Jika kau berpikir kau adalah wanita yang lemah, tunggulah sampai kau menjadi seorang ibu. Terlebih menjadi ibu dengan ancaman kematian sang anak. Saat itu, kau bahkan bisa menyelami dalamnya lautan jika ingin.
Pukul 8 pagi, aku berdiri di ambang pintu ruang rawat inap putraku setelah dokter melakukan kunjungan rutin untuk memeriksa Andra. Ibu datang sesaat sebelum kedatangan dokter. Ia bersamaku ketika dokter menjelaskan keadaan Andra.
Mereka mencoba menyambungkan tulang yang patah, mencoba menjahit kembali pembuluh darah yang putus, mencoba memperbaiki jaringan kulit yang koyak, tapi itu akan tetap meninggalkan luka. Kejadian kemarin akan menjadi trauma menakutkan untuk putra kecilku. Dan ibu mana pun tidak akan berbesar hati begitu saja menerima keadaan itu.
Andra harus berada di rumah sakit selama beberapa hari lagi, menunggu dokter puas mengobservasinya, atau menunggu tagihan rumah sakit mulai tak bisa tercover asuransi dan uang pria itu lagi.
Aku meninggalkan Andra bersama neneknya dengan alasan hendak mengambil pakaian ke rumah. Namun, bukannya ke rumah, aku justru pergi ke sekolah Andra, mencari Silvia.
Jam belajar sudah dimulai, agak sulit mencari guru yang berada di luar kelas. Tapi, setidaknya kupikir hari ini aku bisa berkeliaran sedikit leluasa di sekolah untuk mencari tau yang Silvia katakan kemarin.
Aku mengintip ke ruang kelas, Silvia masih mengajar, meski dengan wajah yang tidak terlalu cerah. Kuputuskan untuk pergi ke ruang kepala sekolah, menemui Bu Yusi, kepala sekolah TK putraku.
Namun, langkahku terhenti. Suara Lina terdengar dari celah pintu ruangan itu.
“Iya, Bu, saya mau lihat kronologi kecelakaan Andra,” katanya kepada Yusi.
Kenapa dia ada di sini? Kenapa dia mau melihat kronologi kecelakaan putraku?
Bu Yusi terlihat bimbang sejenak, meski akhirnya tetap memutar sedikit layar komputernya, hingga Lina bisa melihat isi komputer itu, sedangkan aku tidak.
Aku hanya bisa memperhatikan raut wajah Lina dan Bu Yusi yang tengah menonton rekaman CCTV tanpa suara itu.
Rasanya seperti dibelenggu oleh rasa penasaran. Dan aku muak mengakui, bahwa aku benar-benar ingin menerobos masuk dan ikut melihat rekamannya. Tentu aku lebih berhak dari pada Lina, bukan?
Beberapa detik kemudian, aku bisa merasa jantungku benar-benar diperas sedemikian rupa saat melihat raut wajah Lina yang berangsur lega.
Apa dia sudah gila? Apa-apaan ekspresinya itu?
Tidakkah itu sedikit keterlaluan?
***
Dua puluh menit berlalu, akhirnya Lina keluar dari gerbang sekolah. Kami memang biasanya meninggalkan anak-anak kami bersekolah, kemudian datang menjemputnya lagi sekitar pukul 11.20 siang.
Jika biasanya Lina akan menemaniku menulis di restoran cepat saji di sebrang sekolah sampai anak-anak kami selesai belajar, hari ini ia berbelok ke lapangan parkir, mengambil motornya lalu pergi.
Lama aku hanya berdiri mematung di sisi jalan setelah kepergian Lina. Silvia benar, aku tidak perlu memeriksa CCTV sekolah, terlebih setelah melihat ekspresi Lina di ruangan Bu Yusi beberapa saat yang lalu.
Rekaman CCTV di minimarket itu sudah lebih dari cukup untuk menjawab salah satu dari jutaan pertanyaan yang kumiliki.
