Share

Bab 3

Penulis: ERIA YURIKA
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-03 15:31:02

Mbak Dewi itu anak pertama Ibu, sejujurnya di bandingkan yang lain tempat tinggalnya yang paling dekat. Namun, entah kenapa seringnya ia tak pulang saat lebaran datang. 

“Bedalah anak perempuan sama laki-laki.”

Aku tersenyum kala itu, sungguh tak ada sedikit pun nada bicaraku yang meninggi. Kali ini memang aku sudah terlanjur gemas. Bukan apa-apa hanya saja, bukankah tak baik menahan amarah terlalu lama, tanpa pernah bisa diungkapkan. Aku hanya ingin bicara baik-baik tentang hal yang selalu menjadi dilema kami setiap tahun.

“Kalau kamu mau pulang kampung, memangnya enggak bisa pulang sendiri. Kenapa juga harus sama Dadan.”

“Itu, karena aku masih menghormati suamiku. Andai aku sudah tidak menghormatinya lagi, sudah dari lama aku pulang sendirian.”

Entah mendapat keberanian dari mana. Bisa-bisanya aku punya energi untuk menjawab pertanyaan ibu yang pastinya tak akan ada habisnya. Ah aku memang mencari masalah.

“Sudahlah, lebih baik kalian teruskan. Aku ke dapur dulu, mau cuci piring.”

“Mas aja yang cuci, kamu istirahat saja. Dari pagi kamu bulak-balik terus, Mas aja lihatnya capek.”

“Kamu lagi, kebiasaan loh Dan, manjain istrimu terus. Jadinya dia seenaknya sama kamu.”

Aku memilih meneruskan langkah. Sambil tersenyum miris.

Apakah seiring waktu berlalu aku juga akan berubah menjadi seperti itu? semoga saja tidak. Aku tak ingin menjadi tua yang menyebalkan.

Di ruang tengah Kang Dadan sepertinya masih berdebat dengan ibunya. Sedang aku, lebih baik menulikan diri. Kurasa itu lebih baik untuk kesehatan jiwa. Sekarang masih pukul 10 pagi, tetapi aku malah ingin mandi lagi.

Niat hati ingin beristirahat di akhir pekan, kenyataannya justru harus bekerja dua kali lipat dari biasanya.

~

Tok tok!

Apa lagi baru saja bersantai sebentar di kamar mandi sudah diketuk dari luar.

“Dek, Akang pikir kamu kenapa-napa di dalam?”

Kang Dadan melihatku dengan wajah paniknya.

“Dah lihat ‘kan sekarang? Aku baik-baik saja.”

“Syukurlah Abang sempat panik, kamu lama banget di toiletnya.”

“Aku luluran dulu.”

Dia malah tersenyum.

“Ke mana ibu? Enggak ada suaranya.”

“Ke luar?”

Entah kenapa saat itu senyumku tak bisa ditahan.

“Kenapa kamu malah senyum, Dek?”

“Akang janjiin apa sama Ibu?”

“Akang cuma janji akan nasehatin kamu.”

“Kalau begitu lakukanlah. Aku akan duduk di sini sambil mendengarkan nasihatmu!”

“Maafkan aku, lagi-lagi aku enggak bisa membelamu di depan Ibu.”

“Hm.”

“Dek, soal ucapan Ibu yag tadi, enggak perlu dipikirin ya?”

“Aku memang bukan terlahir dari keluarga besar, tapi haidku bahkan masih datang setiap bulan dan tepat waktu.”

“Aku tahu, kamu enggak mungkin mandul.”

“Tapi, di mata ibumu beda. Dia enggak akan peduli, kebenarannya seperti apa, yang penting anaknya enggak pernah salah.”

“Jadi, maksud kamu Akang yang mandul?”

“Aku enggak bicara begitu.”

“Tapi, kalimatmu barusan merujuk padaku.”

“Jadi bagaimana rasanya, Kang? Dituduh mandul tanpa bukti? Enggak enak ‘kan, itu yang setiap hari aku rasakan. Sudahlah aku mau istirahat sebentar, mungkin sebentar lagi ibu akan datang dan meminta banyak hal untuk aku kerjakan.”

“Yas, kamu yakin baik-baik aja?”

“Hm, hanya pusing sedikit, mungkin karena kurang tidur.”

“Aku bikinin teh manis mau?”

“Jangan! Laki-laki dilarang pergi ke dapur!”

