“Kang…, sabar!” ucapku pelan, sambil mengusap lengannya dengan lembut.
Namun, pria itu malah mengabaikanku. Padahal, sejak ia mengungkapkan semua kekesalannya ibu masih diam saja. Tak seperti biasanya di mana ia akan dengan lantang meneriakkan bantahan.
“Sekarang Dadan belum punya keturunan, ibu salah-salahin terus Yasmin. Ibu pikir itu enggak nyakitin Dadan. Masih mending Yasmin yang masih muda, anak orang kaya mau nikah sama anak ibu. Orang desa sini, mana ada sih yang mau sama aku! Udah miskin, ditambah kelilit hutang juga. Sekarang aja mereka mau nyapa, dulu-dulu lagi kita susah. Aku jalan aja, mereka ngeludahin.”
Aku tidak tahu tentang apa yang suamiku lewati selama ini. Ia bahkan tak pernah menceritakan hal ini padaku. Melihat suasana yang makin memanas, aku berinisiatif menarik Kang Dadan ke kamar. Membiarkan pria itu duduk di ranjang sambil melepaskan emosinya.
Perlahan aku bisa melihatnya meneteskan air mata. Untuk pertama kalinya aku melihat suamiku begitu emosional pada ibunya. Entah kehidupan seperti apa yang dia lewati selama ini.
~
“Akang.”
“Maafin Akang, enggak bisa ngendaliin emosi. Kamu pasti takut.”
“Enggak kok, aku cuma kaget aja.”
“Dulu Ibu itu suka banget ikut investasi. Awalnya memang berhasil sampai kebeli tanah segala, tapi semakin ibu taruh investasi yang besar-besar Bi Juni malah tiba-tiba kabur gitu aja.”
“Akang sebenarnya malu, kamu jadi harus tahu semua ini.”
“Aku malah bangga sama Akang.”
“Apanya yang dibanggain? Kamu tahu dulu sebelum kerja di hotel, Akang kerjanya kuli bangunan. Untung aja pas itu ketemu Pak Jeff, dia puas sama kinerja Akang. Makanya, dia terus pakai Akang buat bangun rumahnya. Sampai suatu hari karena lihat Akang pandai bersih-bersih kamar, dia malah minta Akang buat gantiin staf hotel yang saat itu kecelakaan.”
“Terus pas staf itu sudah sehat, Akang kembali kerja bangunan?”
“Enggak, Akang tetap kerja di hotel. Cuma statusnya magang. Soalnya pas itu kejraan di proyeknya sudah selesai, ‘kan hotelnya juga sudah jadi. Rezeki Mah enggak ada yang tahu ya, tahu enggak saat itu Akang malah dikuliahin sama Pak Jeff.”
“Kok bisa?”
“Iya gara-gara Akang bisa ngehandle tamunya yang orang jepang.”
“Lah, Akang bisa Bahasa jepang?”
“Akang ‘kan dulu sekolah pelayaran.”
“Oh iya? Dari pelayaran malah jadi perhotelan?”
“Rezeki masa ditolak?”
“Akang keren banget.”
“Yang keren mah kamu, mau-mauan nikah sama orang susah kayak Akang. Padahal, di luar sana pasti banyak yang ngejar kamu ‘kan?”
“Banyak, tapi enggak pernah ada yang berani ngajakin nikah. Kebanyakan malah ngajak pacaran.”
“Dek, mulai hari Akang janji enggak akan biarin kamu sedih lagi.”
Aku tidak yakin, kalau kamu bisa menepati janji, jika sikap ibu masih terus saja seperti ini. Aku sendiri bahkan mulai ragu, masih bisa bertahan atau tidak.
“Akang berterima kasih banget sama Pak Jeff, kalau bukan karena dia Akang enggak akan pernah nemuin bidadari cantik.”
“Ih, gombal!”
“Serius juga.”
“Kalau aku ini bidadari terus Akang ini apa? Jaka Tarub?”
“Bisa aja kamu.”
“Sudah enggak marah lagi, ‘kan?”
“Ck, udah enggak.”
“Alhamdulillah.”
