Home / Romansa / AKU BUKAN SEORANG PELACUR / v. Bertemu Pelanggan

Share

v. Bertemu Pelanggan

Author: POMME
last update Last Updated: 2022-09-02 09:17:42

“Aku hanya percaya fakta. Kau harus membuktikan ucapanmu kalau tidak mau aku memberikanmu kepada para lelaki hidung belang yang membutuhkan seks.”

“Apa yang harus kulakukan?”

Aku melempar napasku, mengepalkan tangan kiriku dengan secercah harapan kalau Gerry bisa menilai keseriusanku, dan mau mempertimbangkan kembali keputusannya soal ini. Hatiku sakit. Aku benar-benar tidak mau melakukan hal kotor seperti ini, dan aku harus bekerja besok. Aku tidak bisa absen mendadak, terlebih, dengan tanpa memberi keterangan. Akan lebih sukar untukku jika aku harus dipecat karena hal penting yang kusepelekan kendati ini di luar kendaliku. Sebab, mencari pekerjaan di ibukota bukanlah perkara gampang. Semua orang bersaing dengan nilai tinggi dan kemampuan. Bahkan, sebagian, menyogok dengan menyetorkan banyak uang.

Gerry adalah orang yang paling sering mengamatiku sekarang. Bibirnya yang dia basahi kelihatan berkilau di bawah cahaya lampu, sebelum kemudian jemarinya ikut terangkat naik dan mengusapi pelan.

“Buka gaunmu.”

“Apa?”

Aku membelalak, kaget.

“Bukaㅡkembaliㅡgaunmu. Aku ingin memastikan.” Suaranya terdengar memerintah, dan mengundang tungkaiku untuk spontan mundur ke belakang, merasakan benturan punggungku yang menabrak dinding ketika Gerry maju sembari menatapiku tanpa ekspresi.

“Apaㅡapa yang kaulakukan?!”

“Diam.”

“Tidak. Jangan!”

Aku berteriak, namun, sepertinya apa yang Gerry katakan benar. Suara yang kulantunkan barusan hanya memantul, dan aku bisa mendengarkan nadaku yang bergetar.

Gerry mengambil kasar kedua tanganku, kemudian mengangkatnya ke atas kepalaku dan menjadikan satu. Terbentang lurus di dinding bersama tangan kanannya yang mencengkeramku dengan begitu kuat, dan membuatku segera menilai kalau dia bahkan bisa mematahkan tulang belakang dan pinggangku dengan hanya menarik leherku, dan membantingku dalam sekali gerakan.

Basah. Air mataku gugur, mengalir ke pipiku ketika aku cuma sanggup untuk memejam, membiarkan Gerry menggunakan tangan kirinya menurunkan resleting belakang gaunku dan melucuti pakaianku. Aku menggelengkan kepalaku berulang kali, menangis dengan suara yang nyaris menghilang kala sedetik langsung kurasakan kelima jemarinya masuk ke dalam celana dalamku, mengusap kemaluanku, dan mencoba menusukku, kendati, suara kerasnya kemudian tiba-tiba justru mengejutkanku.

“Berengsek!” pekiknya.

Aku mendekatkan kepalaku ke bahuku, masih memejam rapat. Seolah bersembunyi.

Gerry menarik tangannya, mengambil daguku untuk dihadapkan lurus ke depan lagi, dan membuatku secara perlahan membuka kembali mataku meski dengan ragu, mendapati wajahnya yang begitu dekat dengan wajahku. Bahkan, rasanya bak kami sedang berbagi napas. Semerbaknya, aroma pakaiannya, dan aku harus menelan pilu ludahku lagi, menghadapi sepenggal kenyataan memalukan yang belum pernah kualami oleh diriku sebelumnya, bahwa, saat ini aku cuma punya pakaian dalam yang menempel lekat di tubuhku, serta riasan jelek karena air mata yang terus jatuh mengalir ke pipiku, tanpa henti, di hadapan Gerry ㅡlelaki yang baru kukenal kemarinㅡ yang tampak siap menerkamku.

“Jangan menangis. Pakai lagi gaunmu. Seseorang... akan datang kepadamu.”

Aku merasakan pedih di kedua pergelangan tanganku ketika dia lantas melepaskan cengkeramannya, dan mendadak berpaling dari mukaku. Tenggorokanku kering. Tidak. Aku tidak bisa memahami ini, aku tidak mampu membaca karakternya. Aku ketakutan.