Aku tersenyum saat itu, tetapi sepertinya Kang Dadan tersindir dengan ucapanku.

Sejatinya dia pria yang baik, hanya saja Tuhan tidak akan menciptakan kehidupan yang sempurna di dunia. Selalu ada celah, seperti ibunya yang kerap kali merasa cemburu padaku.

Saat itu entah sudah berapa lama aku tertidur, sampai kudengar suara gaduh di ruang tengah. Sepertinya ibu mengundang teman-temannya kali ini.

Dan benar saja begitu keluar kamar, semua pasang mata menatap dengan sinis ke arahku. Kau tahu hal-hal seperti ini bagai dejavu, jadi bukan sekali dua kali ibu mengundang teman-temannya. Sengaja bergosip keras-keras agar aku yang di dalam kamar mendengarnya.

Andai tak harus salat ashar, rasanya aku juga ingin di dalam saja dari pada memunculkan diri tapi hanya dijadikan bahan gibah. Namun, aku tetaplah orang yang tahu diri, entah sudah berapa lama mereka mengobrol, tapi Ibu bahkan tak menyuguhkan apa pun pada tamu-tamunya itu.

Aku kembali dengan sekeranjang air dan beberapa stoples camilan ke atas meja. Lantas, setelah itu memilih untuk kembali masuk ke kamar. Tampak, jika beberapa dari mereka terlihat canggung, begitu aku memilih menyambut mereka dengan ramah di mana seharusnya orang lain justru akan bersikap tak peduli.

Selesai menunaikan salat ashar Kang Dadan malah mengajakku keluar rumah. Saat itu kebetulan malam minggu. Di alun-alun kecamatan biasanya ada pasar malam. Hiburan murah yang digandrungi masyarakat setempat.

Di kota ini juga ada pusat pembelanjaan modern. Hanya saja terlalu melelahkan untuk pergi ke sana. Apa lagi sejak pagi bukan hanya fisikku, bahkan batinku rasanya lelah sekali. Terkadang aku pengen tidur seharian, tapi entah apa yang akan terjadi nantinya. Mungkin akan geger satu kampung.

~

“Kamu enggak suka ya, lain kali Akang ajak kamu ke mall deh!”

“Suka kok, buat apa ke mall. Dingin tahu keluar malam-malam pake motor!” ucapku.

“Maafin Akang ya, adanya baru motor aja.”

“Lagian kita belum perlu mobil.”

“Dulu kamu pasti kalau ke mana-mana pakai mobil, ya?”

“Karena, memang punyanya cuma mobil.”

Kang Dadan malah tersenyum.

“Mobil kok dibilang cuma?”

“Kalau ada motor, aku juga akan lebih suka naik motor. Cepet sampai, bisa nyelip-nyelip juga.”

“Kamu selalu bisa membesarkan hatiku, Yas. Padahal, kamu bisa saja mengatakan dengan jujur, kalau aku memang payah. Sudah 6 tahun menikah, tapi belum bisa belikan kamu apa-apa?”

“Memangnya Akang mau beliin aku apa?”

“Hmm, maunya apa?”

“Rumah.”

Saat itu suasana malah mendadak canggung.

“Andai saudara Akang ada yang mau gentian sebentar aja. Sayangnya, mereka banyak banget alasan. Sibuklah ini itu.”

“Aku tahu Akang pasti berat sama ibu, tapi boleh enggak aku minta sesuatu, kebetulan sebentar lagi aku ulang tahun?”

“Bilang aja kamu mau apa? Akang janji apa pasti bakal kasih permintaan. Adek tahu sebenarnya tabungan kita sekarang sudah lebih dari cukup buat beli mobil. Rencananya Akang mau beliin—”

“Akang aku bahkan belum mengatakan apa yang aku mau.”

“Oh, maaf. Akang terlalu bersemangat.”

“Akang ‘kan maunya tinggal terus sama Ibu.”

“Iya, kalau ada pilihan Akang juga maunya pisah. Kasihan sama kamunya.”

“Bisa enggak kasih aku waktu 3 bulan aja buat pulang?”

“Pulang ke Bali?”

Orang tuaku tinggal Bali, meski sebenarnya kami bukanlah orang Bali asli. Hanya saja sejak Ayah dipindahtugaskan ke kota itu, keluargaku jadi menetap di sana.

“Iya.”

