Saat itu aku bisa melihat kebimbangan di wajah Kang Dadan. Aku hanya bisa mendecak, sambil membalikkan badan. Aku sudah tak peduli dia mau membelaku atau ibunya. Aku hanya ingin kedamaian walau hanya beberapa jam saja.
Saat itu aku memilih membalikkan badan, meneruskan memetik sayuran yang akan dimasak pagi ini. Sampai terdengar derap langkah seseorang yang semakin menjauh, aku hanya bisa tersenyum miris.
Entah siapa yang menciptakan kalimat, yang muda harus ngalah pada orang tua. Rasanya aku sangat tidak setuju dengan pernyataan itu.
Setengah jam berlalu, masakanku telah tersaji di meja makan. Namun, sepertinya Kang Dadan belum berhasil membujuk ibunya yang merajuk. Dari arah dapur saja, masih terdengar ketukan pintu yang terus menerus. Seperti biasa, jika salah dan tertangkap basah, jangan berharap ia akan meminta maaf. Bahkan mengakuinya saja, itu adalah hal paling mustahil.
Kau tahu siapa yang harus minta maaf? Akulah orangnya, lucu bukan? tapi, beginilah kenyataannya.
Hari itu tanpa menunggu Kang Dadan, aku memilih untuk makan duluan. Entahlah aku sangat lapar, mungkin terlalu banyak mengeluarkan emosi.
“Kamu kok makan sih, Dek?” tanya Kang Dadan, yang tiba-tiba saja sudah ada di depan meja makan.
Padahal, aku baru saja memasukkan satu suapan ke mulutku.
“Lapar.”
“Kok bisa-bisanya kamu enggak peduli, ibu lagi ngambek loh?”
Sekali lagi aku hanya bisa tersenyum miris.
“Setelah makan, aku akan meminta maaf tenanglah. Enggak perlu Akang minta, aku udah ngerti kok.”
Tanpa peduli respons seperti apa yang akan ditunjukkan suamiku, melanjutkan makan adalah pilihan yang tepat. Bahkan, menahan amarah juga perlu energi bukan?
Saat itu, aku pikir Kang Dadan akan menegurku. Nyatanya, dia malah menarik kursi, lantas duduk di sampingku.
“Dek, lihat Akang!”
“Hm, katakan saja! Aku bahkan belum sempat sarapan tadi pagi,” ucapku cuek saja.
Aku sungguh tak ingin mendengarkan penjelasan apa pun. Aku sudah hafal bagaimana alurnya dan apa yang harus kulakukan untuk mengatasinya.
“Ibuku cerewet, ya?”
Uhuk!
Aku baru saja terbatuk. Entah kenapa ia mempertanyakan hal itu.
“Pelan-pelan makannya!”
“Maaf.”
“Kamu masih belum jawab pertanyaan Akang.”
“Apa pentingnya aku jawab, aku rasa Akang sudah tahu jawabannya. Sudahlah tembok di sini punya telinga, bisakah kita berhenti bicara yang enggak penting. Setidaknya izinkan aku makan dulu, setelah itu aku akan mengurus masalah ibu.”
“Aku tahu meskipun kamu tampak biasa-biasa saja, Adek pasti sakit hati ‘kan sama apa yang ibu lakukan?”
“Apa gunanya aku sakit hati? Enggak akan mengubah keadaan.”
“Maafin Akang ya, belum bisa bahagiain kamu.”
“Enggak bisa atau enggak mau usaha?”
“Aku janji sama kamu, ini cuma sementara. Ke depannya kamu enggak perlu ngalah lagi?”
“Bagaimana caranya?” tanyaku.
Bukannya langsung menjawab, Kang Dadan malah hanya diam dan tertunduk lesu.
“Sudah 6 tahun kita menikah, Kang. Jangankan keluar dari rumah ini, bahkan untuk berlebaran di kampungku aja. Akang enggak bisa ngomong sama Ibu. Jangan janji lagi ya, yang kemarin aja enggak Akang tepatin.”
“Dek Sayang, maafin Akang. Pokoknya lebaran tahun ini kita lebaran di tempat kamu.”
Entahlah aku hanya ingin tersenyum, karena faktanya selalu saja ada drama dari ibu mertuaku. Menangis, bahkan terkadang tak jarang marah-marah karena anak bungsunya memilih berlebaran di kampung istrinya. Belum lagi saat keluarga besarnya datang. Dari subuh buta sampai tengah malam, aku hanya akan sibuk di dapur.
