BRAK.
Elsa menggebrak meja makan dan berdiri. Elsa sudah tak tahan dengan ayahnya yang selalu saja membandingkan dirinya dengan adiknya itu. Sontak tiga orang yang sedang makan malam bersamanya terkejut.
“Kenapa sih, selalu saja membandingkan aku sama Elaine?” sentak Elsa pada ayahnya. Muak dengan semua omongan ayahnya itu.
“Elsa.” Lena memanggil dan mencoba menenangkan anak sulungnya itu. Sebagai ibu Lena tahu betul perasaan Elsa, namun kadang dia tak bisa bertindak jika suaminya sudah mulai ceramah seperti itu.
“Pa, aku udah jengah banget dari kecil selalu di bandingkan dengan Elaine. Aku akui Elaine memang pintar, lebih pintar dari aku. Tapi bukan berarti aku nggak bisa apa-apa. Kenapa sih, prestasi itu harus melulu tentang akademik?” berang Elsa.
Robby tersulut emosinya. Dia langsung berdiri dan menatap Elsa dengan tatapan melotot. “Ini nih, kamu nggak punya attitude! Berani-beraninya kamu membentak Pap
Mobil jazz merah dikemudikan oleh seorang wanita berumur awal empat puluhan. Dia adalah Risa, ibu dari Tirta. Sambil memerhatikan jalan, otaknya berpikir. Wanita itu memikirkan perkataan seorang gadis yang tadi mengunjungi rumahnya.“Sudah dua tahun berpacaran?” gumamnya.Sepengetahuan Risa, sejak SMA anaknya itu dekat dengan Elaine. Tak pernah sekali pun membicarakan perempuan lain selain Elaine. Alisnya hampir bertautan. Apa gadis tadi berbohong?Tiba-tiba ponsel Risa berdering, wanita itu hampir terlonjak. Tapi dia segera mengangkat panggilan tersebut. Risa memijit tombol yang ada pada earphone bluetooth yang sedang dia kenakan.“Halo,” panggilnya tanpa tahu siapa yang menelponnya.“Mah, aku balik, ya,” sahut seorang pemuda dari seberang telepon. Risa tahu suara ini adalah suara anak sulungnya.Risa tersenyum. “Acara himpunannya udah selesai?” tanya Risa pada Tirta.“Udah, mau l
“Itu anak belum pulang jam segini? Dia ke mana?” raung Robby. Pasalnya sudah pukul sembilan malam Elsa belum kunjung pulang. Nomornya pun sulit untuk dihubungi.Elaine dan Lena sudah cemas. Beberapa kali Lena mencoba menenangkan sang suami. Tapi Robby kadung kesal dengan anak sulungnya itu. Dia tak bisa menahan emosinya.“Elaine, kamu yang bilang sama Papa, gih. Papa biasanya dengerin apa kata kamu,” pinta Lena pada anak bungsunya itu. Robby memang paling luluh pada Elaine, jadi Lena meminta anak bungsunya untuk meminta Robby tidak emosi.“Tapi kalau Papa semakin marah gimana, Ma?” tanya Elaine cemas. Dia juga sebenarnya takut pada sosok ayahnya. Selama ini dia memang selalu patuh pada ayahnya, karena kebetulan minatnya sesuai dengan yang ayahnya inginkan.Lena mengelus pundak Elaine. “Kamu ingat saat kamu minta untuk kos? Papa ngizinin, kan? Padahal Papa paling nggak mau anak gadisnya jauh-jauh dari dia. Tapi kar
Sudah hampir satu minggu Elaine menikmati liburannya di rumah. Hubungan dia dengan Elsa masih saja dingin. Mereka hanya berbicara seperlunya saja, Elaine masih belum berani untuk menghampiri kakaknya.Kemarin Elaine bertemu dengan kedua sahabatnya. Siapa lagi kalau bukan Grace dan Shani. Mereka mengobrol tentang pengalaman UAS sebagai mahasiswa. Ternyata ada kabar gembira juga. Pasalnya hubungan Grace dan Valen kini mulai ada kemajuan. Setelah sering di desak oleh Elaine dan Shani, akhirnya Grace mulai sedikit terbuka pada Valen.Saat membicarakan Valen, tiba-tiba Elaine jadi melow sendiri. Bagaimana tidak? Selama satu minggu ini dia tidak bertemu dengan Darell. Mereka hanya berbalas pesan sesekali, mengingat Darell yang sedang sibuk. Tahun ini Darell berniat untuk lulus. Jadi sambil magang, laki-laki itu juga mengerjakan skripsinya.“Kalau kangen kayak gini, ya?” gumam Elaine sambil memeluk boneka miliknya. Kini dalam benaknya penuh dengan Darell. D