“Kenapa lama banget, Akang enggak mungkin bisa ninggalin selama itu.”

“Akang enggak usah ikut.”

“Enggak bisa Dek, maaf kalau Akang egois, tapi Akang enggak tenang jauh-jauh dari kamu. Kamu boleh minta kado yang lainnya, mau kalung emas baru? Atau mobil, kalau perlu enggak harus nunggu ulang tahun kamu besok aja kita ke dealer. Bagaimana?”

Aku menggeleng pelan.

“Kamu capek ya rumah tangga sama Akang?”

Capek banget Kang, capek sampai aku enggak mau meneruskannya lagi.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
si yasmin juga senang dimaki2 mertuanya, itu makanya dia tetap bertahan. klu istri waras mana sanggup
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • AKU INI BUKAN MENANTU SAMPAH   Bab 4

    “Kalau aku bilang capek, memangnya Akang mau lakuin apa?Aku minta pulang aja Akang enggak bisa menuhin,” ucapku.“Bukannya enggak bisa, tapi kalau kamu mau tinggal di sana 3 bulan. Akang di sini sama siapa?”“Sama ibulah, sama siapa lagi?”“Ya, Akang tahu kalau itu. Kalau enggak ada kamu, Akang juag bingung mau ngapain di rumah.”“Kok bingung sih, sebelum kita menikah juga Akang tinggal sama ibu. Apa bedanya dulu sama sekarang? Sama aja.”“Kamu pikir sebelum menikah, Akang tinggalnya sama ibu? Enggak tahu. Orang kalau pulang juga cuma lebaran doang.”“Atuh kenapa enggak pulang?”“Entahlah dari dulu, kami memang jarang pulang.”“Terus ibu sendirian?”“Ibu tinggal sama Mbak Dewi, waktu dia ditinggal suaminya meninggal dunia. Mbak Dewi lama tinggal sama Ibu.”“Alasannnya apa?”“Ibu terlalu cerewet, kadang-kadang kami tak sanggup mendengar keluhannya. Maafin aku, ya. Seharusnya Akang enggak menahan kamu di sini. Pasti, berat banget jadi kamu.”Entah kenapa aku tidak mencari tahu dulu baga

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-03
  • AKU INI BUKAN MENANTU SAMPAH   Bab 5

    “Nanti ibu tambah kenceng teriaknya. Kasihan Lisa yang baru melahirkan, bayinya pasti kebangun lagi,” ucapku.“Enggak apa sekali-kali. Kadang, ibu juga harus tahu jam. Masa jam segini mau ribut, Akang juga udah ngantuk banget.”Bukannya aku tak mau dibela, tetapi rasanya dibela juga tak enak. Bukannya merasa menang, tetapi aku justru terganggu. Di luar kamar. Ibu masih saja tak berhenti mengomel meski sudah hampir 10 menit berlalu.“Kang, bangun dulu!”Saat itu Kang Dadan malah sudah tidur pulas. Mungkin, benar jika ia sudah lelah. Namun, aku yang tak terbiasa tidur dengan suara yang bising, justru merasa sangat terganggu karenanya.Saat itu sadar, jika aku masih gelisah, akhirnya Kang Dadan mau membuka matanya.“Kamu di sini aja, biar Akang yang keluar!”Aku hanya bisa mengangguk pasrah. Lagi pula aku juga sudah tak punya energi untuk menghadapi keluh kesah ibu di jam larut begini.Dari dalam kamar, meski aku tak ingin mendegar percakapan mereka nyatanya suara ibu bahkan masih bisa

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-03
  • AKU INI BUKAN MENANTU SAMPAH   Bab 6

    “Kang…, sabar!” ucapku pelan, sambil mengusap lengannya dengan lembut.Namun, pria itu malah mengabaikanku. Padahal, sejak ia mengungkapkan semua kekesalannya ibu masih diam saja. Tak seperti biasanya di mana ia akan dengan lantang meneriakkan bantahan.“Sekarang Dadan belum punya keturunan, ibu salah-salahin terus Yasmin. Ibu pikir itu enggak nyakitin Dadan. Masih mending Yasmin yang masih muda, anak orang kaya mau nikah sama anak ibu. Orang desa sini, mana ada sih yang mau sama aku! Udah miskin, ditambah kelilit hutang juga. Sekarang aja mereka mau nyapa, dulu-dulu lagi kita susah. Aku jalan aja, mereka ngeludahin.”Aku tidak tahu tentang apa yang suamiku lewati selama ini. Ia bahkan tak pernah menceritakan hal ini padaku. Melihat suasana yang makin memanas, aku berinisiatif menarik Kang Dadan ke kamar. Membiarkan pria itu duduk di ranjang sambil melepaskan emosinya.Perlahan aku bisa melihatnya meneteskan air mata. Untuk pertama kalinya aku melihat suamiku begitu emosional pada ibu

