Bagian apa yang paling sulit dalam mengakhiri sebuah hubungan?
Itu adalah meyakinkan semua orang bahwa kau akan baik-baik saja, dan kau bisa mengatasinya.
Padahal tentu saja itu mustahil.
Kalau semuanya akan teratasi, kau tidak mengakhiri hubungan itu.
Ah, iya, satu lagi.
Kau harus mulai terbiasa mengemban tanggung jawab dan julukan yang baru. Dalam kasusku, aku akan menjadi ibu, sekaligus ayah, sekaligus janda beranak.
Semudah itu.
Padahal untuk mengawali hubunganku dengan pria itu sangat sulit. Kami sama-sama pemalu. Orang-orang yang hanya keluar rumah untuk bekerja dan membeli bahan makanan, itu pun dengan wajah tertunduk. Suatu keajaiban sampai akhirnya kami bertemu, dan menikah.
Tapi ternyata, mengakhirinya tidak sesulit itu.
Kau hanya perlu berbicara, menunjukan bukti, dan semuanya selesai.
“Kapan Papa pulang, Ma?”
Anakku berusia 5 tahun. Ia sudah mengerti banyak hal. Anak yang pintar untuk ukuran bocah seusianya. Sudah beberapa malam kami hanya tidur berdua di rumah, dan mungkin akhirnya ia mulai merindu, tapi masalahnya, apakah pria itu juga merindukan putranya?
Melihat mata jernih itu, hatiku kembali ciut. Ini kah yang ditakutkan semua wanita saat berdiri di ambang garis perceraian? Lalu akhirnya malah memilih berdamai dengan kebusukan suami mereka, dan memaafkan demi perasaan aman?
Karena anak?
Karena uang?
Karena julukkan baru yang menyeramkan?
Aku tidak bisa menjawab. Hidup kami sendiri sudah jungkir balik.
Dan aku tau, ketika kami bercerai nanti, secara otomatis semua pemasukan yang selama ini suamiku berikan akan menghilang, tapi pengeluarannya tidak akan berkurang.
Biaya rumah, biaya sekolah, biaya kehidupan sehari-hari, biaya masa depan, bahkan biaya ongkos angkutan umum pun akan mulai menjadi masalah.
Aku sadar.
Bisakah aku melalui semuanya?
Atau, haruskah aku berdamai seperti perempuan-perempuan lain yang memutuskan bertahan demi semua alasan itu?
Mungkin anakku takkan lagi merasakan kenyamanan seperti ini. Mungkin kami akan kekurangan uang. Meski aku bisa bekerja seperti dulu, tapi ia akan kekurangan kasih sayang. ia akan terombang-ambing dalam perasaan gundah dan kecewa. Ia akan tersakiti karena tak lagi memiliki orang tua yang utuh dalam satu atap.
Lalu, ia juga akan memiliki julukan baru.
Anak beroken home.
Begitu banyak hal negatif yang memenuhi kepalaku.
Tapi setiap kali aku ingin menyerah, aku tetap tidak akan bisa melihat pria itu dengan pandangan yang sama lagi. setidaknya, tidak tanpa pemikiran bahwa ia pernah berbagi ranjang dengan wanita lain yang kini hamil karenanya.
***
"Tulisanmu sekarang agak berbeda." Itu Lina, sahabat sekaligus editorku.
Kami duduk berhadapan di restoran cepat saji dekat sekolah TK anak-anak kami. Quality time dengan dalih menjemput anak-anak, padahal mereka baru akan keluar sekolah 1 jam lagi.
Aku menyeruput minumanku dengan wajah datar.
"Ini part yang bahagia loh, tapi emosimu flat banget," tambahnya, membaca file yang baru kukirimkan ke emailnya semalam. "Kalau kamu lagi nggak mood kita bisa ajukan hiatus."
Aku bergeming.
Andai hidup juga semudah itu. Kalau kau sedang tidak mood menjadi manusia, kau bisa mengajukan hiatus, lalu memilih menekuni peran sebagai tumbuhan, atau bahkan batu, agar kau bisa diam saja dilempar orang lain.
“Is everything alright?” tanyanya.
Kuharap ia benar-benar mengkhawatirkanku, bukan mengkhawatirkan tulisanku yang belum sempurna menurutnya.
