AqiqahFlash Back OnAku tidak tahu mas Arya pergi kemana setelah permohonan meminjam uang tabunganku tidak kuturuti. Lagipula simpanan di rekeningku hanya sisa 1 jutaan, untuk pegangan selama mas Arya belum gajian dan untuk membayar mbak Sumi.****Berkali-kali mencoba menyusui Surya, tapi ASIku masih macet. Namun sore itu setelah bangun tidur, aku merasakan 'ngrengsemi', langsung kuambil waslap dan air hangat untuk mengelap p*yud*r* kemudian mencoba meneteki Surya. Dan betapa bersyukurnya aku saat ASI ku keluar menderas.Kuciumi anakku berkali-kali. Bahagia rasanya bisa memberi ASI pada anakku.Tidak berapa lama kemudian anakku tertidur. Aku juga ikut memejamkan mata daripada bingung memikirkan biaya aqiqah.Rasanya baru sebentar aku tertidur, saat pundakku ditepuk-tepuk oleh mas Arya."Dek, ini lo mbah Darmi sudah datang, mau mandikan Surya dulu," ucap mas Arya.Aku bangun, memperbaiki kuncir rambut kemudian menuju dapur. Seperti tadi pagi, aku membuat secangkir teh untuk mbah Darm
Flash back OnSesampai di rumah bapak, aku segera menuju kamar. Aku pangling dan juga senang. Ternyata bapak dan ibuku mengganti kasur dipan kecilku dengan kasur lantai springbed yang kebih besar dan memberi tv di kamarku."Dea, setiap malam ibu akan tidur di sini, jadi bisa gantian menggendong Surya. Dan kasurnya tanpa dipan agar Surya tidak nggelundung kalau tidur. " Kata ibu."Wuah, makasih Bu, jadi semangat begadang nanti, ini juga diberi tv buat apa bu?" tanyaku."Ya buat temen begadang, biar semangat momongnya kalau malam." Jawab ibu.Kuakui, kaget memang pertama kali merawat bayi tanpa pengalaman. Tidak pernah mempunyai adik bayi, ternyata membuatku merasa lelah setiap malam begadang sambil menggendong Surya.Karena itu merasa bersyukur saat ibuku berencana membantu momong Surya.Akhirnya malam itu ibu tidur bersamaku. Bergantian menggendong Surya saat rewel maupun bergantian "natur" Surya agar belajar toilet training sejak kecil.Beda dengan saat di rumah ibu mertua, mas Arya
Flash back OnTak terasa sudah satu tahun aku di rumah orangtuaku. Menikmati kemudahan dan fasilitas yang disediakan. Ada ibu yang bersedia menggendong Surya saat aku sedang makan atau ke kamar mandi. Ada bapak yang selalu mengajak Surya jalan-jalan setiap usai mandi sehingga aku bisa mencuci atau menyetrika, bahkan ada mbak Neti dan Maya yang kadang bermain di rumahku membantuku menjaga Surya saat bapak dan ibu keluar rumah sampai aku ketiduran.Aku tak berfikir akan kehilangan semua kemudahan itu, sampai suatu saat telepon dari mertuaku membuatku harus kehilangan segala bantuan itu.Pagi itu usai aku memandikan Surya, terdengar dering panggilan dari ponselku. Saat kulihat di layar ponsel, nama ibu mertua terpampang.Ibu mertua yang biasa telepon Surya, -maklum Surya adalah cucu pertama dari anak lelakinya, karena anak lelakinya yang lain belum punya anak- tidak membuatku kaget. Segera kuangkat telepon dari ibu mertua."Assalamu'alaikum Dea, sedang apa?" tanya ibu mertua."Wa'alaikum
Flash back onPertama kali naik pesawat, sepertinya aku terkena jetlag. Mual, pusing, dan. ingin muntah begitu dahsyat menyerangku.Aku harus kuat menahan gejala ingin mabuk, sambil memegangi Surya yang mulai merambat kesana kemari."Bu, saya sepertinya ingin muntah, pusing begitu pesawatnya mengudara." Bisikku pelan."Oalah, ndeso, kalah sama ibu yang bolak balik pergi ke kalimantan sama sulawesi sendirian,"sahut ibu mertuaku. Kemudian tampak beliau mencari-cari sesuatu di dalam tas tentengnya."Ini ada freshc*re, oles di kepala dan hidungmu ben ra mumet," kata ibu mertua sambil mengangsurkan sebotol kecil minyak gosok padaku."Maturnuwun, bu," jawabku sambil menerima botol tersebut dan mulai mengoleskan di kepala, leher, dan perut. Tak berapa lama, gejala mual serta pusingpun berkurang. Aku mulai menikmati pemandangan awan di luar pesawat sambil memegangi Surya yang melonjak-lonjak kegirangan di pangkuanku.Sekitar hampir 4 jam kami mengudara.Hingga terdengar pengumuman bahwa pesa
