Pov : Yuli "Mas, aku sudah minta maaf sama kamu bahkan sama ibu dan adikmu, tapi kenapa kamu masih melanjutkan perceraian ini? Apa masih kurang banyak permintaan maafku? Aku harus berbuat apa biar kamu mau memaafkanku dan menghentikan perceraian ini, Mas?" tanyaku pada Mas Danu yang terdiam di sofa ruang tengah sembari memangku Annisa. Dia hanya melirikku sekilas lalu menghela napas."Aku janji akan berusaha menjadi istri dan menantu yang baik, Mas. Aku juga akan berusaha menjadi ipar yang baik. Kumohon jangan perpanjang masalah ini ya, Mas," ucapku dengan wajah memohon agar Mas Danu mau menghentikan kasus cerai ini."Cukup, Yul. Bukankah selama ini kamu sudah sering berjanji untuk menjadi istri yang baik? Tapi apa nyatanya? Nol besar," ucap Mas Danu kemudian. Tangisku kembali keras terdengar. Aku tahu jika selama ini memang sering cekcok dengan Mas Danu soal keuangan. Mungkin memang aku yang terlalu banyak menuntut.Sebelum menikah aku sudah berjuang untuk keluarga, karena itulah s
Ibu dan Bapak masih saja membujuk agar aku menyetujui perjodohanku dengan Rony, anak sulung Pakdhe Samsul itu. Mungkin memang ibu bapak khawatir dengan kesendirianku apalagi di kota metropolitan. Meski berulang kali kubilang, usahaku di sana makin maju tapi tetap saja bapak dan ibu masih ragu. Mereka nggak tega membiarkan aku dan Zahra tinggal di kita sebesar Jakarta hanya berdua saja, tanpa sanak saudara. Ibu bapak belum tahu jika Mas Hanan datang lagi bahkan berusaha meyakinkanku kembali. Tak hanya itu saja, dia juga sudah melamarku waktu itu hanya saja kutolak dengan alasan masih trauma dengan pernikahan. Ponselku berdering beberapa kali. Meski begitu malas, mau nggak mau aku mengambil benda hitam pipih itu dari meja rias. Nama Mas Hanan muncul di sana. Nama yang baru dua hari lalu aku simpan di ponselku karena sebelumnya hanya numpang lewat saja tak berniat menyimpannya. Tiga hari ini aku memang istikharah, aku nggak tahu siapa yang terbaik buatku. Aku menyerahkan semua padaN
Detik ini kulihat dua lelaki yang memiliki tujuan sama. Mereka datang ke rumah ini dengan niat untuk melamarku. Keduanya duduk berdampingan dengan tenang, sementara bapak duduk di seberang meja sembari memperhatikan dua laki-laki itu bergantian. Mas Hanan dan Rony. Aku mengenal mereka di masa lalu, namun Rony cukup berbeda karena aku baru ketemu detik ini setelah tiga tahun berlalu.Terakhir kali dia pulang saat kontrak kerjanya habis dan kini kembali ke tanah kelahirannya. Bapak bilang Rony akan membuka usaha di sini dan berhenti kerja di luar negeri.Selain sudah punya modal usaha, kedua orang tuanya juga melarangnya pergi jauh. Alasannya karena mereka sudah cukup tua, takut Rony tak bisa pulang jika mereka kenapa-kenapa. Kembali kuhela napas panjang. Saat ini aku hanya mendengarkan obrolan mereka dari kamarku yang bersebelahan dengan ruang tamu. Aku tak berani duduk diantara mereka. Aku berusaha menguping pembicaraan mereka, tapi tetap saja tak terlalu jelas terdengar. Suara tele