Ia adalah salah satu orang yang kuanggap sebagai sahabat terbaikku. Aku penulis, dan ia adalah editor yang menjadi jembatanku dengan platform kepenulisan online yang sekarang menaungi kami.
Kami begitu dekat, sampai di titik kami pernah berjanji untuk menjodohkan anak-anak kami ketika dewasa kelak. Karena kupikir ia akan menjadi mertua yang baik untuk putraku, dan ia aku tau ia berpikiran yang sama.
“Ya,” jawabku singkat, sambil terus menatap ke luar jendela besar restoran cepat saji. Di seberang sana, ada sekolah TK anak-anak kami, dan lalu lintasnya selalu padat.
Di film-film yang kulihat, banyak sekali kejadian kecelakaan di tempat-tempat strategis seperti itu. Dan aku mulai bertanya-tanya bagaimana rasanya, apakah akan merubah suatu alur dalam hidupmu?
"Mi." Lina tersenyum, tapi tak menyentuh matanya.
Ah, buat apa aku menyembunyikannya? Tapi sejujurnya, aku tidak berniat menyembunyikan dari siapa pun. Aku hanya malas menjawab pertanyaan yang akan datang setelahnya.
“Aku akan bercerai dari Abrar.”
Mata Lina membulat penuh tanya.
“Hah??? Kamu mau apa? Kenapa? Ada masalah apa, Mi? Jangan bercanda!”
Kenapa ia terlihat sangat terkejut? Apa memang ini adalah kemampuannya sejak awal? Kalau begitu, ternyata aku satu-satunya yang tertipu.
“Mi, kenapa?”
Aku ingin memberikan pertanyaan yang sama. Tapi perasaan hampa itu sudah membumbung terlalu tinggi, sampai kupikir sebentar lagi aku akan melayang karena tak lagi memiliki daya berat.
“Kenapa kamu tanya? Kamu pasti tau adikmu hamil karena suamiku.”
Dan wajahnya sontak memerah.
***
"KAMU MAU BERCERAI?!"Ah, aku lupa.Hal lain yang juga sulit adalah menghadapi penghakiman dari sesama manusia.Matamu, lidahmu, tanganmu, semua akan menjadi saksi.Siang itu aku datang ke rumah Ibu mertuaku. Kunjungan rutin yang selalu kulakukan selama 6 tahun pernikahanku. Dengan atau tanpa pria itu. Toh lama-lama ia terlalu sibuk untuk menemani kami, jadi kami hanya pergi berdua.Apakah dari sana mulanya?Apakah kata-kata sibuk itu hanya sebuah alasan ketika ia meniduri peerempuan lain di tempat asing?“Mi! Jangan asal bicara! Apa maksudmu? Kenapa tiba-tiba mau bercerai?!”Mata itu menudingku, menyalahkanku dengan keras. Aku bersyukur putraku tengah bermain dengan tantenya di halaman belakang, jadi ia tidak mendengar perbincangan keras kami.Atau mungkin ia mendengarnya?“Jangan suka besar-besarkan masalah, Mi! Coba bicara baik-baik sama suamimu. Cari jalan keluarnya. Jangan meme
“Percayalah, kau tidak akan mendapatkan ujian diluar batas kemampuanmu.”Aku ingin mempercayai kata-kata itu, dan meyakini diriku sendiri bahwa aku bisa melaluinya, meski dengan hati tercabik, dan jiwa yang patah.“Tolong, Mi, tolong jangan bercerai dengan Abrar, Ibu mohon, demi Ibu.”Ibu mertuaku menangis tersedu-sedu di hadapanku, memohon sambil menggenggam jemariku dengan sangat erat. Seakan ia baru saja melakukan kesalahan yang sangat besar.“Ibu minta maaf. Ibu minta maaf atas nama Abrar, Ibu minta maaf karena nggak bisa mendidik dia dengan baik sampai dia begini sama kamu. Ibu minta maaf, Mi. Tapi tolong jangan bercerai. Ibu akan menegur Abrar dan meminta dia meninggalkan perempuan itu. Ibu janji. Tapi tolong jangan bercerai.”Orang yang melihat adegan itu akan beranggapan betapa aku adalah menantu jahat yang dingin. Wanita tua itu hampir bersimpuh di kakiku, tapi tak ada emosi yang tertinggal di w
