"Ada apa, Ya? Tumben malam malam nelepon?" sambut Bu Hasnah saat Arya menghubungi ibunya tersebut."Bu, barusan Arya tanya Sri, punya tabungan atau nggak. Dan katanya dia nggak punya, Bu. Jadi gimana? Apa kita pinjam koperasi aja ya, Bu? Atau gimana?" jawab Arya sambil menghembuskan nafasnya."Lho masa sih istri kamu nggak punya tabungan? Kok bisa? Jadi hasil kerja dia selama ini perginya ke mana? Masa iya nggak punya tabungan?" jawab Bu Hasnah merasa tidak percaya."Kata Sri sih, buat ngirim ke dua orang tuanya di kampung, Bu. Makanya nggak bisa nabung," sahut Arya pula. Di lubuk hatinya masih memendam kekesalan karena istrinya itu tak bisa membantunya."Oalah, Ya ... Ya! Ya udah, kalau gitu. Kalau Sri nggak punya tabungan ya mau gimana lagi. Kita pinjam koperasi atau gadaikan BPKB mobil kamu aja deh kalau gitu. Kalau kamu memang mau benar benar mengembangkan usaha.""Atau nanti Ibu coba hubungi Mbak Nining deh. Siapa tahu dia mau minjamin uang," sahut Bu Hasnah lagi."Mbak Nining? M
"Sudahlah, Sri. Hari sudah malam. Mas nggak mau ribut sama kamu. Mas mau tidur. Capek!" ucap Arya mencoba menghentikan Sri yang terlihat kesal melihat sikapnya.Namun, Sri tampaknya tak mau berhenti begitu saja. Wanita itu makin terlihat tak suka."Bilang sama aku, Mas! Nining itu siapa? Apa janda yang punya toko perhiasan di pasar itu? Kenapa Mas mau pinjam uang sama dia? Apa nggak ada yang lain lagi?" desak Sri lagi, merasa tak enak hati kalau tak bisa dikatakan cemburu karena tiba tiba suaminya mengatakan ingin meminjam uang pada perempuan itu.Setahu Sri, wanita yang bernama Nining di kampung ini adalah janda kaya yang sukses dengan usaha toko perhiasan dan toko pakaian di pasar itu. Dia sudah beberapa kali menikah, dan rata rata menikah dengan suami orang.Lantas kenapa pada perempuan itu Arya harus pinjam uang? Kenapa tidak ke tempat lain saja yang tidak beresiko seperti ini? Toh, masih banyak tempat lain yang bisa dihutangi. Bukan janda yang sudah beberapa kali menikah dan gaga
"Sri!" Kejar Arya sesaat setelah istrinya itu keluar kamar sembari membanting pintu dengan keras.Jujur, Arya merasa kesal bukan main karena bukannya mengerti, memahami dan mendukung usahanya untuk sukses, demi kebahagiaan mereka berdua juga, istrinya itu justru bersikap protektif dan penuh kecurigaan seperti ini.Bukan seperti ini sikap yang dia harapkan akan dia dapatkan dari Sri sebenarnya, melainkan dukungan sepenuhnya agar dia bisa sukses membangun usaha baru tersebut.Tapi bukannya mendukung, Sri justru bersikap paranoid seperti ini. Siapa yang tidak kesal coba?"Sri!" kejar Arya sekali lagi sembari meraih bahu istrinya itu dan membalikkan tubuh wanita itu saat dia telah berhasil mengejar Sri."Sri, dengarkan Mas! Tolong kamu jangan bersikap seperti ini. Mas itu pinjam uang untuk modal usaha. Demi siapa? Ya demi kamu! Demi Via, anak Mas! Jadi, nggak usah seperti anak kecil begini deh, Sri. Kita sudah sama sama dewasa. Sudah bisa memilih dan memutuskan mana yang terbaik. Jadi pli