Apakah suamiku hanya diam saja?
Tentu saja tidak, dia selalu berusaha membantuku, tetapi ajaibnya 2 kakak perempuannya malah mencegahnya untuk datang padaku. Dari pada membuat gaduh di hari lebaran, seringnya aku memilih untuk mengerjakan semuanya sendiri.
Jika kalian bertanya aku lelah atau tidak? Makanya jawabannya, entah. Aku terlalu terbiasa dengan kebiasaan seperti ini.
“Ayo ke kamar Ibu!” ajakku, sambil beranjak bangkit.
“Kamu yakin?”
Aku memilih untuk tak menjawab. Kembali meneruskan langkah ke kamar ibu yang kala itu masih tertutup.
Tepat saat aku akan mengetuk pintu, Kang Dadan malah mencegahnya. Ia menarik lenganku ia, bahkan turut memelukku.
“Kali ini kamu enggak salah, enggak usah minta maaf.”
“Salah atau enggak, yang muda harus ngalah ‘kan?”
“Sudahlah ayo, lakukan saja!”
“Jangan, aku yang salah. Terlalu memanjakan ibu. Sehingga. Mengabaikan perasaanmu. Aku yang egois, karena terus memaksamu untuk mengalah. Maafkan aku!”
“Kenapa kamu diem aja, enggak mau maafin aku?”
“Kalau begitu bisakah kamu meminta maaf padaku?”
Kang Dadan seketika tak bisa menjawab lagi pertanyaanku.
“Aku hanya bercanda.”
Ya, karena itu sama saja menunggu kiamat tiba.
“Kamu pasti sangat tertekan di sini.”
“Tertekan atau enggak, bukankah yang penting aku masih bisa hidup dengan baik?”
“Kamu tahu enggak sih, melihatmu seperti ini, aku sering merasa sudah jadi suami yang gagal. Bukan aku enggak mau keluar dari rumah ini Yas, tapi nanti siapa yang mau jagain ibu? Kamu tahu sendiri, ketiga saudaraku enggak ada yang mau serumah sama ibu. Ditambah lagi aku satu-satunya anak lelaki. Kewajibanku berat, Yas.”
Entah mengapa, aku paling tidak kuat saat seseorang membandingkan keutamaan bakti anak laki-laki pada ibunya.
“Yas, jangan nangis!”
Dia selalu saja mengagungkan hal itu, tanpa berpikir aku yang seorang anak tunggal di keluargaku. Bahkan, 3 tahun terakhir ayah dan ibu mengangkat seorang anak laki-laki. Namanya Azam, anak dari kerabat mamah. Terbayang, betapa kesepiannya mereka tanpa aku, tapi pernahkah mereka mengeluhkan hal itu? Bahkan sekali pun mereka tak pernah memaksakan kehendaknya.
“Apa kata-kataku barusan menyinggungmu?”
“Akang lupa kalau aku anak tunggal? Jika jadi aku, apa yang akan Akang lakukan?”
“Maafkan aku, Yak. Posisi kita memang serba salah, kamu tahu ‘kan. Ibu sering banget sakit-sakitan. Bukan sekali dua kali kita coba buat pulang, tapi baru sampai di tengah jalan. Ibu malah nelepon. Apa lagi dulu, ibu sampai pingsan enggak ketahuan. Untung ada tetangga ke rumah.”
Brakk!
Di tengah perbincangan kami tiba-tiba saja pintu kamar Ibu terbuka dengan begitu kerasnya.
“Jadi kamu mau ninggalin Ibu sendirian di sini, Dan?”
Ya Tuhan, entah drama apa lagi kali ini. Rasanya kepalaku mendadak sakit. Tak hanya diringi isak tangisnya, wanita yang wajahnya sedikit sembab itu juga berteriak-teriak.
“Jawab Dan, tega kamu ninggalin Ibu yang udah sakit-sakitan sendirian?”
“Enggak ada yang mau pergi Bu, tenang aja!” ucapku setenang mungkin.
Sebisa mungkin aku menahan emosi, bukan apa-apa di akhir pekan ini aku hanya ingin istirahat. Namun, sejak subuh buta ada saja yang perlakuan ibu yang membuatku tak punya waktu bahkan untuk sekedar meluruskan badan.
