"Sudahlah, Sri. Hari sudah malam. Mas nggak mau ribut sama kamu. Mas mau tidur. Capek!" ucap Arya mencoba menghentikan Sri yang terlihat kesal melihat sikapnya.Namun, Sri tampaknya tak mau berhenti begitu saja. Wanita itu makin terlihat tak suka."Bilang sama aku, Mas! Nining itu siapa? Apa janda yang punya toko perhiasan di pasar itu? Kenapa Mas mau pinjam uang sama dia? Apa nggak ada yang lain lagi?" desak Sri lagi, merasa tak enak hati kalau tak bisa dikatakan cemburu karena tiba tiba suaminya mengatakan ingin meminjam uang pada perempuan itu.Setahu Sri, wanita yang bernama Nining di kampung ini adalah janda kaya yang sukses dengan usaha toko perhiasan dan toko pakaian di pasar itu. Dia sudah beberapa kali menikah, dan rata rata menikah dengan suami orang.Lantas kenapa pada perempuan itu Arya harus pinjam uang? Kenapa tidak ke tempat lain saja yang tidak beresiko seperti ini? Toh, masih banyak tempat lain yang bisa dihutangi. Bukan janda yang sudah beberapa kali menikah dan gaga
"Sri!" Kejar Arya sesaat setelah istrinya itu keluar kamar sembari membanting pintu dengan keras.Jujur, Arya merasa kesal bukan main karena bukannya mengerti, memahami dan mendukung usahanya untuk sukses, demi kebahagiaan mereka berdua juga, istrinya itu justru bersikap protektif dan penuh kecurigaan seperti ini.Bukan seperti ini sikap yang dia harapkan akan dia dapatkan dari Sri sebenarnya, melainkan dukungan sepenuhnya agar dia bisa sukses membangun usaha baru tersebut.Tapi bukannya mendukung, Sri justru bersikap paranoid seperti ini. Siapa yang tidak kesal coba?"Sri!" kejar Arya sekali lagi sembari meraih bahu istrinya itu dan membalikkan tubuh wanita itu saat dia telah berhasil mengejar Sri."Sri, dengarkan Mas! Tolong kamu jangan bersikap seperti ini. Mas itu pinjam uang untuk modal usaha. Demi siapa? Ya demi kamu! Demi Via, anak Mas! Jadi, nggak usah seperti anak kecil begini deh, Sri. Kita sudah sama sama dewasa. Sudah bisa memilih dan memutuskan mana yang terbaik. Jadi pli
"Enak juga ya, Ya. Sistem bagi hasil begini. Jadi kamu nggak perlu bayar hutang lagi. Kalau di luar prediksi, usaha baru kita itu nggak menguntungkan, kita nggak perlu bayar hutang ke Nining lagi," ujar Bu Hasnah di tengah perjalanan menuju pulang ke rumah dari rumah Nining.Arya menganggukkan kepalanya."Iya sih, Bu. Cuma bagi hasilnya sebenarnya banyak sekali. Masak 60 - 40 persen sih, Bu. Padahal nanti kan yang capek aku, Bu," sahut Arya.Bu Hasnah tersenyum."Ya, nggak masalah lah, Ya. Yang penting kamu bisa bikin usaha baru. Coba kalau nggak ada Nining, gimana? Mau pinjam ke koperasi atau leasing juga, panjang urusannya. Belum lagi kalau usaha kamu nggak sukses, bisa bisa mobil kamu ditarik leasing.""Istri kamu juga nggak bisa kasih modal, kan? Hmm ... Ibu pikir bertahun tahun kerja di rumah sakit, minimal punya tabungan. Ternyata nggak," jawab Bu Hasnah, setengah mengeluhkan menantunya yang tidak sesuai dengan harapannya semula itu.Setelah sebelumnya sempat berubah, tampaknya
"Mas, aku minta uang buat belanja ya. Semua habis, Mas. Mana sekarang harga barang naik semua. Uang yang kamu kasih kemarin sudah habis, Mas aku belanjakan," ujar Sri saat Arya tiba di rumah.Tak langsung menjawab, Arya masuk lalu duduk di sofa."Berapa?" tanya Arya kemudian."Terserah Mas. Tapi beras, minyak goreng, cabe, dan sayuran di kulkas semuanya sudah habis, Mas," jawab Sri.Dengan bibir tanpa senyum, Arya lalu mengeluarkan dompet dari saku celananya dan memberikan uang sebesar seratus ribu rupiah pada Sri.Melihat besar uang yang diberikan suaminya itu, Sri tampak kaget."Masak cuma seratus ribu rupiah sih, Mas? Kan udah aku bilang, semuanya habis, Mas?" ujar Sri lagi."Memangnya kamu mau berapa? Mas cuma punya segini soalnya! Lagian kamu punya gaji kenapa dikasihkan ke orang tua kamu semua sih? Kan kamu sendiri yang susah jadinya!" jawab Arya tak suka sambil menatap tajam wajah istrinya."Lho, tapi kan nafkah istri itu tanggung jawab suami, Mas? Sementara penghasilan istri i