"Enak juga ya, Ya. Sistem bagi hasil begini. Jadi kamu nggak perlu bayar hutang lagi. Kalau di luar prediksi, usaha baru kita itu nggak menguntungkan, kita nggak perlu bayar hutang ke Nining lagi," ujar Bu Hasnah di tengah perjalanan menuju pulang ke rumah dari rumah Nining.Arya menganggukkan kepalanya."Iya sih, Bu. Cuma bagi hasilnya sebenarnya banyak sekali. Masak 60 - 40 persen sih, Bu. Padahal nanti kan yang capek aku, Bu," sahut Arya.Bu Hasnah tersenyum."Ya, nggak masalah lah, Ya. Yang penting kamu bisa bikin usaha baru. Coba kalau nggak ada Nining, gimana? Mau pinjam ke koperasi atau leasing juga, panjang urusannya. Belum lagi kalau usaha kamu nggak sukses, bisa bisa mobil kamu ditarik leasing.""Istri kamu juga nggak bisa kasih modal, kan? Hmm ... Ibu pikir bertahun tahun kerja di rumah sakit, minimal punya tabungan. Ternyata nggak," jawab Bu Hasnah, setengah mengeluhkan menantunya yang tidak sesuai dengan harapannya semula itu.Setelah sebelumnya sempat berubah, tampaknya
"Mas, aku minta uang buat belanja ya. Semua habis, Mas. Mana sekarang harga barang naik semua. Uang yang kamu kasih kemarin sudah habis, Mas aku belanjakan," ujar Sri saat Arya tiba di rumah.Tak langsung menjawab, Arya masuk lalu duduk di sofa."Berapa?" tanya Arya kemudian."Terserah Mas. Tapi beras, minyak goreng, cabe, dan sayuran di kulkas semuanya sudah habis, Mas," jawab Sri.Dengan bibir tanpa senyum, Arya lalu mengeluarkan dompet dari saku celananya dan memberikan uang sebesar seratus ribu rupiah pada Sri.Melihat besar uang yang diberikan suaminya itu, Sri tampak kaget."Masak cuma seratus ribu rupiah sih, Mas? Kan udah aku bilang, semuanya habis, Mas?" ujar Sri lagi."Memangnya kamu mau berapa? Mas cuma punya segini soalnya! Lagian kamu punya gaji kenapa dikasihkan ke orang tua kamu semua sih? Kan kamu sendiri yang susah jadinya!" jawab Arya tak suka sambil menatap tajam wajah istrinya."Lho, tapi kan nafkah istri itu tanggung jawab suami, Mas? Sementara penghasilan istri i
"Heh, ada apa ini ribut -ribut? Apa nggak malu sama tetangga, pengantin baru kok belum apa apa udah pada ribut?" tanya Bu Siti yang tiba-tiba saja muncul dan masuk ke dalam rumah anak dan menantunya itu.Arya menoleh mendengar perkataan ibunya lalu membuka mulutnya."Ini, Bu. Sri. Minta uang belanja banyak-banyak. Aku kan pingin nabung juga untuk bikin rumah. Tapi dia malah minta belanja banyak banget. Siapa yang nggak marah coba, Bu?" ujarnya menanggapi pertanyaan ibunya sekaligus minta pembelaan.Mendengar jawabannya, Bu Siti menoleh ke arah Sri."Benar itu, Sri? Memangnya kamu mau belanja apa sih? Arya ini sekarang kan baru mau mulai bangkit lagi setelah kemarin habis bercerai dari istrinya.""Sekarang juga sedang bikin usaha baru. Walau pun join, tapi kan nggak mungkin Arya nggak keluar uang sedikit pun.""Harusnya kamu support dong. Jangan merecoki dia terus. Sekarang ini Arya sendiri juga butuh banyak uang. Kamu nggak bisa minjamin modal, setidaknya jangan ganggu dong, Sri!""Ka
