“Ajiseka ... Ajiseka ... “ Galuh berteriak sembari mondar-mandir mencari keberadaan Ajiseka. Pasalnya pemuda yang biasa ia tunggui dari kejauhan itu raib bersama datangnya hujan deras yang mengguyur wilayah selatan Punden. Terlebih saat dirinya datang, ketinggian air di kali tempur lebih dari biasanya. Hal itu memantik rasa khawatirnya terhadap Ajiseka.Gadis itu lantas bertolak ke Padepokan, menemui Dewi Panguripan. Melapor keberadaan Ajiseka yang tiba-tiba menghilang dari tempat menjalankan laku tapa Brata. Rupanya Galuh melupakan ucapan gurunya perihal apa-apa yang menyebabkan Ajiseka selesai dengan laku tirakatnya.Sesampainya di padepokan ia mengadu kepada Dewi Panguripan, menceritakan hilangnya Ajiseka dan perihal ketinggian air yang meningkat di pertemuan dua sungai itu. Tetapi Dewi Panguripan malah tersenyum manakala melihat raut panik di wajah murid perempuannya. Guru besar padepokan lelembut itu mengajak Galuh duduk di sebuah batu besar yang tertata rapi.“Galuh? Tampaknya
“Kanjeng ibu, kenapa diriku selemah ini menghadapi siluman itu?” Tanya Ajiseka kepada Dewi Panguripan.“Jangan pernah meremehkan lawanmu, Ajiseka. Terlebih siluman wilayah Punden, kekuatan mereka berbeda dengan siluman di luaran sana. Banyak energi manusia yang telah mereka serap. Bahkan, jauh sebelum dirimu lahir, oleh sebab itu berhati-hatilah.” jawab Dewi Panguripan.Ajiseka mengangguk, tetapi setelah itu dirinya langsung lunglai. Hal itu tentu membuat dirinya kebingungan, pasalnya ia sama sekali tidak merasakan pukulan yang membahayakan. Bahkan, Ajiseka tidak merasa kalah saat bertarung dengan Duripati, hanya sedikit luka dalam dan sesungguhnya tidak begitu berarti untuk dirinya.Tetapi nyatanya Ajiseka harus dipapah warga untuk sampai di kediamannya. Anehnya setelah mengucap terimakasih kepada warga yang memapah dirinya, keadaan Ajiseka sudah benar-benar pulih. Hal itu terjadi karena tubuh Ajiseka memiliki kekuatan yang dapat mempercepat pemulihan.Bersamaan dengan datangnya Ajis
Sejenak Ajiseka terdiam, tentu dirinya tidak meragukan kekuatan wanita muda itu. Ia malah memikirkan dirinya sendiri yang masih begitu lemah, terlebih terakhir di tepi Timur saat melawan Duripati.“Anakku... dengan cara seperti itulah digdaya aslimu tumbuh, tidak perlu khawatir. Dan perlu kau ingat, jangan lagi meragu. Terlebih untuk hal kebaikan, baca pikiran setiap lawanmu terlebih dahulu agar kau tidak salah sasaran, gunakan energi batinmu dengan maksimal, Anakku...” Ujar Dewi Panguripan.“Dan kamu Galuh.” Ucapan Dewi Panguripan terhenti sesaat. Netranya terpejam, lalu tidak lama kemudian di tangan kanannya menyembul sebuah kain panjang berwarna pelangi.“Ini untuk laku tirakat yang kau lakukan, gunakan pusaka selendang pelangi ini untuk kebaikan. Sebab, selendang ini salah satu pusaka terbaik di Padepokan Kahuripan.” Ucap Dewi Panguripan sembari memberikan benda yang disebutkan olehnya.“Terimakasih, Nyai Guru.” Galuh menerima pemberian dari gurunya. Banyak wejangan yang di terima