Ibu dan Bapak akhirnya sampai di Jakarta, Rony tampak cukup kelelahan karena tak ada yang gantiin menyetir. Sementara kegiatan ngecraft memang kustop dulu. Orderan yang masuk pun sudah aku selesaikan sebelum mudik ke Solo enam hari lalu. Rony bersama bapak memilih tidur di kontrakan sebelah menggunakan kasur lantai, sementara ibu tidur bersamaku dan Zahra di kontrakan utama. Gegas kukirimkan pesan pada Bang Baim untuk mengantar lima porsi bakso dan es buahnya. Meski di jalan sudah mampir makan, tapi saat ini mereka pasti sudah lapar lagi. Bakso dan es buah lumayan seger buat mengisi perut siang bolong begini. Kami sampai kontrakan pukul sebelas siang karena Rony memang sering istirahat sebentar di pom bensin untuk sekadar melepas lelah. Maklum, dia menyetir sendirian karena memang nggak ada pengganti."Hallo, Wit. Bapak dan Ibu ikut ke Jakarta, ya?" tanya Mas Aris dari seberang. Entah darimana dia tahu kalau ibu dan bapak ikut serta ke Jakarta hari ini. Aku yakin Mas Aris akan cari
Aku siap-siap mengantar Zahra ke sekolah karena hari ini dia ada tes harian. Nggak boleh telat, apalagi tes di jam pertama. Gegas kukeluarkan motor dari dalam kontrakan. Zahra pun buru-buru mengenakan jilbab putihnya lalu keluar rumah sudah dengan seragam dan tas lengkap. Dia memang sudah cukup mandiri di usianya kini. Jika aku masih sibuk di dapur atau packing orderan pun, anak gadisku itu ikut membantu. Beberes rumah yang dia bisa atau memintaku untuk menggunakan tenaganya. Aku sangat bersyukur memiliki Zahra yang begitu pengertian. Tak banyak mengeluh tentang keadaan, cekatan dan dia juga bukan anak yang manja. Apapun yang dia minta selalu berusaha kupenuhi, hanya saja jika belum mampu dia mau menahan keinginannya. Mau menabung sedikit demi sedikit sampai cukup untuk membeli barang yang diinginkannya. Dia anak yang cukup sabar dibandingkan dengan anak lain seusianya. "Kunci sekalian, Ra," ucapku pada anak gadisku itu. Dia pun mengangguk pelan. "Ini kuncinya, Bu. Zahra masukka
Kulihat malaikat tanpa sayapku itu terbaring lemah di pembaringan. Banyak perban di sana-sini, selang infus pun tertancap di tangannya. Bapak mengedipkan matanya ke arahku. Duka itu menggantung di wajahnya yang menua. "Pak ... bagaimana keadaan bapak sekarang? Bapak harus sembuh, ya?" Aku terisak di sampingnya. Mencium punggung tangannya yang mengeriput. Kedua mata itu pun berkaca-kaca melihatku begitu berduka. Ya Allah ... aku benar-benar takut kehilangan bapak. Aku takut bapak pergi sebelum aku bisa mewujudkan semua impian-impiannya. Panjangkan lah umurnya, agar dia bisa menjadi wali dan menyaksikan hari bahagiaku nanti. Seperti yang dia inginkan selama ini. "Zahra mana?" Lirih kudengar suara bapak menanyakan cucu kesayangannya. "Di Jakarta sama Mbak Mayang, Pak. Kasihan dia kalau diajak ke sini," ucapku lirih. Kuseka bulir bening yang menetes di kedua pipinya yang mengeriput. "Rony baik-baik saja, kan? Kasihan dia," tanya bapak lagi. Aku pun kembali menyeka air mata yang meniti
Hari keenam di rumah sakit, Bapak sudah mulai membaik dan diizinkan pindah ke ruang perawatan untuk pemulihan, Rony pun sudah membaik namun belum dipindah ke ruang rawat. Dia masih di ruang ICU. Kata Dokter, jika hari ini makin membaik InsyaAllah besok juga akan dipindah ke ruang rawat. Sejak keputusan Bapak untuk menikahkanku dengan Rony lima hari lalu, tak ada obrolan lagi tentang itu. Bahkan Pakde Samsul dan Budhe Nur pun belum memberikan keputusan apa pun. Mereka bilang, keputusan ada di tangan Rony. Biar dia yang menjawab, iya atau tidak. Sementara Mas Hanan masih tetap mengurus semua keperluan Bapak, tanpa pernah memaksaku menjawab apa jawaban istikharahku selama ini. Ya ... semua diam seolah tak terjadi apa-apa dan tak ada pembahasan apa-apa sebelumnya. "Bagaimana jawaban Pakde Samsul, Wit?" tanya Bapak di sela-sela sarapan paginya. Aku menyuapi Bapak dengan menu bubur ayam. "Belum ada jawaban, Pak. Pakde Samsul masih sibuk mengurus Rony, lagipula Pakde bilang semua kepu