“Tapi kalau suatu saat kita balikan lagi. Lo mau?” tanya Tirta sambil menatap serius lawan bicaranya itu.Seketika mata Elaine membulat ketika mendengar pertanyaan dari Tirta. “Gila! Nggak, lah. Ngapain juga balikan sama lo,” sergah Elaine cepat. Tentu saja dia akan menentang jika hal itu terjadi. Elaine tak ingin jatuh lagi ke dalam lubang yang sama.Tirta mendengus ketika mendapatkan jawaban spontan dan tegas dari Elaine. “Awas aja sampai lo mau balik lagi sama gue,” desis Tirta.“Awas apa, hah?” tantang Elaine.“Nggak akan gue lepasin!”“Cih! Gue nggak akan mau juga balikan sama lo. Kita cuman boleh sebatas teman, gak lebih. Kalau lebih ya nggak cocok!”“Ya, ya, ya. Terserah deh sekarang lo mau ngomong apa,” kata Tirta membuang muka.Elaine mendesah, hatinya masih tidak tenang. “Yakin nggak akan ada masalah?” tanya Elaine pada Tirta, men
Pagi harinya Darell sama sekali tak menghubungi Elaine lagi. Kini perasaannya benar-benar tak karuhan sama sekali. Pikirannya juga terbagi; antara memikirkan Tante Risa, Elsa dan Darell. Sebelum berangkat menuju rumah Tirta, Elaine mencoba meyakinkan dirinya lagi. Tiba-tiba saja Tante Risa menelepon Elaine.“Halo, Tante,” sapa Elaine pelan. Dia khawatir ada yang menguping dari luar kamar.“Halo, sayang. Jadinya kamu ke sini? Nggak Tante jemput?” tanya Risa pada Elaine dari seberang telepon.“Iya, Tante aku otw, ya.”“Oke. Tante tunggu, ya,” tandas Risa yang kemudian menutup panggilannya.Sudah terlambat! Tidak ada waktu untuk bimbang lagi. Tak usah memikirkan Darell, mana mungkin dia marah. Elaine bukan lah wanita spesial untuknya. Lupakan sedikit tentang Elsa, selagi dia tidak tahu semua aman. Tirta juga tidak akan memberi tahu bahwa Elaine ikut bersamanya. Selain itu ibunya –Lena- bisa untuk m
Apa? Bersama dengan Tirta? Tentu saja tidak. Elaine tak ingin sakit dua kali. Baginya seseorang yang pernah berselingkuh, pasti akan melakukan hal yang sama untuk kedua kalinya. Jadi Elaine sudah tak menaruh hati lagi pada Tirta.Lagi pula Elaine susah payah untuk move on dan melupakan semuanya. Masa sekarang ketika dia sudah bisa bangkit dari rasa sakit itu, dia harus kembali pada Tirta? Memang Elaine sudah memaafkan perlakuan Tirta dan Elsa padanya. Tapi … bukan berarti ketika sudah memaafkan, dia dengan mudahnya kembali pada Tirta.Satu lagi, alasan Elaine tak bisa kembali pada Tirta. Dia sudah mulai nyaman dan menyukai Darell. Walau Darell terlihat laki-laki yang tak kalah brengsek dari Tirta, setidaknya Darell selalu mencoba melindungi Elaine.“Pelan pelan aja, jangan memaksakan diri untuk memikirkan hal tersebut. Tapi bisa dijadikan pertimbangan,” ucap seorang lelaki yang mengejutkan Elaine.Elaine mendegus ketika tahu laki-laki y