Buuush...Angin berhembus kencang, menerpa pepohonan dan juga dua sosok yang tengah berdiri di depan wanita tua. Rupanya angin ciptaannya bukanlah angin biasa, pasalnya Jawa panas turut menyeruak manakala hembusan-nya semakin kencang. Hal itu membuat Ajiseka dan Galuh memasang kewaspadaan yang tinggi.“Siapa dia sebenarnya, Aji? Kenapa dia begitu menginginkan dirimu?”“Aku tidak tau, Mbakyu. Tetapi aku mengenalnya sebagai wanita penguasa alam mimpi, namanya Ajeng Ratri,”“Artinya saat ini kita terperangkap di alam mimpi ciptaannya, begitu?”“Ya, dan kita tidak menyadarinya, Mbakyu? Baiknya kita berhati-hati.”DharDharDua larik sinar kemerahan memancar dari dua telapak tangan Ajeng Ratri dan melesat seperti seutas tali yang mengarah ke tubuh Ajiseka juga Galuh. Tatapi keduanya serentak menghindari serangannya. Sehingga sinar merah itu menyambar ke sembarang arah dan menghantam pepohonan, akibatnya pohon itu pun terbakar.Galuh merasa geram dengan tindakan Ajeng Ratri, rupanya wajah t
Alam mimpi ciptaan Ajeng Ratri porak-poranda akibat pertarungan yang sengit antara Ajiseka, Galuh dan Ajeng Ratri sendiri. Kedua murid padepokan Kahuripan itu senyatanya belum bisa lolos dari alam buatan wanita tua yang mereka lawan. Ya! Sekuat apa pun digdaya yang dimiliki, tetap saja Ajeng Ratri lah, yang menentukan kalah dan menangnya pertarungan itu sendiri.“Sajian yang menarik bukan? Bahkan, digdaya kalian hanya menjadi tontonan yang menarik di tempat ini. Mue he he he”“Seperti itu? Baiklah. Mbakyu, menyingkirlah.” Ajiseka menatap kakak seperguruannya dan memberi isyarat agar menjauhi lokasi pertarungan.Lalu ia melesat tinggi, dan kembali dengan sosok yang berbeda. Ya, Nogoweling telah siap menambah kehancuran di alam ciptaan Ajeng Ratri. Wujudnya bukan lagi Ajiseka, tetapi seekor naga belang berukuran besar yang meliuk-liuk di udara.Ghooar....Auman yang di Sertai dengan semburan api membakar hutan buatan Ajeng Ratri, sengaja ia tidak menyerang pemilik alam mimpi. Tetapi mema
Bam!Dua energi beradu cukup keras. Pada saat itu juga Ajiseka sudah berpindah tempat, seketika itu beberapa prajurit yang mengawal Kolowono mengelilingi Ajiseka dan Galuh. Sedangkan sosok yang semula duduk santai di alam bawah sadar Ajiseka mulai terpancing dengan banyaknya musuh gaib yang mengelilinginya. Namun, ia tidak berniat menampakkan dirinya.Kumbolo lebih memilih memberikan suplai kekuatannya secara total kepada Ajiseka. Ya, dirinya beranggapan jika Kolowono harus di beri pelajaran berharga karena selama ini sungguh-sungguh berniat mencelakai Ajiseka. Rupanya bangunnya Kumbolo dari singgasananya memicu roh Nogoweling yang juga menunggu reaksi lanjutan Ajiseka.“Tampaknya kau memiliki keinginan membinasakan makhluk gaib itu, adakah sesuatu yang meresahkan dari makhluk-makhluk itu?” tanya roh Nogoweling kepada Kumbolo.“Tentu saja Nogoweling, Kolowono merupakan makhluk yang gemar bersekutu dengan orang yang hendak berbuat jahat. Tidak hanya itu saja, aku meyakini ia juga bagia
Matahari sudah condong ke barat, tetapi Ajiseka dan Galuh masih belum juga menemukan perkampungan. Bahkan, raut lelah tercetak di wajah ayu Galuh, tidak heran jika gadis itu kelelahan. Sebab selama ini dirinya tidak pernah bepergian jauh.“Aji, di daerah ini tidak ada perkampungan ya? Sudah seharian jalan tetapi kita belum menemukan adanya kehidupan manusia lho ini,”“Aku tidak tau, Mbakyu? Kalaupun tidak ada juga tidak ada masalah kan? Toh selama ini kita sudah terbiasa,” jawab Ajiseka.“Bukan itu, Aji? Ah sudahlah, lebih baik kita lanjutkan perjalanan.” Ucap Galuh.Gadis itu berjalan mendahului Ajiseka. Berharap ia menemukan pemukiman warga dan menyapa, itulah keinginan Galuh saat ini. Dan tampaknya keinginan itu sedikit ada titik terang, pasalnya di kejauhan asap tipis tampak mengepul di celah-celah rerimbunan hutan.“Aji! Lihat itu!” teriak senang Galuh manakala melihat ada tanda kehidupan.“Iya, Mbakyu? Ayo.” Jawab Ajiseka.Ayunan langkahnya di percepat, begitu juga dengan Galuh.