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-09
  • AKU INI BUKAN MENANTU SAMPAH   Bab 7

    Saat itu Teh Nadia langsung mematikan panggilannya.Sudah dua kali aku menyaksikan suamiku tak bisa menahan emosinya. Padahal, biasanya ia yang paling sabar dan lemah lembut pada keluarganya.“Minum dulu, Kang!”Saat itu aku berinisiatif mengambilkan air, berharap hal itu mampu meredakan emosinya. Menyetir dalam keadaan yang tidak stabil juga tidak baik.Saat itu sekali lagi, Kang Dadan berbicara pada ibu di balik pintu kamar yang tertutup rapat.“Kami mau pergi, kalau ibu mau ikut hayu!”Ibu masih belum mau menjawab.“Dadan minta maaf, karena tadi udah kasar sama ibu. Kalau emang ibu masih mau sendirian, kami mau pergi sebentar. Mungkin baliknya agak telat.”Sayangnya, masih tak ada respons dari dalam.“Sekali lagi, kita pamit ya, wassalamualaikum.”Rupanya di luar rumah. Orang-orang masih berkumpul di dekat rumah kami.“Loh memangnya Bu Irah e

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-09
  • AKU INI BUKAN MENANTU SAMPAH   Bab 8

    “Ya, wajarlah istri ikut suami. Kamunya aja yang terlalu banget sama istrimu. Di mana-mana juga gitu. Orang-orang teteh kmau juga pada ikut suaminya.” “Yamemang wajar, tapi dia juga masih punya orang tua. Mau sampai kapan coba Ibu nahan dia buat silaturahmi ke sana. Sama-sama punya ank perempuan, harusnya ibu juga bisa ngerti. Tiap lebaran aja ibu suka sedih kalau Teh Dewi enggak pulang ke sini. Kenapa sikap ibu malah sebaliknya sama Yasmin? Lagian kita juga cuma pergi buat sementara, enggak selamanya.” “Ya sudah sana kalau mau pergi! Manjakan terus saja istrimu itu.” “Memangnya salah kalau suami mengantar istrinyapulang ke rumah orang tuanya, Bu?” ucapku yang sudah tako tahan lagi. Entah kenapa, semakin dibiarkan wanita ini terus saja menginjak-injak harga diriku. “Ya, kalau istrinya bener sih enggak apa-apa?” “Emang selama ini aku kurang bener apa? Hanya aku enggak punya anak ibu selalu saja menyudutk

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-10
  • AKU INI BUKAN MENANTU SAMPAH   Bab 9

    “Istighfar, Kang!” sambil memegang tangannya yang gemetar.Aku bahkan masih mengusap lembut punggung suamiku, berharap itu mampu meredakan amarahnya yang tengah meluap-meluap. Entah sudah berapa kali ia marah hari ini.“Maaf, harusnya Akang lakuin ini dari dulu. Jadi mereka enggak seenaknya nginjek-nginjek kita.”Aku tak pernah tahu apa saja yang dilewati suamiku di masa lalu, tetapi hanya mendengar percakapan mereka hari ini. Bisa kupastikan ia hidup dengan penuh tekanan, baik dari ibu yang suka memaksakan kehendak juga dari saudaranya yang egois dan selalu merasa benar sendiri.“Kalau, Akang mau egois. Mendingan tinggal sama Bapak dari dulu. Tapi, Akang enggak gitu. Kasihan juga Ibu, siapa yang mau nafkahin? Sudah penghasilan Bapak enggak seberapa dituntut sana sini.”“Yang Akang lakuin selama ini udah bener kok. Cuma kadang, respons orang itu berbeda-beda. Ada yang ¹ balas baik juga, tapi e

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-10
  • AKU INI BUKAN MENANTU SAMPAH   Bab 10

