"Jaga ucapan kamu, Adit!" teriak Bunda Desi kesal. Kenapa anaknya menjadi seperti ini? Semua ini pasti ada hubungannya dengan Karin.
"Bun, enggak papa. Diva memang aneh kok, aneh karena masih mencintai Adit yang jelas-jelas menggoreskan luka paling dalam di hati. Adit, saat ini kamu memang tidak mengingat aku, karena kamu amnesia. Namun itu hanya sementara, suatu saat akan kembali dan aku pastikan kamu menyesal telah mengatakan kalau aku perempuan aneh, murahan yang mau merusak hubungan orang," ucap Diva panjang lebar, bibirnya bergetar menahan tangis yang akan pecah.
"Bun, Diva pulang dulu ya," pamit Diva mencium punggung tangan Bunda Desi. Kemudian mengambil tasnya yang berada di sofa dan berjalan cepat keluar dari rumah Adit. Dia tidak tahan jika harus berlama-lama disana. Cintanya pada Adit memang masih utuh, tidak berkurang secuil pun. Namun ketika mendengar ucapan Adit, hatinya merasa sakit. Meskipun dia terkenal dengan kesabarannya, tetapi dia juga manusia, sama
Diva berjalan menelusuri koridor menuju kelasnya dengan santai, meskipun di dalam hati dia merasa risih. Sejak kakinya menginjak halaman sekolah, semua mata langsung mengarah padanya. Dia memang sudah terbiasa menjadi pusat perhatian, tetapi kalimat penyemangat dan tatapan iba yang mereka tujukan kepadanya membuat sedikit tidak nyaman. Dia senang karena banyak yang peduli dengannya, tetapi hati dia tidak nyaman dengan tatapan iba itu. Entah darimana asalnya, yang jelas berita tentang Adit amnesia sudah menyebar luas di sekolahnya."Diva!" teriak Bara dari arah belakang seraya berlari kecil dengan Daniel dan Revan di belakangnya.Diva menghentikan langkahnya dan menoleh. "Ada apa?" tanya Diva saat mereka bertiga sudah sampai di depannya."Semangat ya! Kita pasti bantu lo untuk mengembalikan ingatan Adit," ujar Bara menepuk bahu Diva pelan. Dia merasa kasihan dengan kisah percintaan Adit dan Diva. Masih beberapa bulan sudah banyak sekali masalah, apalagi sekarang
Wajah Karin memerah lantaran kesal dan emosi dengan tingkah laku Diva. Selalu mengganggu kebersamaan dia dengan Adit, lalu sekarang bersikap jijik karena menyentuh lengannya. Apa Diva pikir, dia ini kuman?"Gaya banget lo, seharusnya yang gue yang mandi air tujuh sumur, karena badan lo penuh dengan dosa," ucap Karin mendorong Diva dengan jari telunjuknya."Kenapa enggak sekalian aja lo berenang di dalam itu sumur," sahut Diva dengan alis yang naik turun, menggoda Karin. Entah mulai kapan, yang jelas dia senang menggoda dan mengejek Karin. Apalagi sampai wajahnya memerah atau kalau perlu sampai darah tinggi dan struk. Supaya tidak bisa centil kepada Adit lagi."Adit," rengek Karin kala tidak bisa membalas ucapan Diva. Matanya berkaca-kaca dengan bibir yang melengkung ke bawah."Gue pusing," ucap Adit datar, kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan keluar kantin dengan langkah tegasnya. Kepalanya berdenyut nyeri karena mendengarkan ocehan kedua perempuan
"Ngapain lo di sini?" tanya Adit memalingkan wajahnya ke depan, merasa begitu malas untuk melihat perempuan yang mengganggu hubungannya.Diva tidak menjawab, dia mendudukkan diri di samping Adit. Sudut bibirnya masih terangkat, membentuk senyuman manis yang membuat kaum adam terpana. Namun tidak dengan Adit, dia justru menatap Diva sinis seraya menggeser duduknya hingga sampai di ujung kursi.Melihat tingkah Adit, Diva terkekeh geli dan ikut menggeser duduknya mendekati Adit."Centil banget sih lo!" sungut Adit merapatkan kakinya, tidak mau berdekatan dengan Diva."Buat kamu," ujar Diva menyodorkan es krim rasa coklat ke hadapan Adit, tetap dengan senyum manis yang masih terpatri."Ogah!" tolak Adit mentah-mentah tanpa melihat ke arah Diva. Dia menyapu pandangan ke sekeliling taman, mencari keberadaan para sahabatnya yang hilang entah kemana. Padahal mereka yang mengajak dia ke sini, tetapi sekarang mereka juga yang meninggalkannya sendiri.
