Wanita itu, wanita yang kini sedang duduk di hadapan Aslan tidak lain adalah Gina, kekasihnya. Bukankah itu hal yang wajar jika Aslan mengajak Gina ke tempat yang elit seperti ini? Namun tidak untuk hati Anna. Ia merasa tindakan Aslan kali ini sangat tidak bisa dimengerti.Mendengar pernyataan cintanya seminggu yang lalu, ia bahkan sudah berjanji untuk melepas Gina. Dan apa yang ada di hadapan Anna sekarang berbeda dengan ucapan pria yang sangat dipercaya oleh Anna itu.'Tidak, pasti Aslan mengajak Gina kesini untuk mengakhiri segalanya.' Hati dan pikiran Anna seolah memberontak hebat melawan pandangannya saat ini.Anna bahkan tidak sudi memutar kepala menghadap mereka berdua. Dalam hati kecilnya sungguh ia tidak sanggup menghadapi kenyataan yang mulai mengusik hati dan pikirannya kini. Anna semakin terdiam. Ingin rasanya ia beranjak dari tempat ini agar pikiran buruk yang menghantuinya sirna begitu saja.Galih yang mengamati perubahan sikapnya secara diam-diam mulai mengalihkan pembi
Pertemuan Gina dan Aslan tidak begitu lama. Aslan akhirnya memaksa Gina untuk segera kembali ke rumah setelah melihat pemandangan yang sama sekali tidak ia harapkan. "Ada apa sih Bi, kau menyuruhku cepat pulang?" Gina bertanya dengan polos saat mereka sudah berada di depan restoran. Tentu saja Gina tidak mengetahui keberadaan Anna yang datang bersama Galih. Jika Gina mengetahuinya, pastilah akan beda lagi ceritanya."Aku akan menyuruh Pak Budi mengantarmu pulang. Kau pulanglah duluan! Aku masih ada urusan penting." Ucap Aslan datar sembari memainkan ponsel menghubungi seseorang."Kau tidak mau mengantarku?" Gina seolah tidak percaya dengan ucapan Aslan.Namun Aslan tetap fokus pada ponselnya. Ia seakan tidak peduli dengan ekspresi Gina."Aslan! Aku sedang bertanya padamu!" Gina menaikkan nada suaranya saat mendapati Aslan sama sekali tidak menghiraukan dirinya."Apa kau tidak mendengar ucapan ku tadi?" Aslan kembali bertanya dengan lebih lembut. Membuat Gina yang sedang tersulut menj
Bruuukkk...Anna menjatuhkan badan di sofa usang peninggalan mendiang ayahnya. Ia kelelahan setelah mengirimkan roti ke banyak tempat hari ini. Ia memang terbiasa lembur di hari Sabtu karena banyaknya orderan. Orang-orang biasa memesan untuk menghabiskan malam minggu.Menurutnya malam ini lebih merepotkan dibanding hari sabtu biasanya. Sabtu ini ia harus bekerja di lapangan sebagai kurir pengantar roti. Karena tadi pagi ia terlambat 3 menit saat ceklok. Bagi siapa saja yang terlambat datang harus bekerja di lapangan meski itu perempuan.Anna memejamkan mata sebentar. Badannya sungguh lelah setelah dari pagi berkeliling seantero kota dengan panas terik yang menyengat. Hingga suara ketukan pintu membangunkannya."Permisi, nona, ada surat..", suara yang terdengar asing dari balik pintu.Anna terdiam sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk membuka pintu. Benar saja, itu suara pak pos."Terima kasih pak", Setelan menganggukkan kepal