***

“Cium milikku, Sayang.”

Malam paling gelap mendatangi hidupku. Bibirku kebas, dan mataku pedih. Gerry yang kukira akan sedikit berbaik hati padaku, nyatanya tidak. Bersama ketidakberdayaanku, aku sungguh berakhir di sini, di sebuah kamar besar yang menghadirkan seorang lelaki tua berusia lima puluh tahunan, berdiri di hadapanku sekarang, sementara, aku sedang duduk menahan kedua lututku di lantai. Sambil memegangi paha sampingnya yang celananya sudah melorot dan jatuh sampai ke tumit.

Mungkin, sudah setengah jam semua berlalu usai Gerry mengantarku menuju ruangan ini, dan meninggalkanku pergi dengan selembar senyum masam yang dia sanjung kepada lelaki ini. Entah, apa maksudnya. Pada akhirnya, tidak ada yang bisa kulakukan selain menjadi perempuan hina dalam satu malam panjang, daripada merelakan badanku dihajar oleh Gerry, atau aku malah disekap lagi dan tidak akan pernah diizinkan 'tuk rasai hari esok.

Aku mengejap, menahan rasa mau muntahku ketika kukecup kemaluannya untuk kali terakhir, dan sesuai kesepakatan, kemudian kami usai. Aku benar-benar muak dengan semua kesombongan yang dia pamerkan padaku. Tentang hartanya, tentang usaha kafenya, bahkan tentang keahliannya dalam berselingkuh. Mengkhianati istrinya.

“Oh, kau sungguh polos.” Dia terkekeh, menaikkan lagi celananya yang bergaya usang ketika aku sungguh selesai dengan itu dan buru-buru berdiri, menjauhkan badanku sebanyak dua langkah selayaknya yang selalu aku lakukan sejak aku datang dan perlu menenangkan napasku sendirian.

Jemariku yang basah bekas spermanya terasa menjijikan. Aku mencoba menghilangkan aromanya dengan meremas kain gaunku. Sebuah bau yang menyengat, dan asin saat cairan tersebut sempat sedikit mengenai lidahku. Nyaris membuatku meludahkannya ke wajahnya, dan mengambil vas bunga dari keramik untuk kuhancurkan di kepalanya, walaupun, semua cuma khayalan yang terkurung dengan apik di benakku. Aku justru harus mendengarkan suaranya yang mengerang, dan mengucapkan nama palsuku, tepat di telingaku ketika kami masih sama-sama berdiri.

Beberapa lembar kertas berwarna merah kemudian terbanting ke kasur ranjang. Aku langsung mengangkat wajahku, dan secara bersamaan, bisa kusaksikan lelaki tua itu sedang tersenyum ke arahku sembari menengadahkan lengannya, dan menunjuk ke uang-uang tersebut yang kuperkirakan mencapai hampir delapan ratus ribu rupiah.

“Ambil untukmu. Pastikan kau membeli makanan lezat setelah ini.”

Aku menganga. Tidak yakin.

Suara sabuk yang dia tarik di pinggangnya terdengar. Aku masih berdiri, tercekat. Ada ketidakmengertianku yang ingin kupertanyakan, namun, kepergiannya yang tanpa basa-basi menjadi alasan di mana aku lantas cuma menutup mulutku lagi dengan rapat, dan menemukan presensinya telah lenyap.

Sekelebat getaran mendadak mengisi kepalaku. Aku mulai menyadarkan diri untuk melangkahkan kaki ke ranjang, dan itu benar, ada uang delapan ratus ribu rupiah yang telentang menghadap diriku di kasur. Apa ini? Apakah aku sudah menjadi seorang pelacur sungguhan? Setitik air mata yang sudah kukantongi di pelupuk mataku kembali hampir jatuh manakala bunyi pintu mendadak mengganggu lamunanku, dan sosoknya yang selanjutnya kulihat sedang berjalan ke diriku.

“Apa kau tidak suka uang? Jika benar, itu menakjubkan.” Gerry terkekeh, membenarkan letak jam tangannya, dan mengisi ruang di depanku. “Ambil. Itu milikmu. Semua yang pelangganmu beri untukmu adalah milikmu.”

Aku hanya memandangi matanya tanpa berbicara, namun, tiba-tiba dia hanya mengambil uang itu untuk diselipkan ke dalam gaunku dengan lancang, melalui bagian dadaku.