Diva menoleh ke arah Daniel dan menggelengkan kepalanya pelan. "Gue enggak mau kemana-mana."Daniel menghentikan langkahnya dan memegang kedua bahu Diva, kemudian menghadapkan ke arahnya. Dia menatap mata indah Diva dengan intens, hingga tanpa sadar membuatnya terlena dan semakin menyelam di keindahan mata itu."Niel," panggil Diva melambaikan tangannya di depan wajah Daniel, saat lelaki di hadapannya ini hanya terdiam dengan mata menatap dia intens."Ah iya," sahut Daniel tersentak kaget, kemudian menggelengkan kepalanya beberapa kali. Dia merutuki dirinya sendiri yang bisa-bisanya terlena dengan keindahan mata Diva, kekasih dari sang sahabat yang sedang amnesia."Lo kenapa?" tanya Diva memiringkan kepalanya ke kiri dengan alis yang menyatu bingung."Gue mau ajak lo ke suatu tempat. Ayo!" ajak Daniel mengalihkan pembicaraan. Tanpa menunggu jawaban Diva, dia langsung menggenggam tangannya
Karena sudah terlanjur penasaran, Diva langsung menuruti perintah Daniel tanpa banyak bicara. Seketika matanya membulat dengan mulut terbuka, tidak lama kemudian senyum lebar menghiasi wajah cantiknya."Niel, bagus banget," puji Diva tanpa menoleh ke arah Daniel. Dia masih setia menatap objek yang tampak begitu memukau di depannya. Sudah dua kali dia dibuat kaget serta terkagum dengan apa yang belum pernah dia datangi dan itu semua karena Daniel, sahabat yang entah kenapa hari ini terlihat begitu berbeda."Suka?" tanya Daniel berjalan ke samping Diva dan menatap wajah cantik itu dalam.Diva mengangguk semangat, kemudian menatap Daniel yang berada di sebelahnya dan kebetulan sedang menatapnya juga. Dia mengerjap dan spontan memundurkan langkahnya, karena merasa jarak wajahnya begitu dekat dengan Daniel."Lebih dari sekedar suka. Aaa gue seneng banget, terima kasih, Daniel," ujar Diva tulus dengan senyum leb
Diva menelan salivanya dengan susah payah. Ini memang salahnya, tetapi tetap saja dia merasa takut jika Abang Justin sudah berbicara datar seperti ini."Diva lupa, Bang," jawab Diva cengengesan."Halah alasan, pasti lo terlalu asik berduaan sama Daniel 'kan? Makanya sampai lupa waktu dan enggak ngabarin kita," celetuk Tika seraya mencolek pipi Diva menggoda."Ih apa sih," ketus Diva berjalan memasuki halaman rumahnya, meninggalkan mereka yang sudah tertawa lepas karena berhasil menjahili Diva. Sedangkan Abang Justin, menatap kepergian Diva dengan bibir yang mencebik kesal. Padahal dia belum selesai mengintrogasi, tetapi Diva sudah lebih dulu melenggang pergi."Assalamualaikum," ucap Diva seraya membuka pintu, kemudian berjalan mendekati kedua orang tuanya yang berada di sofa ruang tamu."Waalaikumsalam, kamu dari mana aja, Sayang?" jawab Mama Githa yang langsung memeluk Diva dengan erat.Suara Mamanya yang terdengar begitu khawatir, me
