"Coba saja kalau bisa." Aku tersenyum mengejek.
Lily mengambil cup air mineral didekatnya dan melemparkan padaku. Lemparannya meleset. Padahal aku sama sekali tak bergerak menghindar. Aku memang sengaja memancingnya berbuat kasar agar aku punya bukti fisik.
Naura memegangi Lily.
"Sudah, ly. Nanti darah tinggi mu kambuh lagi." Kata Naura."Biar saja! Biar aku mati sekalian!" Teriak Lily.
"Kakak kepingin mati? Silakan saja!" Jawabku.
Lily menatapku garang.Anggun menarik tanganku, mengajak keluar ruangan.
Aku menolak. Di ruangan ini harus ada orang ketiga jika Lily ada.Naura seperti memahami keadaan, dia menelpon Rossy.
Tak lama Rossy masuk ke dalam kamar."Kau senang kan kalau aku mati? Biar puas kau pengaruhi Bapak dan Mama! Biar kau kuasai semua yang ada di rumah kami!" Lily masih terus berteriak.
Aku melangkah ke pintu.
"Kabari saya kalau kakak mati, saya akan menyumbang paling banyak!" Ucapku sambilAku mengenggam tangannya yang menempel erat dibahuku. Kurasakan beban terbagi lewat bahu dan tangan kami, hingga nafasku menjadi ringan."Apa yang harus kujawab jika Bapak dan Mama bertanya tentang peristiwa tadi?" Tanyaku lirih."Jangan khawatir. Kedua mertuamu itu sayang sekali padamu, sampai aku pun cemburu." Gurau Nandean sambil mengelus pipiku.Aku tersenyum.Jika suamiku saja cemburu pada kasih sayang orangtuanya padaku, apalagi ipar-iparku.Pintu diketuk, kami mendengar suara lembut mengucapkan salam.Bapak dan Mama berdiri di muka pintu, kami menyambutnya masuk."Sudah mau pulang cucu saya ini ya, sudah sehat kau ya?" Bapak langsung menegur Leang sambil mengusap kepalanya.Leang tertawa."Hati-hati di rumah ya, jangan melompat-lompat dan lari-lari dulu kau nanti, supaya sehat dulu badanmu, biar tak robek lagi lukamu." Pesan Bapak."Iya, pung." Jawab Leang."Sudah kau tengok si Marry pagi ini?" Tanya Bapak kepada
"Tiketnya belum ada ya, Pakde?" Tanya Leang lagi."Iya, tiketnya belum dicetak, tunggu Leang sehat dulu. Makanya cepat sehat lagi ya, biar kita cuuussss naik pesawat." Jawab Kak Ilham. Kami semua tertawa mendengar percakapan mereka. Seperti biasa kedua pasang besan itu berbasa-basi. Lalu ke-empatnya keluar berbarengan menuju ruang rawat Marry. "Pakde, mau lihat ini gak?" Tanya Nandean sambil menyodorkan handphone miliknya kepada kakakku."Apa ini?" Tanya kakakku sambil mengambil handphone dari tangan Nandean. Video berputar, terdengar suara Lily dan suaraku disana.Kedua kakakku tampak serius mendengarkan."Masya Allah!" Seru mereka setelah video berakhir. Lalu mereka tertawa terbahak-bahak. "Bapak Leang, maaf ya, kalau menurut kami kakaknya Bapak Leang ini memang aneh sekali." Kata Kak Irfan sambil tertawa. Kak Ilham hanya tersenyum.Nandean ikut tertawa."Biar Pakde tahu saja. Jadi kalau ada apa-apa jangan
"Jika suatu hari nanti, mereka butuh pertolonganmu, bantuanmu, bantulah sepenuh hatimu sekuat kemampuanmu. Jangan mengungkit hal-hal buruk yang pernah mereka lakukan. Mereka juga saudaramu. Saat kau memutuskan menikah, kau bukan hanya menikahi pasanganmu tetapi juga keluarganya." Ibu melanjutkan nasehatnya."Mertuamu orang baik, ipar-iparmu juga sebenarnya baik. Mengapa mereka tidak suka padamu, mungkin kau juga harus introspeksi diri, berusaha menemukan kekurangan dirimu."Dadaku berdegup."Kelebihan kita kadang menjadi kekurangan kita, kekuatan kita kadang menjadi kelemahan kita."Ibu terus bicara.Aku pun terus mendengarkan."Bisa jadi sikap buruk mereka menjadi-jadi karena kau terlalu baik, selalu mengalah sehingga memberi mereka kesempatan untuk selalu bersikap buruk padamu. Itu juga kelebihan yang menjadi kekuranganmu." Sela Ayah, yang tiba-tiba sudah berdiri di pintu teras samping."Ayah sendiri merasakan sikap mereka
