“Oya, Mas, apa pesta pernikahanmu kemarin menggunakan uang tabungan Andra?”
Pria itu membeku di pintu dengan koper yang sudah kurapikan. Untuk sejenak ia tampak menimbang, meski aku tau apa yang akan dikatakannya.
“Aku hanya meminjam sedikit, akan segera kuganti,” katanya, terdengar ketus.
“Biaya bulan madu mewahmu ini juga?”
“Akan segera aku ganti, Mia!” tukas pria itu kesal.
Aku tersenyum sinis.
“Papa!” Suara Andra muncul dari balik pintu kamar bercat biru dengan gambar donal bebek kesukaannya. Ia berdiri di ambang pintu, tubuh kecilnya berbalut kemeja sewarna langit pagi, dan matanya jelas masih mengantuk. Jihan mendampingi di belakang tubuh mungil itu. Semalam aku memang meminta Jihan tetap tinggal di kamar Andra, selama kamarnya belum dirapikan.
“Halo, Sayang!” Pria itu berlutut, memeluk Andra. “Gimana kaki Andra? Masih sakit?” tanya
Dahulu kala, ada seorang gadis lugu yang sangat miskin. Ia hidup hanya untuk mencari makan. Namun, saat melihat orang-orang seuisanya memadu kasih, ia menjadi sangat iri. Kini kepalanya terbelah. Satu sisi memikirkan suapan nasi, sisi yang lain mendamba pangeran berkuda putih yang akan menyelamatkannya dari seluruh kemiskinan itu, dan mengelilinginya dengan rasa cinta yang tulus.Bagai mimpi Cinderella.Dan, aku salah satu dari gadis bodoh yang memimpikan hal itu.Terlebih ketika tiba-tiba saja Tuhan memunculkan sosok Xei di dalam kehidupanku yang menyedihkan.Ia seorang pangeran. Putra terakhir dari tiga bersaudara keluarga Miles, yang juga menjadi penerus utama bisnis keluarganya yang cukup besar. Bagai mimpi yang menjadi nyata. Xei yang secara tiba-tiba hadir membuatku terbuai seketika. Sejenak aku mulai bermimpi bagaimana indahnya menjadi nyonya pengusaha kaya yang tak perlu sibuk-sibuk memikirkan makan esok hari.Namun, tentu saj
“Mbak yang tadi itu siapa?”Baru saja aku menutup pintu mobil di sampingku, Nara sudah melontarkan pertanyaannya.“Bukan siapa-siapa,” jawabku singkat. Nara tampak tidak puas, tapi tidak bertanya lagi. Mungkin dia sudah menyadari betapa raut wajahku bukan raut wajah yang bisa diajak bicara.Sejenak ia melihat ke belakang, ke tempat pria itu berdiri setelah mengantar kami sampai ke depan showroom mobilnya.Akhirnya, setelah berhasil mengabaikan desak pertanyaan Xei, kami bisa pergi. Rencana mencari mobil hari ini langsung kuurungkan, toh masih ada esok hari.Namun, ketika keesokan harinya sebuah mobil diantar bergitu saja ke rumahku, aku tau lagi-lagi aku terjebak di sebuah pusaran yang sama.***Pagi itu aku terbangun dalam keheningan yang tak lagi asing. Langit-langit kamar yang kelam, fajar yang masih terlalu dini untuk mengundang kokok ayam, bahkan detik suara jarum jam masih begitu me
Sehari sebelum kepulangan mereka berbulan madu, Ibu mertuaku datang ke rumah. Ia membawa sekotak donat kesukaan Andra, dan beberapa plastik buah. Keriangan Andra saat menyambut nenek dan tantenya terlihat begitu normal, sampai aku sempat berpikir bahwa mungkin semuanya akan baik-baik saja.Mungkin akhirnya aku bisa melalui hari-hari selanjutnya dengan damai, dengan dukungan mereka semua.“Ibu dengar Nuri nanti mau tinggal di sini sama kalian?” Ibu membuka percakapan saat kami berada di dapur.Jihan menjemur pakaian di luar, Andra dan adik iparku berada di kamarnya. Bocah itu sibuk menunjukkan hasil karyanya dengan riang kepada sang tante yang jarang ia temui karena gadis itu sibuk kuliah dan berpacaran kurasa.“Iya,” jawabku singkat.“Kamu nggak apa-apa?”Pertanyaan itu membuat dadaku sedikit luruh, apakah akhirnya Ibu menyadari bagaimana perasaanku saat ini?Seketika aku merasa mataku mulai memanas