***
Ketika aku kembali ke rumah sakit di siang hari, suasana kamar rawat inap Andra sudah seramai taman bermain. Anak Lina membawa mainannya untuk dimainkan bersama Andra, yang artinya Lina juga ada di sana.
Pria itu juga datang, memanfaatkan jam istirahatnya di kantor. Ia membawa makanan kesukaan Andra, meski rumah sakit sudah menyiapkan menu makan siang yang sehat untuk putraku.
Ibu mertuaku terkekeh riang melihat tingkah Andra dan putri Lina, di sampingnya, gadis itu tampak sibuk membuka jeruk untuk mertuaku.
Pemandangan yang sangat indah, tapi sangat menjijikan.
Ia bahkan tidak malu lagi menunjukkan wajahnya di antara kami.
Ketika menyadari keberadaanku, pria itu langsung bangkit menghampiri. Wajahnya terlihat lelah. Ia melirik ke belakang, ke tempat gadis itu duduk di samping mertuaku, mungkin akhirnya ia merasa tidak nyaman dengan keberadaan kami berdua.
Lalu aku mulai bertanya-tanya, apakah aku, atau gadis itu, yang membuatnya sangat tidak nyaman sekarang?
“Mama!” Andra tersenyum lebar.
“Mama bawain mainan, tapi kayaknya Andra sudah dapat,” kataku, melirik mainan yang dibawa putri Lina.
“Tadi Lili kangen banget sama Andra, makanya aku bawa jenguk sekalian bawain mainan buat Andra,” ujar Lina dengan suara keibuannya. Ia membelai kepala Andra, menatap penuh kasih.
Aku harus berusaha keras untuk tidak mematahkan tangan yang tengah menyentuh kepala putraku.
Haruskah aku berterima kasih?
Atau mengusirnya saat ini juga?
Lina berdeham pelan, tidak nyaman dengan pandanganku. Lalu sebenarnya apa yang ia harapkan? Ucapan terima kasihku atas kedatangannya? Atas perhatiannya kepada putraku yang terluka? Atau atas senyumannya di ruangan Bu Yusi pagi tadi?
Dan gadis itu, dengan tidak tahu malunya ia berada di antara keluargaku.
Ibu mertuaku hanya bisa tertunduk, tidak berani menatap mataku. Apakah ia merasa bersalah dengan membuka pintu untuk wanita itu? Ataukah ia mulai berharap aku segera enyah, dan membiarkan putranya mendapatkan cinta yang baru?
“Mas, bisa kita ngobrol sebentar?” tanyaku, memanggil pria itu.
Sigap, pria itu langsung mendekatiku, lalu berjalan ke arah pintu.
“Nggak usah di luar, kita ngobrol di sini aja.”
Pria itu menghentikan langkahnya, lalu berbalik. “Kenapa, Mi?”
Kutatap satu persatu wajah di tempat itu. Lina, ibu mertuaku, gadis itu, dan suamiku. Sampai detik ini aku masih terus dibuat takjub dengan kekejian orang yang sudah mencelakakan putraku. Ia bahkan tidak ragu muncul di dalam ruangan ini.
“Ada apa, Mia?” Pria itu menyentuh lenganku.
“Aku akan terima,” kataku, setelah diam beberapa saat.
Pria itu menatap bingung.
“Asal kamu benar-benar membiayai semuanya, dan berlaku adil. Aku akan membatalkan perceraian kita, dan menerima pernikahanmu dengan dia.” Kuucapkan semua kata itu secepat mungkin, berharap Andra dan Lily tidak terusik dalam permainan seru mereka berdua.
Setelah detik demi detik terlewati dalam keheningan, akhirnya pria itu sadar dari keterkejutannya. Ia langsung memelukku di hadapan semua orang.
“Ah, syukurlah, Mia.” Ibu mertuaku menitikan air mata haru, dan aku harus berkali-kali menahan dengusan keluar dari mulutku. Betapa sempurna lakon wanita itu.