“Mi, aku mohon, tolong jangan pergi dariku. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu dan Andra. Tolong pikirkan lagi. Aku khilaf. Aku minta maaf.”Kata-kata itu lagi. Entah sudah berapa kali aku mendengar kata-kata yang sama. Namun, tidak sekalipun kata-kata itu menyentuh hatiku. Mungkin karena aku tau, tidak peduli sebanyak apa ia meminta maaf dan memintaku bertahan, kehidupan kami tidak akan pernah kembali seperti dulu.Sebenarnya apa arti kebahagiaan?Mengapa orang-orang sangat sibuk menunjukkan kebahagiaan mereka? Seakan kebahagiaan mereka tidak berati tanpa pengakuan dari orang lain.Foto yang terunggah,Cerita yang terdengar,Bahkan, senyuman lebar yang terlihat di dalam setiap rekaman memori itu, semua hanya menanti satu hal, yaitu pengakuan.Setiap foto yang diambil selalu memiliki maksud tertentu.Dan percayalah, maksud terbesarnya adalah untuk memamerkan apa yang ia miliki dan tidak kita miliki.Sesederhana
“Mana anakku?”Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang paling menyeramkan bagi seorang ibu. Jangan salah paham. Aku bukan wanita pengecut. Namun, ketika pertanyaan itu terlontar, maka artinya jiwaku tak lagi berada di tempatnya.Suara di sebrang sana terdengar gugup. “Andra baik-baik aja, kamu nggak perlu khawatir.”“Kamu culik dia?”“Demi Tuhan, Mi, dia juga anakku! Apa aku nggak boleh jemput dia pulang dari sekolahnya?”Aku bergeming. Mataku masih nanar menatap gedung sekolah putraku yang mulai sunyi. Satu persatu anak dijemput oleh wali mereka masing-masing. Dan putraku tidak ada di antaranya.“Aku nggak akan pernah sakiti anakku sendiri, Mia!” bentak pria itu, padahal aku tidak mengatakan apa pun.Namun, nyatanya, ia sudah melukai putranya.Perselingkuhannya, itu sangat melukai Andra, apakah ia tidak pernah berpikir seperti itu?“Di mana anakku?” t
“Andra kecelakaan.”Bagai petir di siang bolong. Aku mendengar kabar itu di hari yang terlalu tenang untuk sebuah musibah. Namun, aku lupa, musibah tidak selalu membutuhkan langit yang mendung untuk mengundangnya datang.Justru, musibah lah yang membuat langit cerah mendadak mendung di langitmu, tapi tidak di langit orang lain.Ketika aku sampai di rumah sakit. Orang-orang sudah berkumpul di tempat itu. Pihak sekolah putraku, pria itu, Ibu mertuaku, bahkan Lina. Seakan mereka sudah siap di sana, bahkan sebelum kecelakaan itu terjadi.Aku ingin bertanya apa yang terjadi. Bukankah seharusnya itu pertanyaan pertama yang akan kau ajukkan? Tapi kemudian aku mundur. Apa gunanya? Untuk apa aku bertanya tentang yang sudah terjadi? Bukankah itu hanya akan semakin menyakitiku?Seorang perawat keluar tidak lama setelah kedatanganku.“Keluarga Andra,” panggilnya. Aku maju, sebagai ibunya, dan pria itu maju sebagai a
Operasi pertama tetap dilakukan, meski tanpa jawabanku atas permintaannya. Kalau aku menganggap itu satu-satunya kebaikan yang tersisa darinya, maka aku sudah gila, mereka sudah gila!Ini anaknya! Bagaimana mungkin dia bisa diam saja ketika anaknya hampir mati? Bahkan binatang buas akan tetap melindungi anak mereka.Tamu lain yang mendatangiku diam-diam di rumah sakit adalah guru sekolah Andra. Silvia, gadis muda yang biasanya menyapa murid-murid seriang mentari pagi di pintu masuk sekolah. Kebiasaan yang mereka adaptasi dari sekolah di luar negeri.Ia tampak ketakutan melihatku, seakan aku akan melahapnya dalam sekali suapan.Kemarin ia sudah datang bersama kepala sekolah putraku, mengucapkan bela sungkawa, dan menyerahkan sebuah amplop yang tak pernah kubuka. Mungkin mereka takut aku menuntut, karena kejadian itu terjadi tepat di lingkungan sekolah dan di jam istirahat.Mudah saja, mereka lalai, atau anakku terlalu lincah.Aku menatap guru