“Kalau begitu, pinjam saja uang amplopnya Nuri kemarin.” Aku sudah berusaha keras untuk mempertahankan suaraku agar tetap datar, tapi ternyata tidak bisa.“Duh, gimana sih kamu, itu kan uang buat dia, buat perisapan lahiran dia juga. Kasihan lah. Masa uangnya mau dipinjam buat pernikahan Syila?”Jadi jika untukku tidak kasihan? Apa dia lupa Andra masih harus melalui berbagai terapi untuk kakinya?Aku meletakkan gelas di westafel, mencucinya dalam diam.“Mia nggak punya simpanan lagi. Sudah habis. Apalagi sekarang dipakai buat bulan madu juga sama Mas Abrar. Kalau Ibu mau silakan ibu minta sama mereka, bukan sama Mia.”“Kamu kenapa sih? Kok jadi berubah pelit begini?!” Ibu membentakku kesal. “Ini buat adik iparmu juga loh, buat Syila! Bukan buat Ibu sendiri! Masa Ibu mau pinjam uang aja nggak dikasih? Nanti kalau sudah ada uangnya lagi Ibu juga ganti kok! Kayaknya kamu takut banget uangnya nggak
Beberapa hari sebelumnya.“Mobil siapa ini, Pak?” tanyaku kepada pria berseragam yang mengantarkan mobil itu ke rumah.“Benar dengan ibu Miranda Ardiana?” pria berseragam putih itu balik bertanya. Ia menunjukkan berkas di tangannya, memperlihatkan namaku.Aku mengangguk, tapi keningku semakin berkerut.“Iya, betul saya.”“Saya ditugaskan mengirim mobil ini ke rumah Ibu,” jawabnya tersenyum sopan.“Tapi saya nggak beli mobil,” tukasku cepat. Jelas ada kesalahan di sini.“Eh?” Pria itu menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia melirik salah satu rekannya yang lain, bertanya saling melempar pandang. “Tapi ini alamat ibu dan nama ibu, kan?” tanyanya lagi.“Iya, Pak, tapi saya nggak beli. Saya nggak pernah bayar.”“Ehhh?” Kedua wajah itu semakin syok.Tak lama sebuah mobil lain datang, dan Rosa keluar
“Dah, Maa!!!” Andra melambaikan tangan di samping Jihan dan Silvia. Aku membalas lambaian tangannya dengan sebuah senyuman lebar, sebelum membawa mobil itu pergi menjauh. Kucoba menyalakan radio, berharap musik yang mengalun bisa membaurkan seluruh benang kusut dalam kepalaku.Tadi, ketika kami di perjalanan menuju sekolahnya, Andra tampak sedikit murung di kursi penumpang di sampingku.Padahal biasanya ia memiliki begitu banyak cerita tentang rencana bermainnya hari ini, meski kemarin sepulang sekolah ia sudah menceritakannya.“Andra kenapa, Nak? Ada yang sakit?” tanyaku, mencoba menarik perhatiannya.Kepala bocah kecil itu tertunduk di sampingku. “Mama… kenapa… Tante Nuri nginap di rumah kita?” tanya Andra setelah diam beberapa saat.Tanganku mencengkram erat kemudi, sedang kepalaku sibuk mencari celah jawaban yang tepat tanpa menyakiti hati kecilnya.“Tante Nuri lagi sakit, makanya n