Flash back onTak terasa lima hari sudah aku berada di balikpapan, berbeda sekali dengan sewaktu di rumah ibu, disana aku membagi pekerjaan rumah dengan ibu, sementara di sini, aku harus berbelanja ke tukang sayur sambil menggendong Surya karena tidak mau ditinggal, bersih-bersih sendiri, memasak dengan mertua yang kadang terasa tidak begitu cocok, dan tidak ada yang menggantikan aku momong Surya selepas subuh saat aku ingin memejamkan mata sebentar, bahkan aku sudah tidak pernah menyetrika lagi karena terlalu lelah.Perbedaan yang sangat terasa adalah sering mati lampu dan mati air yang membuatku merasa gerah dan jarang mandi.Maka bahagianya aku, begitu bangun subuh, listrik dan air bisa menyala. Segera aku berwudhu dan menunaikan sholat subuh.Karena Surya masih tidur, aku menyempatkan diri ke dapur. Kulihat mbak Nira sudah bersiap berangkat kerja."Pagi banget mbak kerjanya, memang jam berapa masuk sekolahnya?" tanyaku."Jam 7 sih, tapi jarak sekolah mbak jauh sekali, 2 jam dari
Flash back onSetelah gagal menghubungi mas Arya hari itu, aku terus mencoba menelepon mas Arya setiap saat.[Mas, dimana][Dicariin mas Erick][Mas, jangan bikin aku khawatir]Centang satu semua. "Kemana mas Arya ini kenapa centang satu semua?" gumamku.Tiba-tiba ibu mertuaku berdiri di ambang pintu kamar."Sudah bisa dihubungin Aryanya De?" tanya ibu mertu."Belum bu, nanti akan Dea coba hubungin terus," jawabku."Sebenarnya Arya dulu waktu masih sekolah dan kuliah, kalau pemintaannya tidak dituruti, dia minggat ke rumah temannya," kata ibu mertua muram."Oh gitu, mungkin apa ke rumah temannya juga ya, bu? tapi kenapa sampai kerjaan ditinggal?" tanyaku."Ibu juga tidak tahu, coba kamu hubungin terus, sungkan sama mas Erick yang sudah membantu memasukkan Arya ke pertambangan, malah Arya kabur-kaburan kayak gini." pinta ibu."Iya bu, nanti Dea hubungi lagi," sahutku.*****Besok malamnya mati lampu lagi, untung saja mbak Nira punya stok lampu isi ulang.Di saat mengipasi Surya dengan
Flash back onHari ini aku, mas Arya, Surya, dan ibu pulang ke Jawa. Seperti kesepakatan kami dengan mbak Nira, tiket pesawat untukku dan mas Arya, aku yang membelinya, sebagai pertanggungjawaban karena aku yang ingin pulang.Saat berada di dalam pesawat kami saling terdiam. Mungkin sibuk dengan pikiran masing-masing.Aku juga terdiam. Memandang ke arah awan sambil menggendong Surya. Menyesali pernikahanku? mungkin saja. Karena sudah hampir 2 tahun pernikahan kami belum bisa menabung berapapun untuk beli apapun.Pesawat yang kami tumpangi akan mendarat. Kami bersiap-siap turun dari kabin. Menuju tempat pengambilan koper kemudian mencegat taksi di luar bandara." Mas, ini ongkosnya untuk naik taksi," ucapku memecah keheningan sambil mengangsurkan uang 50 ribu sesuai angka di argometer." Nggak usah Dea, uang kamu dihemat saja. Pakai uang ibu dulu." Sahut mertuaku lalu mengambil uang dari sakunya celananya.Setelah membayar taksi, kami memasuki terminal. Memilih salah satu bis patas ke
Flash back OnDua bulan berlalu sejak aku pulang dan tinggal bersama mertua. Banyak kejadian yang absurd dan mengguncang kesabaranku, baik dari mertua maupun dari mas Arya."Mas, aku sudah gak kuat lagi, aku mau pulang ke rumah orang tuaku sampai kamu dapat kerja atau bisa ngontrak rumah baru," ucapku suatu malam."Sabar dikit napa, aku lagi nyari info kerjaan ini lo, tapi ga ada yang nyangkut." Sahut mas Arya."Halah, kamu nyari info darimana, habis subuh tidur lagi sampai siang, keluar kalau udah malam, itupun ke warung kopi. Mana ada info tentang pekerjaan di warung kopi!" Seruku tertahan karena Surya baru saja tertidur."Kamu itu cewek, mana tahu kalau di warung kopi itu tempat paling bagus untuk bertukar informasi." Mas Arya membela diri."Halah alasan, pokoknya antar aku pulang, atau aku pergi sendiri!" aku mengultimatum.Cukup rasanya menahan lelah di hati saat melihat suami tiduran dan aku yang pontang panting menyelesaikan pekerjaan rumah sendirian.Belum lagi menghadapi mert