Jika kau berpikir kau adalah wanita yang lemah, tunggulah sampai kau menjadi seorang ibu. Terlebih menjadi ibu dengan ancaman kematian sang anak. Saat itu, kau bahkan bisa menyelami dalamnya lautan jika ingin.Pukul 8 pagi, aku berdiri di ambang pintu ruang rawat inap putraku setelah dokter melakukan kunjungan rutin untuk memeriksa Andra. Ibu datang sesaat sebelum kedatangan dokter. Ia bersamaku ketika dokter menjelaskan keadaan Andra.Mereka mencoba menyambungkan tulang yang patah, mencoba menjahit kembali pembuluh darah yang putus, mencoba memperbaiki jaringan kulit yang koyak, tapi itu akan tetap meninggalkan luka. Kejadian kemarin akan menjadi trauma menakutkan untuk putra kecilku. Dan ibu mana pun tidak akan berbesar hati begitu saja menerima keadaan itu.Andra harus berada di rumah sakit selama beberapa hari lagi, menunggu dokter puas mengobservasinya, atau menunggu tagihan rumah sakit mulai tak bisa tercover asuransi dan uang pria itu lagi.Aku men
Percayalah. Kalau kau pikir aku adalah wanita yang tegar. Maka kau salah sepenuhnya.Sangat salah.Kebencian itu memang menguatkanku. Namun ketika aku melihat tangis diam-diam putraku di atas bantal rumah sakit setelah semua tamu pergi, hatiku patah berantakan.Tadi, dengan kejinya, pria itu mengatakan bahwa gadis itu akan menjadi ibu baru putraku. Apa dia pikir anaknya b*doh? Atau ia yang terlalu t*lol untuk menyadari perubahan ekspresi putraku?Aku muak.Aku membenci mereka semua.Tapi apapun yang mereka lakukan tidak akan menyakitiku, sampai mereka menyentuh putraku.Andra menutupi wajahnya dengan bantal saat mendengar aku menutup pintu di belakang punggungku. Ia tengah berpura-pura tidur, padahal sesekali bahunya masih terentak karena isak tangis.Aku menarik kursi di samping ranjangnya. Kini hanya tinggal kami berdua. Apakah seharusnya tetap begitu? Apakah kami memang ditakdirkan hanya untuk hidup berdua saja?&ldqu
Beberapa saat yang lalu. “Jadi itu orangnya?” tanya Lily pelan. “Jadi, aku benar-benar terlambat sekarang?” Ada jeda yang cukup panjang di antara mereka. Hening yang membungkam setiap aksara, tapi tetap menyisakan serpihan rasa sakit. Lily mengerjap perlahan. Napasnya mendadak lebih berat oleh sesal. Andai ia lebih cepat kembali, apakah tempat di hati pria itu masih miliknya seorang? “Aku minta maaf.” Pria itu menatap pilu. Namun Lily sama sekali tidak mengerti apa maksud dari kata maaf itu. Apakah ia baru saja meminta maaf karena sudah menempatkan sosok lain di hatinya? Jika memang ia menyesal, bukankah artinya mereka masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki kesalahan itu? Bukankah artinya mereka bisa memulai dari awal lagi? Lily meremas jemari di atas pangkuannya. Jutaan pemikiran itu membuat dadanya semakin sesak. “Apa kita nggak bisa mulai dari awal lagi?” tanya Lily, menggantungkan seluruh harapny