Mereka bertiga saling pandang, kemudian lari terbirit-birit keluar kamar. Namun, bukannya turun menuju lantai satu, mereka justru berlari memutar di depan kamar Diva. Mereka terus berteriak dengan raut dan nada yang begitu panik, seolah sedang dikejar oleh hantu. Namun nyatanya, mereka bukan dikejar, tetapi sudah membangunkan singa yang sedang tidur.Bibir Diva berkedut menahan tawa, tetapi sebisa mungkin dia menahannya. Karena, jika dia kelepasan tertawa maka sahabatnya tidak akan kapok dan akan mengulangi hal yang sama. Entah humornya yang receh atau memang sahabatnya terlalu konyol. Hal seperti ini yang membuat dia tidak tahan untuk marah kepada mereka, apalagi mendiaminya. Meskipun konyol, tetapi segala tingkah lakunya benar-benar menghibur."Aaa tolong! Ayo cepat kabur!" teriak mereka bertiga bersamaan.Derap langkah kaki terdengar bersahutan, tidak lama kemudian muncul kedua orang tua dan Abang Diva dari arah tangga."Ada apa?" tanya Abang Justin de
Semua murid berlari menuju asal teriakan. Ketiga sahabat Diva saling pandang dan tanpa mempedulikan kakinya yang sakit, mereka ikut berlari menuju lapangan yang diikuti inti danger. Mereka begitu mengenali suara itu, suara dari seseorang yang sedari tadi mereka kejar."Permisi, permisi." Nisa berusaha menerobos kerumunan para murid dan dibantu dengan yang lain. Setelah bersusah payah dan saling dorong, akhirnya mereka sampai di barisan paling depan.Mereka syok, matanya melotot dengan mulut yang sedikit terbuka. Di depan mereka, terdapat Diva yang terbaring lemah dengan mata terpejam."Diva, bangun!" Daniel yang lebih dulu sadar dari rasa terkejutnya, langsung berjongkok di samping Diva dan menepuk pipinya pelan.Setelah menetralkan rasa terkejutnya, mereka ikut berjongkok mengelilingi badan Diva."Ini kenapa?" tanya Nisa kepada salah satu siswi yang berada di belakangnya."Kejatuhan pot bunga dari lantai atas, Kak," jawabnya dengan suara ya
Adit mengalihkan pandangannya seraya menghela napas pelan. Kemudian kembali menatap kedua sahabatnya dengan raut serius. Meskipun ragu, dia akan mengatakannya karena mereka harus tahu kebenarannya."Karin hamil." Adit berkata dengan suara yang begitu pelan. Namun meskipun begitu, Bara dan Revan masih dapat mendengar dengan jelas.Tubuh keduanya mendadak kaku dengan mulut setengah terbuka. Mereka tidak salah dengar 'kan?"Ha ha pasti itu cuma alasan lo biar enggak dimarahi kami 'kan?" tanya Revan tertawa garing.Tawa Bara menguar, seolah apa yang diucapkan Adit adalah hal paling lucu. "Lo emang enggak pantes ngelawak, Dit. Nanti berguru sama gue. Jangan bawa-bawa kehamilan anjir, ngeri gue."Tangan Adit terangkat menepuk bahu kedua sahabatnya diikuti dengan gelengan kepala."Gue enggak lagi ngelawak. Ini beneran, Karin hamil anak gue," ucap Adit berhasil menghentikan tawa Bara.Raut wajah laki-laki yang suka bercanda itu berubah menjad
Kini giliran mereka yang terdiam. Benar-benar tidak menyangka dengan jawaban Diva yang sedikit menyentil hati mereka. Hati dan perasaan seseorang memang tidak bisa ditebak. Kemarin suka dan sekarang benci. Revan mengkode Bara melalui lirikan mata. Diam-diam dia meringis tidak enak. Berada di situasi seperti ini sangat tidak nyaman. "Va, sorry, gue engg-" "Enggak papa kok," sela Diva memotong ucapan Bara dengan wajah datarnya yang semakin membuat laki-laki itu merasa bersalah. "Gue minta maaf. Gue sama sekali enggak maksud ngomong gitu," cicit Bara. Daniel maju selangkah lalu mengusap rambut Diva lembut. "Pikirin baik-baik sebelum membuat keputusan." Diva hanya mengangguk pelan. Melihat pemandangan di depannya membuat Nisa mengalihkan pandangannya. Hatinya berdenyut sakit. "Ngelihat lo kayak gini malah bikin gue sa