“Gerry...”

“Itu tidak seberapa, kau bisaㅡoh, hei,” Dia membulatkan matanya, dan itu, kian meninggalkan kesan kuat kalau Gerry adalah orang yang senang berkuasa, atau memang dia tipe yang tidak mau kalah. “Apa? Apa itu tadi? Kau menyebut namaku untuk pertama kali?”

Satu napas dalam. Aku memejam, dan berkawankan keinginan hebat yang meledak ketika kubuka kembali mataku, menengadahkan wajah, menatap tegas Gerry dengan berani.

“Aku, ingin pulang.” []

POMME, 2022.09.02.

Related chapters

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   vi. Disekap

    Tidak ada ponsel. Tidak ada dompet. Aku kembali ke ruangan sempit ini lagi dengan sedikit rasa keram di bagian pergelangan tanganku. Gerry menyeretku ketika aku mencoba untuk memberontak, mengumandangkan keinginanku berulang kali kalau aku hanya ingin pulang, menjalani kehidupan normalku lagi seperti biasanya. Aku tidak bisa dikekang seperti ini, dan kegelisahan itu menghantam pikiranku lagi; aku, harus bekerja besok, dan juga hari-hari seterusnya.Bunyi kenop mengagetkan lamunanku. Gerry, masuk dengan sebuah kantong plastik besar di tangannya. Berjalan ke meja, dan memindahkan kursi ke depanku. Duduk di sana dengan memberangkangi punggung kursi.“Kau harus makan. Badanmu tampak lemas. Apakah... memuaskan lelaki berumur semelelahkan itu?” Senyumnya kelihatan tipis, dan baru kusadari, ada titik hitam yang tertanam di dekat bola matanya ketika kupandangi itu dengan ribuan kebencian yang terlukis jelas di dalam kedua netraku. Aku diam. Tidak ada ekpresi lain yang bisa disimpulkan dari w

    Last Updated : 2022-09-03
  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   vii. Sakit

    Sore hari yang masih sama kelam seperti kemarin. Jasmine terduduk lemas di kursi yang dia tarik ke depan jendela. Senyumnya tenggelam dalam, dan akalnya berkelana sangat jauh, melintasi milyaran mega-mega putih di sekeliling matahari yang tampak muram baginya. Bahkan langit seolah ikut menangis untuknya, melantunkan sebuah lagu paling sedih. Apakah semua yang sedang dia alami adalah pantas untuk disebut hidup?Sendu. Pandangannya hanya sanggup bergelandang ke pepohonan tinggi yang sedang diam. Angin sudah berhenti berembus semenjak dia merasakan jiwanya mulai mati. Kosong. Hampa. Jasmine merasa kalau dirinya bak tubuh yang berjalan tanpa raga. Apa pun penolakan yang dia lakukan, semua hanya kembali kepada satu jawaban yang tak pernah berubah : terpental ke ruangan ini lagi, dan dibayangi oleh kematian. Entah mati karena Gerry yang kemungkinan besar akan membunuhnya jika dia terus menerus melakukan perlawanan ㅡdan fakta mujur tentang lelaki berengsek itu yang benar psikopat, atau justr

    Last Updated : 2022-09-04
  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   viii. Skenario

    Sembilan jam berlalu. Jasmine kembali mendaratkan bokongnya di kursi, masih di hadapan dunia luar yang kini tampak abai kepada dirinya. Napasnya lemah. Sepotong khayalan jauh terpatri di kepalanya, membayangkan kalau seandainya masa depan bahagia yang dia impikan hanya berubah menjadi alur kehidupan pahit yang tidak pernah menjadi bagian dari cerita baik yang dia inginkan. Terkurung di sana sendirian, dengan cairan bening yang nyaris selalu muncul di pelupuk matanya. Seakan-akan dia memang akan berada di tempat itu. Selamanya.Papa, Mama. Terkadang dia merindukannya, dan sekarang, perasaan itu menjumpainya lagi. Jasmine dan kedua orang tuanya sangat dekat ketika dia masih kanak-kanak dahulu, dan hidup dengan kesederhanaan. Mama selalu mengajaknya bercengkerama, dan Papa kerap memberinya lelucon-lelucon kuno. Namun, seiring bertambahnya usia, berlalunya waktu, dan nasib buruk yang perlahan memudar, kehidupannya mulai berubah secara magis.Jasmine tidak begitu sering lagi mendengar suar

