Aku hampir muntah ketika Muni menyodorkan makanan padaku. “Bau apa ini Muni?” tanyaku memencet hidung sekuat tenaga dan berusaha bernapas melalui mulutku saat ini.Muni menghidu segera. Lalu kulihat ia mengeleng dengan penuh semangat. “Tidak ada bau apa-apa kok, Nyonya! Ah, ada ini sih, tapi ini kan wangi sekali!” kata Muni senang.“Jauhkan itu dariku!” kataku memohon. Sungguh. Aku tidak sanggup bernapas dengan cara normal kalau makanan datang ke kamar ini berbau menjijikan seperti ini.Muni entah iseng atau hanya tak percaya dengan kata-kataku menyodorkan makanan ke arahku.Padahal hidungku telah kupencet hingga tak ada aliran udara yang masuk ke salah satu alat pernapasan itu. Namun, masih saja berbau busuk. Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan supaya Muni berhenti mengerjaiku?“Nyonya belum makan sejak kemarin! Nanti Nyonya sakit!” Muni mendorongkan sesendok makanan menuju mulutku.Aroma menyengat yang sejak tadi berusaha kuhindari sekuat tenaga menyerang dengan ganas saat ini.
“Mengalami problem ayah baru?” Erlan muncul dengan ejekannya di pagi hari di ruangan kantor mewah tempat aku menenangkan diri.Tidak ada yang aman di rumah sejak Ayu dinyatakan hamil setelah menikah selama sebulan. Bagiku sebuah kebahagiaan karena sebentar lagi mendapatkan apa yag kuinginkan. Namun, Alina--wanita yang memintaku mencari rahim lain untuk memiliki anak malah menjadikannya sebagai bahan pertikaian.“Sialan!”Erlan mematung kulihat, berusaha terlihat sangat bersalah dan akan memutuskan keluar sambil menangis dengan menutup kedua tangannya. Tapi kemudian tak lama setelah penyesalan yang dibuat-buat itu muncul, Erlan tertawa terbahak-bahak.“Nikmati itu Bro!” katanya sambil duduk di sofa tanpa dipersilakan.Aku mengerutu cukup lama sampai kemudian menyadari kalau sebenarnya aku cukup senang dengan semua yang terjadi. Rasanya seperti dibutuhkan. Rasanya jelas menjadi prioritas.“Tidak sabar bertemu dengan anakmu?” Erlan memiringkan kepalanya saat bertanya padaku.Aku menekan
Muni melaporkannya padaku. Aku belum sempat melihat keadaan Ayu. Ah … benar-benar. Dibiarkan malah menjadi. Aku menghargainya sebagai ayah kandung Ayu. Tapi, sepertinya aku tidak dianggap sebagai menantu.“Terima kasih Muni!” kataku.“Saya khawatir sama Nyonya Pak!” Muni mengatakan itu terakhir kali sebelum kemudian pamit keluar ruang kerja.Kulihat jam di ponselku, hampir pukul sembilan malam. Kebanyakan pelayan sudah kembali ke pavilliun di luar, tempat mereka tinggal saat bekerja. Pak Prana juga ada di sana.Yang tinggal di dalam rumah hanyalah beberapa pelayan yang bertanggung jawab langsung pada penghuni rumah. Semacam pelayan khusus. Mereka diberi kamar di dekat dapur.Aku memencet intercom, menyuruh siapapun yang berada di dekat sana untuk memanggil Pak Prana keruanganku. Seperti kata Erlan aku harus tegas membatasi gerak pria tua yang adalah ayah kandung istriku.Hari ini hanya sekedar sakit perut saja. Muni berkata kalau dokter datang dan memberikan Ayu obat penenang. Katanya