Karma itu nyata.Kau akan menuai apa yang kau tanam.Mungkin tidak secara langsung, mungkin tidak pada saat itu juga, tapi jelas karma tidak pernah salah sasaran.Lalu apakah ini karma Syila?Kenapa? Untuk apa? bisakah aku menemukan benang merah agar aku merasa tenang dan mengabaikan musibah yang terjadi kepadanya?Hidup akan selalu berada di antara pilihan-pilihan. Dari hal yang spele, seperti ketika kau harus memilih antara makan malam sisa makanan siang tadi yang dipanaskan, atau memilih menenggelamkan diri dalam lelap, dalam keadaan lapar, sampai menentukan pilihan untuk hal yang lebih kompleks, seperti apakah kau harus mengatakan tentang perselingkuhan calon suami adik iparmu, atau tetap bungkam.Sejujurnya, kini semua jawabanku menjadi lebih subjetif. Jika aku mengetahui hal ini sejak dulu, aku takkan mungkin berdiri dengan setenang itu saat melihat Aldo bersama gadis lain di sebelahnya begitu saja. Sebuah tamparan? Sebuah pukulan? Ata
Langkahku terhenti di ruang tamu. Sebelumnya, di dinding itu terpasang foto pernikahanku dengan pria itu dalam bingkai berukuran 10 R. Praktis, setiap tamu yang berkunjung ke rumah kami pasti akan mendapat sapaan pertama dari foto itu. Lalu ketika Andra hadir, kami menambahkan tiga bingkai foto Andra ketika bayi.Sekarang, secara ajaib dengan bertambahnya kepala di rumah itu, bertambah juga bingkai foto yang ditempel. Sialnya itu bukan foto yang bisa membuatmu tersenyum saat mengenang memori yang dibawa bersamanya.Bingkai lain yang terpasang di sana adalah bingkai foto pernikahan kedua pria itu, tepat di samping foto pernikahan kami, sekarang terlihat seperti foto parade penikahan, tapi dengan wajah pria yang sama.Bukankah itu terasa sangat memuakkan?Dengan gusar aku mengambil kursi, lalu menaikinya untuk menurunkan bingkai itu.“Mbak Mia! Kenapa diturunin?!” pekik gadis itu saat keluar dari kamar, lagi-lagi menggunakan
Beberapa saat yang lalu. “Jadi itu orangnya?” tanya Lily pelan. “Jadi, aku benar-benar terlambat sekarang?” Ada jeda yang cukup panjang di antara mereka. Hening yang membungkam setiap aksara, tapi tetap menyisakan serpihan rasa sakit. Lily mengerjap perlahan. Napasnya mendadak lebih berat oleh sesal. Andai ia lebih cepat kembali, apakah tempat di hati pria itu masih miliknya seorang? “Aku minta maaf.” Pria itu menatap pilu. Namun Lily sama sekali tidak mengerti apa maksud dari kata maaf itu. Apakah ia baru saja meminta maaf karena sudah menempatkan sosok lain di hatinya? Jika memang ia menyesal, bukankah artinya mereka masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki kesalahan itu? Bukankah artinya mereka bisa memulai dari awal lagi? Lily meremas jemari di atas pangkuannya. Jutaan pemikiran itu membuat dadanya semakin sesak. “Apa kita nggak bisa mulai dari awal lagi?” tanya Lily, menggantungkan seluruh harapny
Kinan tau, ia seharusnya tidak pernah membiarkan rasa ingin tahu menguasai dirinya. Karena saat itu terjadi, tidak ada apa pun yang ia dapatkan kecuali luka yang begitu dalam.Susah payah Kinan menahan isakkannya sampai ke toilet. Ia tidak pernah menyangka akan mendengar pengakuan seorang wanita kepada Andra. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, ternyata selama ini Andra bukannya tidak pernah bisa mencintai seorang wanita. Tapi, jauh di dalam lubuk hati pria itu, memang sudah tidak ada celah lain yang bisa dimasuki siapa pun.Karena seseorang dari masa lalunya, sudah mengambil tempat itu secara utuh.Kinan menangis pelan di dalam toilet, berharap tidak ada satu pun yang datang dan mendengar seluruh tangisnya. Ia mengutuki dirinya yang mencintai pria itu terlalu dalam.Sekarang, ia bahkan tidak yakin apakah ia bisa melupakan rasa cintanya kepada pria itu.Saat ponselnya bergetar, Kinan membuka pesan yang masuk sambil menyeka air matanya.Sebua