    Last Updated : 2022-09-05
  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   ix. Kabur

    Gemetar. Pada kenyataannya aku memang tidak pandai berbohong. Jantungku berdetak amat cepat, dan bola mataku goyah ketika Gerry kembali memangkas sedikit jarak yang tersisa di antara kami. Bau krim rambut yang dia pakai menjelajah ke hidungku, dan aku hanya punya napas yang kutahan secara halus di antara kedua irisnya yang menatapiku, lekat.Jemariku dingin. Gerry menjamuku sepenggal seringainya lagi yang kini datang bersama suara kecil burung gereja. Ekspresinya nakal. Sementara aku sedang menarik urat leherku yang menegang, kaku. Perutku mulai berkeringat. Berusaha kabur dari Gerry bukanlah perkara mudah semenjak awal, dan rasanya bak menyeberangi sungai berombak untuk bisa mencapai tepian terjal. Sulit sekali.“Aku... tidak bisa kalau harus langsung menjawabnya sekarang. Bisa beri aku waktu?”Aku melirikkan ekor mataku ke meja, memberi kode padanya terhadap apa yang dia bawa ke kamar ini untukku. Sebuah kantong plastik makanan, dan paper bag besar. Masih utuh di sana. Aku tahu kalau

    Last Updated : 2022-09-07
  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   x. Sebuah Keputusan

    Aku mencoba menata diriku lagi, di hadapan indekos Jakarta yang kecil. Mungkin untuk sementara, akan lebih baik kalau aku menghindari apartemenku dahulu. Gerry sudah pasti akan menghubungi Daniel, mencariku. Aku tidak mau ceroboh. Cukup sekali, dan aku hanya berharap tentang hal-hal baik yang bakal terjadi kepada hidupku. Bukan pelecehan.Seorang perempuan pemilik bangunan bertingkat delapan pintu ini datang menyambutku. Senyumnya yang ramah mirip seperti senyuman Mama yang sering kuterima sewaktu aku masih kecil. Bahkan, rambut sebahunya yang dibiarkan tergurai, ditabrak sekelompok angin. Beliau berjalan ke arahku, dan setelah dekat, aku bisa menilai sifat lembutnya. Serta begitu keibuan. Mengundangku buat ikut tersenyum, meski kaku, sembari mengusap lamban tengkukku.“Ada yang bisa saya bantu, Nak?”Bingung. Aku menggigit bibirku. Tidak tahu bagaimana caraku harus memulai pembicaraan kami. Aku tidak memiliki dompet yang menyimpan seluruh identitasku, pun ponselku yang sampai saat in

    Last Updated : 2022-09-08
  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xi. Pulang ke Apartemen

    Aku masih tidak percaya kalau kebaikan yang beliau miliki tidak hanya berhenti pada satu hal manis yang dia beri kepadaku. Selain tidak mengizinkan aku untuk membayar uang sewa, aku juga selalu diajak untuk menemaninya makan bersama. Tiga kali dalam sehari. Beliau bilang bahwa sudah hampir delapan tahun kehidupannya hampa dan sunyi. Suaminya telah meninggal, tepat dua hari setelah mendengar kabar akan Grace ㅡanak merekaㅡ yang tak lagi bernapas, dan mengharuskannya untuk menjalani kesehariannya sendiri, mau tidak mau. Sebab, menurutnya, begitulah jalan hidup yang memang Sang Maha Pencipta peruntukkan untuknya, dan beliau mencoba menerima itu dengan keikhlasan, menjalani takdir miliknya.Sudah tiga hari sejak terik panas matahari Selasa pagi menyaksikanku kabur seorang diri dari hotel keparat itu. Banyak waktu yang seharusnya berharga terbuang di antara ketakutanku yang nyatanya masih menyala meskipun telah berada di tempat ini; tempat yang aman untukku. Aku sudah memutuskan untuk pergi

    Last Updated : 2022-09-09
  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xii. Lelaki Berengsek