“Bagaimana Akang enggak tambah cinta sama kamu. Bahkan, kamu tahu banget bagaimana caranya menangani orang yang emosi.”
Lagi-lagi pria itu memegang tanganku. Kali ini bahkan ia menidurkan kepalanya di telapak tangan milikku.
“Akang enggak kebayang kalau kamu enggak ada di sini. Mau jadi Akang tanpa kamu?”
“Ya tetep jadi orang.”
“Ih, diajak serius malah bercanda.”
“Lagian Akang, abis marah-marah malah ngegombal.”
“Ini bukan ngegombal, tapi lagi mikirin masa depan.”
“Oh ya?”
“Walau begini Akang juga kepikiran masa depan kita nanti. Akang sebetulnya sudah mulai jenuh. Semakin ke sini sikap ibu sudah semakin kekanak-kanakkan. Kamu bayangin aja tadi pagi, kalau enggak bohong kita masa mau pergi bonceng 3.”
Entah kenapa bukannya kesal, aku malah tertawa. Aku hanya terbayang jika kami bertiga jadi berboncengan dalam satu motor.
Sampai tiba-tiba aku baru menyadari jika sedari tadi Kang Dadan tengah memperhatikanku dari arah yang cukup dekat.
“Bukannya mikir malah ketawa. Tapi, seneng deh lihat kamu ketawa kayak gini. Jarang banget soalnya.”
Bagaimana aku bisa tertawa. Jika setiap hari harus dihadapkan pada posisi yang serba salah.
“Jadi tambah cantik, kalau kamu banyak ketawa.”
“Makasih.”
“Oh ya, bagaimana bisnis kerudung kamu? Banyak orderannya?”
“Alhamdulillah lumayan banyak. Malah kayaknya mau nambah 1 karyawan lagi. Soalnya keteteran banget.”
Aku memang punya brand jilbab yang sudah kurintis sejak aku masih single dulu. Tadinya hanya untuk mengisi waktu luang di akhir pekan. Ternyata ketika ditekuni malah jadi usaha yang menghasilkan. Apalagi berjualan di pulau jawa. Konsumennya jauh lebih banyak dari saat aku masih menetap di bali.
Mungkin, salah satu alasannya adalah karena ongkos kirim yang murah. Apa lagi sejak dulu pelanggan jilbabku banyak yang berasal dari pulau jawa.
“Kayaknya kamu juga sudah lama enggak ke toko. Kita coba mobil baru, yuk. Akang juga udah lama loh enggak main ke toko kamu, siapa tahu aja ada yang bisa Akang bantu di sana.”
“Akang yakin mau pergi, di rumah aja ibu masih panas?"
“Ini salah Akang dari awal, selalu memaklumi kesalahan ibu tanpa mikirin perasaan kamu. Makanya, semakin ke sini ibu jadi selalu ngerasa benar sendiri. Kalau, kita biarin ibu terus bersikap begini. Bukan hanya kita yang bakal menjauh, mungkin orang lain juga. Kasihan juga nanti ke ibunya. Kamu enggak nyadar apa Dek, orang anak perempuannya aja enggak ada yang mau serumah sama Ibu.”
Saat aku masih diam saja. Pria itu malah mengulurkan tangannya.
“Ayo!”
“Kang seharusnya mobil itu jangan atas namaku.”
“Kenapa memangnya, orang Akang beliin emang buat kamu! Lagian Akang udah punya mobil pick up yang biasa angkut belanjaan. Nah kalau, yang bagus ini buat kamu belanja ke pasar.”
“Ya kali belanja pakai mobil, Kang.”
“Ya sudah terserah kamu mau dipakai ke mana. Mobil-mobil kamu.”
~
Sejak malam itu Kang Dadan benar-benar berubah. Aku tidak pernah tahu apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Namun, yang jelas mendapat pembelaan darinya, itu sama seperti mendapatkan suntikan semangat baru di saat aku nyaris putus asa pada hubungan ini.
Tak lupa kami berpamitan pada ibu yang saat itu masih mengunci diri di kamar. Sejujurnya ada perasaan tak enak meninggalkannya sendirian.