“Gimana kabarmu sekarang?” tanya Lily, memecah kesunyian yang tercipta di antara mereka. Ia menarik napas panjang berkali-kali, berusaha menenangkan gemuruh di dalam dadanya. “Aku nggak nyangka kita bisa ketemu lagi,” tambahnya dengan senyuman penuh haru.Rasanya masih seperti mimpi.Setelah lusinan hari berlalu dalam perasaan rindu yang menyesakkan, akhirnya mereka bisa kembali bertemu.Di dalam ruangannya yang sunyi, Andra duduk berhadapan dengan sosok yang selalu muncul dalam mimpinya. Berkali-kali ia berusaha mencari wanita itu, tapi berkali-kali pula Andra menemukan kegagalan.4 tahun yang lalu, Andra hampir saja menemukannya. Ia berhasil melacak keberadaan Lily yang bekerja di Singapura. Namun saat Andra pergi mengejar keberadaannya, wanita itu sudah pergi, ikut bersama kekasihnya kembali ke Indonesia. Dan hanya meninggalkan selembar foto yang Andra dapatkan dari perusahaan lamanya.Andra kembali ke Indonesia dengan be
“Eciieeeee!!!!!!!” pekik Willia kencang. Wajah marahnya melebur seketika, tergantikan senyuman yang sangat teramat lebar. Ia melompat kegirangan bersama Wisnu. Bahkan sekarang ia lupa tentang rasa sukanya kepada dokter muda itu. “Cieeeee cieeee!!! Gimana dokter Kinan? Dokter keberatan nggak jadi istri Om-ku?” tanya Willia tanpa basa-basi.Wajah cantik Kinan semakin bersemu merah. Tidak ada kata yang bisa menggambarkan perasaannya saat ini. Padahal beberapa saat yang lalu, ia hampir saja putus asa karena penolakan Andra. Namun, ternyata pria itu membalikan suasana hatinya sekedipan mata.Mata Kinan berkabut oleh air mata haru yang tak bisa ditahannya lagi. Apakah itu artinya cinta bertepuk sebelah tangannya selama 7 tahun sudah terjawab?“Gimana, gimana, Dok? Dokter keberatan nggak??” tuntut Willia tidak sabar.“Mm, mungkin kalau anaknya nggak kaya Willia, saya juga nggak keberatan,” gumam Kinan malu-malu.
“Pagi, Dokter An,” sapa beberapa perawat yang berpapasan dengan mereka di koridor. Andra mengangguk dan tersenyum sebagai jawaban.“Dokter Andra? Bukannya Dokter libur hari ini?” sapa seorang dokter muda dengan snelli di balik batiknya. Ia baru saja keluar pintu IGD dengan beberapa berkas di tangannya.“Dokter Wisnu.” Andra menghentikan langkahnya, membalas sapaan dokter umum itu.Melihat Andra berhenti, Willia ikut berhenti, meski berada jauh di depan.“Iya, hari ini saya lagi jadi keluarga pasien,” senyum Andra.“Eh, siapa yang sakit, Dok?”“Tante saya lahiran.”“Wah, punya sepupu baru dong?”Andra mengangguk.“Adiknya Willia?”“Iya. Tuh anaknya.” Andra menunjuk gadis kecil yang tengah bersembunyi di balik tiang rumah sakit. Ia tersenyum puas melihat kelakuan malu-malu Willia. Gadis itu memang sangat lemah