Cicit burung menyapa pagi yang cerah. Di dalam gubuk, makanan khas pedesaan tersaji di atas meja milik sang sepuh. Ya, Ajiseka dan Galuh baru boleh meninggalkan kediaman sang sepuh setelah mengisi perutnya. Perbincangan kecil terjadi, hanya sedikit saran dan mengingatkan kembali pesan yang semalam telah di sampaikan.Kini, langkah riang mengayun terarah, sebab Ki Ageng Pamungkas sudah memberitahukan lokasi keberadaan padepokan pertama yang harus di sambangi Ajiseka. Ya, mereka tidak perlu menjelajahi seluruh daerah di wilayah tengah. Begitu juga dengan wilayah lainnya, karena setelah menemui pimpinan padepokan, Ajiseka harus segera bertolak ke padepokan kecil di wilayah selatan.Tempat itu tidak lain adalah kediaman Ki Haryo Wicaksono. Rumah sekaligus tempat berkumpulnya orang-orang yang menentang adanya sekte Kembang Kenongo secara diam-diam. Sayangnya, Ajiseka tidak menanyakan alasan Ki Ageng Pamungkas memintanya segera kesana.Terik mentari mulai menghangat, dan sosok burung Elang
Tidak sedikit warga yang langsung jatuh pingsan manakala sosok hitam besar memorak-porandakan tempat berlangsungnya Ritual doa-doa. Melihat hal itu Ajiseka tidak dapat menahan dirinya, pasalnya malam ini adalah malam sakral pemakaman jasad kuno leluhurnya. Ia langsung menghempaskan kekuatan besarnya ke arah sosok hitam besar itu, lebur dan tanpa ada perlawanan yang berarti.“Lanjutkan ritual doanya, Romo? Biarkan aji yang membersihkan area ini dari gangguan-gangguan itu,” ujar tegas Ajiseka.“Baiklah, saudaraku sekalian, mari lanjutan lantunan doa, agar esok hari dan seterusnya kita terbebas dari ketakutan. Yakinkan yang meragu dan gelisah agar kembali khusyuk, biarkan Ajiseka yang membereskan kekacauan ini.” ajak Danuseka.Disisi lain, tidak ada lagi makhluk yang membayangi arwah Sekar Sari. Ia mengambang di atas cungkup Punden, menyaksikan seluruh warga mendoakan dirinya agar tenang. Namun, ia terganggu dengan kehadiran Ajiseka yang juga mengambang.“Nyai, sesungguhnya apa yang meny
Dhar!Dhar!Ajeng Ratri mengamuk manakala menyadari raga Sekar Sari telah di Hujam dengan senjata, akibatnya pertarungan terjadi di dalam ruangan itu. Bahkan, ruangan yang semula tertata rapi dengan wewangian yang semerbak, kini hancur lebur. Rumah gaib alam mimpi yang ia bangun sedemikian rupa senyatanya hancur dalam beberapa saat saja.“Bedebah! Tidak seharusnya aku percaya begitu saja dengan kalian!” Teriak Ajeng Ratri.Kemarahannya memuncak dan menyebabkan hawa panas tak terkira di dalam ruangan itu. Beruntung Sekar Pinesti lebih dulu menyusup dan keluar dari ruangan tanpa sepengetahuan wanita tua yang sedang di amuk amarah. Sedangkan Ajiseka sendiri masih bergeming, kemarahan wanita tua itu sama sekali tidak menjadi masalah untuk dirinya.“Hancurkan sepuasmu, Nyai ...” ujar Ajiseka.“Kau harus bertanggungjawab!” teriak Ajeng Ratri.Tubuh ringkihnya tiba-tiba membesar gagah dan hitam. Bahkan, ukurannya terus meningkat mengikuti amarahnya. Namun, lagi-lagi Ajiseka tetap bergeming.