"Sri? A-ada, Pak. Sebentar saya panggilkan ya, Pak," jawab Arya terbata-bata. Ia merasa kaget tak kepalang mendengar Pak Baskoro hendak memberikan uang sebesar dua puluh juta rupiah pada Sri untuk ongkos bulan madu mereka ke tempat tujuan. Itu pun kalau masih kurang, laki-laki paruh baya itu bersedia mentransfer berapa pun biaya kekurangannya lewat rekening istrinya itu.Ya, Tuhan. Kalau saja dia tahu, Sri bakalan dapat rejeki nomplok dari majikannya begini, tentu saja dia akan berbuat sebaik-baiknya pada istrinya itu supaya dia juga bisa ikut kecipratan rejeki dari istrinya itu.Tapi gara gara hawa nafsu ingin sukses dengan cara apapun ditambah lagi pengaruh dari ibunya yang selalu membujuknya untuk bersikap hati-hati dan jangan gampang gampang saja pada Sri, jadilah akhirnya dia memperlakukan istrinya itu dengan tak cukup baik seperti tadi. Hal yang sekarang ini disesalinya."Iya, Ya. Mana Sri? Bapak ingin menyerahkan uang ini langsung ke tangan dia," jawab Pak Baskoro lagi dengan
Bu Hasnah menatap kesal pada Sri yang mengeloyor masuk ke dalam kamar. Mendengar ucapan menantunya itu, dada perempuan itu terasa panas oleh amarah. Dia tak mengira menantunya itu sanggup berkata seperti itu dan melakukan perlawanan padanya."Apa katamu, Sri? Kamu mau pergunakan uang itu untuk bikin usaha sendiri? Enak aja kamu! Nggak bisa! Uang itu kan uang pemberian Pak Baskoro untuk kalian berdua! Bukan hanya untuk kamu saja!""Jadi ... kalau pun kamu nggak mau bulan madu, uang itu tetap harus dibagi dua sama rata dan sama adilnya dong sama Arya! Mana bisa kamu ambil sendirian!""Ya, ambil separuh dari uang itu sana! Kamu jangan diam aja dong! Sama perempuan kok ngalah terus!" ujar Bu Hasnah sambil menoleh ke arah Arya.Arya terlihat ragu. Namun, setelah melihat ibunya mendelik kan mata ke arahnya saat dia diam saja, laki laki itu pun akhirnya meneruskan langkahnya, hendak merebut amplop coklat itu dari genggaman tangan Sri.Tapi baru saja melangkahkan kaki, dia mendadak teringat s
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL, MAS! (132)Menyadari dirinya telah keceplosan bicara, Bu Wati pun buru buru meralat ucapannya supaya Bu Hasnah tak sadar jika putrinya sebenarnya memang telah berbadan dua."Eh, maaf ... salah ngomong. Maksudnya bukan hamil tapi biar cepat hamil, Hasnah. Maklum pengantin baru. Makanya harus banyak makan, biar rahimnya subur. Soalnya aku udah nggak sabar lagi pengen gendong cucu. Kamu juga kan, Hasnah?" ujar Bu Wati buru buru meralat ucapannya.Mendengar perkataan besannya itu, Bu Hasnah pun tersenyum lega dan gembira. Syukurlah, ternyata Hamidah bukannya sedang hamil melainkan berharap supaya bisa cepat hamil. Kalau begitu, dia pun tak keberatan karena sudah lama memang dia menginginkan kehadiran seorang cucu lagi dari Arya, sebab sekarang Via, putri Ana, mantan istri pertama Arya sudah sulit ia temui karena kesibukan cucunya tersebut sekolah. Belum lagi dia pun sibuk mengurus Arya yang sedang sakit.Bu Hasnah pun menganggukkan kepalanya dengan rona gembira.