"Mungkin benar kata Ilham, Lily itu tak ingin dikalahkan, termasuk soal jodoh. Tapi dia sendiri kenapa belum menikah juga sehingga akhirnya harus didahului adik-adiknya." Gumam Ayah."Karena sifat egois, tidak mau kalah, merasa benar sendiri, ditambah gaya bicaranya yang ketus, mungkin itu yang menyebabkan lelaki mundur." Jawab Kak Ilham."Kita doakan saja semoga Lily segera mendapatkan pasangan yang bisa menerima segala kelebihan dan kekurangannya, begitu juga dengan kakak-kakak Nandean yang lain." Kata Ibu."Kapan-kapan kita diskusikan hal ini dengan Bapak Leang. Bagaimanapun sebagai saudara kandung yang saling kenal dan hidup bersama puluhan tahun, pasti mereka lebih tahu apa yang sebenarnya ada dalam keluarga mereka." Ayah menyudahi pembicaraan."Kita menginap saja malam ini, biar bisa ngobrol banyak dengan Nandean. Sekalian menghibur si Leang." Usul ibu."Tak apa-apa kan, Nay?" Tanya ibu padaku."Naya senang kalau ayah dan ibu mau menginap
"Sebenarnya Bapak dan Mama memperlakukan kami dengan cara yang nyaris sama, tidak ada bedanya. Pola asuh, asih, semuanya sama. Cuma mungkin agak sedikit berbeda padaku karena aku laki-laki."Nandean mengambil nafas agak dalam. "Sejak kecil sudah ditanamkan bahwa akulah suatu saat yang harus bisa menggantikan Bapak memimpin mereka, akulah pemegang 'bendera' keluarga saat nanti Bapak dan Mama sudah tidak ada."Ayah menghirup tehnya. "Menurut Bapak, sejak kecil Lily memang sudah menunjukkan sikap berani, keras kepala dan selalu ingin memimpin. Dia selalu mengatur adik-adiknya agar mengikuti keinginannya, bahkan Rara sebagai anak sulung pun perannya dikalahkan. Di hadapan keluarga besar dia selalu ingin terlihat menonjol, dalam segala hal." Nandean melanjutkan. "Saat kami masih kecil-kecil hal ini belum menjadi masalah. Semakin besar, dominasi Lily semakin terasa. Dia pandai mengambil hati bapak dengan hal-hal baik yang ditunjukkan kepada bapak,
"Untuk menjaga image di hadapan Bapak dan di hadapan keluarga besar bahwa dia anak yang baik, dia tak mau melakukan sendiri rencana buruknya, maka mempengaruhi Marry untuk merundung Naya.Dia tahu Bapak dan Mama sulit untuk marah kepada Marry karena kondisi Marry yang memiliki tingkat kecerdasan kurang. Marry pun tidak bisa mengukur batas-batas yang bisa menyebabkan dirinya melakukan tindakan berbahaya baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain."Nandean jarang bicara pada ayah, ibu, dan kedua kakakku. Tapi kali ini dia menceritakan panjang lebar masalah ini.Kami memperhatikan tiap kata yang keluar dari bibirnya tanpa menyela.Hingga teh yang kusajikan pada mereka menjadi dinginAyah menghela nafas. Kedua kakakku tampak tercenung. Cerita Nandean cukup jelas. Lily adalah akar dari semua peristiwa di rumah mertuaku, termasuk terjadinya kecelakaan Leang dan Marry. Sedemikian pentingnya 'kuasa' dalam keluarga bagi Lily, hingga ia mengorba