Dengan posisi yang masih membelakangi Adit, Diva mengukir senyum tipis penuh luka. Di posisinya ini, dia juga melihat kedua sahabatnya yang berdiri kaku beberapa langkah di depannya. Perlahan Diva membalikkan badannya, menatap laki-laki yang sudah memberikan banyak rasa kepadanya. "Kenapa harus marah? Gue enggak marah sama sekali. Lagi pula lo enggak punya kesalahan yang harus gue marahin, Adit." "Terus, kenapa lo beda?" tanya Adit menatap Diva sayu. Diva menoleh ke samping lalu menarik napas pelan dan kembali menatap Adit. Namun kali ini tatapannya tidak lagi lembut, melainkan datar. "Apanya yang beda? Gue emang kayak gini. Lo 'kan enggak kenal sama gue, jadi wajar kalau ngerasa gue beda," jawab Diva tenang. Langkah kaki Adit perlahan membawanya mendekat ke arah Diva. "Gue minta maaf kalau ada salah. Gue ... gue ngerasa enggak suka sama sikap lo yang kayak gini, Diva," ucapnya bersungguh-sungguh. "Semua kesalahan lo udah gue maafin ko
Baru saja Nisa akan menjawab, suara dentingan sendok mengalihkan perhatian semuanya. Pelakunya adalah Diva. Dia sengaja sedikit membanting sendok karena terlalu risih dengan tatapan dua laki-laki yang tak lain adalah Adit dan Daniel. "Loh, Va, lo mau ke mana?" tanya Mira heran saat melihat Diva bangkit dari duduknya, padahal mereka belum selesai bahkan baru saja mulai. "Kelas," jawab Diva singkat dan langsung melenggang pergi. Meninggalkan tanda tanya besar untuk sahabatnya. "Makanannya belum habis loh," tunjuk Tika ke arah makanan Diva yang baru termakan sedikit. Mereka saling pandang lalu menggeleng dengan kompak. Mereka bingung kenapa Diva menjadi seperti ini. Disuruh bercerita menolak, mau menebak pun mereka juga tidak bisa. Karena ekspresi Diva terlihat biasa saja, tidak ada emosi. "Diva sebenarnya kenapa sih?" tanya Bara bertopang dagu menatap ke arah perginya Diva.
"Pagi, Cantik," sapa Bara kepada Diva yang lewat di depannya dengan senyum lebar.Diva menoleh dan tersenyum tipis. "Pagi, Bar," balasnya kemudian langsung melenggang pergi, tanpa menatap inti dan anggota danger lainnya.Bukan hanya Bara yang merasa heran, tetapi semua yang ada di parkiran juga merasa kalau Diva sedikit berbeda. Biasanya gadis itu akan menyapa dengan riang, bahkan ikut bergabung. Apalagi jika ada Adit.Namun sekarang, gadis cantik itu hanya membalas dengan singkat tanpa melihat ke yang lain. Bahkan ke Adit pun tidak."Diva kenapa cuek gitu ya?" tanya Bara menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Apa kalimat sapaannya salah, sampai Diva marah karena dipanggil cantik?"Dia juga enggak nyapa kita. Tumben banget dia enggak semangat gitu, padahal di sini ada Adit," sahut Revan menatap punggung Diva yang semakin menjauh."Mungkin udah enggak mau lagi sama Adit," celetuk Bara asal.Mendengar celetukan sahabatnya, Adit langsung
Diva tersenyum tipis, dengan pelan dia melepas pelukan Tika yang begitu erat. Bukannya tidak senang, tetapi di sebelahnya ada Mira yang sudah tertidur pulas. Dia tidak mau mengganggu sahabatnya itu hanya karena terjepit oleh Tika. "Gue enggak papa kok. Maaf udah buat lo khawatir," jawab Diva merasa bersalah. "Terus lo ke mana? Kenapa enggak balik ke kelas? Kenapa di toilet juga enggak ada?" tanya Tika beruntun. Nisa menghela napas pelan mendengar pertanyaan Tika. Sudah dia duga, gadis itu pasti bertanya secara bertubi-tubi. "Lo enggak bisa tanya satu-satu ya, Tik? Gue pusing dengarnya." "Gue enggak tanya sama lo, jadi lebih baik lo diam aja. Mimpi apa gue bisa punya sahabat kayak lo sama Mira. Gampang emosi dan suka komentar sama apa yang gue lakuin," gerutu Tika memberenggut kesal. Diva menggelengkan kepalanya pelan menyaksikan perdebatan para sahabatnya. Sudah tidak asing lagi jika