Semalam aku bermimpi seseorang berbisik kalau aku ada di tempat yang aman. Ayah yang biasanya memarahi Ibu di rumah menghilang. Dan bayangan Ibu yang berrlumuran darah juga.“Siapa, ya?” tanyaku pada diri sendiri.Tidurku yang jarang sekali lelap begitu nyaman. Hingga aku merasa senang dan tubuhku terasa sangat segar. Aku bangun lebih dulu dari Muni yang biasa membangunkanku pukul tujuh dan duduk di teras kamar sambil memandang keluar.“Nyonya … Anda bangun lebih awal?” Muni terdengar terkejut bertanya padaku.Aku mengangguk. “Apa kamu masuk ke dalam kamarku semalam, Muni?” tanyanya.Muni memiringkan kepala dan mengeleng. “Tidak kok, mungkin Tuan yang datang. Tuan memanggil saja ke dalam ruang kerja setelah Anda tidur di kamar.” Mata Muni berbinar-binar saat mengatakan hal itu padaku.Jujur saja, aku sama sekali tidak percaya. Aku tidak bisa memikirkan alasan, dasar dari sikap peduli Gatra padaku. Benar, aku adalah wanita yang mengandung bayi yang sangat ia inginkan. Tetapi hanya itu
PLAK!Telingaku berdenging dan cukup lama aku hanya terdiam menikmati rasa sakit yang diakibatan tamparan itu. Astaga … memang apa yang aku lakukan? Aku hanya berjalan keluar dari kamar dan berdiri di aula.“Kamu sangat tidak tahu malu!” tuding Alina padaku.Rasa panas seperti terbakar dan perih menjalar di pipiku hingga ke mata. Aku benar-benar ingin menangis sekarang, tetapi aku tak mau memperlihatkan kelemahanku pada wanita di depanku ini.Walau pandangan mataku mengabur dan desakan untuk meraung dan menjerit begitu kuat di dalam dadaku, aku sama sekali tidak membiarkan hal itu terjadi. Aku berdiri tegak dengan tubuh gemetaran.“Ada apa Nyonya Alina, apa ada yang salah?” Muni muncul dengan cepat dan berdiri di depanku.Alina masih memandang dengan penuh kebencian terhadapku. Seolah aku telah melakukan hal yang benar-benar besar untuk bisa dibencinya seperti itu.“Kamu dan dia sama saja! Orang-orang yang seperti binatang lapar yang menunggu kesempatan!”Emosiku meledak mendengarnya.
“Aku tanya! Apa kamu suka sama dia? Kamu cinta kan sama wanita itu!” Alina terus berteriak-teriak sambil menarik-narikku.Aku menepis tangan Alina yang berusaha menarikku untuk terakhir kalinya. “Apa yang sedang kamu bicarakan? Aku akan bicara denganmu setelah kamu menenangkan diri.”Kulihat wajah Alina menjadi merah karena marah. Ia tampak sangat tidak terima dihentikan dengan cara seperti ini. Baru saja aku bermaksud melangkah meninggalkan aula depan, Alina berteriak layaknya orang gila dan menerjang ke arah Ayu.Muni melindungi Ayu dengan tubuhnya. Tetapi, dengan luapan kemarahan Alina, tubuh Muni hanya terhempas jauh saja. Kemudian tangan-tangan Alina mulai menjambak Ayu.Tidak. Jika aku tidak bertindak Ayu akan terluka. Dan aku mungkin saja akan kehilangan anakku.Segera aku berlari ke arah Alina. Dengan kekuatanku Ayu bisa terselamatkan dan bersembunyi segera di belakangku. Keadaanna kacau. Selain beberapa luka gores di leher dan pipi, pakaian Ayu sedikit robek.“Kadang aku piki
Aku sama sekali tidak tenang. Setelah mandi dan kemudian turun ke bawah kembali, aku pergi ke kamar yang diberikan Oma. Perabotannya masih perabotan lama saja. Sepertinya aku harus mengisinya juga dengan perabotan bayi jika mau tempat itu jadi sedikit lebih padat.“Apa sebaiknya aku bertanya pada Ayu?” Aku bergumam saat melangkah ke ruang kerja setelah meninggalkan kamar hadiah itu.Dan langkah kakiku langsung berbelok. Seolah disetir oleh sesuatu yang tidak tampak dan kemudian berakhir di depan kamar Ayu. Hah? Aku sendiri terkejut dengan diriku yang berakhir di sana. Ya, Tuhan. Ada masalah dengan otakku.Aku tahu kalau Ayu pasti sudah tidur saat ini. Kamarnya tidak dikunci kalau aku tidak ada di dalam. Hanya saat aku masuk dan melakukan aktivitas suami istri saja kamar ini mendadak menjadi terlarang bahkan untuk didekati.“Aku tidak akan menganggunya tidur. Akan kulihat sebentar saja dan kembali ke ruang kerja!” Begitu aku menegaskan kepada diriku sendiri apa yang harus kulakukan.Ku