“Yasmin, kamu kenapa? pusing? Kok dari tadi megang kepala terus?”
Ah, rupanya Kang Dadan memperhatikanku. Seharusnya ia perhatikan saja ibunya.
Aku menggeleng. Sungguh rasanya aku ingin menghilang saja dari sini.
“Dadan, bisa-bsianya ibu ngomong, kamu malah merhatiin istrimu. Apa sih yang bikin kamu masih aja perhatian sama dia.”
“Astaghfirrullah, Bu. Dia istriku, ya wajar ‘kan aku perhatian? Memangnya Ibu enggak seneng lihat rumah tangga anaknya rukun?”
“Lah, kalau istrinya bener ibu juga seneng. Ini berapa tahun coba kalian sudah menikah? Kenapa masih aja belum punya momongan?”
“Ibu bisa berhenti enggak sih? Kasian Yasmin, ibu juga perempuan kok ya tega ngomong begitu aja.”
“Biarin dia aja tega misahin kamu sama ibu. Ya, wajar kalau dia tega, orang namanya mandul, enggak pernah ngerasain jadi ibu enggak akan ngerasain bagaimana sakitnya dipisahin sama anak?”
“Aku enggak mandul, Bu,” ucapku.
Sialnya malah suaraku ikut gemetar.
Sakit sekali ya Allah, kenapa harus mengatai mandul di depan wajahku sendiri.
“Ya, terus menurutmu Dadan yang mandul. Dadan tuh turunan subur, anakku aja kalau enggak meninggal semuanya ada 7. Coba keluargamu cuma 1. Kamu anak tunggal, ‘kan?”
“Iya aku memang anak tunggal. Oh iya, sudah 6 tahun loh, Bu. Bahkan, satu kali pun aku enggak pernah pulang ke rumah. Seharusnya ibuku pasti juga merasakan sakit berpisah sama anaknya, walaupun cuma 1 anak. Ibu saja sampai menangis bukan saat Mbak Dewi, enggak mudik lebaran kemarin? padahal, anak ibu yang lain, masih ada di sini?”
Mbak Dewi itu anak pertama Ibu, sejujurnya di bandingkan yang lain tempat tinggalnya yang paling dekat. Namun, entah kenapa seringnya ia tak pulang saat lebaran datang. “Bedalah anak perempuan sama laki-laki.”Aku tersenyum kala itu, sungguh tak ada sedikit pun nada bicaraku yang meninggi. Kali ini memang aku sudah terlanjur gemas. Bukan apa-apa hanya saja, bukankah tak baik menahan amarah terlalu lama, tanpa pernah bisa diungkapkan. Aku hanya ingin bicara baik-baik tentang hal yang selalu menjadi dilema kami setiap tahun.“Kalau kamu mau pulang kampung, memangnya enggak bisa pulang sendiri. Kenapa juga harus sama Dadan.”“Itu, karena aku masih menghormati suamiku. Andai aku sudah tidak menghormatinya lagi, sudah dari lama aku pulang sendirian.”Entah mendapat keberanian dari mana. Bisa-bisanya aku punya energi untuk menjawab pertanyaan ibu yang pastinya tak akan ada habisnya. Ah aku memang mencari masalah.“Sudahlah, lebih baik kalian teruskan. Aku ke dapur dulu, mau cuci piring.”“
“Kalau aku bilang capek, memangnya Akang mau lakuin apa?Aku minta pulang aja Akang enggak bisa menuhin,” ucapku.“Bukannya enggak bisa, tapi kalau kamu mau tinggal di sana 3 bulan. Akang di sini sama siapa?”“Sama ibulah, sama siapa lagi?”“Ya, Akang tahu kalau itu. Kalau enggak ada kamu, Akang juag bingung mau ngapain di rumah.”“Kok bingung sih, sebelum kita menikah juga Akang tinggal sama ibu. Apa bedanya dulu sama sekarang? Sama aja.”“Kamu pikir sebelum menikah, Akang tinggalnya sama ibu? Enggak tahu. Orang kalau pulang juga cuma lebaran doang.”“Atuh kenapa enggak pulang?”“Entahlah dari dulu, kami memang jarang pulang.”“Terus ibu sendirian?”“Ibu tinggal sama Mbak Dewi, waktu dia ditinggal suaminya meninggal dunia. Mbak Dewi lama tinggal sama Ibu.”“Alasannnya apa?”“Ibu terlalu cerewet, kadang-kadang kami tak sanggup mendengar keluhannya. Maafin aku, ya. Seharusnya Akang enggak menahan kamu di sini. Pasti, berat banget jadi kamu.”Entah kenapa aku tidak mencari tahu dulu baga