"Bu Sukma masih ngejar kita, gimana nih?" tanya Tika di sela larinya. " Gue udah capek anjir." Meskipun napasnya terasa menipis, tetapi Tika juga tidak mau berhenti. Karena kalau berhenti, yang ada dia ketangkap oleh Bu Sukma lalu diberi hukuman. Oh no! Dirinya tidak mau berurusan dengan matahari apalagi toilet. "Gimana kalau ke kelas aja? Gue juga capek, berasa di kejar orang gila, deg-degan parah," sahut Bara setelah melihat ke belakang dan ternyata benar apa yang dikatakan Tika, Bu Sukma masih mengejar mereka berdua dengan penggaris kayu yang diacungkan. Tika mengangguk menyetujui. "Oke, daripada dihukum bersihin toilet yang baunya bikin mual, lebih baik gue berperang sama pelajaran. Dadah, Bara Jelek," pamitnya seraya melambaikan tangan lalu berlari menuju kelasnya. "Sialan lo bocah! Awas aja ya, gue bikin jatuh cinta klepek-klepek lo. Nanti bilangnya 'aku enggak mau pisah sama kamu' atau enggak 'a
"Lo harus bisa atur emosi, Mir," celetuk Revan memecah kesunyian di antara keduanya. Sejak kepergian Daniel dan Nisa, dia sengaja mengajak Mira ke taman belakang. Karena menurutnya, hanya tempat itu yang cocok untuk menenangkan diri. Selain sejuk, tempatnya pun tidak ramai dan hanya segelintir siswa yang berlalu lalang. "Apa pun yang menyangkut sahabat gue, gue enggak bisa tinggal diam, Van. Apalagi ini Diva, sahabat yang paling gue sayang," sahut Mira menatap lurus ke depan. Dia berusaha menahan emosinya supaya tidak meledak. Bagaimana pun juga, di sini ada Revan dan dia tidak mau laki-laki itu menjadi korbannya. Karena yang bermasalah itu Adit, bukan sahabatnya. Huh, rasanya dia ingin menghajar wajah tampannya sampai babak belur, atau kalau perlu menonjok giginya sampai rontok. Supaya menjadi jelek dan otomatis tidak akan ada lagi perempuan yang menyukainya. "Gue tau apa yang lo rasain, tetapi percum
"Kenapa? Lo ingat sesuatu?" tanya Mira melirik Adit dengan tangan yang bersedekap."Enggak, gue cuma ngerasa pernah ada di posisi kayak gini," jawab Adit menatap meja dengan pandangan kosongnya.Jujur, sampai sekarang dia merasa bingung dengan dirinya sendiri. Entah apa yang terjadi sebelumnya, tetapi di beberapa situasi dia merasa familiar. Seolah pernah mengalaminya. Namun dia juga tidak ingat kapan situasi itu terjadi.Kekehan kecil keluar dari mulut Mira. "Lo emang pernah ada di posisi ini, kejadian yang sama tetapi beda tempat. Sayangnya sekarang lo lagi amnesia, jadi enggak inget kejadian menegangkan waktu itu," ujarnya santai."Mir," tegur Nisa menyenggol lengan Mira pelan, memperingati gadis itu agar tidak berbicara macam-macam yang dapat membuat Adit memaksa ingatannya.Ketiga inti danger hanya diam membisu, tidak menegur Mira atau pun menenangkan Adit yang mulai meremas rambutnya."Apa benar yang dibilang dia?" tanya Adit menatap s