    Sebelum ia semakin panik, aku memilih keluar. Melihat pria itu dari kejauhan yang tampak kacau, hatiku tetap saja merasa iba.Beberapa orang mengerumuni Kang Dadan, ada yang menepuk pundak, mengusap punggung juga menasihatinya untuk tenang.“Kang.”“Alhamdulillah.”Tanpa banyak kata pria itu langsung menghambur memelukku. Mengabaikan pandangan orang-orang di sana.“Kamu ke mana aja? Akang pikir kamu pergi gitu aja,” katanya, masih saja tam mau melepaskan rengkuhannya.“Aku cuma ke toilet. Maaf ya, bikin Akang panik.”Saat itu, Kang Dadan baru mau melepaskan pelukannya.“Ngapain aja di toilet lama banget?”Belum juga menjawabnya Kang Dadan sudah memperhatikan tubuhku dengan sangat detail.“Kamu baik-baik aja, ‘kan?”“Sudah lebih baik dari pada tadi.”“Ayo masuk mobil aja. Di luat dingin banget gini, jaketny

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-10
  • AKU INI BUKAN MENANTU SAMPAH   Bab 11

    Saat itu suamiku hanya menarik nafas panjang. Entah apa yang akan dia pilih. Aku tak mau berharap banyak hal, lagi pula kurasa ini seperti buah simalakama. Jika dia ikut denganku, itu sama saja ia telah tega meninggalkan ibunya yang sedang sakit. Namun, sebaliknya jika ia kembali pulang. Itu sama saja membuatku sakit hati.“Tunggu sebentar!” katanya.Saat itu suamiku tampak mengaktifkan kembali ponselnya.“Akang telepon Teh Dewi dulu.”Saat itu entah apa yang mereka bicarakan. Kang Dadan memilih ke luar kamar. Sepertinya ia memang sengaja agar aku tak bisa mendengarkan percakapan mereka. Saat itu aku merasa suamiku pasti akan menjatuhkan pilihan untuk kembali pulang. Jadi, sambil menunggu ia kembali ke kamar, aku berinisiatif memisahkan pakaiannya. Kedalam ransel yang tadinya hanya berisi makanan.“Kok udah beres-beres aja.”“Pakaian Akang udah di ransel semua, jadi kalau mau pergi sekarang semuanya

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-11

Bab terbaru

  • AKU INI BUKAN MENANTU SAMPAH   Bab 62

    Sementara ibu melangkah menuju ke ruang tamu. Aku dan Kang Dadan memilih ke halaman belakang berkumpul bersama keluarga yang lain yang saat itu juga terlihat sangat ingin tahu apa yang terjadi. Aku sengaja tidak menjelaskan, aku pikir tidak baik juga menceritakan masalah seperti ini pada orang-orang yang tidak punya kepentingan.“Harusnya kalian juga temui, Nining! Kalian kan sudah makan emasnya. Terutama kamu Nad, kamu harus akuin keserakahanmu itu jika memang kamu bener mau berubah menjadi lebih baik,” ucap Teh Dewi.Kedua adik perempuannya itu lantas saling menatap. Sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk menyusul ibu ke ruang tamu.“Dan, Yas maaf kelakuan mereka bikin kalian jadi susah.”Saat itu Teh Dewi bukan hanya menatap kami bergantian, ia juga memegang kedua tangan kami sambil menyatukannya menjadi satu genggaman.“Teteh juga pasti banyak salah sama kalian, teteh harap apa pun yang terjadi kalian jangan pern

  • AKU INI BUKAN MENANTU SAMPAH   Bab 61

    Sepanjang jalan menuju rumah Juragan Asep banyak sekali tetangga yang mengajak kami bersalaman. Memang masih momen lebaran, jadi kami masih saling bermaafan. Namun, sepertinya orang-orang desa terlalu berlebihan. Permintaan maaf mereka seperti benar-benar dari hati, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Mungkin memang sebenarnya mereka juga merasa bersalah, karena ikut bersekongkol dengan Juragan Asep perihal pernikahan suamiku. Kebetulan sekali saat kami hampir sampai ke rumah Nining. Di jalan kami malah bertemu dengan Bu Odah. “Loh, kalian kapan datang?” tanyanya. “Sudah 3 hari yang lalu,” jawab Kang Dadan. Aku pikir Bu Odah akan marah atau mungkin bertindak anarkis. Ternyata dia dengan ramah menyapa kami. Wanita yang usianya sekutar 60 tahunan itu tampak lebih segar dan bugar dibandingkan pertemuan kami setahun lalu. “Yasmin, sehat?” “Alhamdulillah. Ibu dan Nining bagaimana kabarnya?” “Kami semua sudah lebih baik se