“Nanti ibu tambah kenceng teriaknya. Kasihan Lisa yang baru melahirkan, bayinya pasti kebangun lagi,” ucapku.“Enggak apa sekali-kali. Kadang, ibu juga harus tahu jam. Masa jam segini mau ribut, Akang juga udah ngantuk banget.”Bukannya aku tak mau dibela, tetapi rasanya dibela juga tak enak. Bukannya merasa menang, tetapi aku justru terganggu. Di luar kamar. Ibu masih saja tak berhenti mengomel meski sudah hampir 10 menit berlalu.“Kang, bangun dulu!”Saat itu Kang Dadan malah sudah tidur pulas. Mungkin, benar jika ia sudah lelah. Namun, aku yang tak terbiasa tidur dengan suara yang bising, justru merasa sangat terganggu karenanya.Saat itu sadar, jika aku masih gelisah, akhirnya Kang Dadan mau membuka matanya.“Kamu di sini aja, biar Akang yang keluar!”Aku hanya bisa mengangguk pasrah. Lagi pula aku juga sudah tak punya energi untuk menghadapi keluh kesah ibu di jam larut begini.Dari dalam kamar, meski aku tak ingin mendegar percakapan mereka nyatanya suara ibu bahkan masih bisa
“Kang…, sabar!” ucapku pelan, sambil mengusap lengannya dengan lembut.Namun, pria itu malah mengabaikanku. Padahal, sejak ia mengungkapkan semua kekesalannya ibu masih diam saja. Tak seperti biasanya di mana ia akan dengan lantang meneriakkan bantahan.“Sekarang Dadan belum punya keturunan, ibu salah-salahin terus Yasmin. Ibu pikir itu enggak nyakitin Dadan. Masih mending Yasmin yang masih muda, anak orang kaya mau nikah sama anak ibu. Orang desa sini, mana ada sih yang mau sama aku! Udah miskin, ditambah kelilit hutang juga. Sekarang aja mereka mau nyapa, dulu-dulu lagi kita susah. Aku jalan aja, mereka ngeludahin.”Aku tidak tahu tentang apa yang suamiku lewati selama ini. Ia bahkan tak pernah menceritakan hal ini padaku. Melihat suasana yang makin memanas, aku berinisiatif menarik Kang Dadan ke kamar. Membiarkan pria itu duduk di ranjang sambil melepaskan emosinya.Perlahan aku bisa melihatnya meneteskan air mata. Untuk pertama kalinya aku melihat suamiku begitu emosional pada ibu
Saat itu Teh Nadia langsung mematikan panggilannya.Sudah dua kali aku menyaksikan suamiku tak bisa menahan emosinya. Padahal, biasanya ia yang paling sabar dan lemah lembut pada keluarganya.“Minum dulu, Kang!”Saat itu aku berinisiatif mengambilkan air, berharap hal itu mampu meredakan emosinya. Menyetir dalam keadaan yang tidak stabil juga tidak baik.Saat itu sekali lagi, Kang Dadan berbicara pada ibu di balik pintu kamar yang tertutup rapat.“Kami mau pergi, kalau ibu mau ikut hayu!”Ibu masih belum mau menjawab.“Dadan minta maaf, karena tadi udah kasar sama ibu. Kalau emang ibu masih mau sendirian, kami mau pergi sebentar. Mungkin baliknya agak telat.”Sayangnya, masih tak ada respons dari dalam.“Sekali lagi, kita pamit ya, wassalamualaikum.”Rupanya di luar rumah. Orang-orang masih berkumpul di dekat rumah kami.“Loh memangnya Bu Irah e
“Ya, wajarlah istri ikut suami. Kamunya aja yang terlalu banget sama istrimu. Di mana-mana juga gitu. Orang-orang teteh kmau juga pada ikut suaminya.” “Yamemang wajar, tapi dia juga masih punya orang tua. Mau sampai kapan coba Ibu nahan dia buat silaturahmi ke sana. Sama-sama punya ank perempuan, harusnya ibu juga bisa ngerti. Tiap lebaran aja ibu suka sedih kalau Teh Dewi enggak pulang ke sini. Kenapa sikap ibu malah sebaliknya sama Yasmin? Lagian kita juga cuma pergi buat sementara, enggak selamanya.” “Ya sudah sana kalau mau pergi! Manjakan terus saja istrimu itu.” “Memangnya salah kalau suami mengantar istrinyapulang ke rumah orang tuanya, Bu?” ucapku yang sudah tako tahan lagi. Entah kenapa, semakin dibiarkan wanita ini terus saja menginjak-injak harga diriku. “Ya, kalau istrinya bener sih enggak apa-apa?” “Emang selama ini aku kurang bener apa? Hanya aku enggak punya anak ibu selalu saja menyudutk