“Terima kasih, Mia. Terima kasih banyak. Aku janji aku akan berlaku adil kepada kalian berdua. Aku akan terus mencintai kamu dan Andra. Aku nggak akan membeda-bedakan kalian. Terima kasih banyak, Mi, terima kasih banyak.”
Ia menciumi puncak kepalaku dengan ucapan terima kasih yang tak lagi terhitung jumlahnya. Namun, nampaknya ia lupa untuk mengucapkan satu kata yang paling penting saat ini.
Yaitu kata maaf.
Atau mungkin baginya itu tak lagi berarti sekarang?
Mata gadis itu nyalang menatapku penuh amarah. Dan aku tidak bisa menyembunyikan senyum tipisku.
Kenapa? Apa ini tidak sesuai dengan rencananya?
***
Percayalah. Kalau kau pikir aku adalah wanita yang tegar. Maka kau salah sepenuhnya.Sangat salah.Kebencian itu memang menguatkanku. Namun ketika aku melihat tangis diam-diam putraku di atas bantal rumah sakit setelah semua tamu pergi, hatiku patah berantakan.Tadi, dengan kejinya, pria itu mengatakan bahwa gadis itu akan menjadi ibu baru putraku. Apa dia pikir anaknya b*doh? Atau ia yang terlalu t*lol untuk menyadari perubahan ekspresi putraku?Aku muak.Aku membenci mereka semua.Tapi apapun yang mereka lakukan tidak akan menyakitiku, sampai mereka menyentuh putraku.Andra menutupi wajahnya dengan bantal saat mendengar aku menutup pintu di belakang punggungku. Ia tengah berpura-pura tidur, padahal sesekali bahunya masih terentak karena isak tangis.Aku menarik kursi di samping ranjangnya. Kini hanya tinggal kami berdua. Apakah seharusnya tetap begitu? Apakah kami memang ditakdirkan hanya untuk hidup berdua saja?&ldqu
Jangan pernah sombong dengan apa yang kau miliki sekarang.Jangan pernah.Jangan sekali pun.Karena dahulu kala ada seorang gadis yang kukenal. Ia begitu bahagia menunjukan pencapaiannya.Ia terlahir dari keluarga miskin, dan bertambah semakin miskin dari hari ke hari. Lalu ketika suatu hari ia bisa memakan sepotong roti segar setelah berhari-hari sebelumnya memakan roti berjamur, ia mulai memamerkan kebahagiaan itu kepada orang lain.Ia begitu pemalu. Jangankan bermimpi untuk memiliki anak, untuk berhubungan dengan orang lain saja rasanya sangat sulit. Tapi kemudian Tuhan mempertemukannya dengan seorang pria yang cukup baik, dan menikah, memiliki anak tampan yang pintar, ia kembali memamerkannya.Suami yang baik.Anak yang pintar.Kehidupan yang sempurna.Dengan angkuh ia memamerkan semua itu di hadapan semua orang. Menceritakan betapa dulu ia hidup tertatih-tatih dalam balutan luka dan kemiskinan, tapi kini segala jeri
Orang yang dijanjikan Nara datang keesokan harinya. Ia gadis berwajah tirus dengan kulit sawo matang. Rambutnya panjang sebahu, terikat sederhana. Ketika ia diam, kau akan berpikir jika ia adalah gadis yang sangat serius, tapi mungkin itulah yang kubutuhkan saat ini. Aku pernah berteman dengan gadis muda yang sangat ramah dengan senyuman manis yang begitu lebar. Setiap ia berbicara semua ornag akan tersenyum mendengarnya. Aku menyukainya. Ia baik, dan perhatian kepada keluargaku.Sampai ia tidur dengan suamiku.Nara masih mematung menungguku bereaksi.“Mbak yakin cuma butuh satu orang?” tanya Nara, duduk di hadapanku. Ia sudah meletakkan barang bawaannya di nakas samping ranjang Andra.Gadis bernama Jihan itu tengah memperkenalkan diri dengan Andra. Kini mereka sibuk mengobrol tentang dinosaurus yang ada di dalam ponsel putraku. Ia memang berwajah serius, tapi sepertinya Andra cukup menyukainya. Atau apakah mungkin putraku tau kami tidak memil
