Setidaknya ada sepuluh peserta yang terlibat dalam penyusupan, semuanya beraliran hitam. Bahkan, pelaku yang menyeret salah satu peserta yang di selamatkan Ajiseka kini harus terikat selamanya di salah satu ruang penyekapan khusus. Pasalnya lelaki itu memiliki digdaya yang paling tinggi di antara teman-temannya.Empat pimpinan menyalurkan energinya, membuat perisai tebal yang melingkupi seluruh wilayah padepokan Wono Kelono. Bahkan, setiap pimpinan menancapkan pagar pembatas tak terlihat, sekalipun yang melintas adalah bangsa lelembut. Hanya pimpinan yang bersangkutan saja yang dapat melihatnya.“Saya rasa perisai dan pagar ini sudah cukup, terimakasih telah bersedia membantu mengamankan padepokan Wono Kelono. Ke-depannya akan dilakukan pembenahan dan tata cara masuk agar tidak terjadi hal yang serupa,” ujar Ki Joyo Kelono.“Benar, Ki. Memang seharusnya seperti itu. Bahkan, aliran putih sekalipun harus menggunakan tanda pengenal khusus untuk memasuki area padepokan,” jawab Ki Balung W
Energi bening menyelimuti tubuh ringkih lelaki sepuh yang penjadi pimpinan padepokan Paksi Maruta. Hawa dingin yang dikeluarkan oleh energi itu membuat tubuhnya gemetar, dan lambat laun kulitnya memucat. Menandakan jika energi yang terlontar tidaklah sedikit.Kondisi Ajiseka sendiri sudah mulai kepayahan, pasalnya keringat mulai bercucuran di tubuhnya. Tetapi ia tidak mau menghentikan aktivitasnya. Bahkan, dirinya malah ingin menambah suplai energi yang dimiliki.“Hentikan bocah! Tidak seperti itu caranya! Energimu sudah cukup membantu, biarkan gurumu yang menyelesaikan proses selanjutnya. Cukup kau berikan apa yang di perlukan saja!”Tiba-tiba Kumbolo memperingatkan Ajiseka yang bersiap melakukah peningkatan penyaluran energi. Tidak ingin ada resiko yang di tanggung oleh lelaki sepuh di depannya, Ajiseka pun menuruti perkataan Kumbolo. Ia membuka mata dan menoleh pada gurunya seraya mengangguk.“Berikan beberapa mustika milikmu, biarkan tubuhnya memilih sendiri mana yang cocok untukn
Nyai Lurah, Salah satu lelembut yang menguasai pasar gaib sisi Timur Punden senyatanya adalah istri Ki Paksi Maruta. Wanita yang menjaga hutan pinggir perkampungan tepi selatan, bertugas menghalau dan mengabarkan kepada Danuseka jika ada sesuatu yang mengancam keamanan perkampungan manusia di wilayah Punden, khususnya tepi Timur atau Wono Wetan. Sudah pasti dirinya mengetahui dengan baik siapa Danuseka.Maka dengan gamblang Nyai Lurah membeberkan siapa sejatinya diri Ajiseka.“Trah Setyaloka yang hidup di alam Gaib, ha ha ha tidak heran jika mereka kebingungan mencari dirimu,” ujar Ki Paksi Maruta.“Tak heran jika aku tidak mampu mengalahkan dirimu, Ajiseka. Jika menilik dari digdaya dan aura yang terbentuk saat bertarung, dirimu adalah Naga kecil dari selatan, sungguh aku tak mengira jika dirimu adalah manusia,” timpal Gaharu sembari menepuk pundak Ajiseka. Sedangkan Ajiseka sendiri hanya tersenyum kepada Gaharu, lalu ia menatap Ki Paksi Maruta. Sebab pernyataan lelaki sepuh itu men