Elaine bisa mencium aroma woody dari tubuh Darell yang sedang memeluknya erat. Pelukan ini, Elaine sangat merindukannya. Padahal baru satu minggu lebih tidak bertemu dengan Darell. Tapi rasanya sudah seperti berbulan-bulan.Darell selalu datang di waktu yang tepat. Itu membuat Elaine terharu, dia sampai ingin menitikkan air matanya lagi. Tapi gadis itu menahannya, karena tak ingin membuat Darell khawatir.“Kalau lo di sini cuma mau nangis, mending balik sama gue,” ucap Darell.Laki-laki itu menyaksikan momen Elaine dan Tirta di depan villa. Tentu saja dia melihat ketika Elaine menangis. Hatinya merasa kesal, ketika melihat gadis yang kini ada di dalam pelukannya ini sampai menitikkan air matanya. Darell tidak terima jika Tirta membuat Elaine seperti ini.Elaine melepaskan pelukan Darell, dia mendongak. “Siapa yang nangis? Nggak ada.” Elaine mencoba menyangkal perkataan Darell.“Nggak usah bohong. Dari tadi gue lihat di
Memang benar Elaine sangat merindukan Darell. Tapi ini tidak sesuai dengan yang Elaine harapkan. Bukannya Elaine tidak suka Darell datang menemuinya di puncak. Hanya saja dia datang di waktu yang salah. Sekeras apa pun Darell memaksa, dia tak akan ikut dengannya untuk pulang malam ini.Di tambah dengan adanya adegan kekerasan antara Tirta dan Darell. Membuat Elaine makin tidak mengharapkan kedatangan Darell. Sekarang dia tak mempedulikan Darell, tapi bukan berarti dia memilih Tirta juga. Dia hanya tak enak pada Tirta yang harus terluka gara-gara dirinya.“Gimana dong? Tunggu di sini, nanti gue ambil kotak P3K dulu, ya,” ucap Elaine panik. Saat ini dia sedang berada di ruang depan bersama Tirta. Untung saja sepi, karena kegiatan terpusat ada di belakang villa.Tirta hanya mengangguk dan dia membiarkan Elaine untuk masuk ke dalam. Dia merasa senang diperhatikan oleh Elaine. Tentu senang juga ketika Elaine lebih memilih untuk stay di sini dia sangat sen
Elaine paham betul dengan maksud dari ucapan Darell. Makanya dia langsung menoleh dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Hahaha. Kenapa, Sayang?” Darell terkekeh sampe bahunya bergetar. “Nggak papa,” jawab Elaine sekenanya. Merapatkan bibirnya dan masih enggan untuk menatap Darell. Jujur saja, Elaine merasa malu saat Darell berkata demikian. Dia mengingat kejadian bertahun-tahun silam, ketika dirinya pertama kali bertemu dengan Darell. Elaine memang gila saat itu. “Kamu nyesel nggak, Len?” tanya Darell. “Nyesel apa?” sahut Elaine sambil menoleh. Darell terlihat tersenyum senang, ternyata umpannya ditangkap dengan baik oleh Elaine. Dia sengaja bertanya seperti itu agar bisa melihat wajah istrinya yang sedang memerah karena malu. “Nyesel ngajak aku tidur dan kasih aku sesuatu yang berharga dihidup kamu. Padahal dulu kamu nggak kenal aku sama sekali,” kata Darell. Elaine memejamkan matanya dan langsung mengigit bibir bawahnya
Elaine tersentak, matanya tiba-tiba membulat maksimal, saat dia melihat sosok laki-laki yang sudah lama tak ia lihat. Kenapa dia bisa ada di sini? Mau apa dia ke sini? Pertanyaan itu berkecamuk dalam benak Elaine.“Tenang, di sini gue bukan mau ngacauin acara spesial lo, kok,” ucap laki-laki itu, seolah tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Elaine. Dia adalah Tirta, yang tiba-tiba muncul setelah sekian lama menghilang.Berbeda dengan Elaine yang terkejut. Darell hanya menatap sinis laki-laki itu. Sampai Tirta berani mengacau di hari bahagianya, dia tak akan segan membunuh laki-laki itu di sini, sekarang juga.“Gue ke sini cuman mau ngucapin selamat doang. Ya, walau gue sadar diri gue nggak lo undang, Len. Tapi nggak salah, kan, kalau gue datang ke sini dan kasih selamat sama lo,” ungkapnya.“Padahal lo nggak usah repot-repot ke sini,” sambar Elsa. Dia juga sama terkejutnya dengan Elaine. Khawatir laki-laki itu akan berla