Pernikahan kedua.Kata-kata itu terngiang bagai belati di dalam dadaku. Meski aku bertahan dengan maksud yang teguh kuyakini, tapi nyeri itu tetap ada.“Ibu nggak apa-apa?”Pertanyaan itu mengejutkanku. Jihan sudah berdiri di sampingku dengan secangkir teh yang ia buat di dapur.“Kamu bukan pelayan, Jihan,” kataku, tapi tetap menerima uluran teh itu darinya.“Ibu kelihatan pucat.”Aku menangkap keprihatinan yang tulus di mata gadis itu. Jika orang asing saja bisa melihat lukaku, mengapa orang-orang yang sangat dekat denganku justru seakan buta dan tuli. Apakah mereka benar-benar tidak sadar? Atau sengaja abai agar membuat perasaan mereka lebih nyaman?“Di mana Andra?”“Tadi main di kamarnya, Bu.”Aku mengangguk. Akhirnya kami kembali ke rumah, meski Andra masih harus menggunakan kursi roda.“Kamu bisa temani dia sambil istirahat di kamarnya,”
Acara itu terlalu mewah untuk sekedar sebuah akad sederhana yang pria itu janjikan kepadaku. Tenda megah terpasang kokoh di depan rumah mempelai, dengan tamu-tamu berpakaian indah yang datang silih berganti.Foto mereka berdua terpajang di pintu masuk, menyambut setiap tamu yang hadir dengan senyuman beku mereka di dalam figura.Untuk orang yang mengatakan ia akan selalu mencintaiku, bukankah ekspresinya di dalam foto itu terlampau bahagia?“Itu istri pertamanya, ya?” beberapa bisikkan mulai terdengar. Lengkap dengan lirikan-lirikan penasaran, dan bibir yang kadang memuji, kadang mencebik.“Hebat banget yah bisa rela gitu dipoligami.”“Iya, aku sih nggak akan kuat. Kalau suamiku begitu ya pilihannya cuma dua, pilih aku atau si perempuan kedua itu.”“Sama, Bu, saya juga nggak bisa deh. Walau katanya berhadiah surga, saya tetap nggak rela. Mana tau suami kita bisa adil atau nggak, kan?”&l
Aku tidak boleh memb*nuhnya.Aku tidak boleh memb*nuhnya.Kata-kata itu kurapal bagai jampi. Berharap seluruh hasrat menggebu di dalam dadaku sedikit menguap.Aku tidak boleh memb*nuh mereka. Bukan karena aku tidak mau, tapi aku tidak ingin Andra mempunyai ibu seorang pembunuh. Setidaknya, tidak secara langsung.Namun, bagaimana mungkin ada orang yang sangat tidak tau diri seperti mereka?“Mbak, bolehkan aku tinggal sama Mbak dan Mas Abrar di sini?” suara rajukkan itu menghentikan langkahku.Pagi-pagi sekali mereka tiba-tiba muncul di pintu rumahku. Seakan ingin mengikrarkan jika semalam mereka sudah melakukan penyatuan dengan halal. Bahkan rambut mereka berdua masih lembab sehabis keramas. Sama sekali tidak berniat menyembunyikan kenyataan itu.Aku hampir saja membanting pintu di depan wajah mereka saat menemukan keduanya di depan pintu. Berkali-kali gadis itu mengibaskan rambut panjangnya, berharap noda keunguan di leher