Senja jingga terlewati, temaram pun mengantar sang malam mencapai puncak kelam. Di sebuah bangunan kuno di atas Puncak Punden, beberapa orang tengah khusyuk memanjatkan doa untuk leluhur yang disemayamkan di lokasi itu. Punden Kepaten, nama yang terlontar dari mulut Danuseka akibat beberapa kali menjadi tempat terjadinya kebengisan manusia yang bersekutu dengan siluman, juga arwah penasaran.Orang-orang itu tidak lain, Ajiseka berikut kedua orang tuanya, Projo dan beberapa orang yang memiliki pengaruh di wilayah Punden. Kecuali Dadungkolo, lurah Wono wingit yang membelot dan memilih bersekutu dengan siluman ular yang bernama Dewi Sengkolo.Obor-obor di tancapkan untuk sarana penerangan, lalu setelah selesai memanjatkan doa rombongan mereka bertolak ke wilayah selatan. Melewati desa Wono Kahuripan yang di pimpin oleh lurah Janudoro, penghujung desa terlewati. Namun, perjalanan belumlah selesai.Ajiseka dan rombongan berjalan menuju hamparan hutan sisi Selatan Punden, tempat dimana poho
Seluruh warga Wono Wingit menghentikan aktivitas manakala terjadi gemuruh di angkasa, hal itu di sebabkan oleh pertarungan Ajiseka yang melintasi wilayah tepi Utara. Tidak hanya suara gemuruh yang menyebabkan kekhawatiran, pasalnya sesekali Ajiseka turun saat pemuda titisan iblis mendaratkan tubuhnya di pepohonan. Akibatnya kerusakan terjadi di area itu.Letak wilayah desa yang kebetulan berada di Utara punden, jelas terkena imbasnya. Beruntung pertarungan itu hanya melintas di pinggiran desa dan menghancurkan pepohonan yang ada. Melihat kekacauan yang terjadi, warga yang kebetulan hendak meladang memilih kembali ke desa.Sementara itu, Ajiseka terus menggempur pemuda titisan iblis hingga ke lautan. Beruntung pelarian musuhnya melewati jalur udara dan tidak lagi mendaratkan diri di wilayah perkampungan. Pada akhirnya laut Utara menjadi titik akhir pelarian, pertarungan sengit kembali terjadiLaut yang semula tenang kini dihiasi dengan deburan silih berganti, kebetulan keduanya memilik
Alam yang temaram memanas. Senyatanya Danuseka tidak selemah seperti dugaan Ajeng Ratri, setiap digdaya yang dikeluarkan mampu di halau begitu mudah oleh Danuseka. Sehingga dalam waktu yang relatif singkat alam ilusi buatan Ajeng Ratri itu hancur lebur, sayangnya setelah kehancuran itu terjadi Ajeng Ratri juga turut menghilang.Dan ketika Danuseka kembali ke alam nyata ia baru tersadar jika dirinya tengah di pecundangi oleh Sariti. Dirinya sengaja di giring ke alam ilusi agar wanita jelmaan itu terbebas dari incarannya. Danuseka yakin Sariti sudah pergi jauh meninggalkan wilayah Punden, lelaki itu lantas kembali berbaur dengan tiga rekannya.“Bagaimana, kang?” tanya Danuseka kepada Janudoro.“Sementara kekuatan mayat hidup itu berkurang banyak, Ki? Namun, kita harus mewaspadai jika nantinya mereka bangkit lagi,” jawab Janudoro.“Dimana Ki Sawung dan Ki Dirgodono, saya tidak melihat keberadaan mereka, Kang?”“Tenaga mereka terkuras habis dan sedang melakukan pemulihan, beruntung ada ba
Pertarungan terjadi di tiga tempat, Ajiseka masih dengan pemuda siluman titisan iblis. Janudoro, Ki Sawung dan Dirgodono meneruskan pertarungannya dengan mayat hidup. Di bantu oleh para siluman termasuk pimpinannya yang menyusupi raga mayat hidup, akibatnya sebagian makhluk itu saling serang dengan rekannya.Sedangkan Danuseka baru saja mengejar Sariti yang terbang kesana-kemari, ya! Pertarungan mereka lebih banyak terjadi di udara. Di pohon-pohon dan sesekali turun ke daratan. Tidak masuk akal memang, bahkan jika yang melawan Sariti bukanlah praktisi supranatural niscaya hanya akan menjadi mainan wanita jelmaan itu.Seperti halnya saat ini, Danuseka mengeluarkan digdayanya secara bersamaan. Pasalnya, pergerakan yang dilakukan Sariti sungguh gesit. Bahkan, cenderung menggunakan tipu muslihat yang sangat mengganggu konsentrasi Danuseka.“Danuseka... Sepertinya aku tidak perlu sungkan lagi terhadap leluhurmu, baiklah... Jika itu yang ada pikiranmu, maka kau tidak salah sedikit pun... Ak