  • AKU INI BUKAN MENANTU SAMPAH   Bab 60

    “Loh, terus ibu mau tinggal sama siapa? Mau sama aku?”Teh Dewi mulai angkat suara.“Enggak, ibu juga enggak mau menyusahkan kamu. Kehidupan kau aja ngepas buat sehari-hari. Biarin ibu di sini sendiri. Mereka biar cari rumah sendiri.”Sontak saja Teh Nadia dan Teh Arum langsung menghambur dan berlutut di hadapan ibunya.“Bu, maafin Nadia. Aku tahu yang aku lakukan ini salah banget, tapi Nadia juga enggak tahu mau tinggal di mana lagi kalau bukan di sini, hiks.”“Tolong maafin Arum juga Bu, kami bener-bener enggak tahu harus tinggal di mana, hiks. Kami bahkan belum punya pekerjaan. Kami enggak tahu mau mulai kehidupan seperti apa?”“Waktu kalian mengusir ibu dari rumah, pernah enggak kalian mikirin ibu mau tinggal di mana dan bagaimana? Padahal, enggak setiap hari juga Ibu berkunjung ke rumah kalian.”Sekarang tangisan keduanya malah semakin menjadi.“Ibu selalu m

  • AKU INI BUKAN MENANTU SAMPAH   Bab 59

    “Benar kata Mas Aris, kalau sampai ibu masih gak sadar. Itu keterlaluan banget. Kalau sekarang ibu enggak mau ketemu, mungkin aja dia cuma perlu waktu buat nerima semuanya.”“Akang antar kamu pulang dulu, ya? Lagian hasilnya baru keluar besok.”“Memangnya ibu mau dirawat?”“Ia, biar enggak bolak balik. Sekalian mau cek kesehatan yangl ain. Dokternya baru ada besok pagi. Sekarang udah tengah malam gini. Kamu mau istirahat di mana coba. Mana enggak boleh masuk juga, ‘kan ada bayi,” ucap Kang Dadan.~Saat itu memang kurasa tak ada pilihan lain. Apa lagi memikirkan anak-anak yang juga butuh tempat yang layak.Kami bahkan tak diperkenankan masuk, karena membawa bayi.~“Ayo Akang antar! Percaya sama Akang, ibu enggak benci kamu kok. Dia cuma butuh waktu aja. Kita tunggu di rumah aja, ya?”Sebelum pulang Kang Dadan mala mengajakku untuk mampir di warung bakso f

  • AKU INI BUKAN MENANTU SAMPAH   Bab 58

    Aku masih berusaha untuk meminta tolong pada orang-orang di sana, termasuk para pedagang yang berada di sekitar lampu merah.“Aduh Neng, mana bawa-bawa bayi. Jangan nekat! Sudah tunggu aja di sini.”“Enggak bisa dong Mas, nanti kalau suami saya dipukuli bagaimana?”“Enggak, asal enggak cari masalah. Mereka enggak anarkis kok.”“Tapi, tadi katanya mereka suka mukul orang.”“Enggaklah, dasar aja orangnya enggak mau nolongin. Sudah tunggu saja di sini! Sebentar lagi juga keluar!”Saat itu ibu-ibu yang kebetulan lewat pun sampai menahan kutetap tinggal. Ia menarik lenganku, begitu erat.“Kalau ada.apa-apa, memangnya Neng enggak kasihan sama anak-anak?”Benar juga. Adanya mereka membuat gerakanku jadi terbatas.Sekarang aku hanya bisa pasrah sambil harap-harap cemas, menanti mereka yang tak kunjung keluar dari markas itu.“Memangnya ada urusa

