Malam ini aku kedatangan tamu. Ia seorang Uztadzah. Bu Siti Badriah namanya. Beliau adalah istri ustadz Bahrudin Mukhtar. Rumahnya sekitar berjarak lima rumah dari tempatku menetap.Kemarin, selepas bertemu dengan Reno aku langsung berkonsultasi kepada beliau. Aku mengatakan kepada beliau bahwa aku ingin memperdalam agama kembali. Beliau pun bersedia datang kerumah selepas Maghrib. Beliau tahu jika aku tidak pernah keluar rumah jika malam tiba. Semua itu kulakukan untuk menjaga marwah sebagai seorang wanita single parent."Maafkan saya Bu, jika saya merepotkan ibu untuk datang ke rumah. Padahal harusnya saya yang datang," ucapku kepada Bu Siti Badriah setelah kami sama duduk bersama Naomi juga."Tidak apa-apa, Teh, saya paham kenapa teteh gak mau keluar rumah. Kan gak ada yang antar Teteh. Kalau saya kesini kan di antar Abi. Jadi aman deh," ucapnya sambil mengulum senyum ramah."Bu, seperti yang sudah Rini sampaikan tempo hari. Jika Rini ingin kembali memperdalam agama. Mungkin telat
Sudah beberapa jam Naomi diajak Reno. Sepi sekali terasa. Untungnya aku sambil menunggu warung jadi tidak terasa begitu kesepian dengan melayani beberapa pembeli yang kadang mengajak mengobrol."Teh Rini, saya pulang dulu yah, hujan udah mau turun saya gak bawa payung," ucap pelanggan yang tadi barusan belanja dan sebentar mengobrol berbagai hal."Yah, Teh, Terima kasih, Teh," ucapku sambil melempar senyum.Yah, cuaca terlihat gelap. Awan- awan hitam bergelayut dilangit sana. Disertai beberapa kali suara petir. Tak berapa lama hujan pun turun dengan derasnya.Ya, Allah, hujan deras, dimana Naomi dan Reno yah? Semoga tidak apa-apa ditengah jalan nanti.Hujan begitu derasnya terus mengguyur hingga malam. Reno tak juga muncul. Membuatku semakin khawatir dengan kondisi mereka dijalan. Sementara kondisi rumahku juga tidak kalah mengkhawatirkan. Air sudah masuk kedalam rumah dengan ketinggian beberapa sentimeter.Aku pencet tombol di ponsel untuk menghubungi Reno."Assalamu'alaikum, Mas, se
Sudah satu Minggu lebih aku menumpang tinggal di rumah Bu Darniah. Aku sebenarnya sudah ingin pulang tapi Bu Darniah masih menahannya. Katanya menunggu sehat betul.Namun, dirumah Bu Darniah aku juga bukan ongkang-ongkang kaki, makan tidur, makan tidur saja. Segala urusan rumah aku beresin, rumah Bu Darniah kini tampak rapi. Yah, mungkin karena kesibukan mereka di sawah jadi rumah Bu Darniah tampak berantakan. Makanya aku berinisiatif untuk merapikan rumahnya. Membersihkan areal rumahnya. Bu Darniah tampak senang sekali.Selain itu aku juga kerap ikut ke sawah, meski gak ikut terjun langsung tapi sekedar menemani mereka berdua. Kadang membawakan bekal mereka ke sawah untuk makan siang.Hari itu, selepas sholat dhuhur, seperti biasanya aku ke sawah membawa bekal untuk makan siang buat mereka. Bekal itu aku taruh dalam tas anyaman tali sejenis plastik. Isinya ada nasi, lauk pauk, piring sendok, pisau dapur dan sebongkah buah semangka dan beberapa butir jeruk. Ada juga termos air panas
Kini aku dijebloskan di sel tahanan khusus wanita. Ruang tahanan 5x5 yang pengap. Di huni oleh beberapa tahanan wanita. Entah kasus apa yang menimpa mereka hingga berada ditahanan.Ketika pertama kali masuk, aku langsung di kerubuti penghuni tahanan berjumlah empat orang. Mereka sepertinya sudah lama berada di tahanan dan seperti sudah beradaptasi dengan dengan ruangan pengap itu.*****Hari demi hari terus bergulir. Mendekam di sel tahanan sambil menunggu panggilan pengadilan. Aku terus meningkatkan ibadahku. Aku terus berdoa agar diberi kesabaran dan kekuatan untuk menghadapi kasus yang menimpaku ini. Kasus berat yang bisa saja menjebloskan tubuh ini menjadi pesakitan seumur hidup di penjara.Selain itu tak lupa aku terus berdoa bagi kesehatan dan keselamatan Naomi. Aku kangen Naomi, kangen senyumannya, manjanya, tangisannya, lucunya dan sebagainya.Aku selalu menangis jika ingat dengan Naomi. Ia harta satu satunya yang paling berharga.Sekarang aku tidak memiliki harta, rumah dan