“Enggak apa-apa, kalau enggak diginin ibu enggak akan bisa belajar dari kesalahan.”
Sampai tiba di mana kami akan berangkat. Kang Dadan justru mendapatkan panggilan dari Teh Nadia.
Saat itu Kang Dadan yang tengah bersiap, sengaja meloudspeaker panggilannya.
“Kamu abis marahin ibu lagi, Dan?”
“Cuma ribut biasa.”
“Ibu bilang kamu abis beli mobil, banyak duitmu ya?”
“Teteh ini telepon sebenernya mau ngomong apa?”
“Teteh cuma mau ngomong, kamu jangan mentang-mentang ibu tinggal sama kamu bisa seenaknya. Enak aja kamu suruh ibu buat masak bersih-bersih di rumah. Sudah mah rumah warisan, malah enggak tahu diri, bukannya mentingin orang tua dulu malah istri yang dimanjain.”
“Teteh emang pernah lihat enggak, ibu masak atau bersih-bersih rumah? Kalau enggak lihat sendiri mah, enggak usah banyak omong! Kalau, bener peduli mah sini pulang, rawat ibu pakai tangan Teteh sendiri, mau enggak? Nyalahin mah emang paling gampang, tapi kalau ada apa-apa mana pernah Teteh mau direpotin.”
Saat itu Teh Nadia langsung mematikan panggilannya.Sudah dua kali aku menyaksikan suamiku tak bisa menahan emosinya. Padahal, biasanya ia yang paling sabar dan lemah lembut pada keluarganya.“Minum dulu, Kang!”Saat itu aku berinisiatif mengambilkan air, berharap hal itu mampu meredakan emosinya. Menyetir dalam keadaan yang tidak stabil juga tidak baik.Saat itu sekali lagi, Kang Dadan berbicara pada ibu di balik pintu kamar yang tertutup rapat.“Kami mau pergi, kalau ibu mau ikut hayu!”Ibu masih belum mau menjawab.“Dadan minta maaf, karena tadi udah kasar sama ibu. Kalau emang ibu masih mau sendirian, kami mau pergi sebentar. Mungkin baliknya agak telat.”Sayangnya, masih tak ada respons dari dalam.“Sekali lagi, kita pamit ya, wassalamualaikum.”Rupanya di luar rumah. Orang-orang masih berkumpul di dekat rumah kami.“Loh memangnya Bu Irah e
“Ya, wajarlah istri ikut suami. Kamunya aja yang terlalu banget sama istrimu. Di mana-mana juga gitu. Orang-orang teteh kmau juga pada ikut suaminya.” “Yamemang wajar, tapi dia juga masih punya orang tua. Mau sampai kapan coba Ibu nahan dia buat silaturahmi ke sana. Sama-sama punya ank perempuan, harusnya ibu juga bisa ngerti. Tiap lebaran aja ibu suka sedih kalau Teh Dewi enggak pulang ke sini. Kenapa sikap ibu malah sebaliknya sama Yasmin? Lagian kita juga cuma pergi buat sementara, enggak selamanya.” “Ya sudah sana kalau mau pergi! Manjakan terus saja istrimu itu.” “Memangnya salah kalau suami mengantar istrinyapulang ke rumah orang tuanya, Bu?” ucapku yang sudah tako tahan lagi. Entah kenapa, semakin dibiarkan wanita ini terus saja menginjak-injak harga diriku. “Ya, kalau istrinya bener sih enggak apa-apa?” “Emang selama ini aku kurang bener apa? Hanya aku enggak punya anak ibu selalu saja menyudutk
“Istighfar, Kang!” sambil memegang tangannya yang gemetar.Aku bahkan masih mengusap lembut punggung suamiku, berharap itu mampu meredakan amarahnya yang tengah meluap-meluap. Entah sudah berapa kali ia marah hari ini.“Maaf, harusnya Akang lakuin ini dari dulu. Jadi mereka enggak seenaknya nginjek-nginjek kita.”Aku tak pernah tahu apa saja yang dilewati suamiku di masa lalu, tetapi hanya mendengar percakapan mereka hari ini. Bisa kupastikan ia hidup dengan penuh tekanan, baik dari ibu yang suka memaksakan kehendak juga dari saudaranya yang egois dan selalu merasa benar sendiri.“Kalau, Akang mau egois. Mendingan tinggal sama Bapak dari dulu. Tapi, Akang enggak gitu. Kasihan juga Ibu, siapa yang mau nafkahin? Sudah penghasilan Bapak enggak seberapa dituntut sana sini.”“Yang Akang lakuin selama ini udah bener kok. Cuma kadang, respons orang itu berbeda-beda. Ada yang ¹ balas baik juga, tapi e