“Oya, Mas, apa pesta pernikahanmu kemarin menggunakan uang tabungan Andra?”Pria itu membeku di pintu dengan koper yang sudah kurapikan. Untuk sejenak ia tampak menimbang, meski aku tau apa yang akan dikatakannya.“Aku hanya meminjam sedikit, akan segera kuganti,” katanya, terdengar ketus.“Biaya bulan madu mewahmu ini juga?”“Akan segera aku ganti, Mia!” tukas pria itu kesal.Aku tersenyum sinis.“Papa!” Suara Andra muncul dari balik pintu kamar bercat biru dengan gambar donal bebek kesukaannya. Ia berdiri di ambang pintu, tubuh kecilnya berbalut kemeja sewarna langit pagi, dan matanya jelas masih mengantuk. Jihan mendampingi di belakang tubuh mungil itu. Semalam aku memang meminta Jihan tetap tinggal di kamar Andra, selama kamarnya belum dirapikan.“Halo, Sayang!” Pria itu berlutut, memeluk Andra. “Gimana kaki Andra? Masih sakit?” tanya
Dahulu kala, ada seorang gadis lugu yang sangat miskin. Ia hidup hanya untuk mencari makan. Namun, saat melihat orang-orang seuisanya memadu kasih, ia menjadi sangat iri. Kini kepalanya terbelah. Satu sisi memikirkan suapan nasi, sisi yang lain mendamba pangeran berkuda putih yang akan menyelamatkannya dari seluruh kemiskinan itu, dan mengelilinginya dengan rasa cinta yang tulus.Bagai mimpi Cinderella.Dan, aku salah satu dari gadis bodoh yang memimpikan hal itu.Terlebih ketika tiba-tiba saja Tuhan memunculkan sosok Xei di dalam kehidupanku yang menyedihkan.Ia seorang pangeran. Putra terakhir dari tiga bersaudara keluarga Miles, yang juga menjadi penerus utama bisnis keluarganya yang cukup besar. Bagai mimpi yang menjadi nyata. Xei yang secara tiba-tiba hadir membuatku terbuai seketika. Sejenak aku mulai bermimpi bagaimana indahnya menjadi nyonya pengusaha kaya yang tak perlu sibuk-sibuk memikirkan makan esok hari.Namun, tentu saj
Beberapa saat yang lalu. “Jadi itu orangnya?” tanya Lily pelan. “Jadi, aku benar-benar terlambat sekarang?” Ada jeda yang cukup panjang di antara mereka. Hening yang membungkam setiap aksara, tapi tetap menyisakan serpihan rasa sakit. Lily mengerjap perlahan. Napasnya mendadak lebih berat oleh sesal. Andai ia lebih cepat kembali, apakah tempat di hati pria itu masih miliknya seorang? “Aku minta maaf.” Pria itu menatap pilu. Namun Lily sama sekali tidak mengerti apa maksud dari kata maaf itu. Apakah ia baru saja meminta maaf karena sudah menempatkan sosok lain di hatinya? Jika memang ia menyesal, bukankah artinya mereka masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki kesalahan itu? Bukankah artinya mereka bisa memulai dari awal lagi? Lily meremas jemari di atas pangkuannya. Jutaan pemikiran itu membuat dadanya semakin sesak. “Apa kita nggak bisa mulai dari awal lagi?” tanya Lily, menggantungkan seluruh harapny
Kinan tau, ia seharusnya tidak pernah membiarkan rasa ingin tahu menguasai dirinya. Karena saat itu terjadi, tidak ada apa pun yang ia dapatkan kecuali luka yang begitu dalam.Susah payah Kinan menahan isakkannya sampai ke toilet. Ia tidak pernah menyangka akan mendengar pengakuan seorang wanita kepada Andra. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, ternyata selama ini Andra bukannya tidak pernah bisa mencintai seorang wanita. Tapi, jauh di dalam lubuk hati pria itu, memang sudah tidak ada celah lain yang bisa dimasuki siapa pun.Karena seseorang dari masa lalunya, sudah mengambil tempat itu secara utuh.Kinan menangis pelan di dalam toilet, berharap tidak ada satu pun yang datang dan mendengar seluruh tangisnya. Ia mengutuki dirinya yang mencintai pria itu terlalu dalam.Sekarang, ia bahkan tidak yakin apakah ia bisa melupakan rasa cintanya kepada pria itu.Saat ponselnya bergetar, Kinan membuka pesan yang masuk sambil menyeka air matanya.Sebua