Anna bergegas menuju kamar mendiang orang tuanya. Ia membuka laci meja di sebelah tempat tidur. Menyingkap baju-baju mendiang orang tuanya. Ia berharap menemukan suatu petunjuk yang bisa menjelaskan tentang semua ini."Ayah, ibu ayolah tolong bantu aku. Apa semua yang dikatakan lelaki itu benar? Aku adalah cucunya?". Ia bergumam sendirian.Hingga akhirnya tangannya sampai pada berkas yang dibalut kain silver. Bekas itu terletak paling bawah diantara surat-surat penting. Berkas yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Ia lalu membukanya dengan penasaran.Ada sebuah surat dan buku di dalamnya. Surat itu menyatakan tentang tuduhan terhadap ayahnya yang telah mencuri berlian turun temurun milik keluarga Suryadinata. Anna mengernyitkan dahi.Ia tidak percaya dengan surat itu dan meninggalkannya. Kemudian ia membuka buku yang terlihat usang berwarna biru navy. Buku itu terlihat lusuh. Rupanya itu buku harian milik ibunya. Ia baca dari awal hingga akhir. Hingga matany
Anna terus mengamati pria dan wanita itu. Ia berniat mengorek sesuatu tentang kakeknya kepada 'james Bond'. Namun wanita itu seperti menghalanginya. Anna mengurungkan niatnya."Anna, besok ada acara cathering di hotel Aurora. Disana akan ada meeting para investor. Kamu yang handle ya," Miss Eka, kepala toko menyampaikan arahan."Baik miss", Anna adalah karyawan terpercaya. meski ia belum begitu senior, ia mampu mengerjakan berbagai tugas dengan cekatan. Ini karena kebiasaan membantu orang tuanya di toko semenjak ia smp hingga lulus kuliah.Pukul 22.00 kafe tutup. Setelah membersihkan ruangan, ia dan ketiga temannya bersiap untuk pulang. Ia pakai hoodie tebal dan menutup hijabnya. Ia berjalan pulang. Jarak toko dan rumahnya kurang lebih 400m. Dan ia lebih suka jalan kaki daripada naik motor. Sambil menikmati pemandangan kota saat malam hari, kerlap kerlip lampu indah pikirnya."An, pulang bareng yuk.." Dandi, manager cafe yang sekaligus temannya me
Anna mulai menyusun rencana. Ia bermaksud menemui kakeknya, Hadi Suryadinata. Keluarga Suryadinata telah menghina ayahnya. Anna merasa ini semua adalah kesalahpahaman. Sepulang bekerja, ia akan mencari Tuan James Bond itu.Toko tutup agak sore, karena di kafe ada acara dan harus dibooking hingga acara selesai. Hari ini Anna bekerja di toko. Setelah membersihkan toko ia pulang seperti biasa, jalan kaki. Matanya menoleh ke kanan dan kiri. Lalu lalang mencari seseorang. Namun orang yang ia cari nampaknya tak terlihat. Anna mulai berjalan pelan."Siapa yang anda cari?" Suara pria mengagetkannya dari belakang.Anna membalikkan badan, sedikit kaget. "Anda". jawabnya mantap. Ia segera belok ke tempat duduk besi panjang yang ada di trotoar kota.Pria itu masih berdiri mematung.Anna mengisyaratkan tangan agar pria itu segera duduk di sebelahnya. Pria itu berpikir sejenak, lalu duduk."Aku akan menemui kakekku". Anna memulai pembicaraan
Pria itu membawa amplop coklat milik Anna masuk ke gedung. Ia masuk ke ruangan lalu membukanya. Ia mengamati setiap berkas milik Anna. Kemudian menelepon seseorang dan berbincang dengannya. Ia menelepon HRD, berpesan agar menerima Anna sebagai karyawan seperti yang Anna inginkan, office girl. Kemudian pria itu menutup teleponnya dan memandang kembali foto Anna dalam berkas lamaran tersebut.Anna menerima notif pesan panggilan interview. Ia yang masih duduk di bangku depan minimarket sedikit terkejut bercampur antusias."Ini beneran panggilan interview? cepet banget...kata satpam prosesnya agak lama kecuali ada orang dalam yang bantuin. (Anna berpikir sejenak). Oh atau mungkin James Bond tau kalau aku melamar jadi office girl. Oh Allah, ia seperti bayang-bayangku." Anna tersenyum optimis.Anna memacu motornya pulang. Ia berganti pakaian resmi. Atasan blouse putih panjang dan kulot hitam. Dengan pasmina hitam dililitkannya indah. Ia bercermin sebentar, mengu