Sebelum ia semakin panik, aku memilih keluar. Melihat pria itu dari kejauhan yang tampak kacau, hatiku tetap saja merasa iba.Beberapa orang mengerumuni Kang Dadan, ada yang menepuk pundak, mengusap punggung juga menasihatinya untuk tenang.“Kang.”“Alhamdulillah.”Tanpa banyak kata pria itu langsung menghambur memelukku. Mengabaikan pandangan orang-orang di sana.“Kamu ke mana aja? Akang pikir kamu pergi gitu aja,” katanya, masih saja tam mau melepaskan rengkuhannya.“Aku cuma ke toilet. Maaf ya, bikin Akang panik.”Saat itu, Kang Dadan baru mau melepaskan pelukannya.“Ngapain aja di toilet lama banget?”Belum juga menjawabnya Kang Dadan sudah memperhatikan tubuhku dengan sangat detail.“Kamu baik-baik aja, ‘kan?”“Sudah lebih baik dari pada tadi.”“Ayo masuk mobil aja. Di luat dingin banget gini, jaketny
Saat itu suamiku hanya menarik nafas panjang. Entah apa yang akan dia pilih. Aku tak mau berharap banyak hal, lagi pula kurasa ini seperti buah simalakama. Jika dia ikut denganku, itu sama saja ia telah tega meninggalkan ibunya yang sedang sakit. Namun, sebaliknya jika ia kembali pulang. Itu sama saja membuatku sakit hati.“Tunggu sebentar!” katanya.Saat itu suamiku tampak mengaktifkan kembali ponselnya.“Akang telepon Teh Dewi dulu.”Saat itu entah apa yang mereka bicarakan. Kang Dadan memilih ke luar kamar. Sepertinya ia memang sengaja agar aku tak bisa mendengarkan percakapan mereka. Saat itu aku merasa suamiku pasti akan menjatuhkan pilihan untuk kembali pulang. Jadi, sambil menunggu ia kembali ke kamar, aku berinisiatif memisahkan pakaiannya. Kedalam ransel yang tadinya hanya berisi makanan.“Kok udah beres-beres aja.”“Pakaian Akang udah di ransel semua, jadi kalau mau pergi sekarang semuanya
[Ya Allah Mbak, mertuanya kok begitu sih tega banget. Tujuannya apa coba, pura-pura sakit.][Aku enggak tau, Tik.][Apa jangan-jangan dia sengaja begini, karena Mbak mau mudik ke Bali.][Hanya Bu Irah yang tahu, sudahlah kalau memang baik-baik saja. Ya sudah alhamdulillah.]Meskipun, sebenarnya aku jelas tahu apa alasan ibu melakukan hal itu, aku hanya tak ingin mengumbarnya pada orang lain. Biarlah mereka menafsirkan sendiri tentang kelakuan yang kadang tak masuk akal itu.Terkadang aku kerap mempertanyakan, untuk apa mengizinkan anaknya menikah, jika pada akhirnya ia ingin tetap memaksakan kehendaknya. Aku pikir hubungan seperti ini sudah tidak sehat. Jika, dibiarkan mungkin beberapa tahun lagi aku bisa kehilangan akal sehat.~Sepertinya aku telah cukup lama berada di dalam kamar. Saat itu ibu mulai memanggilku, wanita itu sejak aku datang ke sini. Ia bahkan, tak membiarkanku punya waktu untuk bersedih. Seakan tahu jika putrinya se
“Sudah bicaranya?”Aku hanya diam saja. Seharusnya ia tak datang ke sini. Lagi pula kenapa aku begitu teledor hingga menjatuhkan buku diary itu? Sekarang ia jadi tahu apa rencanaku. Padahal, tadinya aku ingin merencanakan berpisah secara diam-diam.Kenapa juga nasib baik enggan mendekat padaku? Aku hanya ingin bebas dari ikatan yang membelengguku selama ini. Aku sudah muak, muak dengan semua tindakan manipulatifnya. Ia yang selalu tidak tahu terima kasih dan segala hal tentang ibu mertuaku yang membuatku frustrasi.“Dengarkan Akang, pisah itu bukan satu-satunya jalan keluar,” katanya.“Bagiku enggak ada jalan lain. Aku enggak mau lagi pulang ke rumah itu. Akang cari saja istri lain yang mau tinggal di sana.”“Astaghfirrullah.”“Sudahlah, harusnya Akang pulang aja ke rumah. Kenapa juga malah nekat ke sini?”“Ya, karena istri Akang di sini.”