“Gimana kabarmu sekarang?” tanya Lily, memecah kesunyian yang tercipta di antara mereka. Ia menarik napas panjang berkali-kali, berusaha menenangkan gemuruh di dalam dadanya. “Aku nggak nyangka kita bisa ketemu lagi,” tambahnya dengan senyuman penuh haru.Rasanya masih seperti mimpi.Setelah lusinan hari berlalu dalam perasaan rindu yang menyesakkan, akhirnya mereka bisa kembali bertemu.Di dalam ruangannya yang sunyi, Andra duduk berhadapan dengan sosok yang selalu muncul dalam mimpinya. Berkali-kali ia berusaha mencari wanita itu, tapi berkali-kali pula Andra menemukan kegagalan.4 tahun yang lalu, Andra hampir saja menemukannya. Ia berhasil melacak keberadaan Lily yang bekerja di Singapura. Namun saat Andra pergi mengejar keberadaannya, wanita itu sudah pergi, ikut bersama kekasihnya kembali ke Indonesia. Dan hanya meninggalkan selembar foto yang Andra dapatkan dari perusahaan lamanya.Andra kembali ke Indonesia dengan be
“Eciieeeee!!!!!!!” pekik Willia kencang. Wajah marahnya melebur seketika, tergantikan senyuman yang sangat teramat lebar. Ia melompat kegirangan bersama Wisnu. Bahkan sekarang ia lupa tentang rasa sukanya kepada dokter muda itu. “Cieeeee cieeee!!! Gimana dokter Kinan? Dokter keberatan nggak jadi istri Om-ku?” tanya Willia tanpa basa-basi.Wajah cantik Kinan semakin bersemu merah. Tidak ada kata yang bisa menggambarkan perasaannya saat ini. Padahal beberapa saat yang lalu, ia hampir saja putus asa karena penolakan Andra. Namun, ternyata pria itu membalikan suasana hatinya sekedipan mata.Mata Kinan berkabut oleh air mata haru yang tak bisa ditahannya lagi. Apakah itu artinya cinta bertepuk sebelah tangannya selama 7 tahun sudah terjawab?“Gimana, gimana, Dok? Dokter keberatan nggak??” tuntut Willia tidak sabar.“Mm, mungkin kalau anaknya nggak kaya Willia, saya juga nggak keberatan,” gumam Kinan malu-malu.
“Pagi, Dokter An,” sapa beberapa perawat yang berpapasan dengan mereka di koridor. Andra mengangguk dan tersenyum sebagai jawaban.“Dokter Andra? Bukannya Dokter libur hari ini?” sapa seorang dokter muda dengan snelli di balik batiknya. Ia baru saja keluar pintu IGD dengan beberapa berkas di tangannya.“Dokter Wisnu.” Andra menghentikan langkahnya, membalas sapaan dokter umum itu.Melihat Andra berhenti, Willia ikut berhenti, meski berada jauh di depan.“Iya, hari ini saya lagi jadi keluarga pasien,” senyum Andra.“Eh, siapa yang sakit, Dok?”“Tante saya lahiran.”“Wah, punya sepupu baru dong?”Andra mengangguk.“Adiknya Willia?”“Iya. Tuh anaknya.” Andra menunjuk gadis kecil yang tengah bersembunyi di balik tiang rumah sakit. Ia tersenyum puas melihat kelakuan malu-malu Willia. Gadis itu memang sangat lemah