Sorot penuh amarah terlihat jelas di tatapan mata Danuseka, sebab sosok arwah yang ada di depannya tidak lain adalah Sekar Sari atau Sariti. Dahulu semasa hidup dan di jaman terbentuknya keraton Setyaloka, Sekar Sari merupakan salah satu anak pemilik keraton dari istri kedua yang bernama Ajeng Ratri. Wanita yang memiliki ilmu hitam dan menguasai kekuatan ilusi, atau lebih dikenal dengan penguasa alam mimpi.Artinya, Sekar Sari atau Sariti juga salah satu leluhur Danuseka. Namun, karena sifat serakah dari Ajeng Ratri yang ingin menguasai keraton Setyaloka membuat ia harus terusir. Ia ditempatkan di sisi selatan bagian luar Setyaloka yang sekarang menjadi Punden.Bahkan, keberadaan arwah yang kini diselimuti oleh aura buruk dari alam kegelapan tidak luput dari sumpah serapah Sekar Sari sendiri yang juga di Amini oleh ibunya, Ajeng Ratri. Tidak heran, sebab kematiannya pun diwarnai dengan kekejian. Dan tidak disangka, sosok yang lebih dikenal dengan sebutan Sariti itu masih ingin menguas
Hampir tengah malam Danuseka dan dua rekannya masih berjibaku melawan hampir seratus mayat hidup yang di bangkitkan oleh pemuda titisan iblis. Bukan perkara mudah mengalahkan makhluk-makhluk itu, pasalnya mereka benar-benar kembali hidup, tetapi berbeda dengan layaknya manusia. Sebab perangai orang-orang itu lebih menyerupai makhluk kegelapan, datar dan hanya fokus menyerang saja.Keberadaan mayat hidup yang berwujud Roro Palupi, Danuseka langsung memikirkan sesuatu. Pasalnya, pimpinan padepokan itu tidak mungkin secara kebetulan menjadi korban untuk siluman danau tepi barat. Dan pada akhirnya pemikiran Danuseka berhenti pada satu sosok yang di anggap cukup memungkinkan menjadi tersangka.Sariti, wanita jelmaan itu menjadi satu-satunya orang yang memungkinkan menjadi pelaku. Pemikiran Danuseka tidak hanya berhenti di situ saja, ia menggabungkan rentetan peristiwa yang di ceritakan rekannya di wilayah selatan. Lelaki itu menggeleng pelan manakala semua rentetan kejadian itu masuk akal,
Raja Tirta Dunya membisiki Ajiseka agar keluar dari pusaran air Danau, hal itu di lakukan karena tidak adanya pengawasan dari pihak lain. Sedangkan pemuda siluman ikan titisan iblis itu bukanlah lawan yang tepat untuk Ajiseka. Tentu raja Tirta Dunya sudah mempertimbangkan dan menelisik seberapa kuat kekuatan iblis yang berada ditubuh pemuda siluman itu.Sesaat setelah mendapat bisikan, Ajiseka langsung melesat ke daratan. Seketika pusaran air itu pudar dan beradu, akibatnya gelombang air yang cukup tinggi menyembur hampir setinggi tebing. Tidak lama setelah aktivitas air mereda pemuda siluman pun turut melesat ke atas menusuk Ajiseka.“Banyu Panguripan, ijinkan ibu melengkapi kekuatan yang ada di tubuhmu,” ujar Dewi Panguripan kepada Ajiseka.“Maksud Kanjeng Ibu?” jawab Ajiseka. Dirinya merasa kebingungan dengan maksud melengkapi yang di lontarkan oleh Ibu angkatnya.“Ibu harus merasuk dan melengkapi kekuatan yang kamu miliki. Sebentar lagi gelap dan Ibu yakin iblis itu akan mengumpul