“Nak….”Rupanya di bawah tangga sudah ada ibu. Melihat penampilanku yang kacau ia segera mendekat, lantas memelukku tanpa bertanya apa pun.“Yas, enggak sanggup lanjutin rumah tangga kayak gini Bu.”“Kamu ikut ke kamar ibu, kita ngobrol di dalam ya. Jangan di sini!”Wanita itu menuntunku ke kamarnya yang terletak di lantai bawah.“Ibu enggak tau apa saja yang kamu lewati selama di sana, tapi caramu itu salah. Semuanya masih bisa dibicarakan baik-baik. Kasihan suamimu, dia baru aja datang jauh-jauh nyamperin kamu, pasti juga masih capek.”“Harusnya dia enggak datang ke sini.”“Dia ke sini, karena peduli sama kamu Yas. Harusnya kamu juga sadar hal itu.”“Mau sebaik apa pun suamiku, kalau keluarganya enggak pernah suka sama aku. Percuma Bu, setiap hari ada aja yang diributin.”“Cerita sama Ibu sebenarnya sikap mertuamu itu bagai
Sementara ibu melangkah menuju ke ruang tamu. Aku dan Kang Dadan memilih ke halaman belakang berkumpul bersama keluarga yang lain yang saat itu juga terlihat sangat ingin tahu apa yang terjadi. Aku sengaja tidak menjelaskan, aku pikir tidak baik juga menceritakan masalah seperti ini pada orang-orang yang tidak punya kepentingan.“Harusnya kalian juga temui, Nining! Kalian kan sudah makan emasnya. Terutama kamu Nad, kamu harus akuin keserakahanmu itu jika memang kamu bener mau berubah menjadi lebih baik,” ucap Teh Dewi.Kedua adik perempuannya itu lantas saling menatap. Sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk menyusul ibu ke ruang tamu.“Dan, Yas maaf kelakuan mereka bikin kalian jadi susah.”Saat itu Teh Dewi bukan hanya menatap kami bergantian, ia juga memegang kedua tangan kami sambil menyatukannya menjadi satu genggaman.“Teteh juga pasti banyak salah sama kalian, teteh harap apa pun yang terjadi kalian jangan pern
Sepanjang jalan menuju rumah Juragan Asep banyak sekali tetangga yang mengajak kami bersalaman. Memang masih momen lebaran, jadi kami masih saling bermaafan. Namun, sepertinya orang-orang desa terlalu berlebihan. Permintaan maaf mereka seperti benar-benar dari hati, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Mungkin memang sebenarnya mereka juga merasa bersalah, karena ikut bersekongkol dengan Juragan Asep perihal pernikahan suamiku. Kebetulan sekali saat kami hampir sampai ke rumah Nining. Di jalan kami malah bertemu dengan Bu Odah. “Loh, kalian kapan datang?” tanyanya. “Sudah 3 hari yang lalu,” jawab Kang Dadan. Aku pikir Bu Odah akan marah atau mungkin bertindak anarkis. Ternyata dia dengan ramah menyapa kami. Wanita yang usianya sekutar 60 tahunan itu tampak lebih segar dan bugar dibandingkan pertemuan kami setahun lalu. “Yasmin, sehat?” “Alhamdulillah. Ibu dan Nining bagaimana kabarnya?” “Kami semua sudah lebih baik se