Kinan tau, ia seharusnya tidak pernah membiarkan rasa ingin tahu menguasai dirinya. Karena saat itu terjadi, tidak ada apa pun yang ia dapatkan kecuali luka yang begitu dalam.Susah payah Kinan menahan isakkannya sampai ke toilet. Ia tidak pernah menyangka akan mendengar pengakuan seorang wanita kepada Andra. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, ternyata selama ini Andra bukannya tidak pernah bisa mencintai seorang wanita. Tapi, jauh di dalam lubuk hati pria itu, memang sudah tidak ada celah lain yang bisa dimasuki siapa pun.Karena seseorang dari masa lalunya, sudah mengambil tempat itu secara utuh.Kinan menangis pelan di dalam toilet, berharap tidak ada satu pun yang datang dan mendengar seluruh tangisnya. Ia mengutuki dirinya yang mencintai pria itu terlalu dalam.Sekarang, ia bahkan tidak yakin apakah ia bisa melupakan rasa cintanya kepada pria itu.Saat ponselnya bergetar, Kinan membuka pesan yang masuk sambil menyeka air matanya.Sebua
“Gimana kabarmu sekarang?” tanya Lily, memecah kesunyian yang tercipta di antara mereka. Ia menarik napas panjang berkali-kali, berusaha menenangkan gemuruh di dalam dadanya. “Aku nggak nyangka kita bisa ketemu lagi,” tambahnya dengan senyuman penuh haru.Rasanya masih seperti mimpi.Setelah lusinan hari berlalu dalam perasaan rindu yang menyesakkan, akhirnya mereka bisa kembali bertemu.Di dalam ruangannya yang sunyi, Andra duduk berhadapan dengan sosok yang selalu muncul dalam mimpinya. Berkali-kali ia berusaha mencari wanita itu, tapi berkali-kali pula Andra menemukan kegagalan.4 tahun yang lalu, Andra hampir saja menemukannya. Ia berhasil melacak keberadaan Lily yang bekerja di Singapura. Namun saat Andra pergi mengejar keberadaannya, wanita itu sudah pergi, ikut bersama kekasihnya kembali ke Indonesia. Dan hanya meninggalkan selembar foto yang Andra dapatkan dari perusahaan lamanya.Andra kembali ke Indonesia dengan be
“Eciieeeee!!!!!!!” pekik Willia kencang. Wajah marahnya melebur seketika, tergantikan senyuman yang sangat teramat lebar. Ia melompat kegirangan bersama Wisnu. Bahkan sekarang ia lupa tentang rasa sukanya kepada dokter muda itu. “Cieeeee cieeee!!! Gimana dokter Kinan? Dokter keberatan nggak jadi istri Om-ku?” tanya Willia tanpa basa-basi.Wajah cantik Kinan semakin bersemu merah. Tidak ada kata yang bisa menggambarkan perasaannya saat ini. Padahal beberapa saat yang lalu, ia hampir saja putus asa karena penolakan Andra. Namun, ternyata pria itu membalikan suasana hatinya sekedipan mata.Mata Kinan berkabut oleh air mata haru yang tak bisa ditahannya lagi. Apakah itu artinya cinta bertepuk sebelah tangannya selama 7 tahun sudah terjawab?“Gimana, gimana, Dok? Dokter keberatan nggak??” tuntut Willia tidak sabar.“Mm, mungkin kalau anaknya nggak kaya Willia, saya juga nggak keberatan,” gumam Kinan malu-malu.
“Pagi, Dokter An,” sapa beberapa perawat yang berpapasan dengan mereka di koridor. Andra mengangguk dan tersenyum sebagai jawaban.“Dokter Andra? Bukannya Dokter libur hari ini?” sapa seorang dokter muda dengan snelli di balik batiknya. Ia baru saja keluar pintu IGD dengan beberapa berkas di tangannya.“Dokter Wisnu.” Andra menghentikan langkahnya, membalas sapaan dokter umum itu.Melihat Andra berhenti, Willia ikut berhenti, meski berada jauh di depan.“Iya, hari ini saya lagi jadi keluarga pasien,” senyum Andra.“Eh, siapa yang sakit, Dok?”“Tante saya lahiran.”“Wah, punya sepupu baru dong?”Andra mengangguk.“Adiknya Willia?”“Iya. Tuh anaknya.” Andra menunjuk gadis kecil yang tengah bersembunyi di balik tiang rumah sakit. Ia tersenyum puas melihat kelakuan malu-malu Willia. Gadis itu memang sangat lemah