“Istighfar, Kang!” sambil memegang tangannya yang gemetar.Aku bahkan masih mengusap lembut punggung suamiku, berharap itu mampu meredakan amarahnya yang tengah meluap-meluap. Entah sudah berapa kali ia marah hari ini.“Maaf, harusnya Akang lakuin ini dari dulu. Jadi mereka enggak seenaknya nginjek-nginjek kita.”Aku tak pernah tahu apa saja yang dilewati suamiku di masa lalu, tetapi hanya mendengar percakapan mereka hari ini. Bisa kupastikan ia hidup dengan penuh tekanan, baik dari ibu yang suka memaksakan kehendak juga dari saudaranya yang egois dan selalu merasa benar sendiri.“Kalau, Akang mau egois. Mendingan tinggal sama Bapak dari dulu. Tapi, Akang enggak gitu. Kasihan juga Ibu, siapa yang mau nafkahin? Sudah penghasilan Bapak enggak seberapa dituntut sana sini.”“Yang Akang lakuin selama ini udah bener kok. Cuma kadang, respons orang itu berbeda-beda. Ada yang ¹ balas baik juga, tapi e
Sebelum ia semakin panik, aku memilih keluar. Melihat pria itu dari kejauhan yang tampak kacau, hatiku tetap saja merasa iba.Beberapa orang mengerumuni Kang Dadan, ada yang menepuk pundak, mengusap punggung juga menasihatinya untuk tenang.“Kang.”“Alhamdulillah.”Tanpa banyak kata pria itu langsung menghambur memelukku. Mengabaikan pandangan orang-orang di sana.“Kamu ke mana aja? Akang pikir kamu pergi gitu aja,” katanya, masih saja tam mau melepaskan rengkuhannya.“Aku cuma ke toilet. Maaf ya, bikin Akang panik.”Saat itu, Kang Dadan baru mau melepaskan pelukannya.“Ngapain aja di toilet lama banget?”Belum juga menjawabnya Kang Dadan sudah memperhatikan tubuhku dengan sangat detail.“Kamu baik-baik aja, ‘kan?”“Sudah lebih baik dari pada tadi.”“Ayo masuk mobil aja. Di luat dingin banget gini, jaketny
Sementara ibu melangkah menuju ke ruang tamu. Aku dan Kang Dadan memilih ke halaman belakang berkumpul bersama keluarga yang lain yang saat itu juga terlihat sangat ingin tahu apa yang terjadi. Aku sengaja tidak menjelaskan, aku pikir tidak baik juga menceritakan masalah seperti ini pada orang-orang yang tidak punya kepentingan.“Harusnya kalian juga temui, Nining! Kalian kan sudah makan emasnya. Terutama kamu Nad, kamu harus akuin keserakahanmu itu jika memang kamu bener mau berubah menjadi lebih baik,” ucap Teh Dewi.Kedua adik perempuannya itu lantas saling menatap. Sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk menyusul ibu ke ruang tamu.“Dan, Yas maaf kelakuan mereka bikin kalian jadi susah.”Saat itu Teh Dewi bukan hanya menatap kami bergantian, ia juga memegang kedua tangan kami sambil menyatukannya menjadi satu genggaman.“Teteh juga pasti banyak salah sama kalian, teteh harap apa pun yang terjadi kalian jangan pern
