Ini aneh. Pasti ada sesuatu yang telah diperintahkan oleh Gatra sampai Pak Prana mengawasiku seperti ini. Aku ingin bertanya, tetapi Pak Prana berdiri cukup jauh seolah-olah tidak terjadi apa-apa.“Muni!”“Ya, Nona?” Pelayan yang ditugaskan padaku itu langsung mendekat, sedikit menundukkan kepala.“Bisa panggilkan Pak Prana yang berdiri di sana?”Muni menoleh pada sosok tubuh yang berdiri dengan latar pepohonan yang sudah dipangkas di belakangnya. Kulihat kalau Muni mengangguk dan beranjak dengan cepat mendekati Pak Prana.Selama beberapa detik kulihat Pak Prana berekspresi sangat serius. Beliau lalu melirikku sedikit dan kemudian mengangguk. Tetapi, Pak Prana sama sekali tidak mendekat ke arahku, malah menjauh.“Kenapa Pak Prana pergi?” tanyaku pada Muni yang sudah ada di dekatku kembali.“Katanya dipanggil Tuan!” Muni menelengkan kepala.Apa yang diharapkan Muni dariku? Bahwa aku tahu apa yang terjadi sebenarnya pada sikap aneh Pak Prana. Bahwa aku bisa menebak apa yang diinginkan G
Jas yang saat ini aku kenakan hanya pakaian biasa saja. Salah satu yang sering kugunakan untuk pergi ke kantor atau berkunjung ke salah satu investor perusahaan. Tidak ada yang istimewa.Anehnya, dadaku sama sekali tidak bisa dihentikan detaknya. Apa yang salah sebenarnya?Semuanya masih baik-baik saja saat kemarin aku menemukan scone yang terlihat enak di jalanan. Saat kulihat tampilan makanan tersebut di dalam foto yang dipajang di kaca toko. Nama Ayu langsung teringat di kepalaku.Aku tidak mengantarkannya sendiri, Muni yang datang ke dapur dan menyajikannya untuk Ayu. Tapi, aku melihat saat gadis itu menikmatinya. Rona merah yang merekah di wajah Ayu membuatku itu senang. Adrenalinku terpacu ingin tahu apa lagi yang bisa membuat Ayu sesenang itu.Apalagi hal yang bisa kulakukan untuk membuatnya merona senang seperti kemarin? Pemikiran aneh itu membuatku terlalu antusias begini. Aku merasakan kegembiraan samar yang tak bisa kudeskripsikan dari mana asalnya.“Semuanya sudah sempurna
Aku yakin sudah memberikan penolakan yang sangat tegas pada Pak Prana. Aku juga sudah melukai hatinya dengan kata-kataku. Entah dengan maksud apa pria tua itu kembali menemuiku malam ini. “Aku harusnya sudah tidur sekarang,” kataku padanya. Tidak ada basa-basi dalam kata-kataku. Aku hanya ingin pria ini menyingkir segera dari dalam kamarku. Namun, Pak Prana tidak bergeming berdiri di depan pintu yang tertutup separuh. Kepalanya tertunduk ke bawah. Sesekali ada gerakan sentakan di lehernya, seperti ia telah menemukan kata-kata untuk dikatakannya padaku. Namun sentakan itu tidak membuat kepala milik Pak Rana menegak dengan cepat. “Ada apa, Pak?” Yang kuinginkan hanya tidur saat ini, tidak yang lain. “Aku akan jadi walimu saat menikah nanti!” Pemberitahuannya mengejutkanku. Kantuk yang sejak tadi berusaha aku tahan mendadak lenyap seketika. Aku berdiri dari sisi ranjang yang kududuki sejak awal. Kemudian aku mempeolototi Pak Prana. “Kenapa harus
Seluruh tubuh Pak Prana gemetar. Aku bisa melihatnya di sini, dari tempat aku duduk. Tangan pria yang kugenggam itu gemetara. Ia pasti tak mau menikahkan putrinya denganku. Akan tetapi, Pak Prana juga tak bisa memikirkan jalan keluar lain.Aku sudah mengkajinya semalaman suntuk dengan Erlan sebelum memanggil Pak Prana ke ruangan kerja dan menembaknya hingga jatuh bagaikan seekor burung bangau yang tengah terbang.Faktanya, selain pernikahan ini tidak ada cara membuat Ayu berada di dalam jarak pandang pria itu.“Baiklah, Bapak … Nak Gatra, ucapkan ijab dan kabul sesuai yang saya ajarkan tadi!” Penghulu yang memiliki senyum ramah di dunia itu mempersilakan. Dan getaran di tangan Pak Prana yang aku genggam semakin hebat saja.“Saya nikah dan kawinkan Ayudia Parashati binti Prana dengan Gatra Naradipa bin Atmo Binapura dengan mas kawin emas seberat 25 gram dan uang tunai di dalam deposito sebesar 150 juta rupiah tunai!” Pak Prana berhasil mengucapkannya dengan wajah merah dan mata berair.