"Oh iya, mobil yang nabrak Leang bagaimana ceritanya?" Tanya Ayah."Mereka ikut mengantar ke rumah sakit, tapi karena situasinya tidak kondusif, mereka juga tidak berani bicara apa-apa saat itu. Pak Syam yang menyampaikan pada mereka untuk datang lagi jika masalah sudah agak reda. Pak Syam juga sudah meminta foto KTP pengemudinya," jawab Nandean."Tapi mereka belum pernah datang ke rumah sakit?" Tanya kakakku."Kami memang minta kepada petugas agar selain keluarga tidak diizinkan menjenguk Leang," jawabku."Pertimbangannya, kalau mereka bertemu dengan keluarga Bapak Leang dikhawatirkan akan ada perdebatan tentang tuntut menuntut tanggungjawab. Padahal jika diruntut masalahnya, kita juga ada salah dalam kejadian itu. Di depan rumah jalan besar, kok buka pagar lebar-lebar padahal ada anak kecil yang berlarian," lanjutku."Kami beranggapan yang menjadi prioritas saat itu adalah keselamatan Leang. Masalah mobil yang menabrak bisa diurus belakangan." Nandean
Keesokan paginya, usai sholat subuh Nandean langsung ke rumah sakit. Kembali lagi ketika kami sedang bersiap sarapan."Bagaimana?" Tanyaku.Ia mendengus kesal."Biasa saja. Kepleset sedikit, ada cleaning service sedang membersihkan lorong, dia berjalan cepat-cepat. Sudah diingatkan lantai masih basah tapi dia tak mau mendengar. Saat jatuh dia sempat menjerit, kemudian langsung terbaring di lantai. Dugaan sementara ya pura-pura pingsan saja. Sebab saat dokter datang memeriksa, tidak ditemukan gejala apa pun, bahkan matanya masih bergetar-getar sambil terpejam." Gerutu Nandean.Aku tersenyum geli. Apa lagi Lily ini, pikirku."Terus?" Lanjutku."Dibaringkan disamping tempat tidur Marry. Semalam tidur disana." Kata Nandean.Aku menghela nafas.Lily memang cuma cari perhatian."Lucunya lagi ada, dia minta aku membayar biaya rumah sakit kalau dia dirawat," ujar Nandean.Aku mengerutkan kening."Kubilang saja, kalau un
Sebulan berlalu tanpa ada berita apa-apa tentang para iparku. Sesekali Mama menelpon menanyakan Leang, tapi tak pernah menyinggung tentang anak-anaknya. Hanya ada satu cerita dari beliau, kini Marry sudah rajin beribadah. Aku mengucapkan syukur.Hingga di suatu sore, Rara menelpon."Bapak Leang, si Lily sudah beli rumah!" serunya."Alhamdulillah..." jawab Nandean."Harganya limaratus juta," lanjut Rara "Syukurlah," sahut Nandean."Lebih mahal dari rumah kalian," kata Rara lagi."Ya, rumah kami memang tidak semahal itu," jawab Nandean datar."Kau mau menyumbang apa?" tanya Rara."Maksudnya?" Nandean balik bertanya."Perabotan Lily belum ada, jadi dia minta sumbangan dari kita," jawab Rara."Katakan pada Lily, beli otak dulu baru beli rumah!" ujar Nandean ketus dan langsung memutuskan sambungan telepon."Apalah maksudnya, pamer beli rumah limaratus juta, rumahnya lebih mahal dari rumah kita, tapi minta sumbangan beli perabot! Sakit Jiwa orang itu," gerutu Nandean.Aku tertawa kecil
Sebulan sudah Lily dan Antar berada di rumah Bapak. Nandean sering bercerita bahwa Bapak sering mempertanyakan mengapa Antar bisa meninggalkan pekerjaannya lebih dari sepuluh hari, padahal cuti maksimal yang bisa didapatkan seorang karyawan maksimal cuma 10 hari."Mungkin dia berniat mencari pekerjaan lain, pak," jawab Nandean."Sudah sebulan ini dua orang itu makan-tidur, makan-tidur di rumah saya," gerutu Bapak."Tak ada basa-basinya menambah uang belanja Mamamu atau membantu pekerjaannya di rumah. Saya lihat Mamamu kerepotan sendiri di rumah," kata Bapak lagi."Bapak bilanglah kalau bapak keberatan," saran Nandean."Sudah pernah saya tanya, alasannya tunggu proses mutasi si Lily," jawab Bapak."Tunggu proses kan tidak harus disini, bisa tunggu di kampungnya sana," ujar Nandean."Seminggu yang lalu si Marry lihat si Antar membuka-buka laci buffet di ruang depan katanya. Waktu ditanya, dia bilang sedang cari gunting. Si Lily ada di kamarnya, Mamamu sedang di belakang." Bapak bercerit