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL, MAS! (131)"Bagaimana anak saya, Dok? Apa masih bisa diselamatkan?" tanya Bu Hasnah dengan perasaan sedih luar biasa saat melihat pria berseragam putih keluar dari ruang operasi di mana Arya beberapa saat yang lalu dibawa masuk untuk ditangani.Sudah sejak malam tadi sejak mendapatkan kabar kalau anak laki lakinya itu masuk rumah sakit akibat tertabrak mobil entah karena sebab apa, Bu Hasnah terus menerus menangis hingga sembab air mukanya.Dia tak bisa menyalahkan Bu Wati dan Hamidah yang telah membiarkan Arya berkeliaran di luar rumah di malam pengantin mereka sebab alasan Bu Wati, Arya tak bisa dilarang dan dicegah meski hari sudah malam saat hendak membeli sesuatu barang keperluannya. Itulah yang telah membuat kecelakaan tersebut bisa sampai terjadi.Dan Bu Hasnah pun terpaksa percaya begitu saja sebab sejauh ini dia memang tak tahu apa yang sebenarnya betul betul terjadi di rumah besannya tersebut malam tadi hingga akhirnya putranya itu harus mengalami t
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL, MAS! (130)Berpikir begitu, Bu Wati pun buru buru masuk kamar mandi dan berbisik di telinga putrinya."Midah, apa ... apa kamu hamil? Apa ... apa kamu dan Afandi sudah melakukan hal terlarang sebelum dia meninggal dunia dan kamu menikah dengan Arya? Kalau iya, kamu harus berdamai dengan Arya, Midah. Kamu nggak boleh menolak kehadirannya karena itu konyol namanya. Kamu butuh suami dan bapak untuk anak kamu, Midah! Ayok ikut Ibu ke kamar sekarang juga. Kita harus membicarakan ini sebelum kamu membuat keputusan yang salah dan membuat Arya pergi meninggalkan kamu!""Sebab kalau itu terjadi maka kemungkinan besar, anak kamu akan lahir tanpa bapak. Apa kamu mau hal Itu terjadi, Midah?" ucap Bu Wati yang tiba tiba merasa takut kalau Arya yang justru tak mau lagi dengan putrinya itu bila tahu putrinya itu ternyata sudah hamil sebelum menikah dengannya.Dia tak mau Hamidah hamil dan melahirkan tanpa suami. Dia tidak mau nama baiknya tercoreng. Itu sebabnya dia harus b
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL, MAS! (129)"Tok! Tok!Tok!"Sedang keduanya bertengkar, dari arah luar kamar terdengar ketukan pintu lumayan keras diiringi suara Bu Wati yang memanggil keras keduanya."Midah ... Arya, ada apa? Buka pintunya!" seru Bu Wati dari luar kamar.Hamidah memandang Arya sejenak seolah meminta pertimbangan, tapi tak lama kemudian karena Arya hanya diam saja tanpa reaksi, Hamidah pun buru buru membuka pintu dengan segera.Segera setelah dia membuka pintu, Bu Wati pun masuk dan menyerbu dengan tanya."Kamu kenapa Midah? Kok teriak teriak tadi? Apa Arya ganggu kamu?""Heh, Arya! Ibu kan sudah bilang, perkawinan kalian hanya sandiwara di atas kertas saja karena Ibu sudah minta tolong sama Ibu kamu untuk bisa menyelamatkan pernikahan putri Ibu yang terancam gagal karena Afandi meninggal dunia dan Ibu kamu sudah setuju!""Lantas sekarang kenapa Hamidah teriak teriak seperti tadi? Apa jangan jangan kamu ganggu dia ya? Kamu kan sudah janji kemarin nggak akan ganggu Hamidah!
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL, MAS! (128)"Lepaskan, Mas! Jangan sentuh aku! Apa kamu lupa perjanjian kita kemarin yang menyatakan kalau pernikahan kita hanya pernikahan pura pura di atas kertas saja dan di antara kita tak akan pernah ada malam pertama karena pernikahan kita bukan pernikahan sungguhan!" ujar Suster Hamidah sembari menepis keras tangan Arya yang berusaha menarik tubuhnya dan membuka pakaiannya.Namun, Arya hanya menyeringai lebar."Pernikahan kita bukan sungguhan? Midah, pernikahan kita tercatat sah di kantor urusan agama! Ijab qobul yang kita lakukan juga sah di mata agama. Kamu sekarang istriku! Sah di mata negara dan agama! Lalu kenapa kamu bilang pernikahan kita tidak sungguhan dan kamu menolak aku sentuh? Kamu mau masuk penjara karena sudah mempermainkan pernikahan? Kamu juga mau masuk neraka dan dilaknat malaikat karena menolak ajakan suami untuk memenuhi kewajiban kamu sebagai seorang istri? Iya?" Arya terlihat tak terima dengan penolakan Hamidah.Hamidah menggeleng