Pagi yang cerah. Mentari pagi menyinari bumi. Hangat. Kuhembuskan napas lega setelah melewati perjalanan panjang yang menengangkan. Sejak kemarin sore, Mas Hanan menginap di rumah pakde Samsul. Mereka ingin menjamu dengan makanan 'ndeso' katanya. Betapa bahagianya aku melihat keikhlasan dua lelaki itu. Mereka tak ada yang memaksakan kehendak. Menerima segala keputusan yang ada dengan lapang dada, saling merangkul dan melayangkan doa untuk kebaikan bersama.Indahnya dunia seandainya masing-masing orang memiliki keikhlasan dan tak bersikap memaksa seperti mereka. "Assalamu'alaikum." Terdengar salam dari luar. Ibu yang masih sibuk di dapur gegas menjawab salam dan keluar menuju pintu. "Wa'alaikumsalam. MasyaAllah Zahra ikut ke rumah Mbah Putri?" Ibu terdengar begitu girang. Ibuku yang menua dengan daster dan hijab simpelnya. Hijab yang warnanya sudah memudar, tapi masih terus dipakainya. Kadang ada luka yang menganga di dalam sana, betapa selama ini aku kurang memperhatikan ibuku.
Wita benar-benar tak menyangka jika ibu dan keluarga Ulya datang dalam acara ini karena pagi tadi saat dia menelepon, mereka sama-sama bilang sibuk. Ibunya bilang ada acara penting jadi tak bisa mengobrol terlalu lama dengannya via telepon, sementara Ulya bilang mau ke luar kota. Dia tak menyangka jika alasan itu sengaja mereka pakai untuk memuluskan rencana. Iya, ibu dan Ulya memang sibuk ke luar kota, tapi Wita tak mengira jika mereka sama-sama dalam perjalanan ke Jakarta dan sengaja ingin memberikan kejutan spesial untuknya dan keluarga kecilnya. Syifa menyambut mereka dengan senyum lebar dan pelukan hangat. Pura-pura tak peduli dengan kekagetan kakak iparnya, Syifa segera mengajak para tamunya untuk masuk ke rumah dan duduk bersama tamu-tamu lainnya. Kedua mata Syifa dan Wita bertemu. Mereka pun tersenyum lalu terkekeh dengan mata yang sama-sama berkaca. Wita benar-benar tak menyangka jika Syifa akan memberikan kejutan spesial seperti ini untuknya. Ucapan terima kasih pun terden
Dua wajah cantik terlihat di depan mata. Syifa dengan senyumnya yang memikat dan putri sulungnya masih masih terlelap. Wita sangat bersyukur melihat keadaan adik iparnya itu membaik pasca pendarahan kemarin. Syifa berulang kali memeluk kakak iparnya dan mengucapkan terima kasih karena sudah mengajarinya banyak hal tentang sabar dan ikhlas. Kini, kesabarannya menanti buah hati sekian tahun telah terobati dengan hadirnya si kecil dalam hidupnya. "Sehat-sehat ya, Syif. Selamat menikmati masa-masa mendebarkan ini. Begadang, mengasihi, bau ompol dan banyak hal yang kelak akan menjadi kenangan tersendiri buatmu bahkan tak jarang akan menjadi kenangan yang amat dirindukan tiap ibu," ucap Wita saat melihat iparnya duduk di sofa ruang tengah sembari menggendong malaikat kecilnya. Syifa menatap Wita lagi dan lagi lalu tersenyum lebar. Semenjak kepergian papanya, Wita sering kali menjadi tempatnya mencurahkan segala resah di saat suaminya sibuk bekerja. Wita tahu banyak hal tentang kegundahan S