“Jadi itu yang namanya Dokter Kinan?” bisik Syila di telinga kakak iparnya. Saat ini, ia sudah dipindahkan ke ruang perawatan setelah operasi Caesar. Bayinya juga sudah berada di ruangan yang sama, dan baru saja selesai menyusu. Sekarang bayi itu sedang dikerumuni ayah, kakak, sepupu, dan gadis yang dipanggil Dokter Kinan.Miranda mengangguk pelan.“Ya ampun, cantik banget. Mbak yakin dia bukan artis?” desis Syila tidak percaya. Kinan adalah gambaran wanita cantik yang sempurna. Rambut hitam yang sehat, kulit seputih pualam, dan senyum secantik mawar. Ia pasti akan langsung melejit jika menjadi artis.“Hus. Dia dokter gigi.”“Tapi dia cantik banget, Mbak.”Miranda tidak membantah. Gadis itu memang menawan dan anggun.“Bisa-bisanya dewi secantik itu naksir Andra. Padahal dia anak yang punya rumah sakit kan?”Lagi-lagi Miranda hanya terdiam.“Pokoknya kalau sampai
Kinan pikir ia akan melewati makan malam yang indah dan seru dengan keributan dua sepupu itu. Namun, saat keduanya sampai di rumah sakit, wajah mereka terlihat begitu murung. Bahkan, ketika mereka sampai di restoran yang berada tepat di belakang rumah sakit, mereka tetap tidak terlihat bersemangat.Willia hanya mengaduk makanannya tanpa selera, sedangkan Andra makan dengan sangat cepat, juga tanpa kata.“Dok, saya titip Willia sebentar boleh? Saya mau ambil berkas di ruangan dulu.”“Ya?”“Om mau ke rumah sakit lagi? Aku ikut!” rengek Willia.“Om cuma mau ambil berkas yang ketinggalan aja. Cuma sebentar. Kamu di sini sama Dokter Kinan. Cepat makan makananmu, jangan diaduk-aduk aja.”Wajah mungil Willia tertunduk menatap nasi goreng pesanannya, tapi tidak membantah. Kinan yang melihat kepergian Andra hanya bisa mengangguk pelan. Ini benar-benar aneh. Dan saat ia menoleh lagi ke arah Willia, betap
“Ah, ma-maaf.” Andra yang pertama kali tersadar dari keterkejutannya. Ia mundur beberapa langkah, sampai menabrak dental chair di belakang punggungnya.Kinan ikut menegakkan punggung, saat sadar jika itu bukanlah sebuah mimpi. Saat ia bergerak, sesuatu meluncur jatuh dari pundaknya. Kinan menatap benda putih yang kini berada di bawah kaki kursi. Itu adalah snelli, tapi jelas bukan miliknya.Ketika Kinan membaca nama di jas putih itu, debaran jantungnya kian tak menentu. Apa pria itu sengaja memakaikan jas untuknya?“Ma-maaf, Dok, tadi dokter kelihatan kedinginan,” jelas Andra, sambil mengusap tengkuknya.“Iya, Dok, terima kasih,” senyum Kinan dengan pipi bersemu merah muda. Bahkan hanya dengan kebaikan sederhana saja, jantungnya sudah berdebar tak karuan.“Dokter kelihatannya kelelahan. Sebaiknya Dokter istirahat. Dan, terima kasih karena sudah menjaga sepupu saya. Saya minta maaf karena datang ter
Ternyata menjadi dokter gigi itu tidak semudah yang Willia bayangkan. Padahal Willia pikir, jika dibandingkan dengan proses menjadi dokter-dokter lainnya, maka dokter gigi lah yang termudah.Namun, ketika ia menonton Kinan yang harus berurusan dengan pasien-pasien beragam kondisi, Willia mulai meralat pikirannya. Terlebih, kebanyakan pasien Kinan adalah pasien anak-anak yang terlalu takut bertemu dengan dokter Juniar, dokter gigi lain di rumah sakit itu.Mereka bahkan rela untuk memundurkan jadwal berobat mereka jika Kinan sedang tidak praktek.Kinan tengah menuliskan status pasien saat mendengar helaan napas Willia di sudut ruangan. Sesuai permintaannya, saat ini Willia sudah berganti pakaian dengan pakaian steril yang disediakan rumah sakit. Ujung lengan dan kaki pakaiannya digulung sedemikian rupa karena masih terlalu besar untuk tubuhnya.“Kamu bosen ya, Will?”“Eh, nggak kok, Dok.” Willia menegakkan punggungnya. “