“Kenapa, Len? Kok diem?” tanya Grace. “Jangan kaget tapi,” kata Elaine. Shani dan Grace langsung saling melempar pandang. “Dua minggu lagi,” ucapnya kemudian. “Hah?” Benar saja Grace dan Shani kompak memekik. “Wait, Len. Itu … maksudnya Darell baru ngelamar lo di acara perusahaannya minggu lalu, loh. Kok udah dua minggu lagi?” tanya Grace. “Iya, sorry memang dadakan. Tante Martha pengin cepet. Dia tahu gimana perjuangan gue sama Darell, dan dia nggak mau ada yang ganggu hubungan kita lagi. Makanya minta buat cepet.” Elaine menghela napas. “Bonyok gue juga kaget pas Tante Martha minta percepet. Awalnya Papa minta buat sekitar dua bulan lagi, karena kita belum ada persiapan apa pun. Tapi Tante Martha kekeuh pengin cepet. Sorry, ya,” ucap Elaine. “Parah. Kok ngeduluin Grace, sih? Padahal dia yang dilamar duluan, tapi lo yang nikah duluan,” kata Shani terkekeh. Grace hanya mendelik kesal. Sungguh Elaine adalah perempuan yan
Mata Elaine membulat, saat Darell memanggil namanya dan melontarkan pertanyaan yang membuatnya mematung seketika. Mimpi apa Elaine semalam? Kenapa Darell melamarnya secara tiba-tiba dan di tempat umum seperti ini? Sungguh, tidak ada tanda-tanda bahwa Darell akan melamarnya. Elaine tersentak saat merasakan ada tangan yang merangkulnya. Dia langsung menoleh dan mendapati Martha yang sedang menyadarkan Elaine dari keterkejutannya. Jantung Elaine kini berdetak dengan cepat, semburat merah pun muncul di pipinya. Apalagi saat dia melihat ke arah sekeliling dan mendapati beberapa pasang mata memperhatikan dirinya. Bagaimana ini? Apa yang harus Elaine katakan? Sungguh, ini adalah hal yang tak pernah terbayangkan oleh Elaine. Walau sebelumnya, memang Darell pernah melamarnya. “Elaine, jangan membuat Darell menunggu,” bisik Martha, saat seorang crew datang sembari membawa microphone untuk Elaine. “Ta-tapi, Tante aku—” “Jawab saja,” selanya sambil
“Ngapain ke sini?” tanya Elaine, saat dirinya dan Darell sampai di sebuah butik mewah.“Beli soto. Ya, beli baju, lah. Kenapa masih nanya, sih?” timpal Darell yang langsung menggenggam tangan Elaine dan menariknya ke dalam.Tak bertanya lagi, Elaine hanya mengikuti Darell. Walau dia masih penasaran, kenapa juga Darell membawanya ke butik mewah? Tak banyak pergerakan yang dilakukan Elaine sampai akhirnya Darell langsung menegurnya.“Kenapa diem aja? Pilih bajunya, dong,” kata Darell.Elaine menoleh dengan mata membulat. “Buat apa? Aku harus tahu dulu alasan kamu bawa aku ke sini. Baru aku bisa pilih baju,” balas Elaine.Ya … bagaimana Elaine akan memilih baju, jika dia saja tidak tahu harus menghadiri acara apa? Pasalnya butik tersebut menjual baju formal untuk perempuan; gaun, blazzer dan lain-lain, tentu saja dengan desain dan harga yang wah. Mungkin butuh beberapa bulan bagi Elaine untuk seke