POV RENOKerinduan kepada Naomi sudah tak terbendung lagi. Akhirnya sehabis subuh kulajukan mobil sedanku menuju gerbang tol jurusan Jakarta Cirebon.Tapi kali ini aku wajib meminta izin terlebih dahulu kepada Rini bila ingin menjemput Naomi.Setelah sampai di rumah Rini, segera aku menemuinya untuk meminta izin terlebih dahulu."Assalamu'alaikum, Rini," ucapku ketika sudah mendekatinya di warung."Wa'alaikumussalam, Mas," wah! Bawaannya sekarang beda yah, semenjak lama ia tak datang. Kelihatan lebih cool dan religius," ucap Rini wajah berbinar-binar."Maaf, Rini, Mas mau minta izin menjemput Naomi di sekolah," ucapku setelah aku dipersilahkan duduk di bangku teras rumahnya."Sudah bisa dengan syarat yang Rini ajukan," ucap Rini."Insya Allah Rini. Sudah Mas bilang. Apapun syaratnya akan Mas lakukan," ucapku antusias penuh keyakinan."Syarat itu bukan untuk Rini, Mas, tapi buat kebaikan Mas juga. Mas kan seorang Imam keluarga. Wajib memiliki bekal agama untuk membimbing keluarganya,"
POV RENOPerlahan aku dekati mereka yang sedang menikmati kopi dan kue menu kafe terkenal tersebut.Aku berjalan perlahan di belakang Dona, yang saling berhadapan dengan Andrean Jhon Sujiwo Tejo. Aku berhenti persis di belakang Dona duduk. Andrean kemudian melihat kehadiranku. "Pak Reno? Bapak ada di sini juga. Mari silahkan gabung bersama kami," ucapnya begitu melihatku. Ia berdiri sambil merenggangkan letak kursi di samping mereka.Dona yang duduk membelakangiku secara refleks berpaling ke arahku.Wajahnya sepontan melihatku dengan wajah terkejut. Lalu beranjak dari tempat duduknya dan berdiri."Papa? Pa-pa-papa kok disini?" tanya Dona dengan sedikit gugup. Ia tak mampu menyembunyikan rasa keterkejutannya kepadaku. Ia kemudian berpaling ke arah Andrean yang juga sama terkejut karena Dona memanggilku Papa."Andrean, kenalkan ini suami Dona. Papa kenalkan ini Andrean teman kuliah Dona dulu, i-i-iya baru beberapa minggu di jakarta," ucap Dona dengan berusaha bersikap tenang."Oh, ja
POV RENODengan tanganku ku bongkar puing-puing rumahnya. Tubuhku penuh keringat, mataku bercucuran air mata. Bibirku bergetar sambil memanggil manggil nama Rini.Rini ... Di mana kamu Rini ...Rini ....Mataku bercucuran air mata di antara puing-puing rumahnya yang berusaha aku bongkar dengan tanganku.Tiba-tiba tubuhku di pegang beberapa petugas menghentikan apa yang sedang kulakukan."Pak, Reno. Sabar Pak! Sabar. Nanti kita akan membongkarnya setelah air surut, Pak," ucap beberapa petugas yang berusaha memegangi tubuhku agar aku menghentikan kegilaanku membongkar puing-puing rumah di bawah longsoran tanah dan batu.Aku meronta, berusaha melepaskan diri dari pegangan mereka. Agar aku bisa melanjutkan kembali membongkar puing-puing rumah Rini."Lepaskan pak! lepaskan! Bapak lihat, Rini ada di dalam, kasihan dia! Pasti dia terjepit di dalam. Tidak bisa berbuat apa-apa! Saya harus menyelamatkannya, Pak! Biarkan saya yang membongkar sendirian jika Bapak-bapak tidak mau membantu! Lepaska
POV DONASore itu aku di ajak ketemuan sama si bule Andrean Jhon. Ah, mumpung papa ada rapat dengan perusahaan Jepang. Aku gunakan saja kesempatan itu.Akhirnya kami ketemuan di kafe ternama di Jakarta. Disampingku tempatnya yang santai suasananya juga menyenangkan.Ketika aku sampai, tampak Andrean sudah menungguku. Duh! Gantengnya mirip Brad Pitt. Hidungnya mancung, bibirnya merah, rambutnya ikal kecoklatan, matanya sedikit biru.Ah! Beruntung sekali yang jadi istrinya. Sayangnya aku sudah punya suami. Coba kalau enggak udah pasti aku minta dilamar terus.Ia terlihat senyum-senyum ketika melihat kehadiranku. "Hai, Andrean, sudah lama menunggu?" Sapaku ketika sudah di hadapannya."Oh, not yet honey, just a few minutes ago. You really look so beautiful, honey," ucapnya sambil merenggangkan kursi yang akan aku duduki."Thank you, sayang, kamu juga begitu tampan mempesona," jawabku."So, kamu mau makan apa sekarang, honey?" tanya Andrean dengan logat bahasa Indonesia kaku nya."Apa aja