Sepanjang jalan menuju rumah Juragan Asep banyak sekali tetangga yang mengajak kami bersalaman. Memang masih momen lebaran, jadi kami masih saling bermaafan. Namun, sepertinya orang-orang desa terlalu berlebihan. Permintaan maaf mereka seperti benar-benar dari hati, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Mungkin memang sebenarnya mereka juga merasa bersalah, karena ikut bersekongkol dengan Juragan Asep perihal pernikahan suamiku. Kebetulan sekali saat kami hampir sampai ke rumah Nining. Di jalan kami malah bertemu dengan Bu Odah. “Loh, kalian kapan datang?” tanyanya. “Sudah 3 hari yang lalu,” jawab Kang Dadan. Aku pikir Bu Odah akan marah atau mungkin bertindak anarkis. Ternyata dia dengan ramah menyapa kami. Wanita yang usianya sekutar 60 tahunan itu tampak lebih segar dan bugar dibandingkan pertemuan kami setahun lalu. “Yasmin, sehat?” “Alhamdulillah. Ibu dan Nining bagaimana kabarnya?” “Kami semua sudah lebih baik se
“Loh, terus ibu mau tinggal sama siapa? Mau sama aku?”Teh Dewi mulai angkat suara.“Enggak, ibu juga enggak mau menyusahkan kamu. Kehidupan kau aja ngepas buat sehari-hari. Biarin ibu di sini sendiri. Mereka biar cari rumah sendiri.”Sontak saja Teh Nadia dan Teh Arum langsung menghambur dan berlutut di hadapan ibunya.“Bu, maafin Nadia. Aku tahu yang aku lakukan ini salah banget, tapi Nadia juga enggak tahu mau tinggal di mana lagi kalau bukan di sini, hiks.”“Tolong maafin Arum juga Bu, kami bener-bener enggak tahu harus tinggal di mana, hiks. Kami bahkan belum punya pekerjaan. Kami enggak tahu mau mulai kehidupan seperti apa?”“Waktu kalian mengusir ibu dari rumah, pernah enggak kalian mikirin ibu mau tinggal di mana dan bagaimana? Padahal, enggak setiap hari juga Ibu berkunjung ke rumah kalian.”Sekarang tangisan keduanya malah semakin menjadi.“Ibu selalu m
“Benar kata Mas Aris, kalau sampai ibu masih gak sadar. Itu keterlaluan banget. Kalau sekarang ibu enggak mau ketemu, mungkin aja dia cuma perlu waktu buat nerima semuanya.”“Akang antar kamu pulang dulu, ya? Lagian hasilnya baru keluar besok.”“Memangnya ibu mau dirawat?”“Ia, biar enggak bolak balik. Sekalian mau cek kesehatan yangl ain. Dokternya baru ada besok pagi. Sekarang udah tengah malam gini. Kamu mau istirahat di mana coba. Mana enggak boleh masuk juga, ‘kan ada bayi,” ucap Kang Dadan.~Saat itu memang kurasa tak ada pilihan lain. Apa lagi memikirkan anak-anak yang juga butuh tempat yang layak.Kami bahkan tak diperkenankan masuk, karena membawa bayi.~“Ayo Akang antar! Percaya sama Akang, ibu enggak benci kamu kok. Dia cuma butuh waktu aja. Kita tunggu di rumah aja, ya?”Sebelum pulang Kang Dadan mala mengajakku untuk mampir di warung bakso f
Aku masih berusaha untuk meminta tolong pada orang-orang di sana, termasuk para pedagang yang berada di sekitar lampu merah.“Aduh Neng, mana bawa-bawa bayi. Jangan nekat! Sudah tunggu aja di sini.”“Enggak bisa dong Mas, nanti kalau suami saya dipukuli bagaimana?”“Enggak, asal enggak cari masalah. Mereka enggak anarkis kok.”“Tapi, tadi katanya mereka suka mukul orang.”“Enggaklah, dasar aja orangnya enggak mau nolongin. Sudah tunggu saja di sini! Sebentar lagi juga keluar!”Saat itu ibu-ibu yang kebetulan lewat pun sampai menahan kutetap tinggal. Ia menarik lenganku, begitu erat.“Kalau ada.apa-apa, memangnya Neng enggak kasihan sama anak-anak?”Benar juga. Adanya mereka membuat gerakanku jadi terbatas.Sekarang aku hanya bisa pasrah sambil harap-harap cemas, menanti mereka yang tak kunjung keluar dari markas itu.“Memangnya ada urusa