Tuan James Bond sudah lama berdiri di balik pohon makam. Ia mengamati Anna yang bersimpuh di hadapan makam ayah ibunya. Seperti lelaki pada umumnya, ia tak kuasa melihat Anna yang sedang menangis tersedu sedu. Lalu terbesit pikiran untuk menjahili Anna agar kesedihan wanita itu sedikit berkurang, pikirnya. "Gadis itu juga punya rasa takut rupanya." Pria itu bergumam menahan tawa. Seperti biasa, Ia menjalankan mandat dari Tuan Hadi, kakek Anna. Ia harus memastikan Anna pulang dengan selamat. Tugas ini sebenarnya sangat tidak sesuai dengan kepribadian Tuan James Bond, yang tidak suka disuruh. Awalnya Ia terpaksa menerima mandat ini karena sangat menghormati Tuan Hadi. Namun belakangan, rupanya ada hal lain yang mulai mengusik pikirannya.James Bond berjalan meninggalkan makam. Ia memacu mobil Ferrari nya dengan kecepatan penuh menuju rumah Anna. Ia berharap Anna belum sampai rumah saat ia tiba di rumahnya. Sayangnya sore hari jalanan kota macet dipenuhi pekerja yang
Pertemuan Gina dan Aslan tidak begitu lama. Aslan akhirnya memaksa Gina untuk segera kembali ke rumah setelah melihat pemandangan yang sama sekali tidak ia harapkan. "Ada apa sih Bi, kau menyuruhku cepat pulang?" Gina bertanya dengan polos saat mereka sudah berada di depan restoran. Tentu saja Gina tidak mengetahui keberadaan Anna yang datang bersama Galih. Jika Gina mengetahuinya, pastilah akan beda lagi ceritanya."Aku akan menyuruh Pak Budi mengantarmu pulang. Kau pulanglah duluan! Aku masih ada urusan penting." Ucap Aslan datar sembari memainkan ponsel menghubungi seseorang."Kau tidak mau mengantarku?" Gina seolah tidak percaya dengan ucapan Aslan.Namun Aslan tetap fokus pada ponselnya. Ia seakan tidak peduli dengan ekspresi Gina."Aslan! Aku sedang bertanya padamu!" Gina menaikkan nada suaranya saat mendapati Aslan sama sekali tidak menghiraukan dirinya."Apa kau tidak mendengar ucapan ku tadi?" Aslan kembali bertanya dengan lebih lembut. Membuat Gina yang sedang tersulut menj
Wanita itu, wanita yang kini sedang duduk di hadapan Aslan tidak lain adalah Gina, kekasihnya. Bukankah itu hal yang wajar jika Aslan mengajak Gina ke tempat yang elit seperti ini? Namun tidak untuk hati Anna. Ia merasa tindakan Aslan kali ini sangat tidak bisa dimengerti.Mendengar pernyataan cintanya seminggu yang lalu, ia bahkan sudah berjanji untuk melepas Gina. Dan apa yang ada di hadapan Anna sekarang berbeda dengan ucapan pria yang sangat dipercaya oleh Anna itu.'Tidak, pasti Aslan mengajak Gina kesini untuk mengakhiri segalanya.' Hati dan pikiran Anna seolah memberontak hebat melawan pandangannya saat ini.Anna bahkan tidak sudi memutar kepala menghadap mereka berdua. Dalam hati kecilnya sungguh ia tidak sanggup menghadapi kenyataan yang mulai mengusik hati dan pikirannya kini. Anna semakin terdiam. Ingin rasanya ia beranjak dari tempat ini agar pikiran buruk yang menghantuinya sirna begitu saja.Galih yang mengamati perubahan sikapnya secara diam-diam mulai mengalihkan pembi