  • AKU INI BUKAN MENANTU SAMPAH   BAB 57

    Aku bisa mengerti sesakit apa Kang Dadan mendengar kabar ini, ia sampai tak bisa berhenti menyalahkan diri.“Belum terlambat buat cari keberadaan ibu, Kang. Kita bisa cari sekarang juga kalau Akang mau. Mumpung kita di sini, kalau udah di Bali. Pasti ‘kan repot harus minta cuti dan sebagainya. Hayu, Akang mau sekarang? Aku temani!”Akhirnya setelah sekian lama ia terus menunduk sambil merenungi kesalahannya, pria itu menatapku.“Kamu bahkan lebih peduli sama ibu dari pada anak-anaknya.”“Setelah aku merasakan hamil dan melahirkan, aku jadi tahu Kang jadi ibu itu enggak mudah. Apa lagi merawat anak-anak. Aku cuma belajar menempatkan diri, kalau aku di posisi ibu bagaimana? Pasti aku juga akan melakukan hal yang sama. Siapa yang enggak akan merasa bersalah, melihat cucunya kritis dan hampir meninggal, karena kesalahan kita sendiri.”“Iya, tapi semua itu bohong.”“Ibu mana mengerti mas

  • AKU INI BUKAN MENANTU SAMPAH   Bab 56

    “Mafin aku Yas, kami bener-bener khilaf saat itu. Begitu melihat lemari ibu yang penuh dengan emas Batangan dan perhiasan. Kami jadi kalap dan malah menginginkan semuanya.”“Jangan-jangan ibu bukan kabur dari rumah, tapi Teteh yang usir dia.”“Soal itu, hm sebenarnya untuk masalah anakku yang di klinik jugahanya akal-akalan kami. Awalnya Anita memang mengalami konstipasi, tapi keadaannya tidak terlalu serius. Jadi, cukup diberikan obat saja juga sudah baikkan.”“Kalau memang begitu, kenapa Teteh malah melebih-lebihkan seolah-olah yang ibu lakukan itu sampai mengancam nyawa Anita?”Anita adalah anak kedua dari Teh Nadia, usianya belum menginjak 6 bulan. Jadi, ia tak seharusnya mendapatkan makanan selain ASI. Aku pikir memang benar, jika anak itu dalam keadan yang kritis. Ternyata hanya akal-akalan saja.Memang benar ya, buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya. Sikapnya persisi seperti Bu Irah. Sek

  • AKU INI BUKAN MENANTU SAMPAH   Bab 55

    “Kenapa sih dia?” tanya Teh Dewi dengan gaya culasnya.Namun, saat itu malah disenggol oleh Mas Aris.“Samperin sana! Adik kamu itu! Tanyain kenapa dia pulang sendiri? Mana malam-malam, ke mana suaminya?”Benar juga, tak biasanya Teh Nadia pulang kampung sendirian. Selain katanya tak biasa naik angkutan umum yang panas dan berdesakkan dengan pemudik lainnya.Ah, aku jadi ingat bagaimana angkuhnya saudara iparku itu.“Tunggu Teh, jangan ke dalam dulu! Aku mau ngomong sesuatu. Mumpung semua sudah kumpul di sini!”Teh Nadia yang saat itu hendak masuk pun mendadak kembali.Aku bisa melihat kegugupan di wajah Teh Arum, sesekali ia melirik ke arahku lantas ke arah suaminya. Yang saat itu bahkan sama tegangnya. Aku bahkan bis melihat ia seperti mengancam istrinya itu dengan tatapan tajamnya.“Sayang ada apa sih, kok Teh Arum dari tadi lihat kamu.”“Dengerin aja, nanti juga t

  • AKU INI BUKAN MENANTU SAMPAH   Bab 54

    “Teteh sebenernya kenapa? Yas bingung, kalau cuma mau minta maaf sudah jauh-jauh hari aku suda maafin kok. Tapi, ini perhiasan siapa? Kenapa dikasih ke aku?”Ada rahasia apa sebenarnya. Aku sangat bingung sekarang. Apa lagi tangisan Teh Arum juga semakin memilukan.“Kita cerita di kamarku saja yuk, biar enak. Kan ada anak-anak juga takut pada ke dapur.”Aku hanya takut, jika mereka mengetahui kesedihan bundanya. Itu tidak akan baik bagi mental mereka.Akhirnya aku hanya bisa memaksa wanita itu untuk pindah dari dapur.Di kamar, aku dibuat semakin bingung ketika Teh Arum tak mau menghentikan isakkannya. Aku hanya bisa mengusap punggungnya demi meredakan sesaknya, yang kuyakini ia past sudah menahan luka ini sekian lama.Lantas hari ini selayaknya bom yang siap meledak kapan saja. Kali ini mungkin waktunya.“Teteh, aku tahu pasti sakit banget denger kayak gini, tapi udah coba omongin belum sama Kang Ajunnya

DMCA.com Protection Status