“Kenapa wajahmu begitu? Astaga … akhirnya tiba juga saat di mana aku bisa melihat wajah seorang Gatra yang lempeng mendadak penuh kerutan.” Erlan berseru tampak sangat bersyukur.“Kalau cuma mau membuatku bertambah pusing saja, toong pergilah! Aku sedang tidak mau berbicara denganmu saat ini.”Erlan tertawa terbahak-bahak dan kemudian menepuk pundakku. Namun, aku sama sekali tidak merasa terhibur dengan tawanya. Malahan aku semakin kesal saja dengan sikapnya itu.“Masalah yang kemarin ya?” Erlan kemudian mengedikan bahu seolah sama sekali tidak peduli.“Bukan!” Aku menjawab.“Bukan? Lalu apa?” Gatra memandangku dengan cara mendongak cukup tinggi dari tempatnya duduk. Cukup lama ia melakukannya, tetapi karena aku tak kunjung menjawab kembali diturunkan pandangannya.“Aku merasa aneh, Erlan!” Aku akhirnya menemukan kata-kata yang tepat untuk dikatakan pada Erlan. Memang itu yang aku rasanya sejak bersama dengan Ayu. “Aku memaklumi semua tindakan yang dilakukan Ayu, entah itu sesuatu yan
Barusan aku dengar apa?Aku menatap Gatra yang memandangku balik tanpa keraguan. Aku tahu kalau Gatra bukanlah seorang pembohong. Tetapi, menceraikan Alina sepertinya bukan hal yang mungkin.Bagaimana pun masalah yang menampar kehidupanku bagaikan angin topan adalah karena pernyataan Alina yang dengan terang-terangan tidak mau memiliki anak. Pria di depanku ini kemudian “membeliku” untuk menjadi rahim istrinya.Aku tertawa, tetapi sama sekali tidak bahagia. “Ini sama sekali tidak lucu, Tuan Gatra!” kataku padanya.“Aku sama sekali tidak sedang bercanda tuh! Apa menurutmu tampak seperti ini bercanda?” Gatra benar-benar tak tersenyum sedikit pun kulihat.Aku mengeleng pelan. “Kamu bercanda dengan hidupku menggunakan tampang seperti itu. Apa kamu ingat? Apa perlu kupanggil Pak Prana supaya memberitahumu!”Gatra sama sekali tidak gentar. Tatapannya masih sama saja seperti sebelumnya, tanpa keraguan. Dilain pihak, aku yang mulai ragu pada diriku sendiri sekarang. Bagaimana aku merasa bahag
Ayu mencintai Anda, Tuan! Tetapi, dia penuh dengan ketakutan saat ini! Dia takut Anda akan membuangnya. Hubungan kalian tidak dimulai dengan cara yang bagus. Bahkan ketika itu saya berpikir kalau Anda akan merasa bosan dengannya dan kemudian mencampakkannya. Yah, lalu saya memang ingin membawanya jauh dari Anda saat tahu kalau dia adalah putri kandung saja!Benar. Aku paham betul semua yang dikatakan Pak Prana. Aku juga bisa merasakan perasaan Ayu. Tetapi, jalan hidup wanita itu telah membuatnya tak bisa mempercayai dengan mudah. Ia telah dikhianati beberapa kali sebelum kemudian bertemu denganku.“Bahkan dia menangis di dalam tidurnya!” kataku pelan.Aku memandang garis pantai yang hitam legam. Kemudian memutuskan untuk mempersiapkan semuanya dengan benar. Semuanya harus dimulai dari pertemuan yang bagus lagi. Aku harus melakukannya kalau ingin memperoleh rasa kepercayaan Ayu.“Pak, bisa aku minta nomor ponsel Anda?”Pak Prana sepertinya tengah berusaha mencari tahu apa yang kurencan