“Hoy! Untuk apa kalian membuat tandu! Kuburkan di tempat atau bakar saja!” Teriak Tanu manakala melihat bawahannya merakit kayu dan tali.“Baik, Ki.” Jawab salah satu bawahan. Mereka urung membuat tandu untuk membawa mayat tetua jalur kebatinan. Galian seadanya di siapkan. Bahkan, kedalamannya tidak sedalam pemakaman biasanya, mayat naas itu sudah di kuburkan.“Kita lanjutkan pencarian, aku yakin pemuda itu berada di perkampungan yang tidak jauh dari tempat ini,”“Ki Tanu, saya rasa perkampungan masihlah jauh. Terlebih jika kita melihat mayat tetua kebatinan, sudah pasti pemuda itu berada jauh dari tempat ini,”“Ya, lebih baik kita segera menyusulnya bukan? Lihatlah hutan ini, Kang. Gelap dan silu, apakah Kakang ingin mencoba bermalam di sini, hem?”Mendengar pertanyaan dari tetua mudanya, lelaki itu hanya menggaruk kepala. Tidak ada yang salah, pasalnya hutan rimba itu terlihat silu, atau seram. Tak terbayangkan jika mereka memutuskan bermalam di tempat itu, apalagi matahari sudah mu
Purnama yang seharusnya bersinar terang kini menjadi kelam, sinarnya yang sesaat lalu menyinari permukaan danau tak lagi mampu menerangi. Gelap temaram. Bahkan, kabut semakin tebal menyelimuti, tidak hanya di permukaan danau saja, tetapi sudah menyeluruh hingga merambah di tebing yang menjadi pembatas danau dan daratan.Di atas tebing, berdiri anggun dua sosok yang memang sudah menunggu prosesi itu terjadi. Keduanya tidak lain adalah Duripati dan Sariti. Makhluk penghuni Punden yang ingin menguasai wilayah itu secara total.“Nyai, jika suatu saat sesuatu terjadi padaku. Jagalah tempat ini, rawatlah hingga anak turunku benar-benar siap menjadi kekuatan besar yang kelak berada di bawah kekuasaanmu,” ucap Duripati.“Apa yang kau bicarakan Nyai? Mereka adalah calon kekuatan mutlak kita, maka semua harus menjaganya baik-baik, kabut itu menunjukkan jika hanya bangsanya yang bisa memasuki area danau, selebihnya akan sangat sulit. Bahkan diriku juga akan kesulitan kesana, Nyai?”“Ya! Tetapi ti
“Hentikan! Tidak selayaknya kalian berbuat seperti ini demi mendapatkanku!”Perseteruan berhenti seketika, bersamaan dengan itu, Ajiseka tiba-tiba berada di tengah dua kelompok yang sedang bertikai. Tidak susah membedakan kelompok itu, sebab dari pakaian yang dikenakan saja sudah sangat mencolok. Terlebih dari tanda yang mereka kalungkan di lehernya.Ajiseka memberi isyarat kepada orang-orang di belakangnya agar menghindar dari lokasi. Bukan tanpa sebab dirinya melakukan itu, ia merasa jika anggota sekte itu menjadi urusannya. Terlebih ia mendengar jika mereka akan melakukan kekisruhan sebelum menemukan dirinya.“Lakukan yang menurut kalian baik, dan tugasku menghentikan sepak terjang sekte aliran hitam seperti kalian!”“Bagus anak muda! Serang ....” kelompok Tanu merangsek maju secara bersamaan setelah mendapat perintah nya, mereka menghunus pedang dan menyabetkan secara acak. Bahkan, Tanu menyusul dengan serangan atas. Ajiseka melesat cepat ke arah Tanu, tentu melawan satu musuh leb
Dua kekuatan di luar nalar masih beradu, pemuda yang dirasuki Gaharu melawan Tanu tanpa jeda. Tentu tenaga keduanya sama-sama meningkat dua kali lipat dari kapasitas manusia umumnya. Bahkan, terkadang dengan gerakan jarak jauh mereka mampu menghempaskan lawannya.Akibat hempasan tubuh keduanya, cekungan tanah terjadi dimana-mana. pengaruh kekuatan makhluk tak kasat mata yang merasuk membuat rasa sakit di tubuh mereka tidak terasa. Namun, sesuatu terjadi, fisik pemuda yang di gunakan Gaharu lambat laun tidak mampu menampung kekuatan besar yang membersamainya.Gaharu menyadari hal itu, ia tidak ingin terjadi sesuatu kepada manusia yang ia rasuki. Oleh sebab itu Dirinya membawa raga si pemuda menjauhi area pertarungan agar proses pemisahan dari tubuh si pemuda tidak di ketahui oleh lawannya. Namun, tampaknya usaha Gaharu cukup riskan.Pasalnya sosok Tanu, mulai bergerak mengikuti kepergiannya. Maka dengan waktu yang begitu sempit, ia secepatnya keluar dari tubuh si pemuda. Gaharu berubah