    Bola mataku membelalak, lebar, dan napasku seketika terengah, seperti akan mati dalam beberapa detik dari sekarang. Aku langsung membanting pintu, menendang sekuat tenaga dengan kakiku kendati itu cukup terlambat ketika Gerry juga spontan memajukan badannya, menahan agar pintu tetap terbuka, dan mengizinkan tangannya untuk lolos, mencengkeram bahuku sambil mencoba merampas sapu yang berada di tangan kiriku.Aku berteriak, menjerit kencang hingga suaraku serak. Berharap ada seseorang datang. Setidaknya, melaporkan ini ke security, dan kembali ke sini dengan bantuan. Aku sungguh tidak mau semua itu terulang. Aku sudah bersumpah untuk tidak bakal menyentuhkan tubuhku di tempat kotor itu lagi. Aku hanya ingin hidup normal bak perempuan lain seusiaku. Bekerja, dan bertahan dengan cara yang benar. Bukan begini, dan dikekang.Gerry melempariku tatapan paling tajamnya ketika aku nyaris sukses merapatkan pintu, merasakan sakit akan kuku-kukuku yang bak lepas. Dengkulku gemetar, dan sebagian ra

    Last Updated : 2022-09-10
  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xiii. Obsesi

    “Jadi, kau bukan seorang pendusta, Manis. Tolong maafkan aku sepenuh hati. Aku terlalu tidak percaya kepadamu, dan Daniel, pasti akan sangat marah mendengar kabar ini.” Gerry duduk menyilangkan kakinya di sofa dengan sebatang rokok yang terapit di sela jemarinya. Asap pekat terbentang di atas wajahku. Sedangkan, aku masih di sini, terbaring di lantai dengan celanaku yang masih tergeletak di samping kakiku. Bajuku sobek, dan bibirku bengkak, berdarah. Aku teramat malu untuk bangun dan mendapati diriku sendiri, walau, sesungguhnya aku memang tidak sanggup buat berdiri. Seolah benar kalau ini adalah hari kematianku. Hari di mana aku meninggalkan semuanya, dan pergi ke dunia yang lebih tenang.Hanya setengah jam. Namun, aku merasakan badanku benar-benar hancur. Aku masih terengah, dan kemaluanku berdenyut, pedih. Suara Gerry yang mendesah terus terngiang di kepalaku, bahkan ekspresinya, seluruh perbuatannya yang tidak akan pernah bisa kumaafkan seumur hidupku. Tidak akan rela.“Berikan nom

    Last Updated : 2022-09-11

Latest chapter

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxxviii. Kematian

    Kaleng minumanku sudah kosong.Aku duduk bersandar di pinggiran ranjang dengan kedua kaki yang kembali kutekuk, menghadap ke pintu yang ditutup. Setengah jam telah berlalu, dan jemari kananku sibuk mengetuk punggung tanganku yang melingkari betisku usai kukatakan kepada Adam kalau aku memiliki keputusan yang sulit; sebuah jawaban yang tidak pasti. Aku merasa bahwa pertemanan kami masih cukup jauh untuk sampai pada titik yang harus melibatkan kehadiranku di rumahnya, meskipun, setengah dari isi hatiku yang lain telah semakin meyakininya jika dia mungkin adalah salah satu bagian dari takdir yangTuhan mau untuk hidup baruku saat ini.Aroma harum sampo di rambutnya masih tercium. Adam tersenyum bersama anggukan kecil yang dia layangkan sebagai satu tanda pengertiannya padaku terkait trauma itu lagi dengan tanpa perlu kembali kujelaskan, dan aku melihat dia mengeluarkan lagi ponselnya, mengangkatnya di dalam udara kosong yang menengahi antara bahunya dan bahuku.“Semua hal baik butuh prose

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxxvii. Bercengkerama

    “Untuk seseorang yang tinggal jauh dari keluarga seperti kita, bukankah rasanya sangat menyedihkan jika makan sendirian? Setiap kali aku melakukan itu, aku selalu melamun, memikirkan apa yang sebenarnya terjadi dengan hidupku.” Adam menjilat bibirnya yang berminyak, dan menatap diriku yang spontan tertawa mendengar pernyataannya, menghargai kejujuran demi kejujuran dari mulutnya yang membuatku sesekali bertanya di dalam kepala : kenapa dia harus mengatakan itu semua kepadaku? Sedangkan aku masih menganggap kalau pertemuan kami sejak hari pertama sampai hari ini yang bahkan belum terhitung satu bulan ialah saat-saat di mana sebaiknya kami berdua tidak langsung membuka diri dengan mudah, meskipun, aku sendiri tidak mengerti mengapa aku memberi tahunya tentang trauma yang seharusnya kututupi dengan rapat.Aku tertawa kecil ketika mengangkat sumpitku yang membawa beberapa helai jajangmyeon berpotongan agak tebal. Beberapa tembang lagu telah berganti, dan mataku mulai menyebarkan sorotnya