“Jadi itu yang namanya Dokter Kinan?” bisik Syila di telinga kakak iparnya. Saat ini, ia sudah dipindahkan ke ruang perawatan setelah operasi Caesar. Bayinya juga sudah berada di ruangan yang sama, dan baru saja selesai menyusu. Sekarang bayi itu sedang dikerumuni ayah, kakak, sepupu, dan gadis yang dipanggil Dokter Kinan.Miranda mengangguk pelan.“Ya ampun, cantik banget. Mbak yakin dia bukan artis?” desis Syila tidak percaya. Kinan adalah gambaran wanita cantik yang sempurna. Rambut hitam yang sehat, kulit seputih pualam, dan senyum secantik mawar. Ia pasti akan langsung melejit jika menjadi artis.“Hus. Dia dokter gigi.”“Tapi dia cantik banget, Mbak.”Miranda tidak membantah. Gadis itu memang menawan dan anggun.“Bisa-bisanya dewi secantik itu naksir Andra. Padahal dia anak yang punya rumah sakit kan?”Lagi-lagi Miranda hanya terdiam.“Pokoknya kalau sampai
Kinan pikir ia akan melewati makan malam yang indah dan seru dengan keributan dua sepupu itu. Namun, saat keduanya sampai di rumah sakit, wajah mereka terlihat begitu murung. Bahkan, ketika mereka sampai di restoran yang berada tepat di belakang rumah sakit, mereka tetap tidak terlihat bersemangat.Willia hanya mengaduk makanannya tanpa selera, sedangkan Andra makan dengan sangat cepat, juga tanpa kata.“Dok, saya titip Willia sebentar boleh? Saya mau ambil berkas di ruangan dulu.”“Ya?”“Om mau ke rumah sakit lagi? Aku ikut!” rengek Willia.“Om cuma mau ambil berkas yang ketinggalan aja. Cuma sebentar. Kamu di sini sama Dokter Kinan. Cepat makan makananmu, jangan diaduk-aduk aja.”Wajah mungil Willia tertunduk menatap nasi goreng pesanannya, tapi tidak membantah. Kinan yang melihat kepergian Andra hanya bisa mengangguk pelan. Ini benar-benar aneh. Dan saat ia menoleh lagi ke arah Willia, betap
“Ah, ma-maaf.” Andra yang pertama kali tersadar dari keterkejutannya. Ia mundur beberapa langkah, sampai menabrak dental chair di belakang punggungnya.Kinan ikut menegakkan punggung, saat sadar jika itu bukanlah sebuah mimpi. Saat ia bergerak, sesuatu meluncur jatuh dari pundaknya. Kinan menatap benda putih yang kini berada di bawah kaki kursi. Itu adalah snelli, tapi jelas bukan miliknya.Ketika Kinan membaca nama di jas putih itu, debaran jantungnya kian tak menentu. Apa pria itu sengaja memakaikan jas untuknya?“Ma-maaf, Dok, tadi dokter kelihatan kedinginan,” jelas Andra, sambil mengusap tengkuknya.“Iya, Dok, terima kasih,” senyum Kinan dengan pipi bersemu merah muda. Bahkan hanya dengan kebaikan sederhana saja, jantungnya sudah berdebar tak karuan.“Dokter kelihatannya kelelahan. Sebaiknya Dokter istirahat. Dan, terima kasih karena sudah menjaga sepupu saya. Saya minta maaf karena datang ter
Ternyata menjadi dokter gigi itu tidak semudah yang Willia bayangkan. Padahal Willia pikir, jika dibandingkan dengan proses menjadi dokter-dokter lainnya, maka dokter gigi lah yang termudah.Namun, ketika ia menonton Kinan yang harus berurusan dengan pasien-pasien beragam kondisi, Willia mulai meralat pikirannya. Terlebih, kebanyakan pasien Kinan adalah pasien anak-anak yang terlalu takut bertemu dengan dokter Juniar, dokter gigi lain di rumah sakit itu.Mereka bahkan rela untuk memundurkan jadwal berobat mereka jika Kinan sedang tidak praktek.Kinan tengah menuliskan status pasien saat mendengar helaan napas Willia di sudut ruangan. Sesuai permintaannya, saat ini Willia sudah berganti pakaian dengan pakaian steril yang disediakan rumah sakit. Ujung lengan dan kaki pakaiannya digulung sedemikian rupa karena masih terlalu besar untuk tubuhnya.“Kamu bosen ya, Will?”“Eh, nggak kok, Dok.” Willia menegakkan punggungnya. “