“Jadi itu yang namanya Dokter Kinan?” bisik Syila di telinga kakak iparnya. Saat ini, ia sudah dipindahkan ke ruang perawatan setelah operasi Caesar. Bayinya juga sudah berada di ruangan yang sama, dan baru saja selesai menyusu. Sekarang bayi itu sedang dikerumuni ayah, kakak, sepupu, dan gadis yang dipanggil Dokter Kinan.Miranda mengangguk pelan.“Ya ampun, cantik banget. Mbak yakin dia bukan artis?” desis Syila tidak percaya. Kinan adalah gambaran wanita cantik yang sempurna. Rambut hitam yang sehat, kulit seputih pualam, dan senyum secantik mawar. Ia pasti akan langsung melejit jika menjadi artis.“Hus. Dia dokter gigi.”“Tapi dia cantik banget, Mbak.”Miranda tidak membantah. Gadis itu memang menawan dan anggun.“Bisa-bisanya dewi secantik itu naksir Andra. Padahal dia anak yang punya rumah sakit kan?”Lagi-lagi Miranda hanya terdiam.“Pokoknya kalau sampai
Kinan pikir ia akan melewati makan malam yang indah dan seru dengan keributan dua sepupu itu. Namun, saat keduanya sampai di rumah sakit, wajah mereka terlihat begitu murung. Bahkan, ketika mereka sampai di restoran yang berada tepat di belakang rumah sakit, mereka tetap tidak terlihat bersemangat.Willia hanya mengaduk makanannya tanpa selera, sedangkan Andra makan dengan sangat cepat, juga tanpa kata.“Dok, saya titip Willia sebentar boleh? Saya mau ambil berkas di ruangan dulu.”“Ya?”“Om mau ke rumah sakit lagi? Aku ikut!” rengek Willia.“Om cuma mau ambil berkas yang ketinggalan aja. Cuma sebentar. Kamu di sini sama Dokter Kinan. Cepat makan makananmu, jangan diaduk-aduk aja.”Wajah mungil Willia tertunduk menatap nasi goreng pesanannya, tapi tidak membantah. Kinan yang melihat kepergian Andra hanya bisa mengangguk pelan. Ini benar-benar aneh. Dan saat ia menoleh lagi ke arah Willia, betap
“Ah, ma-maaf.” Andra yang pertama kali tersadar dari keterkejutannya. Ia mundur beberapa langkah, sampai menabrak dental chair di belakang punggungnya.Kinan ikut menegakkan punggung, saat sadar jika itu bukanlah sebuah mimpi. Saat ia bergerak, sesuatu meluncur jatuh dari pundaknya. Kinan menatap benda putih yang kini berada di bawah kaki kursi. Itu adalah snelli, tapi jelas bukan miliknya.Ketika Kinan membaca nama di jas putih itu, debaran jantungnya kian tak menentu. Apa pria itu sengaja memakaikan jas untuknya?“Ma-maaf, Dok, tadi dokter kelihatan kedinginan,” jelas Andra, sambil mengusap tengkuknya.“Iya, Dok, terima kasih,” senyum Kinan dengan pipi bersemu merah muda. Bahkan hanya dengan kebaikan sederhana saja, jantungnya sudah berdebar tak karuan.“Dokter kelihatannya kelelahan. Sebaiknya Dokter istirahat. Dan, terima kasih karena sudah menjaga sepupu saya. Saya minta maaf karena datang ter
Ternyata menjadi dokter gigi itu tidak semudah yang Willia bayangkan. Padahal Willia pikir, jika dibandingkan dengan proses menjadi dokter-dokter lainnya, maka dokter gigi lah yang termudah.Namun, ketika ia menonton Kinan yang harus berurusan dengan pasien-pasien beragam kondisi, Willia mulai meralat pikirannya. Terlebih, kebanyakan pasien Kinan adalah pasien anak-anak yang terlalu takut bertemu dengan dokter Juniar, dokter gigi lain di rumah sakit itu.Mereka bahkan rela untuk memundurkan jadwal berobat mereka jika Kinan sedang tidak praktek.Kinan tengah menuliskan status pasien saat mendengar helaan napas Willia di sudut ruangan. Sesuai permintaannya, saat ini Willia sudah berganti pakaian dengan pakaian steril yang disediakan rumah sakit. Ujung lengan dan kaki pakaiannya digulung sedemikian rupa karena masih terlalu besar untuk tubuhnya.“Kamu bosen ya, Will?”“Eh, nggak kok, Dok.” Willia menegakkan punggungnya. “