"Apa ini, Sayang?" tanya Hanan saat melihat sebuah undangan di meja kerja Wita. Kebetulan sore ini Hanan menjemput istri dan anak-anaknya di butik tempat Wita menghabiskan sebagian waktunya di sana beberapa hari belakangan. PuZa Butik itu cukup terkenal dan banyak konsumen yang datang membeli beragam aksesoris hijab dan gamis-gamisnya. Meskipun usaha offline dan online gamis beserta hijabnya sudah melejit, tapi Wita masih mempertahankan usaha handmadenya. Beragam kerajinan masih diproduksi oleh beberapa karyawannya yang setia menemaninya sejak tinggal di kontrakan sampai sekarang memiliki ruko sendiri. Beragam aksesoris hijab mulai dari bros, head piece, kalung, anting dan lain-lain. Berbahan flanel pun ada mulai dari gantungan kunci, jam dinding dengan beragam bentuk, sepatu buat bayi, bunga hias, kotak tissu hias dan lainnya. Aksesoris handmade itu dipajang tersendiri di bagian depan ruko sebelah kiri, sementara bagian kanan ada beberapa set gamis dengan hijabnya dan lantai ata
Seminggu dirawat di rumah sakit, akhirnya Zikri diperbolehkan pulang. Laki-laki itu benar-benar tak mengingat siapapun kecuali istrinya. Naomi kini sudah menjalani pemeriksaan dan ditahan di kantor polisi. Sementara Zikri pulang ke rumahnya didampingi Bi Sumi sebagai asisten rumah tangganya. Anjas dan Hanan masih memiliki hati, membiarkan Zikri pulih lebih dulu baru mengurus penangkapannya. Kasusnya ditangguhkan beberapa saat sampai Zikri bisa diajak kompromi. Semua bukti sudah ada dan kini diurus oleh pengacara Hanan. Hanan dan Syifa cukup lega setelah berhasil mengetahui siapa pengirim surat ancaman di hari kepergian papa mereka itu. Laki-laki yang juga menjadi dalang teror keluarganya beberapa hari belakangan. Zikri merencanakan banyak hal untuk menghancurkan bisnis dan keluarga Hanan. Kebenciannya terlalu dalam pada Hanan dan keluarganya sejak dia di penjara dia tahun silam. Tak hanya sekali Zikri dan Naomi merecoki kehidupan Hanan dan Wita, tapi berulang kali. Mereka seolah
Semalaman Naomi tak bisa tidur. Dia hanya guling-guling di kasur sembari sesekali membayangkan kehadiran kedua orang tuanya kembali. Papa dan mamanya telah tiada. Seharusnya dia bahagia karena masih memiliki kerabat dekat yaitu sang paman, adik kandung papanya sendiri. Namun, kerabat dekatnya justru membuat hidupnya di ambang kehancuran. Mereka yang awalnya terlihat baik, mendukung dan merangkul Naomi yang kesepian, justru bersekongkol merebut apa yang papanya wariskan. Terlebih saat Naomi masuk penjara. Rumah dengan segala fasilitasnya habis tak bersisa. Semua sudah berganti nama sang paman, lengkap dengan tandatangannya sendiri. Naomi tak sadar kapan dia menandatangani surat itu. Yang dia tahu, sang paman sering datang menjenguknya di awal-awal Naomi masuk penjara. Meminta perempuan itu menandatangani ini itu dengan alasan syarat untuk banding, minta keringanan, pembebasan bersyarat dan alasan lainnya. Kenyataannya, Naomi tetap menjalani masa tahanan normal seperti pada umumnya
Mobil yang dikendarai Hanan berhenti di garasi. Suasana sudah cukup malam, nyaris jam sebelas mereka sampai di rumah. Pak Sasro turun dari mobil diikuti Ahmad dan Naomi. Perempuan itu terdiam sejenak di samping mobil sebelum akhirnya mantap melangkahkan kaki menuju teras. Gerbang ditutup dan dikunci oleh Pak Sasro, sementara Hanan membuka pintu utama. Terdengar jawaban dari Wita dan Syifa dari ruang makan saat Hanan mengucap salam. Kedua perempuan itu melangkah beriringan menuju ruang tengah. Keduanya shock saat melihat Naomi berdiri di antara Pak Sasro dan seorang laki-laki yang belum mereka kenali. "Naomi?" Syifa pun ternganga melihat perempuan itu bergeming tak jauh darinya. "Zikri yang meminta Ahmad melakukan semua itu, Sayang." Hanan menjatuhkan bobotnya ke sofa lalu Wita dan Syifa pun duduk di sebelahnya. "Mas Anjas mana, Kak?" Syifa terlihat cemas saat suaminya tak ikut dengan mereka. Dia takut jika Anjas kenapa-kenapa, apalagi saat ini posisinya sedang hamil muda. "An