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxxvi. Malam di Kamarnya

    Senyap. Kegaduhan yang tadi ikut menyinggahi kamarku dari berbagai macam suara kini hanya seakan-akan menghilang. Nyaris binasa dengan sangat amat sempurna di antara tubuhku yang sekarang sudah duduk di atas karpet lantai berwarna cokelat sambil menekukkan kedua lutut, di depan dinding yang memiliki banyak tempelan kertas bergambar lumba-lumba, dan sketsa wajah orang ㅡsebuah terkaan yang tidak meleset dari perkiraanku kalau Adam adalah lelaki yang rapi semenjak aku menyadari bahwa pakaiannya tidak pernah kusut, dan itu cukup mengagumkan ketika bisa kudapati bantal-bantal di ranjangnya yang tersusun demikian apik bersama seprei yang dipasang kencang, tirai jendela yang bersih, dan buku-buku yang ditempatkan dengan tepat.“Aku tahu kau sedang mengagumiku.”Dua cangkir besar berisikan teh hangat agak berasap di nampan menjamuku. Adam menaruh pantatnya di sampingku sementara aku langsung mengatupkan bibir, dan menoleh cepat untuk menemukan wajahnya usai dia memunggungiku selama beberapa m

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxxv. Kerinduan?

    Jakarta yang sangat luas sekarang hanya berubah menjadi kota kecil yang konyol ketika aku bisa mendapati masa laluku lagi di antara banyak manusia serta jalanan yang kulalui untuk menjauhi semua nahasku. Aku mundur beberapa langkah, bersembunyi dengan cepat di balik rak tisu. Tidak menyangka kalau aku tetap akan dipertemukan kembali dengan mantanku yang berengsek setelah seluruh hidupku dihancurkan olehnya, membuat sekelebat pertanyaan itu melintas. Apakah semudah itu untuknya melupakanku? Daniel yang kukira sedang merenungi perbuatan paling kejamnya kepadaku pada kenyataannya terdengar seperti omong kosong yang terlalu kupaksakan seorang diri. Dia tidak begitu. Dia akan tetap sama sampai semua utangnya lunas, bahkan, bila itu harus merayu perempuan yang usianya jauh lebih tua dari dirinya.Aku membungkuk, mencoba mengintip mereka berdua secara hati-hati. Suasana yang tiba-tiba hening membuatku dapat mendengarkan suara Daniel yang lembut ㅡselembut ketika dia merayuku untuk mendapatkan

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxxiv. Salah Menilai

    Hari Minggu datang ke dalam kehidupanku usai rasanya aku sudah melewati ribuan hari, jutaan angin malam, dan miliaran ombak. Sesuai dengan kesepakatan yang kutandatangani di surat kontrak pekerjaan, aku baru diperbolehkan libur jika telah masuk bekerja selama empat belas hari tanpa boleh mangajukan izin sama sekali, dan aku berhasil melewati dua minggu itu dengan baik. Meskipun lelah, walaupun tulang punggungku seolah nyaris patah, aku tidak boleh menyepelekan tanggung jawabku kalau tidak ingin atasanku memecatku, dan membuatku tidak mendapatkan gaji utuh sebelum genap satu bulan yang langsung dihitung dari hari pertama aku mulai masuk bekerja.Aku bersandar di ranjangku, mengamati kuku-kuku tanganku yang catnya sudah jelek. Aku ingin menghapusnya, dan menggantinya dengan warna merah. Terasa akan sangat cocok dengan warna kulitku yang tidak terlampau putih, dan jemariku yang cukup panjang. Juga, sebenarnya, aku sudah menyiapkan beberapa kutek baru yang semalam kubeli dari sebuah toko k