Aku bisa mengerti sesakit apa Kang Dadan mendengar kabar ini, ia sampai tak bisa berhenti menyalahkan diri.“Belum terlambat buat cari keberadaan ibu, Kang. Kita bisa cari sekarang juga kalau Akang mau. Mumpung kita di sini, kalau udah di Bali. Pasti ‘kan repot harus minta cuti dan sebagainya. Hayu, Akang mau sekarang? Aku temani!”Akhirnya setelah sekian lama ia terus menunduk sambil merenungi kesalahannya, pria itu menatapku.“Kamu bahkan lebih peduli sama ibu dari pada anak-anaknya.”“Setelah aku merasakan hamil dan melahirkan, aku jadi tahu Kang jadi ibu itu enggak mudah. Apa lagi merawat anak-anak. Aku cuma belajar menempatkan diri, kalau aku di posisi ibu bagaimana? Pasti aku juga akan melakukan hal yang sama. Siapa yang enggak akan merasa bersalah, melihat cucunya kritis dan hampir meninggal, karena kesalahan kita sendiri.”“Iya, tapi semua itu bohong.”“Ibu mana mengerti mas
“Mafin aku Yas, kami bener-bener khilaf saat itu. Begitu melihat lemari ibu yang penuh dengan emas Batangan dan perhiasan. Kami jadi kalap dan malah menginginkan semuanya.”“Jangan-jangan ibu bukan kabur dari rumah, tapi Teteh yang usir dia.”“Soal itu, hm sebenarnya untuk masalah anakku yang di klinik jugahanya akal-akalan kami. Awalnya Anita memang mengalami konstipasi, tapi keadaannya tidak terlalu serius. Jadi, cukup diberikan obat saja juga sudah baikkan.”“Kalau memang begitu, kenapa Teteh malah melebih-lebihkan seolah-olah yang ibu lakukan itu sampai mengancam nyawa Anita?”Anita adalah anak kedua dari Teh Nadia, usianya belum menginjak 6 bulan. Jadi, ia tak seharusnya mendapatkan makanan selain ASI. Aku pikir memang benar, jika anak itu dalam keadan yang kritis. Ternyata hanya akal-akalan saja.Memang benar ya, buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya. Sikapnya persisi seperti Bu Irah. Sek
“Kenapa sih dia?” tanya Teh Dewi dengan gaya culasnya.Namun, saat itu malah disenggol oleh Mas Aris.“Samperin sana! Adik kamu itu! Tanyain kenapa dia pulang sendiri? Mana malam-malam, ke mana suaminya?”Benar juga, tak biasanya Teh Nadia pulang kampung sendirian. Selain katanya tak biasa naik angkutan umum yang panas dan berdesakkan dengan pemudik lainnya.Ah, aku jadi ingat bagaimana angkuhnya saudara iparku itu.“Tunggu Teh, jangan ke dalam dulu! Aku mau ngomong sesuatu. Mumpung semua sudah kumpul di sini!”Teh Nadia yang saat itu hendak masuk pun mendadak kembali.Aku bisa melihat kegugupan di wajah Teh Arum, sesekali ia melirik ke arahku lantas ke arah suaminya. Yang saat itu bahkan sama tegangnya. Aku bahkan bis melihat ia seperti mengancam istrinya itu dengan tatapan tajamnya.“Sayang ada apa sih, kok Teh Arum dari tadi lihat kamu.”“Dengerin aja, nanti juga t
“Teteh sebenernya kenapa? Yas bingung, kalau cuma mau minta maaf sudah jauh-jauh hari aku suda maafin kok. Tapi, ini perhiasan siapa? Kenapa dikasih ke aku?”Ada rahasia apa sebenarnya. Aku sangat bingung sekarang. Apa lagi tangisan Teh Arum juga semakin memilukan.“Kita cerita di kamarku saja yuk, biar enak. Kan ada anak-anak juga takut pada ke dapur.”Aku hanya takut, jika mereka mengetahui kesedihan bundanya. Itu tidak akan baik bagi mental mereka.Akhirnya aku hanya bisa memaksa wanita itu untuk pindah dari dapur.Di kamar, aku dibuat semakin bingung ketika Teh Arum tak mau menghentikan isakkannya. Aku hanya bisa mengusap punggungnya demi meredakan sesaknya, yang kuyakini ia past sudah menahan luka ini sekian lama.Lantas hari ini selayaknya bom yang siap meledak kapan saja. Kali ini mungkin waktunya.“Teteh, aku tahu pasti sakit banget denger kayak gini, tapi udah coba omongin belum sama Kang Ajunnya