"Apa yang terjadi, Njas? Zikri gimana?" Hanan kembali bertanya dengan sedikit gugup. "Zikri kecelakaan saat mau numpang di truk sayur, Mas. Dia terjatuh lalu terserempet mobil. Sekarang kami bawa ke rumah sakit Khadijah. Sebaiknya Mas Hanan langsung ke kantor polisi saja untuk mengurus masalah ini. Dengan begitu, polisi akan lebih cepat bertindak dan mengusut kejahatan Zikri dan Naomi. Barang kali ada kejahatan lain yang belum kita ketahui." "Oke, Njas. Kamu hati-hati di sana." "Siap. Nanti kalau ada sesuatu aku kabari lagi. Sekarang baru mau ke UGD, Mas. Pak Sasro kuminta balik ke rumah Zikri. Takutnya Naomi sama Ahmad kabur kalau cuma Mas Hanan yang menjaga mereka." "Oke, Njas. Kalau begitu aku tunggu Pak Sasro datang." Anjas mengiyakan lalu menutup obrolan. Di saat menunggu kedatangan Pak Sasro itu, Hanan pun mulai berpikir jika ucapan adik iparnya itu ada benarnya. 'Sebaiknya memang meminta bantuan polisi untuk mengusut tuntas soal ini. Setidaknya agar papa lebih tenang di
Rumah dua lantai itu terlihat sepi. Pagarnya pun terkunci rapat. Tak ada motor atau mobil di garasi. Sunyi dan hening. Rumput tumbuh subur di taman depan rumah, sebagian temboknya pun sudah mengelupas, pertanda rumah ini tak terurus dan tak berpenghuni lagi. "Gimana, Mad? Zikri tak tinggal di sini lagi," ujar Hanan sembari menghela napas kasar. "Kalau begitu, saya ikut rencana bapak saja. Kalau harus telepon Pak Zikri sekarang juga tak apa-apa," ujar lelaki yang masih diborgol itu. Hanan dan Anjas pun saling tatap lalu sama-sama mengangguk. "Mana handphonemu? Saya yang panggilkan Zikri. Sesuai rencana yang sudah aku susun tadi, kamu harus bertanya dengan jelas alamat rumahnya atau tempat kalian bertemu. Jangan macam-macam jika mau aman," ancam Hanan kemudian. Ahmad pun mengerti. Dia meminta Hanan untuk memanggil nama Bos Zikri di kontak handphonenya. Tak berapa lama panggilan terhubung. Hanan sengaja menyalakan loud speaker agar bisa ikut mendengarkan obrolan Ahmad dengan lawan
[By, sepertinya aku harus keluar dari kota ini untuk sementara waktu. Setidaknya sampai kondisi aman. Bos memintaku segera pergi malam ini juga. Aku akan ke terminal sekarang. Kalau ada waktu, kemarilah. Sekalian ada oleh-oleh untuk kamu dan teman yang lain. Anggap saja ini traktiran terakhirku di sini untuk kalian] Pesan dari Ahmad membuat Robby buru-buru ke kontrakannya kembali lalu mengambil jaket dan melakukan motornya menuju terminal. Dia sangat mengkhawatirkan teman kontrakannya itu. Dia berpikir ingin melihat Ahmad dalam keadaan baik-baik saja sebelum kepergiannya. Tepat di saat Robby pergi dari area kontrakan, Pak Sasro yang diminta Hanan mengawasi gerak-gerik Robby pun mengikutinya dari belakang dengan sebuah motor. Sengaja pakai motor agar lebih leluasa mengawasinya dari jarak dekat. Dengan jaket hitam, masker dan helm Pak Sasro lebih bebas mengikuti Robby tanpa dicurigai. Dia pun bisa melajukan motornya di belakang Robby lalu mengikutinya ke area terminal. [Di sampin