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL, MAS! (127)"Saya terima nikah dan kawinnya Hamidah binti Kusnadi dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai.""Sah.""Sah.""Sah "Semua hadirin yang hadir mengucapkan syukur setelah Arya selesai mengucapkan ijab qobul atas istri barunya, Suster Hamidah.Usai Arya mengucapkan penerimaan nikahnya, Suster Hamidah mengangkat wajahnya lalu dengan gerakan kaku karena tak menyangka bila dirinya akan dinikahkan paksa dengan Arya yang baru saja sembuh dari stroke yang diderita, mengangkat telapak tangan lalu mencium punggung tangan Arya yang sekarang telah menjadi suami sah nya itu dengan gerakan lunglai.Sungguh, meski dia tak membenci Arya, tapi dia sama sekali tak mencintai laki laki yang sekarang menjadi suaminya itu. Dia menganggap Arya hanyalah salah satu pasien yang harus dia terapi supaya segera sembuh dari sakitnya.Tapi ternyata, hari ini laki laki itu telah menghalalkan dirinya sebagai seorang istri. Arya akan mendampingi hidupnya hingga maut m
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL, MAS! (126)"Baiklah, Hasnah ... kalau begitu sesuai dengan rencana kami semula yakni hendak menikahkan Hamidah dengan almarhum Afandi pada tiga hari lagi, itu menjadi tanggal pernikahan Hamidah dengan Arya.""Benar kata kamu, aku harus menyelamatkan keluargaku dengan menikahkan putramu dengan putriku. Selain demi meminimalisir kerugian akibat gagal pesta setelah Afandi meninggal dunia, aku juga ingin menunaikan cita cita kita dulu yang hendak menjodohkan Hamidah dengan putramu.""Jadi tiga hari lagi kita nikahkan mereka ya, Hasnah! Kamu mau ngasih mahar apa untuk putriku? Kemarin rencananya Afandi mau memberi mahar sebuah mobil mewah dan perhiasan sebanyak seratus gram. Kalau kamu apa?" lanjut Bu Wati sembari menatap penuh harap wajah sahabat masa SMA nya itu.Namun, mendengar perkataan Bu Wati, Bu Hasnah melotot lebar. Merasa kaget dan shock ditanya soal mahar, apalagi dibandingkan dengan mahar yang seyogyanya akan diberikan oleh almarhum dokter Afandi pada
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL, MAS! (125)"Wati, apa kamu nggak malu kalau pesta pernikahan putri kamu terpaksa dibatalkan? Kamu bisa rugi besar lho kalau pesta putri kamu benar benar dibatalkan.""Saya aja nggak nyangka kalau Suster Hamidah itu ternyata adalah putri kamu. Aku pikir siapa. Kamu ingat nggak, dulu waktu kita masih SMA, kita pernah bercita cita ingin menjodohkan putra dan putri kita supaya mereka meneruskan persahabatan kita? Tapi apa daya aku kehilangan jejak kamu dan Arya pun kemudian menikah dengan gadis pilihannya, Ana.""Tapi sekarang pernikahan mereka sudah berakhir. Dan status Arya sekarang ini adalah duda. Jadi, tunggu apalagi, Wati? Sekarang lah saatnya kita jodohkan mereka kembali demi memenuhi niat baik kita dulu?""Arya dulu bekerja sebagai seorang ASN, Wati Tapi apa daya sekarang sudah diberhentikan.""Sekarang ini Arya sedang sakit. Tapi dia jadi semangat sembuh kembali setelah bertemu dengan anak kamu, Hamidah. Sayang, Hamidah ternyata hendak menikah hingga me
AKAN KUBUAT KAU MENYESAL, MAS! (124) "Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un ... ." "Kamu yang sabar ya, Midah. Kami sudah berusaha, tapi Tuhan berkehendak lain. Nyawa calon suami kamu nggak bisa diselamatkan lagi. Kami turut prihatin, Midah ...," ucap rekan rekan sejawatnya yang begitu mendengar kabar kecelakaan calon suaminya, langsung gegas berkumpul di ruang ICU rumah sakit untuk memantau kondisi kesehatannya dan melakukan tindakan penyelamatan terhadap dokter muda yang merupakan calon suami Suster Hamidah tersebut, salah seorang suster di rumah sakit swasta ini. Hamidah mengusap air matanya lalu menatap nanar wajah calon suaminya yang telah terbujur kaku di atas brankar dengan ditutupi kain panjang. "Midah, kamu yang tabah ya, Nak. Semua ini sudah takdir Yang Maha Kuasa ...," tutur Ibunya pula sembari mengelus pelan pundak Hamidah. Sementara di sampingnya, calon mertua tampak meratap pilu menangisi kepergian putra mereka. Hamidah berkali-kali menghembuskan nafasnya demi mengurai s