Roro Palupi, pimpinan utama padepokan Lowo Ireng muncul seorang diri, perempuan anggun itu merupakan salah satu anggota sekte hitam yang memiliki jabatan penting. Bahkan, ia merupakan kaki tangan Sariti yang paling patuh. Wajah ayunya tidak menyiratkan kejahatan seperti yang sering ia lakukan, tentu hal itu terlihat ketika dirinya dalam keadaan tenang.Tetapi seringai bengisnya tak dapat di sembunyikan manakala dirinya sedang tidak baik-baik saja. Seperti halnya saat ini, tatapannya nanar menelisik tubuh lelaki yang sudah tidak lagi bernyawa tergeletak tidak jauh dari tempatnya. Ya! Tanu, tetua muda sekaligus lelaki yang bebas menjamah dirinya melalui pengaruh sang junjungan telah tewas.“Kau telah memulai perang terbuka dengan sekte kami, wahai anak muda!” ucap Roro Palupi sembari menunjuk ke arah Ajiseka.“Tidak akan ada peperangan jika tidak ada penyebabnya, Nyai! Dan sudah menjadi kewajibanku memerangi sekte hitam yang selalu meresahkan kehidupan.” Jawab Ajiseka.“Baiklah, tidak ad
Tidak sedikit warga yang langsung jatuh pingsan manakala sosok hitam besar memorak-porandakan tempat berlangsungnya Ritual doa-doa. Melihat hal itu Ajiseka tidak dapat menahan dirinya, pasalnya malam ini adalah malam sakral pemakaman jasad kuno leluhurnya. Ia langsung menghempaskan kekuatan besarnya ke arah sosok hitam besar itu, lebur dan tanpa ada perlawanan yang berarti.“Lanjutkan ritual doanya, Romo? Biarkan aji yang membersihkan area ini dari gangguan-gangguan itu,” ujar tegas Ajiseka.“Baiklah, saudaraku sekalian, mari lanjutan lantunan doa, agar esok hari dan seterusnya kita terbebas dari ketakutan. Yakinkan yang meragu dan gelisah agar kembali khusyuk, biarkan Ajiseka yang membereskan kekacauan ini.” ajak Danuseka.Disisi lain, tidak ada lagi makhluk yang membayangi arwah Sekar Sari. Ia mengambang di atas cungkup Punden, menyaksikan seluruh warga mendoakan dirinya agar tenang. Namun, ia terganggu dengan kehadiran Ajiseka yang juga mengambang.“Nyai, sesungguhnya apa yang meny
Dhar!Dhar!Ajeng Ratri mengamuk manakala menyadari raga Sekar Sari telah di Hujam dengan senjata, akibatnya pertarungan terjadi di dalam ruangan itu. Bahkan, ruangan yang semula tertata rapi dengan wewangian yang semerbak, kini hancur lebur. Rumah gaib alam mimpi yang ia bangun sedemikian rupa senyatanya hancur dalam beberapa saat saja.“Bedebah! Tidak seharusnya aku percaya begitu saja dengan kalian!” Teriak Ajeng Ratri.Kemarahannya memuncak dan menyebabkan hawa panas tak terkira di dalam ruangan itu. Beruntung Sekar Pinesti lebih dulu menyusup dan keluar dari ruangan tanpa sepengetahuan wanita tua yang sedang di amuk amarah. Sedangkan Ajiseka sendiri masih bergeming, kemarahan wanita tua itu sama sekali tidak menjadi masalah untuk dirinya.“Hancurkan sepuasmu, Nyai ...” ujar Ajiseka.“Kau harus bertanggungjawab!” teriak Ajeng Ratri.Tubuh ringkihnya tiba-tiba membesar gagah dan hitam. Bahkan, ukurannya terus meningkat mengikuti amarahnya. Namun, lagi-lagi Ajiseka tetap bergeming.