Anna celingukan mencari seseorang di dalam restoran ternama ini. Ia nampak canggung saat memasuki restoran Tivolly, karena ini baru pertama kalinya ia menginjakkan kaki di restoran ternama ini. Restoran ini merupakan tempat makan elit yang biasa dikunjungi oleh orang-orang berkelas menengah ke atas. Tentu saja bagi Anna memasuki restoran Tivolly adalah hal yang tidak wajar. Mengingat ia tidak biasa dan bahkan tidak begitu mengerti pergaulan para orang kaya. Ia lihat para wanita dengan tas bermerek ratusan juta rupiah, sesuatu yang jelas mendominasi ruangan ini. Membuatnya harus menyembunyikan rapat-rapat tas selempang hitam di balik tangannya.Mata hazelnya berbinar saat menangkap sosok pria yang sejak tadi ia cari. Galih sudah duduk di meja nomor dua belas sedang melambai ke arahnya. Anna lalu berjalan ke arahnya dengan menundukkan kepalanya. "Kau baru sampai?" Tanya galih saat Anna sudah berada di depan mejanya."Lumayan sih. Aku cukup lama berdiri mencari keberadaanmu." Anna menj
Aslan berdiri hampir saja ia bergerak memutari meja. Saat Anna dengan sigap melirik setiap gerak gerik pria itu. Anna harus berjaga-jaga saat mereka sedang berduaan di dalam ruangan seperti saat ini. Tepatnya sedang dalam posisi yang memaksanya berdua saja dengan Aslan. Anna tidak mau emosinya tidak terkontrol ketika berhadapan dengan Aslan seperti di kediamannya kemarin.Aslan tersenyum menggoda saat mengetahui gerak refleks Anna untuk menjauh ketika dirinya mulai mendekati gadis itu. " Ada apa?"Anna menggeleng cepat. "Tidak ada. Hanya berjaga-jaga."Aslan mengangkat sebelah alisnya sambil memiringkan kepala mengamati ekspresi Anna."Ada apa?" Anna ganti menanyakan tatapan Aslan yang mengintimidasi dirinya."Kau gadis yang sangat naif," Gumam Aslan."Terima kasih." "Jangan bersikap seperti itu di hadapanku!" Aslan mendengus kesal. "Karena akan membuatku semakin mencintaimu." "Semakin kesini, aku semakin tidak percaya dengan pernyataan cintamu. Karena kau bahkan masih menjalin hubu
"Dimana Anna?" Aslan memasuki dapur ruangan dan hanya disambut oleh Vero, salah satu rekannya."Dia sedang nganter kopi, Sir. Ada apa, Pak?" Vero balik bertanya kepada Aslan."Oh, nanti kalau dia sudah kembali suruh ke ruangan saya." Aslan memberi arahan tegas.Vero terdiam sejenak, mungkin ia sedang berpikir tentang penggilan mendadak Aslan. Lalu dengan cepat ia menganggukkan kepala mengiyakan arahan Aslan."Baik, Pak. Akan saya sampaikan."Aslan lalu meninggalkan ruangan. Ia meninggalkan Vero yang masih dilanda sebuah tanda tangan besar. Hingga akhirnya telepon di dapur ruangan berdering. "Dapur perusahaan." Sapa Vero."Tolong antarkan teh ke lantai dua ya.." Vero terlihat menghembuskan napas kasar sembari mengangguk pelan. Setelah telepon ditutup, ia menggerutu pelan sembari membuat minuman. Lalu pergi ke lantai dua dengan membawa trolly berisi minuman pesanan karyawan.****Saat jam makan siang Anna dan Rani sedang menyantap bekalnya di kantin perusahaan seperti biasa. Namun Anna
Kantor masih sepi ketika Anna mengecek galon di setiap ruangan. Sesekali ia mendapat sapaan dari para karyawan yang melewatinya saat baru memasuki ruangan. Anna selalu bersikap hangat pada siapapun dan ini membuat ia dikenal ramah oleh setiap karyawan."Bukankah kamu.. Anna?" Sebuah suara membuatnya menoleh seketika saat akan mengangkat galon ke dispenser."Galih?" Anna turut heran menatap sepupunya. Sepagi ini ia sudah berdiri di sana."Kamu bekerja di sini?" Mata Galih menatap Anna dari ujung kaki hingga ujung kepala. Ia seakan terkejut dengan pemandangan yang tersaji di hadapannya."He'em, seperti yang kau lihat." Anna mengangkat kedua tangannya setengah badan mengiyakan pertanyaan Galih."Why? Inikan, perusahaan..." "Suryadinata Grup?" Anna sengaja menyela ucapan Galih sembari melihat sekitar jika saja ada banyak karyawan yang melihatnya.Galih menautkan alis semakin heran saat menatap sepupunya dengan pakaian cleaning servis seperti itu. "Kau benar-benar bekerja sebagai office