Aku bukan orang suci. Aku setengah mabuk saat memasuki kamar penganti Alina sekitar lima tahun lalu. Aku bahkan tidak ingat bagaimana caraku memandang Alina saat itu. Tetapi, Alina berkata kalau aku melakukan hal yang hebat saat menidurinya. Lalu malam-malam panas kami selama lima tahun terakhir juga tidak begitu kupedulikan. Aku hanya merasa harus melakukannya dengan Alina, mencumbu wanita yang kunikahi itu. Menyatukan diri sampai mencapai puncak kenikmatan duniawi bersamanya. Sekali lagi, aku sama sekali tidak memperhatikan detail saat datang ke kamar Alina dan menyatukan diri pada titik erotis kami berdua. Aku sangat sadar saat memasuki kamar Ayu. Dan seketika aku takut. Seorang Gatra yang telah mengalami petualangan cinta dengan istri pertamaku mendadak merasa takut pada fakta harus tidur dengan istri kedua. Aku bisa saja menyibak selimut yang tidak sempurna menutupi tubuh Ayu. Aku bisa melihat jenis gaun yang jelas-jelas transparan yang dipilihkan Minu. Pasti Muni, pelayan
Sakit! Hal pertama yang kupikirkan saat Gatra menyetubuhiku adalah hal itu. Walau pun pria itu terus-terus saja membisakan kalau tidak akan ada hal buruk yang terjadi, aku tidak bisa menahan rasa sakit ini.Aku berkali-kali berusaha mendorong Gatra. Namun, tidak berhasil. Setiap kali aku mendorongnya, Gatra seperti menangkapku dan mendorong dirinya lebih keras dibandingkan sebelumnya. Ciuman-ciumannya bersarang di berbagai tempat di tubuhku, rasanya seperti bongkahan bara. Hanya saja tidak menyakitkan dan hanya membuatku berdebar tidak karuan.Lalu pelan-pelan aku menyukai tekanan yang diberikan Gatra. Seluruh tubuhku terasa bergelenyar. Aku mengerang dan takut kalau Gatra tidak menyukainya. Namun, dorongannya padaku sama sekali tidak berkurang, malah semakin cepat saja.Aku tidak ingat, tetapi aku memeluk Gatra dan begitu sebaliknya. Napas kami sama cepat dan seluruh tubuh Gatra menegang. Aku tidak mengerti dengan yang terjadi, rasa sakit yang mendadak berubah menjadi kenikmatan. Ha
“Sudah belah duren?” Erlan bertanya padaku melalui pesan WA.Sialan bangsat satu ini. Kenapa aku harus memberitahunya? Yang benar saja! Aku berdiri dari tempat tidur dan menyadari kalau tidak memakai apapun. Kulirik wanita yang tidur dengan nyenyaknya di tengah ranjang. Libido-ku kembali memuncak.Sepertinya aku harus segera keluar dari tempat ini sebelum mebangunkan wanitaku yang baru pertama kali melewatkan malam panas. Wanitaku yang terasa manis dan mengairahkan.Dengan jubah mandi aku keluar kamar, tidak ada siapapun. Jelas saja. Tidak akan ada yang mau melewatkan malam di depan kamar pengantin. Hari masih terlalu pagi, di luar walau pun sudah sedikit terang, tetapi tidak ada kegiatan apapun. Aku naik ke lantai dua melalui tangga samping. Sama seperti lantai bawah, bagian ini juga sepi.Kamarku dan Alina, istri pertamaku terletak di bagian timur. Pintunya setengah terbuka. Dasar Alina, bagaimana kalau ada pekerja yang masuk begitu saja karena menyangka kalau ia tidak ada di dalam