Senja jingga terlewati, temaram pun mengantar sang malam mencapai puncak kelam. Di sebuah bangunan kuno di atas Puncak Punden, beberapa orang tengah khusyuk memanjatkan doa untuk leluhur yang disemayamkan di lokasi itu. Punden Kepaten, nama yang terlontar dari mulut Danuseka akibat beberapa kali menjadi tempat terjadinya kebengisan manusia yang bersekutu dengan siluman, juga arwah penasaran.Orang-orang itu tidak lain, Ajiseka berikut kedua orang tuanya, Projo dan beberapa orang yang memiliki pengaruh di wilayah Punden. Kecuali Dadungkolo, lurah Wono wingit yang membelot dan memilih bersekutu dengan siluman ular yang bernama Dewi Sengkolo.Obor-obor di tancapkan untuk sarana penerangan, lalu setelah selesai memanjatkan doa rombongan mereka bertolak ke wilayah selatan. Melewati desa Wono Kahuripan yang di pimpin oleh lurah Janudoro, penghujung desa terlewati. Namun, perjalanan belumlah selesai.Ajiseka dan rombongan berjalan menuju hamparan hutan sisi Selatan Punden, tempat dimana poho
Seluruh warga Wono Wingit menghentikan aktivitas manakala terjadi gemuruh di angkasa, hal itu di sebabkan oleh pertarungan Ajiseka yang melintasi wilayah tepi Utara. Tidak hanya suara gemuruh yang menyebabkan kekhawatiran, pasalnya sesekali Ajiseka turun saat pemuda titisan iblis mendaratkan tubuhnya di pepohonan. Akibatnya kerusakan terjadi di area itu.Letak wilayah desa yang kebetulan berada di Utara punden, jelas terkena imbasnya. Beruntung pertarungan itu hanya melintas di pinggiran desa dan menghancurkan pepohonan yang ada. Melihat kekacauan yang terjadi, warga yang kebetulan hendak meladang memilih kembali ke desa.Sementara itu, Ajiseka terus menggempur pemuda titisan iblis hingga ke lautan. Beruntung pelarian musuhnya melewati jalur udara dan tidak lagi mendaratkan diri di wilayah perkampungan. Pada akhirnya laut Utara menjadi titik akhir pelarian, pertarungan sengit kembali terjadiLaut yang semula tenang kini dihiasi dengan deburan silih berganti, kebetulan keduanya memilik
Alam yang temaram memanas. Senyatanya Danuseka tidak selemah seperti dugaan Ajeng Ratri, setiap digdaya yang dikeluarkan mampu di halau begitu mudah oleh Danuseka. Sehingga dalam waktu yang relatif singkat alam ilusi buatan Ajeng Ratri itu hancur lebur, sayangnya setelah kehancuran itu terjadi Ajeng Ratri juga turut menghilang.Dan ketika Danuseka kembali ke alam nyata ia baru tersadar jika dirinya tengah di pecundangi oleh Sariti. Dirinya sengaja di giring ke alam ilusi agar wanita jelmaan itu terbebas dari incarannya. Danuseka yakin Sariti sudah pergi jauh meninggalkan wilayah Punden, lelaki itu lantas kembali berbaur dengan tiga rekannya.“Bagaimana, kang?” tanya Danuseka kepada Janudoro.“Sementara kekuatan mayat hidup itu berkurang banyak, Ki? Namun, kita harus mewaspadai jika nantinya mereka bangkit lagi,” jawab Janudoro.“Dimana Ki Sawung dan Ki Dirgodono, saya tidak melihat keberadaan mereka, Kang?”“Tenaga mereka terkuras habis dan sedang melakukan pemulihan, beruntung ada ba
Pertarungan terjadi di tiga tempat, Ajiseka masih dengan pemuda siluman titisan iblis. Janudoro, Ki Sawung dan Dirgodono meneruskan pertarungannya dengan mayat hidup. Di bantu oleh para siluman termasuk pimpinannya yang menyusupi raga mayat hidup, akibatnya sebagian makhluk itu saling serang dengan rekannya.Sedangkan Danuseka baru saja mengejar Sariti yang terbang kesana-kemari, ya! Pertarungan mereka lebih banyak terjadi di udara. Di pohon-pohon dan sesekali turun ke daratan. Tidak masuk akal memang, bahkan jika yang melawan Sariti bukanlah praktisi supranatural niscaya hanya akan menjadi mainan wanita jelmaan itu.Seperti halnya saat ini, Danuseka mengeluarkan digdayanya secara bersamaan. Pasalnya, pergerakan yang dilakukan Sariti sungguh gesit. Bahkan, cenderung menggunakan tipu muslihat yang sangat mengganggu konsentrasi Danuseka.“Danuseka... Sepertinya aku tidak perlu sungkan lagi terhadap leluhurmu, baiklah... Jika itu yang ada pikiranmu, maka kau tidak salah sedikit pun... Ak