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxxiii. Kejujuran Lisa

    Canggung. Aku kembali berbaring di ranjang, bersama tubuh Lisa yang sekarang berada di sampingku. Parfumnya tak lagi tercium, namun, bau lotion yang dia pakai terasa begitu harum untuk menghambur ke hidungku, seperti aroma bunga yang lembut, bercampur dengan dedaunan. Lisa bilang, dia tidak bisa tidur karena penyakitnya, dan sebenarnya, kebiasaan itu selalu terjadi kepadanya selama nyaris setiap malam yang dia bilang kalau biasanya dia akan mengatasi itu dengan cara menonton film, kemudian membuat matanya akan memejam usai lelah, dan tertidur. Tetapi, tidak kali ini. Dia sudah menonton film, namun, matanya tetap terus terjaga. Tidak bisa tidur.Napasnya yang tadi terdengar di telepon, kini berembus di sampingku. Aku mencoba untuk menahan napasku sendiri sambil memaksa menurunkan jempol kakiku yang berdiri tegak, mendapati Lisa sedang memainkan ponselnya, menghadap ke tubuhku yang hanya telentang, diam menatapi langit-langit kamar. Tidak tahu apa yang seharusnya kulakukan selain berusa

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxxii. Bermimpi

    “Apa yang kaulamunkan di jam kerja, hm?” Oliv memiliki keingintahuannya yang mengejutkanku di atas kursi. Dia datang dengan alis menukiknya bersama sebuah senyum datar yang terbentuk di wajahnya tatkala tangannya menarik satu kursi kosong, dan ikut duduk di sana, di sampingku. Sementara aku hanya menggeleng, dan mengambil sebotol minuman dingin berwarna hitam bersoda yang telah kubuka penutupnya, lalu meninumnya.Hari ini, kami cukup disibukkan dengan sekelompok anak sekolah yang tiba-tiba turun dari bus pariwisata, dan menyerbu toko ini. Sangat melelahkan, namun sebenarnya aku cukup bersyukur karena setidaknya itu dapat mengurangi sedikit kemelut yang melanda pemikiranku.Tidak. Ini bukan soal Lisa lagi.Tadi malam, aku bermimpi sesuatu yang aneh. Di dalam mimpi itu, aku melihat Daniel, setelah sekian lama, dan setelah aku hampir bisa melupakannya. Dia sedang melambaikan tangannya kepadaku, dari kejauhan, dan sebenarnya aku tidak bisa melihat jelas ke wajahnya. Entah apa yang ingin d

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxxi. Cemburu

    Sudah pukul sembilan. Waktu berlalu dengan sangat cepat ㅡseakan-akan bergilir begitu saja, tanpa terasa. Adam, dan aku telah memutuskan untuk pulang meski sebenarnya aku masih ingin berada sedikit lebih lama lagi di sana, menikmati rembulan, dan bertemankan angin malam yang terasa sejuk menciumi kulitku.Jalanan kota yang masih ramai kembali mencuri perhatianku. Entah sejak kapan aku mulai ingin mengagumi, mengesampingkan kesimpulanku yang selalu bilang jika tinggal di kota ini, adalah sebuah kutukan dimana kita harus punya pekerjaan, serta rumah, menjadikan itu sebagai dua hal wajib yang harus dimiliki untuk bisa menetap dengan cukup tenang di kota ini. Jakarta selalu menyala, dan terasa keras untuk orang-orang yang lemah. Tak jarang ada berita bunuh diri yang terjadi setiap harinya, diumumkan di seluruh penjuru melalui televisi, media sosial, maupun surat kabar. Satu hal pun lantas menjadi kejelasan masuk akal yang paling sering terkuak, bahwa, nyaris seluruh penyebabnya, ialah kare

  • AKU BUKAN SEORANG PELACUR   xxx. di Bawah Langit

    “Aku sangat bersyukur kalau kau menikmati tempat ini.” Suaranya diberkati oleh ketulusan ketika dia menggelar selembar karpet berwarna biru tua di depanku yang barusan dia sewa dari pedagang karpet di dekat pintu masuk. Adam sempat ingin membelinya, namun aku mengatakan jika hanya meminjamnya dengan membayar biaya selama beberapa jam, mungkin akan lebih baik. Dia tidak perlu repot untuk membawanya di tangan selama perjalanan pulang kami berdua nanti.Aku kembali tersenyum, menghadapi keasingan itu yang agaknya cuma singgah sebentar ke dalam diriku. Aku telah menjadi seorang Jasmine lagi yang sekarang sedang memejam, menikmati angin segitiga yang menggesek pipiku.Pernyataan yang terlontar dari bibirku kepada lelaki itu memang benar, bahwa, masa laluku ketika aku masih menjadi seorang anak kecil yang polos spontan memang bak ditampilkan lagi di depan mataku. Aku seolah bisa melihat diriku yang masih berbadan kecil dengan rambut kepang tengah berbaring sambil meletakkan kepala di paha M

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status