Dokter berjalan menuju aula dari lorong tempat kamar Ayu berada. Oma yang memanggil dokter tua itu sebab sudah sebulan sejak aku menikah dengan Ayu. Setelah cukup dekat Dokter tua itu mengeleng pelan. Apa arti geleng itu? Aku menoleh pada Oma. Tapi tampaknya wanita tua yang mengurusku setelah kedua orang tuaku meninggal itu sama sekali tidak berniat memberitahu apapun sendiri. Jadi kau putuskan untuk menunggu dokter yang berjalan dengan lemah ke mulai menuju tempat kami. “Ada apa sebenarnya ini?” tanyaku. Oma memalingkan wajahnya sebentar, menoleh kepada para pelayan yang datang dari luar masuk ke dalam aula. Beliau menunggu sampai para pelayan itu cukup jauh. "Aku mendengar dari Muni kalau Ayu telat datang bulan. Jadi kupikir sebaiknya memeriksa apakah wanita itu telah hamil!"Aku membuang nafas kesal mendengarnya. Sepertinya wanita tua ini menganggap membuat anak seperti membuat adonan kue. "Jadi?" Aku bertanya dengan singkat sama sekali tidak ingin memprovokasi. Oma tidak menj
Barusan aku dengar apa?Aku menatap Gatra yang memandangku balik tanpa keraguan. Aku tahu kalau Gatra bukanlah seorang pembohong. Tetapi, menceraikan Alina sepertinya bukan hal yang mungkin.Bagaimana pun masalah yang menampar kehidupanku bagaikan angin topan adalah karena pernyataan Alina yang dengan terang-terangan tidak mau memiliki anak. Pria di depanku ini kemudian “membeliku” untuk menjadi rahim istrinya.Aku tertawa, tetapi sama sekali tidak bahagia. “Ini sama sekali tidak lucu, Tuan Gatra!” kataku padanya.“Aku sama sekali tidak sedang bercanda tuh! Apa menurutmu tampak seperti ini bercanda?” Gatra benar-benar tak tersenyum sedikit pun kulihat.Aku mengeleng pelan. “Kamu bercanda dengan hidupku menggunakan tampang seperti itu. Apa kamu ingat? Apa perlu kupanggil Pak Prana supaya memberitahumu!”Gatra sama sekali tidak gentar. Tatapannya masih sama saja seperti sebelumnya, tanpa keraguan. Dilain pihak, aku yang mulai ragu pada diriku sendiri sekarang. Bagaimana aku merasa bahag
Ayu mencintai Anda, Tuan! Tetapi, dia penuh dengan ketakutan saat ini! Dia takut Anda akan membuangnya. Hubungan kalian tidak dimulai dengan cara yang bagus. Bahkan ketika itu saya berpikir kalau Anda akan merasa bosan dengannya dan kemudian mencampakkannya. Yah, lalu saya memang ingin membawanya jauh dari Anda saat tahu kalau dia adalah putri kandung saja!Benar. Aku paham betul semua yang dikatakan Pak Prana. Aku juga bisa merasakan perasaan Ayu. Tetapi, jalan hidup wanita itu telah membuatnya tak bisa mempercayai dengan mudah. Ia telah dikhianati beberapa kali sebelum kemudian bertemu denganku.“Bahkan dia menangis di dalam tidurnya!” kataku pelan.Aku memandang garis pantai yang hitam legam. Kemudian memutuskan untuk mempersiapkan semuanya dengan benar. Semuanya harus dimulai dari pertemuan yang bagus lagi. Aku harus melakukannya kalau ingin memperoleh rasa kepercayaan Ayu.“Pak, bisa aku minta nomor ponsel Anda?”Pak Prana sepertinya tengah berusaha mencari tahu apa yang kurencan
Apa aku melakukan kesalahan? Aku jelas pergi seperti yang diinginkan?Aku sangat terkejut begitu melihat Gatra di halaman. Tanpa mempedulikan apapun, aku berlari pergi. Tapi, aku bisa tahu kalau orang-orang itu berteriak-teriak mencegahku untuk berlari. Hal yang tidak kuhiraukan sama sekali.Namun, pada akhirnya aku tersandung dan tergolek di atas gundukan pasir pantai. Secubit pasir masuk ke dalam mulutku, rasanya tidak menyenangkan dan aku terbatuk-batk karena hal itu.