Apa aku melakukan kesalahan? Aku jelas pergi seperti yang diinginkan?Aku sangat terkejut begitu melihat Gatra di halaman. Tanpa mempedulikan apapun, aku berlari pergi. Tapi, aku bisa tahu kalau orang-orang itu berteriak-teriak mencegahku untuk berlari. Hal yang tidak kuhiraukan sama sekali.Namun, pada akhirnya aku tersandung dan tergolek di atas gundukan pasir pantai. Secubit pasir masuk ke dalam mulutku, rasanya tidak menyenangkan dan aku terbatuk-batk karena hal itu.“Apa yang terluka? Ada yang sakit?” Suara penuh kekhawatiran yang kemudian disusul dengan penampakan wajahnya hanya beberapa inci di depan wajahku terlihat.Sial!Dorongan untuk berteriak dan memaki mendesak keluar. Akan tetapi, yang lebih dulu terlaksana adalah menangis. Aku tahu. Sebab pandanganku menjadi kabur karena itu. Aku terisak.“Kita ke rumah sakit! Tidak. Aku melihat tempat praktek dokter saat dalam perjalanan kemari!” katanya sambil mengenggam kedua bahuku, menarikku untuk berdiri.Aku mendorongnya hingga
Aku segera kembali ke rumah, meninggalkan segala pekerjaan yang ada di kantor. Pencarian ini lebih penting. Dan aku benar-benar harus bersiap jika tidak ingin kehilangan Ayu lagi.Suara putraku terdengar begitu aku masuk ke dalam rumah. Tampaknya dia terbangun dari tidurnya atau sudah saatnya anak lelakiku itu makan malam. Beberapa pelayan berlarian dengan nampan. Dan tak lama Oma muncul dari kamar yang harusnya dihuni Ayu dan putraku.“Ada apa, Oma?” tanyaku sedikit binggung karena Oma tampaknya dalam keadaan marah.“Wanita itu … kenapa dia tidak pergi dari rumah ini setelah kamu ceraikan!” teriak Oma di depan wajahku.Aku tahu betul siapa yang Oma maksud. Aku juga tidak mengerti kenapa Alina bertahan di tempat ini setelah kami bercerai. Bahkan sikapnya menjadi lebih baik pada Oma dan aku. Tentu saja itu tidak berlaku pada putraku dan Ayu.“Apalagi yang dilakukannya?”“Aku tidak melakukan apapun!”Aku menoleh lekas ke arah suara yang kukenali sebagai milik Alina. Wanita itu berdiri d
Berapa lama waktu yang diperlukan manusia untuk melupakan hal yang ingin dilupakan?Selama apapun aku memikirkannya, aku sama sekali tidak memperoleh jawaban dari apa yang aku inginkan. Aku tidak bisa melupakan hal yang ingin kulupakan walau berusaha setiap hari sekuat tenaga.Bagaimana bisa orang-orang berkata dengan mudah kalau manusia harus melangkah maju?Sudah tiga bulan. Benar. Suah tiga bulan sejak aku meninggalkan rumah Gatra. Luka cesar sudah kering sepenuhnya. Kalau aku merenung masih akan tiba-tiba berdenyut, tetapi hanya itu saja. Tidak ada hal yang lebih lebih dari itu.Benarkah? Yah … aku hanya mengatakan sesuatu yang angkuh saja. Sebab setiap kali luka itu berdenyut aku jadi ingat wajah anakku yang mirip Gatra. Aku jadi ingat Oma. Dan saat sendirian, aku jadi ingat suamiku.Ah … apakah aku masih bisa menyebutnya sebagai suamiku sekarang? Aku kabur loh. Aku melarikan diri dari manusia yang aku sebut suamiku itu karena takut. Aku takut harus mendengar dari mulutnya sebuah
Aku tertidur selama perjalanan. Begitu aku bangun, tak ada satu pun pemandangan yang aku kenali. Semuanya begitu asing, tetapi juga tidak kubenci karena indah.“Ini di mana?” tanyaku pelan sambil menguap dan mengucek mata.Bekas operasi cesarku tiba-tiba saja terasa sedikit nyeri sekarang. Aku mengerang sedikit, menengadah menatap langit-langit mobil. Beberapa kali aku mengambil napas panjang, berusaha menepis rasa sakit yan datang. Lalu pada akhirnya aku berhasil bertahan sedikit.“Kamu baik-baik saja?”Aku berusaha tersenyum pada Pak Prana, tetapi yang berhasil tercipta di mulutku hanyalah seringaian. Perlahan aku beringsut keluar dari mobil. Sedikit pusing saat pertama kali kaki ini menginjak tanah.“Kemarilah, aku akan memapahmu!” kata Pak Prana masih dengan perhatian yang terlihat tulus di matanya.Aku mundur selangkah hingga punggungku terbentur badan mobil. Kehangatan dan perhatiannya mengangguku. Aku tidak terbiasa dengan kebaikan hati seperti yang dipancarkannya saat ini.“Ak