Mereka sampai di depan rumah Anna. Ternyata benar, suara ketukan itu masih terdengar hingga teras rumah Anna. Tak ada pintu yang masih terbuka di sekitar rumah sederhana gadis itu. Karena ini sudah hampir tengah malam. Lagi pula tetangga Anna juga sedang pergi ke tanah suci melakukan ibadah umroh. Bersama rombongan pak ustadz yang menjadi takmir masjid di komplek Anna."Masuklah, aku tidak berani." Anna mengernyitkan kening. Ia memposisikan diri di belakang Aslan.Aslan menghembuskan nafas pelan. Dengan tenang ia memasuki rumah Anna yang selama ini seakan haram dimasuki olehnya. Karena Anna selalu menerima tamu laki-laki di teras rumah, kecuali jika ada sesuatu yang urgent seperti ini.Aslan melewati ruang tamu lalu melangkah ke ruang tengah yang lurus menuju dapur. Rumah itu di dalamnya ternyata luas, pikir Aslan. Karena dari arah luar jika dipandang hanya tampak seperti perumahan modern yang sederhana dengan dua kamar seperti yang marak ada dalam promo kredit rumah akhir-akhir ini.
Anna menggeleng pelan. Hati kecilnya turut menjerit saat ia mencoba melawannya sendiri. Rasa sakit rupanya mulai menusuk jiwanya yang selama ini sudah ia paku agar tetap tegar ketika menghadapi hal buruk apapun."Maaf, aku tidak bisa sepertimu, Lan." Kalimat Anna membuat Aslan terkesiap."Why?" Lama Anna terdiam, ujung jemarinya ia gunakan untuk menyeka air mata yang masih menetes."Hubungan kekeluargaan kita, aku tidak mau menghancurkannya karena ego." Anna berbisik pelan."Tidak ada yang menghancurkannya, juga tidak ada yang akan hancur, Ann..." Senyum miris terukir dari sudut bibir Aslan. Seolah lidahnya kelu sendiri saat mengingat silsilah keluarga aslinya."Kau tahu kita terikat hubungan apa?" Anna menaikkan nada bicaranya untuk meyakinkan Aslan."Bahkan kau sendiri yang datang kemari untuk mengingatkanku jika aku adalah sepupumu?" Anna mengernyitkan kening.Aslan masih terdiam lama. Terlihat ekspresi frustasi dari raut wajahnya. Ia menghembuskan nafas pelan. Lalu menatap Anna d
Mereka sampai di depan rumah Anna. Rumah di gang sempit yang hanya cukup di lalui satu mobil. Membuat Aslan harus memarkir mobilnya di depan gang saat berkunjung ke rumah Anna.Aslan kembali menatap gadis yang masih terlelap di sebelahnya. Perasaan iba tiba-tiba menjalari pikirannya memandang gadis selugu Anna harus berjuang melawan keluarga kakeknya. Mengingat kedua orang tuanya sudah tiada dan hanya keluarga kakeknya lah yang ia punya saat ini.Perasaan Aslan kembali menyelam ke dalam lubuk hatinya. Ia yang awalnya hanya merasa iba pada gadis itu akhirnya benar-benar dibuat jatuh hati olehnya. Karena sikapnya yang mandiri dan tegas, mampu membuat Aslan berdecak kagum oleh wajah cantik yang menawan itu.Aslan menghembuskan napas pelan. Ia berusaha mengatur perasaannya lagi agar bisa terkontrol lebih baik lagi. Ia tidak ingin menghancurkan perasaan yang dengan indah ia selami hanya karena nafsu lelakinya yang sangat menyiksa baginya.Aslan memegang pundak Anna lalu mengoyaknya. Namun