“Loh, terus ibu mau tinggal sama siapa? Mau sama aku?”Teh Dewi mulai angkat suara.“Enggak, ibu juga enggak mau menyusahkan kamu. Kehidupan kau aja ngepas buat sehari-hari. Biarin ibu di sini sendiri. Mereka biar cari rumah sendiri.”Sontak saja Teh Nadia dan Teh Arum langsung menghambur dan berlutut di hadapan ibunya.“Bu, maafin Nadia. Aku tahu yang aku lakukan ini salah banget, tapi Nadia juga enggak tahu mau tinggal di mana lagi kalau bukan di sini, hiks.”“Tolong maafin Arum juga Bu, kami bener-bener enggak tahu harus tinggal di mana, hiks. Kami bahkan belum punya pekerjaan. Kami enggak tahu mau mulai kehidupan seperti apa?”“Waktu kalian mengusir ibu dari rumah, pernah enggak kalian mikirin ibu mau tinggal di mana dan bagaimana? Padahal, enggak setiap hari juga Ibu berkunjung ke rumah kalian.”Sekarang tangisan keduanya malah semakin menjadi.“Ibu selalu m
“Benar kata Mas Aris, kalau sampai ibu masih gak sadar. Itu keterlaluan banget. Kalau sekarang ibu enggak mau ketemu, mungkin aja dia cuma perlu waktu buat nerima semuanya.”“Akang antar kamu pulang dulu, ya? Lagian hasilnya baru keluar besok.”“Memangnya ibu mau dirawat?”“Ia, biar enggak bolak balik. Sekalian mau cek kesehatan yangl ain. Dokternya baru ada besok pagi. Sekarang udah tengah malam gini. Kamu mau istirahat di mana coba. Mana enggak boleh masuk juga, ‘kan ada bayi,” ucap Kang Dadan.~Saat itu memang kurasa tak ada pilihan lain. Apa lagi memikirkan anak-anak yang juga butuh tempat yang layak.Kami bahkan tak diperkenankan masuk, karena membawa bayi.~“Ayo Akang antar! Percaya sama Akang, ibu enggak benci kamu kok. Dia cuma butuh waktu aja. Kita tunggu di rumah aja, ya?”Sebelum pulang Kang Dadan mala mengajakku untuk mampir di warung bakso f
Aku masih berusaha untuk meminta tolong pada orang-orang di sana, termasuk para pedagang yang berada di sekitar lampu merah.“Aduh Neng, mana bawa-bawa bayi. Jangan nekat! Sudah tunggu aja di sini.”“Enggak bisa dong Mas, nanti kalau suami saya dipukuli bagaimana?”“Enggak, asal enggak cari masalah. Mereka enggak anarkis kok.”“Tapi, tadi katanya mereka suka mukul orang.”“Enggaklah, dasar aja orangnya enggak mau nolongin. Sudah tunggu saja di sini! Sebentar lagi juga keluar!”Saat itu ibu-ibu yang kebetulan lewat pun sampai menahan kutetap tinggal. Ia menarik lenganku, begitu erat.“Kalau ada.apa-apa, memangnya Neng enggak kasihan sama anak-anak?”Benar juga. Adanya mereka membuat gerakanku jadi terbatas.Sekarang aku hanya bisa pasrah sambil harap-harap cemas, menanti mereka yang tak kunjung keluar dari markas itu.“Memangnya ada urusa
Aku bisa mengerti sesakit apa Kang Dadan mendengar kabar ini, ia sampai tak bisa berhenti menyalahkan diri.“Belum terlambat buat cari keberadaan ibu, Kang. Kita bisa cari sekarang juga kalau Akang mau. Mumpung kita di sini, kalau udah di Bali. Pasti ‘kan repot harus minta cuti dan sebagainya. Hayu, Akang mau sekarang? Aku temani!”Akhirnya setelah sekian lama ia terus menunduk sambil merenungi kesalahannya, pria itu menatapku.“Kamu bahkan lebih peduli sama ibu dari pada anak-anaknya.”“Setelah aku merasakan hamil dan melahirkan, aku jadi tahu Kang jadi ibu itu enggak mudah. Apa lagi merawat anak-anak. Aku cuma belajar menempatkan diri, kalau aku di posisi ibu bagaimana? Pasti aku juga akan melakukan hal yang sama. Siapa yang enggak akan merasa bersalah, melihat cucunya kritis dan hampir meninggal, karena kesalahan kita sendiri.”“Iya, tapi semua itu bohong.”“Ibu mana mengerti mas