Keanehan yang kurasakan pada Gatra juga kurasakan pada Oma. Namun, setiap kali aku merasa begitu. Aku juga selalu memperingatkan diriku untuk tidak terlalu menerima semuanya.Aku tidak boleh terbiasa dengan sikap lembut orang-orang padaku.Aku habis menyusui bayi itu, anakku dan Gatra. Wajahnya semakin hari semakin mirip saja dengan Gatra. Saat menandangnya seperti ini muncul keinginan di dalam hatiku untuk membawanya bersamaku.Bolehkah aku dengan egois meminta anak ini pada Gatra.Aku segera tahu kalau jawabannya tidak. Aku tahu kalau keegoisanku hanya akan melukaiku jika kulakukan semakin dalam. Makanya setelah selesai menyusui, aku memberikan anak itu cepat-cepat pada perawat.“Nyonya tidak mau mengendongnya lebih lama?” Muni bertanya padaku.Aku mau, tapi aku tidak bisa melakukannya. Maka aku diam saja.“Aku boleh jalan-jalan, kan?” Aku bertanya pada Muni.“Boleh Nyonya. Saya mendapatkan perintah dari Dokter untuk mengawasi sesi terapi Anda. Luka operasinya masih belum kering, An
Aku memirigkan kepala sama sekali tidak mengerti kenapa Gatra tersenyum seperti orang bodoh di depanku begini. Aku yakin kalau sedang tidak bermimpi. Aku sangat sehat saat ini dan sudah terbebas dari pengaruh obat tidur.“Bunga itu untukku?”Gatra mengangguk. “Kamu tidak suka?” tanyanya.Tidak. Aku sangat suka dengan buket yang tampaknya dikerjakan dengan sepenuh hati oleh pembuatnya itu. Yang tidak akan mengerti adalah keberadaan buket bunga tersebut saat ini.Aku telah tenggelam dalam dugaan selama semalaman tentang kontrakku dengan Gatra. Anehnya aku sama sekali tidak gembira dengan fakta kalau sebentar lagi aku tidak akan bertemu dengan pria ini.Aku merasa sedih.“Apa aku salah memilih bunganya?” Gatra bergumam sendiri saat ini. Ancungan bunganya yang setinggi dadaku tadi mulai turun hingga ke pinggang dan wajahnya tidak berseri lagi kulihat.“Aku hanya terkejut!” kataku jujur.“Kenapa kamu terkejut?”Apa aku perlu bertanya padanya kapan ia memberiku bunga. Itu sudah lama sekali
“Aku tidak memiliki kesalahan! Aku hanya menyingkirkan penganggu di dalam rumah tangga kita!” Alina dengan tegas mengatakan hal itu padaku.Kalau saja ia mengatakan tentang penganggu yang berdenggung seperti lelat di telingaku dulu, yang menjelek-jelekan dirinya, dan tergabung dalam sebutan teman-teman Alina pasti aku sangat senang.“Dia bukan penganggu!” kata Alina dengan pasti.Aku tidak pernah mau mengakui di mana salahnya sehingga kehidupan rumah tangga bahagia yang berharap kujalani bersama Alina menjadi seperti ini. Namun, yang jelas semua tidak dimulai dengan kedatangan Ayu.Tidak. Semua tuduhan Alina pada Ayu sama sekali tidak benar.“Kamu hanya mencari kambing hitam saja!” kataku padanya.Aku menjauhinya. Pembicaraan ini sama sekali tidak pantas untuk dilakukan. Ayu sama sekali tidak menjadi masalah utama. Sejak awal masalahnya adalah Alina.“Kamu membelanya dengan terang-terangan?” Alina tertawa.Dulu tawa Alina sangat merdu di telingaku, bagaikan bidadari yang tengah berny