“A-anu, apa kamu sedang sibuk?”Darell mematung beberapa detik, ketika melihat Elaine ada di hadapannya. Kemudian dia menggeleng dengan cepat. “Oh, nggak. Kenapa?” tanya Darell.“Boleh kita bicara sebentar?” tanya Elaine dengan sedikit canggung.“Boleh, kok. Masuk aja,” ajak Darell. Dia mempersilakan Elaine untuk memasuki kamarnya. Di sana mereka berdua duduk bersebelahan di sebuah sofa kecil. Darell melihat gadis itu sedang meremas jarinya, sepertinya dia sedang merasa gugup.“Ada apa?” tanya Darell dengan nada yang sangat lembut. Mencoba memberikan kenyamanan pada Elaine. Walau sebenarnya jantungnya ini sedari tadi berdegup dengan kencang.Jujur saja, Darell ingin memeluk gadis itu sekarang juga, mencurahkan segala kerinduan dan rasa kekhawatirnya selama ini. Namun, melihat kondisi Elaine yang seperti itu, dia mengurungkan niatnya.“Mmm … anu itu ….” Ada
Semua terasa cepat, sampai-sampai Darell masih belum begitu paham dengan situasi yang sedang berkecamuk di ruang keluarga kediaman Bumantara.‘Kenapa Elaine ada di sini? Kenapa Mama terlihat sangat marah? Dan kenapa ada Varell di sini? Apa semua ini rencanyanya?’ Semua pertanyaan itu terus berputar di kepala Darell.Mata Darell melihat ke arah amplop cokelat yang baru saja ditaruh oleh Varell tepat di depan Tio Admar. Merasa penasaran dengan isi amplop itu. Apalagi saat dia melihat ekspresi Tio yang terkejut saat membuka amplop tersebut. Tak hanya Tio, tapi Chelsea dan Clarisa pun merasa terkejut dengan apa yang dilihatnya. Bahkan Chelsea menangis saat melihat isi dari amplop tersebut.Merasa penasaran, Darell langsung menghampiri Tio dan menyambar beberapa lembar kertas yang sedang dipegang oleh laki-laki itu. Tak ada perlawanan dari Tio, mungkin karena saking terkejutnya dia.Darell langsung membaca, membuka lembar demi lembar dokumen yang s
Bagai disambar petir, Pandu benar-benar terkejut dengan kedatangan sosok Elaine di rumahnya. Sontak laki-laki itu berdiri dari sofa yang sedang didudukinya. Matanya membelalak dan mulutnya sedikit menganga, saking terkejutnya. ‘Kenapa gadis itu ada di sini?’ batin Pandu. Melihat Elaine muncul dengan tiba-tiba di kediaman Bumantara, membuat Darell langsung berlari ke arahnya. Ia langsung mengecek kondisi Elaine. “Kamu baik-baik saja?” tanya Darell dengan nada khawatir. Belum juga Elaine menjawab pertanyaan Darell, Martha sudah langsung memberang. “Maksudmu gadis ini, kan?” tanyanya. Keluarga Admar hanya diam saja, mereka menoton pertengkaran antara Martha dan Pandu. Namun, bukan berarti mereka senang dan menikmatinya. Melainkan Tio dan Chelsea terlihat sangat gusar. “Ke-kenapa dia ada di sini?” tanya Pandu dengan terbata-bata. “Seenaknya kamu mengancam anakmu sendiri dengan melibatkan orang lain, yang tidak bersalah sama sekali!
Tidak. Tidak bisa! Elaine tidak ingin sampai Darell menuruti permintaan ayahnya dan menikah dengan Chelsea. Bagaimanapun rasa sayang dan cintanya pada Darell sangat besar. Apalagi saat mengetahui perjuangan Darell untuk mempertahankannya.“Gue nggak bisa diem aja,” gumam Elaine. Dia mencoba memikirkan cara bagaimana dia bisa keluar dari sini, menemui Pandu dan menenatng usahanya.Elaine tidak bisa membiarkan Darell berjuang sendirian. Dia rasa, dirinya juga harus berusaha mempertahankan hubungan mereka berdua. Tapi bagaimana? Elaine medesah saat otaknya terasa tumpul, tak bisa memikirkan apa pun.***Keesokan harinya.Darell terlihat sangat kacau sekali. Kemarin, dia seharian mencari keberadaan Elaine tapi ia tak kunjung menemukannya. Perasaan khawatir semakin mencuat dari dalam diri Darell, ketika dia mengingat bahwa hari ini adalah tenggat waktu untuknya.Tok. Tok. Tok.Darell langsung menoleh