“Mafin aku Yas, kami bener-bener khilaf saat itu. Begitu melihat lemari ibu yang penuh dengan emas Batangan dan perhiasan. Kami jadi kalap dan malah menginginkan semuanya.”“Jangan-jangan ibu bukan kabur dari rumah, tapi Teteh yang usir dia.”“Soal itu, hm sebenarnya untuk masalah anakku yang di klinik jugahanya akal-akalan kami. Awalnya Anita memang mengalami konstipasi, tapi keadaannya tidak terlalu serius. Jadi, cukup diberikan obat saja juga sudah baikkan.”“Kalau memang begitu, kenapa Teteh malah melebih-lebihkan seolah-olah yang ibu lakukan itu sampai mengancam nyawa Anita?”Anita adalah anak kedua dari Teh Nadia, usianya belum menginjak 6 bulan. Jadi, ia tak seharusnya mendapatkan makanan selain ASI. Aku pikir memang benar, jika anak itu dalam keadan yang kritis. Ternyata hanya akal-akalan saja.Memang benar ya, buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya. Sikapnya persisi seperti Bu Irah. Sek
“Kenapa sih dia?” tanya Teh Dewi dengan gaya culasnya.Namun, saat itu malah disenggol oleh Mas Aris.“Samperin sana! Adik kamu itu! Tanyain kenapa dia pulang sendiri? Mana malam-malam, ke mana suaminya?”Benar juga, tak biasanya Teh Nadia pulang kampung sendirian. Selain katanya tak biasa naik angkutan umum yang panas dan berdesakkan dengan pemudik lainnya.Ah, aku jadi ingat bagaimana angkuhnya saudara iparku itu.“Tunggu Teh, jangan ke dalam dulu! Aku mau ngomong sesuatu. Mumpung semua sudah kumpul di sini!”Teh Nadia yang saat itu hendak masuk pun mendadak kembali.Aku bisa melihat kegugupan di wajah Teh Arum, sesekali ia melirik ke arahku lantas ke arah suaminya. Yang saat itu bahkan sama tegangnya. Aku bahkan bis melihat ia seperti mengancam istrinya itu dengan tatapan tajamnya.“Sayang ada apa sih, kok Teh Arum dari tadi lihat kamu.”“Dengerin aja, nanti juga t
“Teteh sebenernya kenapa? Yas bingung, kalau cuma mau minta maaf sudah jauh-jauh hari aku suda maafin kok. Tapi, ini perhiasan siapa? Kenapa dikasih ke aku?”Ada rahasia apa sebenarnya. Aku sangat bingung sekarang. Apa lagi tangisan Teh Arum juga semakin memilukan.“Kita cerita di kamarku saja yuk, biar enak. Kan ada anak-anak juga takut pada ke dapur.”Aku hanya takut, jika mereka mengetahui kesedihan bundanya. Itu tidak akan baik bagi mental mereka.Akhirnya aku hanya bisa memaksa wanita itu untuk pindah dari dapur.Di kamar, aku dibuat semakin bingung ketika Teh Arum tak mau menghentikan isakkannya. Aku hanya bisa mengusap punggungnya demi meredakan sesaknya, yang kuyakini ia past sudah menahan luka ini sekian lama.Lantas hari ini selayaknya bom yang siap meledak kapan saja. Kali ini mungkin waktunya.“Teteh, aku tahu pasti sakit banget denger kayak gini, tapi udah coba omongin belum sama Kang Ajunnya