“Apa yang terluka? Ada yang sakit?” Suara penuh kekhawatiran yang kemudian disusul dengan penampakan wajahnya hanya beberapa inci di depan wajahku terlihat.Sial!Dorongan untuk berteriak dan memaki mendesak keluar. Akan tetapi, yang lebih dulu terlaksana adalah menangis. Aku tahu. Sebab pandanganku menjadi kabur karena itu. Aku terisak.“Kita ke rumah sakit! Tidak. Aku melihat tempat praktek dokter saat dalam perjalanan kemari!” katanya sambil mengenggam kedua bahuku, menarikku untuk berdiri.Aku mendorongnya hingga
Aku segera kembali ke rumah, meninggalkan segala pekerjaan yang ada di kantor. Pencarian ini lebih penting. Dan aku benar-benar harus bersiap jika tidak ingin kehilangan Ayu lagi.Suara putraku terdengar begitu aku masuk ke dalam rumah. Tampaknya dia terbangun dari tidurnya atau sudah saatnya anak lelakiku itu makan malam. Beberapa pelayan berlarian dengan nampan. Dan tak lama Oma muncul dari kamar yang harusnya dihuni Ayu dan putraku.“Ada apa, Oma?” tanyaku sedikit binggung karena Oma tampaknya dalam keadaan marah.“Wanita itu … kenapa dia tidak pergi dari rumah ini setelah kamu ceraikan!” teriak Oma di depan wajahku.Aku tahu betul siapa yang Oma maksud. Aku juga tidak mengerti kenapa Alina bertahan di tempat ini setelah kami bercerai. Bahkan sikapnya menjadi lebih baik pada Oma dan aku. Tentu saja itu tidak berlaku pada putraku dan Ayu.“Apalagi yang dilakukannya?”“Aku tidak melakukan apapun!”Aku menoleh lekas ke arah suara yang kukenali sebagai milik Alina. Wanita itu berdiri d
Berapa lama waktu yang diperlukan manusia untuk melupakan hal yang ingin dilupakan?Selama apapun aku memikirkannya, aku sama sekali tidak memperoleh jawaban dari apa yang aku inginkan. Aku tidak bisa melupakan hal yang ingin kulupakan walau berusaha setiap hari sekuat tenaga.Bagaimana bisa orang-orang berkata dengan mudah kalau manusia harus melangkah maju?Sudah tiga bulan. Benar. Suah tiga bulan sejak aku meninggalkan rumah Gatra. Luka cesar sudah kering sepenuhnya. Kalau aku merenung masih akan tiba-tiba berdenyut, tetapi hanya itu saja. Tidak ada hal yang lebih lebih dari itu.Benarkah? Yah … aku hanya mengatakan sesuatu yang angkuh saja. Sebab setiap kali luka itu berdenyut aku jadi ingat wajah anakku yang mirip Gatra. Aku jadi ingat Oma. Dan saat sendirian, aku jadi ingat suamiku.Ah … apakah aku masih bisa menyebutnya sebagai suamiku sekarang? Aku kabur loh. Aku melarikan diri dari manusia yang aku sebut suamiku itu karena takut. Aku takut harus mendengar dari mulutnya sebuah
Aku tertidur selama perjalanan. Begitu aku bangun, tak ada satu pun pemandangan yang aku kenali. Semuanya begitu asing, tetapi juga tidak kubenci karena indah.“Ini di mana?” tanyaku pelan sambil menguap dan mengucek mata.Bekas operasi cesarku tiba-tiba saja terasa sedikit nyeri sekarang. Aku mengerang sedikit, menengadah menatap langit-langit mobil. Beberapa kali aku mengambil napas panjang, berusaha menepis rasa sakit yan datang. Lalu pada akhirnya aku berhasil bertahan sedikit.“Kamu baik-baik saja?”Aku berusaha tersenyum pada Pak Prana, tetapi yang berhasil tercipta di mulutku hanyalah seringaian. Perlahan aku beringsut keluar dari mobil. Sedikit pusing saat pertama kali kaki ini menginjak tanah.“Kemarilah, aku akan memapahmu!” kata Pak Prana masih dengan perhatian yang terlihat tulus di matanya.Aku mundur selangkah hingga punggungku terbentur badan mobil. Kehangatan dan perhatiannya mengangguku. Aku tidak terbiasa dengan kebaikan hati seperti yang dipancarkannya saat ini.“Ak