Sorot penuh amarah terlihat jelas di tatapan mata Danuseka, sebab sosok arwah yang ada di depannya tidak lain adalah Sekar Sari atau Sariti. Dahulu semasa hidup dan di jaman terbentuknya keraton Setyaloka, Sekar Sari merupakan salah satu anak pemilik keraton dari istri kedua yang bernama Ajeng Ratri. Wanita yang memiliki ilmu hitam dan menguasai kekuatan ilusi, atau lebih dikenal dengan penguasa alam mimpi.Artinya, Sekar Sari atau Sariti juga salah satu leluhur Danuseka. Namun, karena sifat serakah dari Ajeng Ratri yang ingin menguasai keraton Setyaloka membuat ia harus terusir. Ia ditempatkan di sisi selatan bagian luar Setyaloka yang sekarang menjadi Punden.Bahkan, keberadaan arwah yang kini diselimuti oleh aura buruk dari alam kegelapan tidak luput dari sumpah serapah Sekar Sari sendiri yang juga di Amini oleh ibunya, Ajeng Ratri. Tidak heran, sebab kematiannya pun diwarnai dengan kekejian. Dan tidak disangka, sosok yang lebih dikenal dengan sebutan Sariti itu masih ingin menguas
Hampir tengah malam Danuseka dan dua rekannya masih berjibaku melawan hampir seratus mayat hidup yang di bangkitkan oleh pemuda titisan iblis. Bukan perkara mudah mengalahkan makhluk-makhluk itu, pasalnya mereka benar-benar kembali hidup, tetapi berbeda dengan layaknya manusia. Sebab perangai orang-orang itu lebih menyerupai makhluk kegelapan, datar dan hanya fokus menyerang saja.Keberadaan mayat hidup yang berwujud Roro Palupi, Danuseka langsung memikirkan sesuatu. Pasalnya, pimpinan padepokan itu tidak mungkin secara kebetulan menjadi korban untuk siluman danau tepi barat. Dan pada akhirnya pemikiran Danuseka berhenti pada satu sosok yang di anggap cukup memungkinkan menjadi tersangka.Sariti, wanita jelmaan itu menjadi satu-satunya orang yang memungkinkan menjadi pelaku. Pemikiran Danuseka tidak hanya berhenti di situ saja, ia menggabungkan rentetan peristiwa yang di ceritakan rekannya di wilayah selatan. Lelaki itu menggeleng pelan manakala semua rentetan kejadian itu masuk akal,
Raja Tirta Dunya membisiki Ajiseka agar keluar dari pusaran air Danau, hal itu di lakukan karena tidak adanya pengawasan dari pihak lain. Sedangkan pemuda siluman ikan titisan iblis itu bukanlah lawan yang tepat untuk Ajiseka. Tentu raja Tirta Dunya sudah mempertimbangkan dan menelisik seberapa kuat kekuatan iblis yang berada ditubuh pemuda siluman itu.Sesaat setelah mendapat bisikan, Ajiseka langsung melesat ke daratan. Seketika pusaran air itu pudar dan beradu, akibatnya gelombang air yang cukup tinggi menyembur hampir setinggi tebing. Tidak lama setelah aktivitas air mereda pemuda siluman pun turut melesat ke atas menusuk Ajiseka.“Banyu Panguripan, ijinkan ibu melengkapi kekuatan yang ada di tubuhmu,” ujar Dewi Panguripan kepada Ajiseka.“Maksud Kanjeng Ibu?” jawab Ajiseka. Dirinya merasa kebingungan dengan maksud melengkapi yang di lontarkan oleh Ibu angkatnya.“Ibu harus merasuk dan melengkapi kekuatan yang kamu miliki. Sebentar lagi gelap dan Ibu yakin iblis itu akan mengumpul