Klek.
Darell menoleh ketika mendengar suara dari arah pintu kamarnya. Matanya perlahan membulat, saat melihat sosok perempuan keluar dari kamar tersebut. Berbalut dress berwarna biru, sepatu dan tas berwarna putih, juga rambut yang dikuncir kuda setengah dengan gaya pelintiran. Menambahkan kesan anggun pada perempuan itu.
Mata Darell benar-benar tak berkedip, saat mendapati kekasihnya sedang berdiri dengan sedikit canggung. Darell beranjak, kemudian mendekat ke arahnya. Gadis itu terlihat sangat gugup. Mendudukkan kepalanya, sambil menyibak helaian rambutnya ke belakang telinga.
“You’re so beautiful,” puji Darell. Maniknya itu tak lepas menatap Elaine. Dia sangat suka ketika melihat kekasihnya mengenakan dress selutut dan mengenakan riasan yang natural. Auranya benar-benar terpancar.
“Mba, itu pesanannya sudah ada.”Seseorang dengan suara bassnya menepuk pundak Elaine, sontak membuat gadis itu terperanjat, tersadar dari lamunannya. Dengan canggung dia tersenyum ke arah kasir yang tadi melayaninya.Elaine mengambil nampan yang berisi makanan cepat sajinya. Saat dia berbalik, dia terkejut dengan sosok yang ada di belakangnya. Ternyata laki-laki itu tadi yang menegur dan menepuk pundaknya.“Loh, Kale?”“Elaine? Oh, jadi yang tadi bengong aja elo,” timpal Kale yang ternyata sama-sama tak mengetahui keberadaan masing-masing.“Ah, i-iya. Sorry, ya. Kalau gitu gue ke sana dulu, ya.” Elaine menunjuk ke salah satu bangku yang kosong. Lalu dibalas dengan sebuah anggukan oleh Kale.“Ah.” Elaine mendesah saat dia sampai di tempat duduknya. Bisa-bisanya tadi dia melamun, sampai tidak sadar dengan sekelilingnya.Tadi saat Elaine hendak keluar dari gedung tempatnya beke
Elaine memoles bibirnya dengan lipstik warna nude. Kemudian merekatkan bibir atas dan bawahnya, agar terlihat merata. Dia merapikan pita yang menempel di kerah bajunya. Menatap ke arah cermin, memastikan kembali bahwa penampilannya sudah sempurna.“Itu kemeja yang beli beberapa bulan lalu, kan?” tanya Darell yang baru saja masuk ke dalam kamar. Laki-laki itu baru saja mandi, rambutnya basah, dan hanya mengenakan handuk sebagai penutup bagian bawah tubuhnya.“Iya. Maaf, ya, baru sempet aku pakai,” timpal Elaine.Kemeja berwarna soft lavender yang sedang dikenakan oleh Elaine adalah pemberian dari Darell. Padahal mereka membeli kemeja ini sudah dari beberapa bulan yang lalu. Namun, Elaine baru mengenakannya hari ini.“Darell, aku udah masakin nasi goreng seafood. Aku berangkat duluan, ya. Soalnya bakal ada briefing.”Elaine beranjak dari kursi rias. Lalu mengecup pipi Darell sebelum akhirnya dia melesat, meninggalk
Darell seolah terpaku di tempat. Dia tidak berkutik sedikit pun, saat melihat sosok perempuan itu di depannya. Jantungnya kini berdegup kencang, lututnya pun melemas, sampai dia tak sanggup untuk berdiri dari tempatnya.“Boleh aku duduk?” tanya perempuan itu.“Hum?” Darell seketika tersentak. “Si-silakan,” katanya.Ah, sial! Kenapa Darell jadi gugup saat melihat sosok perempuan itu? Dia mencoba menarik napas dalam. Mengontrol emosinya yang mendadak tak karuhan.Perempuan itu mengedarkan pandangannya ke seisi ruangan. Kemudian dia menatap ke arah Darell yang masih duduk di kursinya.“Kamu masih ingat aku, kan?” tanya perempuan itu memastikan.Darell hanya mengangguk sambil. Menarik sudut bibirnya. “Ada apa kamu ke sini? Dan... maksudnya apa kamu bilang pada sekretarisku, kalau kamu pacarku?” dengus Darell. Dia mencoba melakukan pertahanan pada dirinya.Jujur, saat melihat pere
Darell memutuskan untuk mengunjungi rumah orang tuanya. Tadi dia sempat berkunjung ke perusahaan ayahnya. Tapi menurut sekretarisnya, ayahnya sedang tidak masuk kerja. Dia ingin meminta penjelasan ayahnya yang tiba-tiba mengajukan Chelsea sebagai brand ambassador produk miliknya.Sesampainya di rumah besar itu, Darell langsung melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa. Dia langsung membuka pintu rumah itu dengan tak sabar.“Mas, ada apa?” tanya Bi Tuti yang terkejut dengan kedatangan Darell.“Papa mana?” tanya Darell dengan nada kesal.“Tuan ada di belakang, Mas. Ada apa ya, Mas?” Bi Tuti kembali bertanya. Dia harus memastikan tujuan kedatangan Darell.Namun sayang, Darell tak menggubris pertanyaan Bi Tuti. Laki-laki itu langsung berjalan menuju belakang rumahnya. Dia tahu pasti ayahnya sedang bersantai di sana.“Papa, maksud Papa a—”Ucapan Darell terhenti, ketika melihat Pandu sed