Keanehan yang kurasakan pada Gatra juga kurasakan pada Oma. Namun, setiap kali aku merasa begitu. Aku juga selalu memperingatkan diriku untuk tidak terlalu menerima semuanya.Aku tidak boleh terbiasa dengan sikap lembut orang-orang padaku.Aku habis menyusui bayi itu, anakku dan Gatra. Wajahnya semakin hari semakin mirip saja dengan Gatra. Saat menandangnya seperti ini muncul keinginan di dalam hatiku untuk membawanya bersamaku.Bolehkah aku dengan egois meminta anak ini pada Gatra.Aku segera tahu kalau jawabannya tidak. Aku tahu kalau keegoisanku hanya akan melukaiku jika kulakukan semakin dalam. Makanya setelah selesai menyusui, aku memberikan anak itu cepat-cepat pada perawat.“Nyonya tidak mau mengendongnya lebih lama?” Muni bertanya padaku.Aku mau, tapi aku tidak bisa melakukannya. Maka aku diam saja.“Aku boleh jalan-jalan, kan?” Aku bertanya pada Muni.“Boleh Nyonya. Saya mendapatkan perintah dari Dokter untuk mengawasi sesi terapi Anda. Luka operasinya masih belum kering, An
Aku memirigkan kepala sama sekali tidak mengerti kenapa Gatra tersenyum seperti orang bodoh di depanku begini. Aku yakin kalau sedang tidak bermimpi. Aku sangat sehat saat ini dan sudah terbebas dari pengaruh obat tidur.“Bunga itu untukku?”Gatra mengangguk. “Kamu tidak suka?” tanyanya.Tidak. Aku sangat suka dengan buket yang tampaknya dikerjakan dengan sepenuh hati oleh pembuatnya itu. Yang tidak akan mengerti adalah keberadaan buket bunga tersebut saat ini.Aku telah tenggelam dalam dugaan selama semalaman tentang kontrakku dengan Gatra. Anehnya aku sama sekali tidak gembira dengan fakta kalau sebentar lagi aku tidak akan bertemu dengan pria ini.Aku merasa sedih.“Apa aku salah memilih bunganya?” Gatra bergumam sendiri saat ini. Ancungan bunganya yang setinggi dadaku tadi mulai turun hingga ke pinggang dan wajahnya tidak berseri lagi kulihat.“Aku hanya terkejut!” kataku jujur.“Kenapa kamu terkejut?”Apa aku perlu bertanya padanya kapan ia memberiku bunga. Itu sudah lama sekali
“Aku tidak memiliki kesalahan! Aku hanya menyingkirkan penganggu di dalam rumah tangga kita!” Alina dengan tegas mengatakan hal itu padaku.Kalau saja ia mengatakan tentang penganggu yang berdenggung seperti lelat di telingaku dulu, yang menjelek-jelekan dirinya, dan tergabung dalam sebutan teman-teman Alina pasti aku sangat senang.“Dia bukan penganggu!” kata Alina dengan pasti.Aku tidak pernah mau mengakui di mana salahnya sehingga kehidupan rumah tangga bahagia yang berharap kujalani bersama Alina menjadi seperti ini. Namun, yang jelas semua tidak dimulai dengan kedatangan Ayu.Tidak. Semua tuduhan Alina pada Ayu sama sekali tidak benar.“Kamu hanya mencari kambing hitam saja!” kataku padanya.Aku menjauhinya. Pembicaraan ini sama sekali tidak pantas untuk dilakukan. Ayu sama sekali tidak menjadi masalah utama. Sejak awal masalahnya adalah Alina.“Kamu membelanya dengan terang-terangan?” Alina tertawa.Dulu tawa Alina sangat merdu di telingaku, bagaikan bidadari yang tengah berny