"Aku mau pakai mobil," katanya."Terus?""Bawa sini mobil Bapak!""Mau aku pakai!""Kau kan punya mobil sendiri,""Itu mobil mertuaku, mau dipakai anaknya!""Biasanya Naya tidak bawa mobil,""Sekarang disuruh ayahnya bawa mobil, karena setiap pagi dia mengantarkan Leang ke rumah mertuaku,""Kau sajalah yang mengantarkan mereka!""Naya berangkat lebih pagi dari aku,""Rempong amat sih!""Kau yang rempong! Tak punya mobil tapi ingin pakai mobil! Naik motor saja kalau belum punya mobil,""Sok kaya kau!""Jangan lupa, motor yang kau pakai itu juga punyaku! Baca nama di STNK nya baik-baik!"Klik! Panggilan diputus.Nandean tertawa."Kapan lagi aku bisa mengerjai mereka, kalau tidak sekarang." Dia bicara sendiri."Nanti kau berubah jadi seperti mereka, Pak," sahutku."Ya, tidaklah! Aku kan hanya mengantisipasi berbagai kemungkinan, sekaligus memberi pelajaran pada Lily sedikit demi sedikit.
Sebulan kemudian Lily dan Antar kembali ke rumah Bapak."Aku tak mau pindah kamar, Pak!" Marry protes kepada Bapak."Lalu kakakmu tidur dimana nanti?" tanya Bapak."Di kamar belakang lah! Kan kosong!" Marry berkeras."Memangnya aku pembantu?" ujar Lily emosi."Dulu kau yang bilang, kalau sudah menikah tidak boleh menempati kamar yang ada di depan, harus di belakang," jawab Marry."Kapan aku bilang?" debat Lily."Waktu Nandean dan Naya tinggal disini!" jawab Marry keras."Ooo... Jadi kau anggap aku dan istriku pembantu waktu tinggal disini ya?" tanya Nandean sambil tertawa."Aku tidak bilang begitu," gumam Lily."Tadi kau bilang, 'memangnya aku pembantu?' seolah yang ada dalam pikiranmu hanya pembantu yang pantas tidur di kamar belakang," cecar Nandean."Konsisten dong, Ly, konsisten. Apa yang pernah kau ucapkan, kau ajarkan pada adik-adikmu, harus kau laksanakan." Nandean bicara sambil menahan tawa."Kau dengar
"Tapi jangan main-main dengan saya, kalau ada yang berniat jahat pada keluarga saya, akan saya balas lebih jahat!" lanjutnya sambil tertawa.Lily menangis terisak-isak. Antar hanya diam.Setelah semua siap, kami pun berangkat. Kembali menyusuri jalan-jalan kampung yang lengang, melewati pasar-pasar desa, dan memasuki jalan lintas provinsi.Tiba-tiba Bapak tertawa, "saya rasa cocok si Lily bertemu mertua seperti Mamak si Antar ini. Sama-sama beringas dan bermulut pedas," ujarnya.Mama ikut tertawa."Semoga ke depannya jadi baik semua, Pak," ujar Nandean."Yang masih mengganggu pikiran saya, apa motif si Antar waktu berniat kabur kemarin itu ya?" tanya Bapak."Sebab orangtuanya orang baik-baik saya lihat," lanjut Bapak."Cuma si Antar lah yang tahu alasannya. Apa kita kembali lagi kesana, menanyakan langsung pada si Antar, pak?" tawar Nandean sambil tertawa.Bapak dan Mama tertawa kecil.Pikiranku melayang pada Lily. Membayan
