ke dalam kamar yang ditunjukkan Mamanya Antar."Lily, kau bantulah kakak