Darell merasa gusar sekarang. Apa yang harus dia lakukan? Sepertinya moto hidup adalah pilihan tidak berlaku untuk Darell saat ini. Pasalnya dia tidak memiliki pilihan yang baik sama sekali. Semuanya sama saja, membuat Elaine terluka.Ponsel Darell bergetar, matanya melirik ke atas meja. Sebuah notifikasi pesan muncul dan ternyata itu dari ayahnya. Dengan berat hati Darell meraih benda pipih itu, lalu membuka pesan tersebut.Papa: Minggu depan jangan lupa datang ke acara pernikahan kakakmu. Jangan bawa cewekmu itu, tapi datang bersama Chelsea. Kamu tahu, kan, konsekuensi kalau kamu tidak menuruti perintah Papa?Rahang Darell mengetat ketika membaca pesan itu. Hatinya terasa panas ketika membaca pesan tersebut. Ingin dia mencaci maki sang ayah, tapi dia tahu resikonya seperti apa.“Darell?” panggil Elaine. Tanpa disadari Elaine sedang duduk tepat di sampingnya. “Are you ok?” tanya Elaine.&ld
“Sedang apa kamu di sini?” tanya Martha saat mendapati Chelsea ada di ruang kerja anaknya. Jujur saja, dia merasa terkejut akan kehadiran sosok perempuan itu. Martha tidak bisa menyembunyikan raut wajah kesalnya.“Ah, saya sedang menunggu. Kebetulan saya ada rapat di sini, Tante,” jawab Chelsea sembari tersenyum tenang.“Iya, Bu. Mbak Chelsea ada meeting di sini,” kata Sheila membenarkan ucapan Chelsea. “Mari, Mbak. Sudah waktunya untuk meeting.” Sheila mengajak Chelsea untuk segera menuju pertemuannya.“Oh, baiklah. Saya permisi dulu, Tante, Darell,” pamit Chelsea.Saat Chelsea dan Sheila sudah keluar dari ruangan itu, Martha langsung menghampiri Darell yang sedang ada di meja kerjanya. Anak laki-kakinya itu terlihat nampak tenang.“Darell, kamu bisa jelaskan kenapa ada Chelsea di sini? Dan meeting apa?” tanya Martha.Mendapatkan pertanyaan seperti itu, tentu saja membu
“Makasih, loh, udah mau anter aku belanja,” kata Chelsea.Tak ada pilihan lain, selain mengikuti apa kata Pandu. Setelah mendapatkan perintah berikut dengan ancaman, Darell akhirnya menuruti permintaan ayahnya. Saat ini mereka sedang berada di salah satu mall besar di daerah Jakarta.“Cepetan, aku nggak ada waktu,” ketus Darell.Chelsea hanya menarik kedua sudut bibirnya, tersenyum dengan sabar. Lalu mereka mendatangi sebuah butik baju. Chelsea mulai memilih baju yang akan dikenakannya nanti di pesta pernikahan Varel, kakak Darell.“Ini bagus, nggak?” Perempuan berambut panjang bergelombang itu meminta pendapat Darell. Dengan malas Darell hanya mengangguk, dia tak peduli dengan apa yang dipilih Chelsea.Terdengar Chelsea menghela napas. Alhasil dia memilih dengan cepat satu set pakaian yang akan dikenakannya nanti. Kemudian dia membawa semua barang yang sudah dipilihnya ke kasir.Darell langsun
Tidak terasa sudah jam enam sore, sebenarnya sudah lewat dari waktu jam pulang. Tapi lagi-lagi Elaine harus lembur dan pekerjaannya baru selesai sekarang.Di raihnya benda pipih yang tergeletak di meja kerja Elaine. Kemudian dia mencoba untuk membuka aplikasi berwarna hijau. Mengecek siapa tahu ada pesan penting untuknya. Tapi ternyata tidak ada satu pesan pun yang dikirimkan untuknya. Bahkan Darell belum membalas pesannya.“Len, ayo pulang!” ajak Aya.Elaine langsung menoleh ke arah Aya. “Oh, iya, tunggu sebentar.” Buru-buru Elaine merapikan meja kerjanya, setelah itu dia beserta temannya langsung meninggalkan ruang kerjanya.Seperti biasa, Elaine selalu memesan ojol untuk perjalanan pulangnya dari kantor. Tak lama kemudian sang driver pun datang menjemput Elaine dengan seragam hijaunya.“Ini, Neng pakai helm dulu. Demi keselamatan jiwa dan raga,” goda abang ojol pada Elaine.Gadis itu langsung mengambil