"Tidak jauh kan kebunnya, Mak?" tanyaku."Dekat, lima menit pun jalan kita sampai," jawabnya."Ayoklah! Kuambil dulu karung di belakang," lanjutnya."Aku ikutlah!" ujar Nandean."Mama juga ingin ikut," ucap Mama."Ayoklah! Kita ke kebun, tak jauh! Sambil jalan pagi-pagi," ajak Pak Busthami.Akhirnya kami berangkat ke kebun. Sepanjang jalan Pak Busthami bercerita tentang kebun-kebun yang kami lalui."Milik kami tinggal tiga per empat hektar inilah, yang lain sudah habis dijual untuk biaya sekolah si Farida dan Antar."Kami hanya tersenyum menanggapi ceritanya."Si Farida agak lumayan hidupnya. Suaminya rajin berkebun dan menjual hasilnya langsung ke pedagang di pasar-pasar. Banyak langganannya. Kami pun kalau panen menitipkan hasil panen pada si Arifin untuk dijualkan." Kata Bu Busthami."Kalau si Antar tak mau dia ke kebun. Sudah terbiasa di kota, malas dia mau ke kebun," lanjutnya.Kami pun memetik jeruk den
Bakul-bakul berukuran sedang berisi nasi diletakkan berselang seling dengan berbagai lauk, sayur, sambal, dan lalapan. Tidak ada sendok dan garpu. Sendok hanya diletakkan di mangkuk-mangkuk lauk dan sayur saja, bukan untuk makan. Mangkok-mangkok kecil berisi air disediakan sebagai tempat cuci tangan. Kami makan bersama, para ibu tak henti-hentinya berbicara meski mulutnya berisi makanan. Mereka membicarakan kelebihan dan kekurangan menantu masing-masing lalu saling membanding-bandingkan. Selesai makan para tamu pulang, beberapa masih tinggal dan membantu membereskan peralatan makan yang kotor dan membawanya ke belakang. Lagi-lagi Farida memanggil Lily."Jangan ngobrol disini!" Ujarnya, "kita ngobrol di belakang saja sambil cuci piring dan beres-beres yang lain," tangannya bergerak mengajak. "Aku ganti pakaian dulu," jawab Lily."Tak perlu ganti pakaian, pakai itu pun tidak masalah untuk ke dapur dan ke sumur, kan tidak mahal-mahal amat bajumu itu," celoteh Farida.Lily mengepalkan
Jam sepuluh kami kembali lagi ke rumah Pak Busthami, orangtua Antar. Kursi-kursi yang tadi kami duduki sudah dikeluarkan. Di ruang tamu dan ruang tengah rumah sudah dibentangkan tikar. Bapak masih terlibat perbincangan dengan Pak Busthami. Sepintas kudengar mereka sedang bercerita tentang sejarah hidup dan masa lalu masing-masing.Ibu Busthami kembali duduk menemani Mama di ruang tengah, kue-kue disuguhkan. Separuhnya adalah kue bawaan kami. Pembicaraan kami pun hanya seputar jenis kue dan resep-resep masakan. Ciri khas ibu-ibu."Sedang apa si Lily, Bu?" tanya Mama pada Bu Busthami."Sedang menggoreng ikan dia," jawab Bu Busthami."Disini menantu harus terlihat rajin, Bu. Biar tak malu kami pada tetangga," ujarnya lagi.Kami hanya tersenyum."Da, Farida!" Panggil Bu Busthami."Iya, Mak!" Farida menyahut. Beberapa detik kemudian sosoknya muncul."Suruhlah Lily mandi, biar bersiap dia. Tamu sebentar lagi datang," kata Bu Busthami."Pekerjaannya belum selesai, Mak," ujar Farida."Biar si
Orangtua Antar menyambut kami di depan."Cepat sekali kalian sampai," Ayah Antar menyambut kami dengan senyum lebar."Ayolah, masuk sini!" Ajak Mamanya Antar.Kami menyalami mereka."Farida! Farida! Adikmu sudah sampai, da!" Mama Antar berseru sambil berjalan ke dalam rumah.Seorang perempuan seusia Marry keluar, dengan kaos oblong warna biru dan sarung warna merah bermotif bunga."Selamat datang di kampung," ucapnya sambil tersenyum canggung pada kami.Kami duduk di ruang tamu dengan satu set kursi kayu yang terlihat masih baru. Jendela-jendela terbuka menampilkan pemandangan di luar rumah yang tampak hangat disirami cahaya matahari.Suguhan teh, kopi, goreng ubi, dan rebusan jagung memenuhi meja ruang tamu. Kami menikmati teh hangat tanpa harum melati sambil berbincang.Antar dan Nandean membuka bagasi, menurunkan koper-koper Lily dan memasukkannya ke dalam kamar yang ditunjukkan Mamanya Antar."Lily, kau bantulah kakak