"Heh, ada apa ini ribut -ribut? Apa nggak malu sama tetangga, pengantin baru kok belum apa apa udah pada ribut?" tanya Bu Siti yang tiba-tiba saja muncul dan masuk ke dalam rumah anak dan menantunya itu.Arya menoleh mendengar perkataan ibunya lalu membuka mulutnya."Ini, Bu. Sri. Minta uang belanja banyak-banyak. Aku kan pingin nabung juga untuk bikin rumah. Tapi dia malah minta belanja banyak banget. Siapa yang nggak marah coba, Bu?" ujarnya menanggapi pertanyaan ibunya sekaligus minta pembelaan.Mendengar jawabannya, Bu Siti menoleh ke arah Sri."Benar itu, Sri? Memangnya kamu mau belanja apa sih? Arya ini sekarang kan baru mau mulai bangkit lagi setelah kemarin habis bercerai dari istrinya.""Sekarang juga sedang bikin usaha baru. Walau pun join, tapi kan nggak mungkin Arya nggak keluar uang sedikit pun.""Harusnya kamu support dong. Jangan merecoki dia terus. Sekarang ini Arya sendiri juga butuh banyak uang. Kamu nggak bisa minjamin modal, setidaknya jangan ganggu dong, Sri!""Ka
"Sri? A-ada, Pak. Sebentar saya panggilkan ya, Pak," jawab Arya terbata-bata. Ia merasa kaget tak kepalang mendengar Pak Baskoro hendak memberikan uang sebesar dua puluh juta rupiah pada Sri untuk ongkos bulan madu mereka ke tempat tujuan. Itu pun kalau masih kurang, laki-laki paruh baya itu bersedia mentransfer berapa pun biaya kekurangannya lewat rekening istrinya itu.Ya, Tuhan. Kalau saja dia tahu, Sri bakalan dapat rejeki nomplok dari majikannya begini, tentu saja dia akan berbuat sebaik-baiknya pada istrinya itu supaya dia juga bisa ikut kecipratan rejeki dari istrinya itu.Tapi gara gara hawa nafsu ingin sukses dengan cara apapun ditambah lagi pengaruh dari ibunya yang selalu membujuknya untuk bersikap hati-hati dan jangan gampang gampang saja pada Sri, jadilah akhirnya dia memperlakukan istrinya itu dengan tak cukup baik seperti tadi. Hal yang sekarang ini disesalinya."Iya, Ya. Mana Sri? Bapak ingin menyerahkan uang ini langsung ke tangan dia," jawab Pak Baskoro lagi dengan
Bu Hasnah menatap kesal pada Sri yang mengeloyor masuk ke dalam kamar. Mendengar ucapan menantunya itu, dada perempuan itu terasa panas oleh amarah. Dia tak mengira menantunya itu sanggup berkata seperti itu dan melakukan perlawanan padanya."Apa katamu, Sri? Kamu mau pergunakan uang itu untuk bikin usaha sendiri? Enak aja kamu! Nggak bisa! Uang itu kan uang pemberian Pak Baskoro untuk kalian berdua! Bukan hanya untuk kamu saja!""Jadi ... kalau pun kamu nggak mau bulan madu, uang itu tetap harus dibagi dua sama rata dan sama adilnya dong sama Arya! Mana bisa kamu ambil sendirian!""Ya, ambil separuh dari uang itu sana! Kamu jangan diam aja dong! Sama perempuan kok ngalah terus!" ujar Bu Hasnah sambil menoleh ke arah Arya.Arya terlihat ragu. Namun, setelah melihat ibunya mendelik kan mata ke arahnya saat dia diam saja, laki laki itu pun akhirnya meneruskan langkahnya, hendak merebut amplop coklat itu dari genggaman tangan Sri.Tapi baru saja melangkahkan kaki, dia mendadak teringat s
"Sri, siapa mereka?" tanya Bu Hasnah pada menantunya yang barusan ke luar dari kamar dengan wajah terlihat gembira.Sri tersenyum tipis lalu menyahut."Tukang angkut barang yang saya panggil, Bu. Kulkas dan tempat tidur rencana mau saya pindahkan ke kontrakan adik saya, Denny yang besok pagi rencananya mau datang ke kota ini. Jadi, Sri nggak perlu belikan dia barang barang itu lagi untuk keperluan dia di sini," jawab Sri dengan nada suara tenang.Mendengar jawaban menantunya, pelipis Bu Hasnah tampak bergerak gerak menahan amarah yang terasa menggelegak di dalam dadanya.Baru saja dia dan Arya berniat menjual barang barang itu di market place, demi bisa menjadikan barang barang itu menjadi uang setelah menantunya itu menolak berbagi kado pernikahan dari Pak Baskoro tadi, tapi sekarang barang barang tersebut malah hendak dibawa Sri ke kontrakan adiknya. Sial sekali nasib mereka, gerutunya."Nggak! Nggak bisa, Sri! Enak aja kamu mau bawa barang barang ini ke kontrakan adik kamu! Barang